8. Tawaran Pekerjaan

1113 Words
"Sudah pagi?" Jesyca menyipitkan matanya saat merasakan sinar terang yang mengganggu matanya. Dia menghela napasnya, lalu dengan malas membuka matanya lebih lebar lagi. "Em, silau." Dia berbalik demi menghindari cahaya yang menyilaukan matanya, hingga satu hal telintas di dalam pikirannya. Kenapa dia bisa merasa begitu nyaman saat ini, dan saat mendapati ada bantal berwarna putih di depan matanya, Jesyca pun tersadar, dia tidak memiliki bantal berwarna putih di kamar kos atau kamar di rumah Mama Elvy, rata-rata pasti menggunakan sprei bermotif. Mengingat itu, Jesyca pun segera bangkit dan dia melihat ke sekelilingnya, hingga dia baru ingat apa yang terjadi. Wanita itu langsung menyugar rambut panjangnya dan dia menghela napasnya lega setelah ingatan tentang kejadian semalam terkumpul sepenuhnya. "Pria itu?" gumam Jesyca dia kembali melihat ke sekelilingnya yang terasa sepi, bahkan pintu kamar mandi pun terbuka, dia yakin pria bernama Arron itu tidak ada di kamar hotel itu. "Ke mana dia?" gumam Jesyca, wanita itu pun turun dari ranjang dengan kaki polosnya, dia melangkah menuju kamar mandi untuk membuang hajatnya. Sampai wanita itu menyelesaikan urusannya di kamar mandi, dia belum mendapati Arron kembali ke kamar itu. "Apa dia sudah pergi?" gumam Jesyca penasaran. Sampai kemudian, dia mendengar suara pintu dibuka, pria itu pun langsung menoleh dan seketika menegang saat mendapati Arron masuk ke dalam, pria itu membuka kaosnya dan mengelap peluhnya. "Kau sudah bangun?" tanya Arron. Jesyca hanya diam, dan menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu, pesan sarapan. Aku mau mandi dulu. Setelah itu kita bicara, aku akan mengantarmu pulang!" Setelah mengatakan itu, Arron masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Jesyca yang menatap heran pada pria tampan tadi. "Kenapa dia begitu baik?" gumam Jesyca, rasanya hatinya berdebar-debar begitu kencang saat ini, dia baru pernah mendapatkan perlakuan baik seperti ini sepanjang hidupnya oleh pria lain selain Papa Dimas. 'Dia mirip Papa Dimas, baik.' Jesyca langsung menggelengkan kepalanya, dia tidak mau terbuai, dia harus menolak rasa yang mungkin hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia, dia harus sadar diri siapa dirinya. Jesyca lalu menuju interkom kamar dan memesan sarapan untuk dia dan juga si pria penolong. Sekitar 30 menit kemudian, sarapan datang, tapi Arron belum juga keluar dari kamar mandi. "Kenapa dia lama sekali?" Jesyca melihat ke dinding di mana ada sebuah jam yang tengah berdetak beraturan. "Sudah 30 menit, dia baik-baik saja, kan?" "Perasaan, aku mandi tak butuh waktu lama, lima menit aja cukup." Tepat saat Jesyca tengah memeriksa sarapan, Arron keluar dari kamar mandi dengan menggunakan bathrobe mandinya. Melihat itu, Jesyca menghela napasnya perlahan, bukan takut, tapi dia selalu terpesona setiap melihat wajah tampan pria penolongnya. "Sudah datang sarapannya?" tanya Arron dan Jesyca mengangguk. 'Kalau belum, ini apa namanya?' batin Jesyca, dia menahan tawanya, menurutnya Arron itu lucu. Pertama, sudah jelas dia sudah bangun dan Arron akan bertanya, 'Kau sudah bangun?' begitu, lalu kedua, jelas-jelas sarapan sudah datang, dan Arron pun bertanya, 'Sudah datang sarapannya?' begitu, lucu sekali menurut Jesyca sehingga dia semakin tak bisa menahan ingin tertawa. "Sepertinya kau sudah lebih baik," ujar Arron. "Ya, apa?" tanya Jesyca, wanita yang masih hanya mengenakan kemeja kebesaran milik Arron itu menatap bingung pada pria yang sudah mulai sarapan. "Sarapanlah, setelah ini kau mandi, tadi aku sudah minta seseorang membelikan baju untukmu!" "Oh, em iya, terima kasih." Jesyca langsung duduk begitu saja, dan tepat saat itu, Arron berniat minum jus paginya, dia melihat bagaimana cara Jesyca duduk, dan pria itu langsung terbatuk. "Astaga, kau baik-baik