Setelah ditolak dengan sebuah silogisme. Lalu membuatnya nyaman tanpa ada status yang jelas selain sahabat. Sekarang, dibuat patah ketika mengetahui Davin menyukai orang lain. Hatinya begitu menjerit seperti terkena sayatan berpuluh-puluh deraian. Air matanya keluar yang disembunyikan dari balik rambutnya.
Sunyi. Hatinya sunyi sekaligus perih. Kehilangan sosok lelaki yang dicintainya lebih tertarik pada siswi baru. Seorang gadis yang baru saja masuk di area kekuasaannya.
“Tha, sabar. Suatu saat lo akan ketemu sama orang yang tepat. Sekarang, cukup fokus menyelesaikan sekolah. Walaupun, harus banyak drama sama kepala sekolah dan BK. Setidaknya, banyak cerita yang menyenangkan selama SMA.”
Pricilla mengambil pensil alis lalu menebalkan gambaran alis yang sebelumnya telah ada. Agnetha yang memang duduk di sebelahnya pun merasa kesal. Tidak terima hatinya yang sedang rapuh didiamkan saja. “Ealah, sia teh kurang ajar!” lirih Agnetha sembari mengikat rambutnya.
Pricilla yang terlalu sibuk dengan alisnya pun tidak menghiraukan ucapan sahabatnya. Dia memilih fokus dengan alis yang belum tergambar dengan sempurna. “Dav, lu sendiri sudah ketemu sama si siswi baru?” tanya Pricilla sembari mengemas peralatan make-up ke dalam tasnya kembali.
Agbetha pun membelalakkan mata ke arah Pricilla. Hatinya semakin tersayat kala sahabatnya menyebut siswi baru. Apalagi, menanyakannya secara langsung pada Davin. Mungkin, memang ini rasa yang harus diterima kala mencintai sahabatnya sendiri. Tapi, apa yang salah dengan rasa itu? Bukankah rasa cinta ini hadir dengan sendirinya? Agnetha pun tidak akan menyangka dan mengira bahwa dirinya akan mencintai Davin.
Rasa di dalam hati Agnetha begitu hambar. Bahkan terdengar sunyi tanpa suara yang bersua. Bahkan, relung hatinya sendiri ikut terhanyut dalam kesunyian. Tangis dalam hati yang dicoba untuk ditahan. Sampai berakibat pada d**a yang terlihat sesak.
Agnetha berdiri lalu pergi keluar kelas. Berdiri di teras sembari memandangi penjuru sekolah. Melihat gurunya yang sudah sampai pada tangga, Agnetha buru-buru masuk kembali. Walau, hatinya terasa begitu perih.
“Tha, dari mana?” tanya Pricilla.
Agnetha memilih diam. Sama sekali tidak menggubris pertanyaan dari sahabatnya. Berbalik badan untuk mengambil buku tulis dan paket serta alat tulis yang dibutuhkan hari ini. Mencoba tenang dan tidak membawa perasaannya yang hancur di kegiatan sekolahnya. Agar bisa mengikuti pembelajaran dengan baik dan tetap fokus terhadap materi seperti biasanya.
Guru yang mengajar di kelasnya hanya masuk selama beberapa detik saja. Memberikan tugas yang harus dikerjakan lalu pergi kembali. Katanya, ada tugas dinas di luar sekolah. Suatu hal yang membahagiakan bagi anak kelas. Bukan mengerjakan tugas malah mengubah kelas menjadi sebuah pasar tanpa barang dagangan.
“Gue mau ke kelas sebelah.” Davin pergi meninggalkan kelas. Hanya meninggalkan pesan itu kepada seluruh isi kelas. Bagaimana tidak menyayat hati seorang Agnetha Larasati.
Baru saja melangkah sampai depan pintu. Davin membalikkan badan sembari mengatakan beberapa kata lanjutan. “Agnetha, tugasnya nanti gue nyontek punya lo ya!”
Agnetha memilih diam. Menunduk menyimpan wajahnya yang memucat tak bersemangat. Kakinya berdiri untuk membenarkan rok yang tidak nyaman sedikit naik. Melihat Pricilla yang telah tidak ada di tempat. Entah kapan dirinya pergi ke meja sebelah. Lebih tepatnya, duduk bersama Anara. Mereka asyik bernyanyi ria lagu-lagu kesukaannya. Tak lama kemudian, di meja itu terdapat Anders, Kim, dan Raynar. Mereka tertawa bahagia sembari bercanda gurau.
“Tha, mending lo sama gue.” Anders menatap Agnetha yang masih terlihat sayu.
Agnetha terdiam. Tiba-tiba Raynar mendekat ke arahnya. Meraih tangan Agnetha agar bergabung dengan mereka. Sebuah hubungan persahabatan tetap harus berjalan. Tidak bisa terputuskan hanya sebuah perasaan yang rapuh akibat cinta. Agnetha duduk di samping Anara.
