14. Status Janda

1027 Words
"I-iya, em janda dadakan, nikah dadakan, dipaksa nikah, dan dipaksa jadi janda juga dalam hitungan menit." Yunara mengerutkan keningnya. "Maksudnya?" "Ya em, ceritanya panjang." Jesyca menghela napasnya, lalu dia bercerita tentang bagaimana dia dipaksa nikah dan suaminya mati terkena serangan jantung di malam pengantin mereka. "Oh gitu." Yunara menghela napasnya, status janda saja membuat nilai minus bagi Jesyca, apalagi janda di malam pertama, akan semakin sulit mendapatkan restu dari mamanya, bisa saja Mamanya akan menganggap Jesyca perempuan pembawa sial. 'Padahal tadi aku harap, dia spesial, bisa aku comblangin sama si kulkas dua pintu,' gerutu Yunara di dalam hatinya. "Hm, ya sudah Mbak, aku pamit pulang ya, em semoga Mbak betah kerja sama Mas Arron," ucap Yunara. "Oh, iya." Jesyca merasa heran, kenapa Yunara tak seantusias sebelumnya. Jesyca menghela napasnya. "Apa dia memandang sebelah mata statusku ya?" gumamnya. Jesyca duduk kembali. Dia berpikir, bisakah dia melakukan pembatalan nikah, bukankah dia menikah hanya dalam hitungan menit, bahkan dia yakin, penghulu belum melaporkan data pernikahan mereka ke KUA. "Tapi artinya, aku harus ke Kalimantan lagi, tapi aku gak mungkin meninggalkan pekerjaan yang bahkan belum aku mulai." Tak mau berpikir terlalu jauh, Jesyca kemudian memilih untuk memakai pakaian, bersiap untuk pergi belanja kebutuhannya. Sementara itu di dalam mobil, Yunara berpikir tentang Jesyca. "Andai dia bukan janda," gumamnya. "Mau sampai kapan si kulkas dua pintu jomblo sih, padahal tadi aku pikir, ada kesempatan, sesuatu banget Mas Arron bawa orang lain masuk ke apartemennya." Kemudian, Yunara menyalakan mobilnya dan mengendarai mobil itu pergi meninggalkan area apartemen kakaknya. Dan di tempat lain, Arron baru saja duduk di kursi kerjanya. Pria itu mengerutkan keningnya saat mendapat laporan, jika ada kunjungan dari Yunara ke unitnya. "Gadis itu," gumamnya. Pria itu langsung menghubungi nomor adiknya. Dia tidak mau adiknya berpikiran macam-macam tentang Jesyca. "Ck, kenapa tidak dijawab," gerutu Arron kesal. Kemudian, Arron memilih menghubungi Jesyca, tetapi langsung pria itu urungkan karena dia tidak memiliki nomor ponsel calon asisten pribadinya itu. "Kenapa aku tidak meminta nomornya," gumam pria itu dengan kesal. Arron tidak kehabisan akal, dia langsung menghubungi nomor telepon apartemennya. Jemari pria itu mengetuk meja kerjanya, menunggu dengan tidak sabar pada panggilan telepon yang tak juga dijawab oleh calon asisten pribadinya itu, Jesyca. "Sedang apa sih," gerutu Arron dengan kesal. Sampai kemudian, seseorang mengetuk pintu ruangannya. Arron memilih mengurungkan niatnya untuk menghubungi Jesyca, seorang wanita berusia 45 tahunan menghampirinya. "Permisi Pak, meeting sebentar lagi dimulai," ucap wanita itu. "Terima kasih Bu Desi," ucap Arron. "aku akan segera ke sana." Bu Desi adalah sekretaris kantornya, usianya sudah 45 tahun, dia sekretaris ayahnya sebelum sang ayah pensiun dan memilih memantau Perusahaan dari rumah. Arron menghela napasnya panjang, dia menatap pada ponselnya di atas meja. Pikirannya terus tertuju pada Jesyca, sang calon asisten pribadinya. Sedangkan di apartemennya, Jesyca tengah mematut penampilannya di depan cermin, dia memakai celana jeans berwarna biru, lalu sebuah blouse dengan model Sabrina berwarna putih tulang dengan motif bunga-bunga kecil model crop top yang sedikit memperlihatkan pusarnya jika wanita itu mengangkat kedua tangannya. Dia terlihat begitu cantik. "Biasanya, orang tidak percaya kalau aku tidak banyak uang karena