saja, Tuan?" tanya Jesyca panik, dia langsung bangkit dan menghampiri Arron dan membantu mengusap punggungnya. "Bagaimana Tuan?" Jesyca semakin panik saat batuk Arron tak kunjung berhenti sampai tangan pria itu memberinya kode agar tak melakukan gerakan mengusap punggungnya. "Cukup!" "Anda yakin Tuan?" tanya Jesyca. Arron mengangguk, lalu mempersilakan Jesyca untuk duduk kembali, tetapi sebelum itu, dia lebih baik melihat ke arah lain, begitu pikir pria bermata coklat itu. "Anda yakin Tuan?" tanya Jesyca ragu, sekali lagi dia bertanya untuk memastikan. "Ya, kau sarapan saja!" Arron menghela napasnya panjang, lalu dia berusaha fokus dengan sarapannya saja. Ragu-ragu, Jesyca pun memulai sarapannya lagi, dan dia kembali terkejut saat Arron tiba-tiba bangkit dan pergi ke dalam kamar mandi. "Kenapa dia?" tanya Jesyca. "apa dia sedang diare?" Jesyca ingat, sejak kedatangannya semalam, Arron selalu ke kamar mandi dan juga cukup lama di dalam. Jesyca memilih tak ambil pusing, dia memilih untuk melanjutkan sarapannya. *** "Bagus sih bajunya, tapi ini bukan style bajuku," gumam Jesyca, dia menatap pantulan dirinya di cermin. Sebuah dress lengan pendek berwarna kremm, dengan tali besar di pinggangnya, panjang dress itu, di pertengahan antara lutut dan mata kaki, tidak buruk untuk tubuhnya yang tinggi. Namun, Jesyca lebih menyukai memakai celana panjang dan kaos atau blouse. "Astaga, kenapa tak bersyukur saja Chika? Masih baik dia tidak membiarkanmu dengan baju haram semalan." Jesyca menghela napasnya panjang, melihat penampilannya sendiri dengan pakaian bagus seperti itu, justru membuat dia ingat, dengan sosok ibu kandungnya, yang tak pernah mencintainya. Jesyca menggeleng, dia benar-benar tak mau mengingat wanita itu yang begitu jahat di masa lalu. Kemudian, Jesyca memutuskan untuk keluar dari kamar mandi. "Ya, siapkan semua surat-suratnya, temui aku di lobi hotel satu jam lagi!" Arron yang tengah menelpon, menoleh saat mendengar suara pintu kamar mandi dibuka. Pria itu terdiam, menatap pada wanita cantik, dengan dress berwarna krem yang membuatnya terlihat lebih cantik dan memukau. "Ya, bagus." Arron baru saja mengakhiri panggilan teleponnya. Sementara Jesyca, mulai merasa salah tingkah karena tatapan Arron padanya. Jantungnya berdetak begitu cepat. Dia pun menghela napasnya perlahan, agar semua kembali normal. "Ah ya, bisa kita bicara sebentar?" tanya Arron. "Apa, ah iya Tuan!" Jesyca lalu mendekati Arron dan duduk di depan pria itu yang sudah sibuk dengan laptopnya. "Dengar, aku seorang Pengusaha, dari Jakarta!" ujar Arron. "Oh, ya." Jesyca menganggukan kepalanya, dia jelas tahu, pria di depannya seorang pengusaha, bukan seorang Pilot, meski wajahnya begitu tampan dan gagah. 'Aku rasa dia cocok sebagai Pilot, gaji pilot juga besar, kan? Kenapa aku tidak kepikiran dia Pilot sebelumnya?' tanya Jesyca di dalam hatinya. "Aku baru saja mengakuisisi sebuah Perusahaan ekspor impor di kota ini, dan rencananya, aku akan sering bolak-balik Jakarta dan Balikpapan," ujar Arron lagi. "Dan, sebelumnya aku sudah meminta dicarikan seorang asisten pribadi, yang asli orang Kalimantan, atau setidaknya tahu seluk beluk pulau ini, kelak aku akan banyak proyek di sini." "Tapi, asisten pribadi yang sebelumnya sudah aku dapatkan, tiba-tiba mengundurkan diri, alasannya, dia tidak jadi keluar dari pekerjaan sebelumnya." "Jadi, apa kau mau menggantikannya?" tanya Arron, sungguh dia malas sekali bicara panjang lebar seperti ini. "Oh begitu." Jesyca menganggukan kepalanya, sampai wanita itu sadar apa yang tengah dibicarakan oleh pria tampan di depannya. "Makdudnya, a-aku jadi aspri Anda?" tanya Jesyca tak percaya. Arron mengerutkan keningnya, dia cukup terkejut melihat respon Jesyca yang juga terkejut sendiri. "Ya, jika kau mau ambil kesempatan itu!" "Mau!" seru Jesyca.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD