"Tapi, tidak mudah begitu saja."
Jesyca menatap bingung pada Arron. "Ah, maksudnya, saya harus tes dan wawancara?" tanyanya.
"Ya, anggap saja seperti itu," ujar Arron. "kau menolak?"
Dengan cepat, Jesyca menggelengkan kepalanya. "Tidak, tentu. Tapi, saya belum pernah bekerja sebelumnya, saya baru saja lulus, jadi belum punya pengalaman, tapi aku janji, akan cepat belajar."
"Bagus, yang jelas, aku butuh bukti, bukan cuma janji!"
Jesyca langsung tersenyum dan menganggukkan kepalanya, dia menghela napasnya panjang, dia benar-benar lega rasanya. Tidak menyangka jika di balik musibah yang dia alami, akan ada jalan keluar untuk kehidupan dirinya selanjutnya.
"Tapi, tes dan wawancaranya kapan?" tanya Jesyca, dia harus bersiap-siap, bukan?
"Nanti, sekarang, kau tunggu di sini, aku ada meeting satu jam di bawah!" ujar Arron, pria itu mulai mengemasi berkas-berkasnya.
Melihat itu, Jesyca langsung berinisiatif untuk membantu. Namun, tangan Arron menahannya.
"Jangan sentuh sesuatu yang belum kau tahu," ujar Arron, nada suaranya terdengar begitu tegas membuat Jesyca tak mampu membantah.
"Ah begitu, maaf." Akhirnya, Jesyca pun menurunkan kembali tangannya.
Sebenarnya dia ingin sekali membantu sebagai tanda terima kasih pada pria penolongnya.
"Dengar, aku orangnya disiplin dan sangat teliti, juga aku sangat menyukai kebersihan. Jangan sampai kau terlihat kotor di depanku!"
"Oh ya, saya akan mengingatnya, Bos!"
Arron mengerutkan keningnya, dia kurang suka dengan panggilan bos dari wanita di depannya. "Panggil saja Tuan seperti sebelumnya!" ujar Arron.
"Baiklah, Tuan."
Setelah selesai membereskan barang-barangnya, Arron pun pergi meninggalkan Jesyca seorang diri di kamar itu.
Sementara Jesyca, wanita itu langsung berseru hingga melompat, dia tidak menyangka jika akan semudah itu dia mendapatkan pekerjaan, padahal sebelumnya dia ragu, karena bagaimanapun dia lulusan daerah, bukan Universitas ternama di ibu kota.
"Dari yang tadi aku baca di berkas punya Arron. Sepertinya itu perusahaan besar, aku seperti pernah mendengarnya," gumam Jesyca.
Jesyca memilih tak memikirkannya lagi, yang jelas, dia senang sekali. "Aku harus menabung yang banyak, supaya bisa ke London, cari Papa Dimas di sana."
Sementara itu, Arron tengah meeting bersama klien di sebuah vip room di restoran dalam Hotel itu. Di saat membaca dokumen, pikirannya justru teringat dengan wanita yang ditolongnya semalam.
Dia sudah meminta orang mencari tahu tentang wanita itu. Katanya, namanya Jesyca Amora, wanita yang dinikahi oleh Baron Barata, seseorang yang akan dia akuisisi Perusahaannya karena hutang Perusahaan itu.
Dia juga mendengar bagaimana pernikahan Jesyca dan Baron terjadi sampai wanita itu menjadi janda kurang dari satu jam pernikahannya. Ceritanya sama persis seperti yang Jesyca ceritakan padanya. Karena itulah, Arron percaya pada wanita itu.
"Tuan, bagaimana?"
Arron masih larut dengan pikirannya. Dia tak mendengar apa yang disampaikan oleh kliennya.
"Tuan, Tuan Arron ...!"
"Ah, apa?" Arron baru tersadar setelah seseorang menepuk bahunya, pria itu menghela napasnya, dia kemudian melanjutkan meeting itu.