wajah bule ini, tapi sekarang, aku tak perlu menjelaskan susah payah, aku bisa pakai kartu dari Arron," gumamnya. "Tunggu, bagaimana kalau nanti uang yang aku pakai, dipotong dari gajiku?" gumam Jesyca. Wanita itu langsung menggelengkan kepalanya, dia tidak mau rugi harus membeli pakaian mahal, tetapi ujung-ujungnya dia harus mengganti uang yang dia pakai dengan cara dipotong gajinya. "Nggak, aku harus hemat, aku harus segera mengumpulkan uang yang banyak, biar bisa pergi ke London dan mencari keberadaan Papa Dimas," gumamnya. "Tapi tunggu, sebentar." Jesyca tampak berpikir dengan serius. "Aku bekerja di Jakarta, aku harus mencari Farel, pasti Farel tahu di mana alamat Papa Dimas, jadi aku tidak perlu susah payah cari Papa Dimas di London nanti, syukur-syukur Papa Dimas sudah ada di Jakarta, ini sudah sangat lama, bisa saja kan mereka kembali," ucap Jesyca penuh dengan harapan. Jesyca kemudian mengambil tas miliknya, dia menyimpan kartu yang diberikan Arron padanya ke dalam dompetnya, lalu dengan yakin, wanita itu keluar dari apartemen milik Arron itu, dia langsung mencari taksi dan meminta diantar ke mall terdekat. "Gede banget, dulu aku pernah ke sini gak ya?" gumam Jesyca. Sungguh, begitu banyak kenangan di masa kecilnya di kota itu. Namun sayang, dulu dia masih terlalu kecil untuk mengingat nama-nama tempat. Jesyca kemudian melangkahkan kakinya memasuki mall itu, mencari di mana dia bisa membeli beberapa pakaian, juga sepatu dan juga ponsel. Sekitar satu jam kemudian, di tangan Jesyca sudah ada dua paperbag berisi tiga setel pakaian kerja, juga sepasang sepatu seperti permintaan Arron. "Semoga seleraku tidak dikritik oleh si perfeksionis itu," gumam Jesyca. Kemudian Jesyca mendengar suara perutnya sendiri, dia belum sarapan dengan benar sejak pagi, dia bahkan baru memakan sepotong roti bakar sisa milik Arron. "Aduh lapar," gumam Jesyca, mata wanita itu langsung memindai sekelilingnya, mencari di mana dia bisa mendapatkan makan siangnya. Hingga pilihannya jatuh pada satu restoran Jepang, wanita itu pun langsung melangkahkan kakinya menuju tempat itu dengan wajah berseri dan senyum lebarnya. Masuk ke restoran itu, aroma harum dari katsu dan miso menyambutnya, membuat perutnya semakin keras suaranya. Sudah begitu lama sejak terakhir kali dia menikmati hidangan khas Jepang, membuat dia serasa tak sabar saat ini. Dia memilih sudut yang tenang dan duduk di sana. Bersamaan dengan senyuman hangat, pelayan restoran menyambut Jesyca. "Selamat datang, apakah ada yang bisa saya bantu?" Jesyca tersenyum ramah. "Terima kasih, aku mau pesan Chicken Katsu, Salmon Teriyaki, dan sepiring Nigiri Sushi." Pelayan itu mencatat pesanan Jesyca dengan cermat. "Baik, ada lagi, minumnya?" "Hm, lemon tea aja." "Baik, mohon tunggu sebentar." Sambil menunggu hidangannya tiba, Jesyca menelusuri restoran dengan pandangan penuh kekaguman. Suasana tenang dengan ornamen Jepang yang elegan membawa kembali kenangan indah dari masa lalunya. Hingga tak lama kemudian, pesanannya tiba. "Terima kasih," ucapnya pada pelayan. Dia menghirup aroma harum, menggoda selera yang begitu khas dari masakan Jepang yang telah lama dia rindukan. Tiba-tiba, pintu restoran terbuka dengan suara dari ornamen yang terpasang di atas pintu. Dan di ambang pintu, berdiri seorang pria yang memancarkan aura kepercayaan diri dan kekuasaan. "Dia ....?" Tanpa sengaja, Jesyca menatap langsung ke pria itu, yang terlihat memindai ke dalam restoran, sampai pandangan mereka bertemu, menimbulkan sebuah keterkejutan di mata pria itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD