"Aku susul dia," ucapnya.
Mata Arron baru saja membaca laporan kartu kreditnya. Dia tak menyangka jika Jesyca akan membelanjakan kartu kreditnya untuk membeli tiga stel pakaian bermerek ternama, juga sepasang sepatu, merek ternama pula.
"Bisa-bisanya dia memanfaatkan kebaikanku?" gerutu Arron.
Arron Dias Aksara, adalah seorang pengusaha sukses yang meneruskan bisnis keluarganya, dengan menggantikan posisi sang Ayah satu tahun ini karena masalah kesehatan ayahnya.
Pria itu, terkenal begitu perhitungan soal uang. Mungkin, karena itulah dia bisa sukses. Matanya begitu jeli melihat angka-angka yang janggal dan membuat salah perhitungan.
Dengan segera, Arron mengambil jas kerjanya, memakainya dan mengambil kunci mobilnya. Dia akan pergi ke Mall tempat Jesyca berbelanja tadi.
"Pak Arron, anda mau ke mana?"
"Bu Desy, tolong atur semua jadwalku, aku akan kembali setelah makan siang!" ujar Arron tanpa menghentikan langkahnya.
Pria itu mencoba menghubungi pihak kartu kredit dan meminta menonaktifkannya. Dia tidak mau Jesyca membelanjakan lebih lagi. "Sial, aku sudah diperas hampir 100 juta," gerutunya di dalam lift.
Sementara itu di Mall, Jesyca masih menatap penasaran pada pria yang kini duduk tak jauh darinya. Serasa tak asing dengan wajah pria itu.
"Dia, mirip Farel," gumamnya.
"Aku sapa dia tidak ya?"
Jesyca pun berpikir keras. Haruskah dia menyapa lebih dulu pada seseorang yang wajahnya serasa familiar di depannya.
Seorang pria dengan rambut hitam lurus, belah samping. Hidungnya mancung, matanya lembut dan bulu mata yang cukup panjang, alisnya tebal dan bibirnya tipis. Pria itu terlihat tampan dengan wajahnya yang lembut. "Tunggu ...."
Jesyca mengerutkan keningnya saat pria itu mengambil sebuah pulpen dan kertas kecil dari saku jasnya, dia terlihat mencatat sesuatu di sana dan hal itu membuat Jesyca ragu jika pria itu adalah Farel. Karena Farel yang dia kenal di masa kecil, adalah seseorang yang kidal.
"Tidak, kidal bisa disembuhkan dengan terapi, kan? Itu hanya masalah kebiasaan? Begitu, kan?"
Jesyca ingin sekali memastikan, tetapi dia takut salah orang. Bukankan wajah mirip itu bisa saja terjadi. Apalagi, dia hanya ingat wajah Farel saat kecil dulu.
"Permisi, ini pesanannya," ucap pelayan yang membawa beberapa menu pesanan Jesyca.
"Oh ya, terima kasih," ucap Jesyca.
Jesyca menghela napasnya panjang, dia merasa, dia terlalu jauh mengira pria tampan yang duduk di meja tak jauh darinya adalah Farel yang dia kenal.
"Makan saja lah!"
Jesyca akhirnya memilih untuk menikmati makan siangnya saja. "Hem, ini enak banget," ucapnya dengan nada suara cukup keras.
Dan, apa yang diucapkan Jesyca dengan nada suara cukup keras menarik perhatian beberapa pengunjung restoran, termasuk pria yang membuat Jesyca penasaran tadi.
Pria itu mengerutkan keningnya, menatap pada seorang gadis yang tengah makan dengan lahapnya. Dia tersenyum, menurutnya gadis berambut pirang itu begitu lucu mengunyah makanannya.
"Lucu sekali dia," gumamnya.
Hingga sekitar 30 menit kemudian, Jesyca telah menyelesaikan makannya. Dia mengusap perutnya yang telah merasa kenyang.
"Ah, kenyangnya," ucap Jesyca, dia kembali menatap ke arah pria tampan yang tadi membuat dia penasaran.
"Dia makan sendirian?" gumamnya. "aku pikir dia janjian sama orang lain."
Jesyca kemudian melihat jam di tangannya, sudah hampir jam 12 siang. "Aku bayar dulu deh, terus pulang."
Jesyca kemudian membawa barang belanjaannya menuju kasir. "Mbak bayar ya," ucap Jesyca sambil menyerahkan kartu kredit milik Arron.
"Baik, tunggu sebentar."
Jesyca menghela napasnya panjang, dia melihat ke sekelilingnya sambil menunggu proses p********n.