“Tha, biasanya lo itu paling t***l. Terus, kenapa sekarang malah mellow kaya gini? Gak asyik lo,” kata Anara.
“Kalian tahu enggak? Kelas ini ramainya melebihi pasar. Anak-anak pada main gila-gilaan. Kalian nyanyi-nyanyi. Lihat, di depan mereka asyik menari tradisional dengan kocaknya. Tapi, solidaritas kalian itu rendah! Gue ... Gue butuh rangkulan kalian. Apalagi, Pris, lo duduk sama gue. Tapi, lo malah ninggalin gue yang lagi patah hati. Gue cuman butuh pendengar.”
Agnetha berdiri keluar dari kelas. Tapi, tepat di depan kelas ada Davin yang sedang berdiri menatapnya. Agnetha menatap Davin sekilas lalu menyembunyikan air matanya. Melangkah menuruni tangga yang memang dekat dengan kelas. Mencari taman sekolah yang sepi untuk melampiaskan kesedihannya.
Davin hanya melihat Agnetha pergi menjauh. Dia beranjak bergabung dengan temannya yang lain. Berdiri di belakang Anara dengan senyuman yang mekar indah di bibirnya.
“Gue tahu nama siswi baru itu, namanya ... “
“Davin! Gara-gara lo pokoknya. Agnetha marah sama kita semua. Padahal, yang salah itu lo,” kata Anara sembari menuliskan namanya sendiri di salah satu halaman terakhir buku tulisnya.
“Marah? Kenapa?” tanya Davin dengan suara yang parau.
“Lo kan tahu, Agnetha itu bu-cin banget sama lo. Terus, pertama lo tolak dia waktu itu. Kemudian, lo sok baik sama Agnetha. Itu buat dia ke-PD-an. Terus, sekarang lo malah bahas-bahas anak baru itu. Ya, jelaslah dia marah. Parahnya, dia marah ke lo tapi kita ikut jadi pelampiasan,” kata Anara tanpa melihat Davin.
“Oke.”
Davin pergi keluar lagi dari kelas. Tepat di depan kelas, dia melihat Agnetha yang sedang duduk di taman. Sebuah taman yang ada di depan ruang kelas angkatan kelas sebelas.
“Eh, gue kek orang kaga punya kerjaan. Tugas masih belum dikerjakan malah asyik coret-coret buku,” Anara menepuk jidatnya. Matanya beralih dari buku ke arah pintu. Menatap punggung Davin yang hanya berhenti di sana tanpa ada pergerakan. “Aelah, lo itu aslinya suka juga sama Agnetha. Cuman ... lo enggak sadar,” lirih Anara.
Mereka mengerjakan tugas dari guru dengan cepat. Bahkan seakan pelajar awam yang menjawab secara sembarangan tanpa memikirkan secara logika. Tapi, ya, bagaimana lagi? Mereka memang anak didik yang cerdas, tapi tidak dilirik sama sekali oleh gurunya.
“Gila, mereka berdua ngapain. Lama banget. Mana bentar lagi udah ganti pelajaran,” kata Pricilla dengan kekuatan jarinya yang tiada tandingannya. Menuliskan jawaban-jawaban sepanjang rel kereta api dalam waktu yang cukup singkat.
“Biarlah. Mungkin, sebentar lagi pacaran,” celetuk Anders tanpa menatap siapa pun. Matanya terfokus pada buku yang beberapa detik lagi akan melayang ke meja guru.
Seakan sebuah n****+ yang banyak menemui plot twist, hari ini kelas mereka mendapati itu. Di mana, guru yang akan mengajar di jam selanjutnya sedang mengikuti rapat. Betapa kecewanya mereka yang mati-matian menulis selama beberapa menit saja agar tidak mengganggu pelajaran jam berikutnya. Tapi, rasa kecewa itu tidak sebanding rasa bahagia menikmati jam kosong berturut-turut.
Tidak lama kemudian, ruang kelas yang sempat teduh kini kembali gaduh. Meja-meja yang semula rapi kini jauh lebih rapi. Di tata sedemikian rupa sampai menjelma menjadi panggung untuk konser. Mereka ber-drama selayaknya lapangan yang digunakan untuk konser dangdut. Alat-alat kebersihan yang tiba-tiba diubah menjadi alat musik dan taplak meja diubah menjadi kostum artis kelas kakap.
Davin dan Agnetha kembali ke kelas. Membuka pintu secara perlahan, takut jika ada guru yang sudah duduk manis mengajar di kelas. Sedangkan, siswa-siswi yang ada di dalam kelas takut jika ada guru yang akan masuk ke dalam kelas.
“Anjir!”