Sekitar satu jam kemudian, Arron sudah kembali ke kamarnya. Pria itu mengerutkan keningnya saat tak mendapati Jesyca di kamar itu. Sampai kemudian, samar-samar dia mendengar suara seseorang bernyanyi dari arah balkon kamar.
Suara yang merdu, membawa langkah kaki Arron menghampirinya. Di sana, di lantai balkon, ada seorang wanita cantik, berambut pirang dengan mata kebiruan yang sedang bernyanyi.
Sejujurnya Arron heran, Jesyca terlihat seorang wanita blasteran, tetapi bahasa Indonesianya begitu kental, seperti gadis itu lama tinggal di Indonesia.
"Oh, Anda sudah pulang?" tanya Jesyca menyadarkan Arron dari pemikirannya.
"Ah ya, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Arron, dia tak suka dibuat penasaran.
Jesyca pun mengerutkan keningnya, dia penasaran apa yang akan ditanyakan oleh Arron padanya. "Tanya apa Tuan?"
"Kau begitu fasih bahasa Indonesiamu."
"Oh ...." Jesyca langsung mengerti ke mana arah pertanyaan dari calon Bosnya itu. "pasti Tuan heran kan? Kenapa bahasa Indonesia saya begitu fasih?"
Arron menganggukkan kepalanya, ternyata wanita itu cukup tanggap juga. 'Baguslah, semoga dia bisa bertahan menjadi asisten pribadiku,' ucap Arron di dalam hatinya.
"Tidak usah heran Tuan, ya mau bagaimana, saya lahir di sini, besar di sini dan orang tua saya orang sini, maksud saya, em ...."
Arron semakin tak mengerti. Wanita di depannya terlihat ragu untuk bercerita.
"Tuan bingung, kan?" tanya Jesyca.
"Ayah kandung saya orang Indonesia, dan Papa angkat saya orang London, tapi dia juga lama di Indonesia, istrinya juga orang Indonesia, saya bahkan belum pernah ke luar negeri," ujar Jesyca menjawab pertanyaan Arron.
"Ibumu?" tanya Arron lagi.
Jesyca terdiam, dia enggan menjawab, tetapi dia berpikir, mungkin saja ini bagian dari wawancara. "Em, ibu, ibu kandung saya ...." Jesyca tersenyum kecut, sungguh dia enggan bercerita tentang ibunya.
"Ya sudah, jika tidak mau cerita, tidak penting juga, cepat siap-siap, aku antar kau pulang!" ujar Arron, ia melihat ada kesedihan di sorot mata Jesyca saat wanita itu menyebut ibu kandungnya.
"Oh, baik Tuan." Kemudian Jesyca pun masuk ke dalam kamar.
Namun, dia bingung harus melakukan apa. "Maaf Tuan, apa yang harus saya siapkan, saya kan tinggal bawa badan, saya tidak mau bawa baju kurang bahan yang semalam," ujarnya.
"Ya sudah." Kemudian Arron pun segera menyiapkan beberapa berkas dan memasukannya ke dalam tasnya.
Dan saat itu, Jesyca langsung membantunya. "Kalau bantu ini, boleh kan?" tanya Jesyca sedikit takut, dia lupa jika calon bosnya itu melarangnya menyentuh berkas itu.
Arron menggangguk, kemudian pria itu menyeragkan tas kerjanya dan juga beberapa berkas pada Jesyca. "Bawa itu!"
Kemudian, pria itu berganti jas kerja, sebelum dia keluar dari kamar itu diikuti oleh Jesyca yang membawa tas kerja Arron dan memeluk tiga map berkas dengan logo Perusahaan Aksara Global.
***
"Turun!"
Kurang dari dua jam kemudian, mereka sudah sampai di tempat tujuan, Rumah Baron Batara.
"Ayo turun!" ujar Arron sekali lagi.
"Ah, iya." Jesyca terdiam, dia masih begitu bingung saat ini.