"Maaf Nona, kartunya ditolak," ujar si kasir.
"Apa, ditolak?" tanya Jesyca bingung. "apa mesin geseknya rusak, tadi aku udah pakai dan batas limitnya banyak banget loh, ratusan juta."
Sungguh Jesyca bingung, jelas-jelas tadi masih bisa digunakan. "Masa tiba-tiba gak bisa, coba lagi Mbak!"
"Baik, tunggu sebentar."
Jesyca pun menatap cemas pada bagaimana kasir mencoba menggesek kartu kreditnya. "Maaf Nona, tetap tidak bisa, apa Nona mau pakai kartu lain?" tanya si kasir.
Jesyca menatap tak percaya pada kasir di depannya. "Tidak ada kartu lain," ucapnya. Dia kemudian memeriksa ke dalam tasnya, dia baru sadar tak ada dompet dalam tasnya dan dia baru ingat, dompetnya di atas kasur tadi.
Jesyca semakin bingung, dompet tak ada, apalagi uang cash, juga hanya ada 150 ribu saja.
"Berapa tagihannya Mbak?" tanya Jesyca cemas.
"Semuanya 495 ribu rupiah," jawab Jesyca.
"Apa, 500 ribu?" Mata Jesyca membulat sempurna, dia tidak percaya jika total tagihannya sebanyak itu.
500 ribu hanya kembali 5 ribu saja, tapi mengingat apa saja yang sudah dia makan tadi, rasanya wajar jika dia menghabiskan uang sebanyak itu, apalagi sepertinya ini restoran cukup bagus, masih untung tidak habis sampai jutaan rupiah, begitu pikir Jesyca.
"Bagaimana Mbak, mau dibayar cash saja atau ada kartu lain?" tanya si kasir sekali lagi.
Jesyca pun bingung. "Mbak, coba kartunya sekali lagi ya, aku benar-benar nggak bawa uang cash," ucap Jesyca memohon, dia benar-benar bingung saat ini.
Kasir itu pun terdiam, lalu dia setuju untuk mencoba menggesek kartu itu sekali lagi. Sayangnya, hasilnya tetap sama, kartu itu ditolak.
"Aduh bagaimana ya?" tanya Jesyca.
Sampai kemudian, pandangan Jesyca tertuju pada paper bag di bawah kakinya. Hingga tiba-tiba, sebuah ide yang mungkin bisa membantunya, muncul di dalam benak pikirannya.
"Maaf Mbak, kalau misal saya taruh jaminan dulu, bisa nggak?" tanya Jesyca. "saya akan pulang ambil uang."
Jessica melihat ke sekelilingnya, sungguh dia merasa malu. Kemudian, Jesyca mengambil satu paper bag miliknya dan meletakkannya di meja kasir.
"Ini, lihat ... sepatu ini harganya mahal, em tadi berapa ya? Kayaknya 10 sampai 15 juta, cek aja, ini asli!" ujar Jesyca.
"Bisa nggak aku titip ini dulu, nanti aku kembali lagi untuk bayar."
Kasir itu pun tampak berpikir, dan membuat raut wajah wanita itu terlihat bingung.
"Aduh bagaimana ya Non," ucap si kasir tampak bingung.
"Please Mbak, aku bener-bener nggak bawa uang cash. Aku juga nggak tahu kenapa kartunya tiba-tiba ditolak, ya please ...," pinta Jesyca sekali lagi.
"Kalau paspor saja bagaimana Non?" tanya si kasir.
"Apa, paspor?" Jesyca menghela napasnya, dirinya seorang WNI yang sering dikira turis yang sedang melancong.
"KTP saja aku gak bawa Mbak," ucap Jesyca bingung.
"Maka Anda tetap harus di sini sampai Anda bisa membayarnya, Anda bisa menelpon seseorang!"
"Mbak tapi--"
"Sudah, biar saya saja yang bayar!"
Jesyca terdiam, begitupun dengan si kasir, keduanya sama-sama menoleh ke arah samping kiri Jesyca.
Ada seorang pria tampan yang tadi diperhatikan oleh Jesyca berdiri di antara kasir dan Jesyca, membuat wanita itu terkejut.
"Bayar?" tanya Jesyca
"Ya, dengan total punyaku saja," ucap pria tampan itu sambil menyerahkan kartu miliknya.
"Baik Mas, tunggu sebentar."
Jesyca masih terdiam, memandang pada pria tampan berjas hitam di depannya, hingga pria itu langsung menoleh menatap padanya.
"Terima kasih," ucap Jesyca.
"Hm, sama-sama, apa sebelumnya kita saling kenal? Wajahmu tak asing."