"Kenapa masih hanya diam saja?" tanya Arron, Jesyca yang duduk di depan di samping sopir, hanya diam menatap gerbang rumah besar di depannya.
"Maaf Tuan, tapi dari mana Anda tahu rumah ini?" Jesyca bahkan belum menyebut alamat rumah mana yang harus dia tuju.
"Bukan hal sulit, yang jelas kau bilang mau ambil barang-barangmu bukan?" tanya Arron dan Jesyca menganggukan kepalanya.
"Tapi, saya masih sedikit cemas, harusnya Anda mengantar saya pulang ke rumah Ibu tiri saya saja, di sana ada Bang Bima, mungkin, dia bisa membantu saya, em saya takut me--"
"Kemampuanmu menyelesaikan masalah di rumah ini, akan menjadi tes kerja pertamamu!" Arron dengan cepat memotong ucapan Jesyca, calon asisten pribadinya.
"Ah, begitu ...." Kini, hati Jesyca ragu, dia kembali menatap pada rumah besar di depannya. Dia bertanya-tanya, mampukah dia melawan tiga istri mendiang suaminya? Bagaimana jika mereka berniat jahat padanya lagi.
Jesyca menggelengkan kepalanya. 'Aku tidak boleh terperdaya dengan kebaikan mereka yang hanya pura-pura, termasuk Bu Ajeng,' ucapnya di dalam hati.
"Tapi, bagaimana nanti saya menggubungi Anda lagi?" tanya Jesyca, dia tak mau kehilangan kesempatan pekerjaan bagus di Aksara Global.
"Aku ada meeting, setelah selesai, aku akan menjemputmu, di sini!"
Mendengar itu, Jesyca pun merasa kelegaan, lalu dia membulatkan tekadnya untuk menyelesaikan urusannya dengan ketiga istri Pak Baron, dia benar-benar ingin memulai lembaran baru di hidupnya, memulai pekerjaannya agar dia bisa cepat menabung untuk pergi ke London, demi bertemu Papa Dimas lagi.
"Ah, ya kalau begitu, saya permisi dulu Tuan." Setelah menarik napasnya panjang, Jesyca memutuskan untuk memberanikan diri keluar dari mobil MWB hitam itu.
Arron menyipitkan matanya, menatap Jesyca yang tampak ragu masuk ke dalam rumah itu.
"Bagaimana Tuan?" tanya Sopir Arron.
"Kita pergi, satu jam lagi, baru ke sini," jawab Arron, pria itu harus menyelesaikan urusan pentingnya.
Dan di luar mobil hitam itu, Jesyca tersentak kaget saat suara mobil Arron tiba-tiba pergi meninggalkannya, jantungnya semakin berdebar-debar, khawatir jika ketiga istri Pak Baron akan menyulitkannya kembali, dia tidak mau berakhir seperti kejadian semalam.
"Aku harus melawan mereka," ucap Jesyca dengan yakin, lalu dia segera menghampiri pos satpam untuk minta dibukakan gerbang.
Dan setelah mendapatkan izin, wanita itu dengan mantap melangkahkan kakinya menuju teras rumah yang cukup jauh dari gerbang utama.
Sampailah kaki Jesyca di depan rumah besar Pak Baron, dia langsung menghentikan langkah kakinya yang baru saja naik ke teras, saat tiba-tiba satu tas cukup besar dilempar ke arahnya.
"Sekarang kau pergi dari rumah ini dan jangan berharap akan warisan sepeserpun dari Mas Baron!" seru Sista, istri kedua Pak Baron.
"Pergi dari sini dasar wanita perbawa sial!" seru Risa, sang istri ketiga.
'Baguslah jika mereka langsung mengusirku, jadi aku tak perlu repot-repot berdebat, siapa juga yang mau warisan,' batin Jesyca.
Namun, sebelum membawa tas pakaiannya, dia memilih memeriksa isinya, takut ada yang hilang.
Benar saja, mata Jesyca langsung membulat saat tak mendapati benda yang sangat penting baginya.