Davin terkejut melihat kondisi kelas yang tidak terkondisikan. Melangkah dengan tatapan rasa heran. Hantu apa yang sudah merasuki seisi kelas?
Davin dan Agnetha tersadar, belum mengerjakan tugas yang diberikan gurunya tadi. Mereka bergegas mengambil satu buku yang ada di meja guru. Secepat kereta api, mereka menyalin jawaban. Lima menit kemudian, mereka telah selesai menyalin tugas milik salah satu temannya.
“Dav, lo kan terakhir, jadi lo yang mengumpulkan ke meja guru,” kata salah satu siswa yang sedang asyik memainkan kemoceng.
“Lah, terus peran sebagai ketua kelas apa? Malah asyik ikut main,” sahut Davin sembari menumpuk bukunya.
“Davin, sudahlah. Kalau kamu tidak mau, biarkan aku saja,” sahut Agnetha sembari meraih satu tumpukan buku tulis di atas meja. Membawa buku-buku itu untuk didekap agar tidak berjatuhan.
Anara yang memang sedang berdiri di dekat meja guru pun berdehem mengganggu kedua sahabatnya. “Asyik nih, sudah mulai aku-kamu,” godanya.
“Jadi ... kalian pacaran?” tanya Anara dengan suara yang sengaja dikeraskan.
Pricilla dan teman-temannya menatap ke arah depan. Kelas yang semula ramai pun hening. Mereka menatap ke arah Agnetha yang terdiam kikuk di samping Davin. Sedangkan, Davin tersenyum-senyum manis seperti biasa.
“Gak,” jawab Agnetha lalu pergi meninggalkan kelas.
Sepuluh menit kemudian, Anders berjalan ke depan kelas. Berdiri menghadap teman-temannya yang masih sibuk sendiri-sendiri. “Mejanya di rapikan dulu!” Anders menunjuk beberapa siswa yang ada di depannya.
Kruk ...
Anders memegangi perutnya yang terasa lapar. Menunjuk dua orang yang sudah biasa jajan di luar pada saat jam kosong. “Kalian berdua ikut gue,” ucapnya.
Mereka bertiga berjalan ke arah depan. Keluar dari gerbang yang kebetulan terbuka lebar tanpa ada satpam yang berjaga. Mungkin, satpam di sekolahnya sedang ke kamar mandi.
Menyusuri jalanan mencari makan. Sampailah di perempatan jalan dekat sekolah. Terdapat penjual mi ayam sedang berhenti. Jadi, penjual itu berjualan secara keliling dengan gerobak warna biru miliknya.
“Pak, ikut saya depan sekolah,” ucap Anders sembari menunjuk jalan ke arah sekolahnya.
“Ini kan masih jam sekolah,” lirihnya.
*Pak, saya pesan 32 mangkuk,” sahut Anders dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. “Bagaimana, Pak?” sambungnya.
Bapak penjual bakso pun menyanggupi pesanan dari Anders. Walaupun, agak ketar-ketir kalau ketahuan guru-guru SMA Go Publik. Anehnya, siang itu tidak ada seorang guru pun yang mengetahui hal itu. Mungkin, mereka terlalu asyik dengan rapat yang belum usai.
Anders membawa penjual mi ayam itu sampai di halaman samping sekolah. Kebetulan, di samping sekolah ada lapangan milik warga sekitar. Mereka satu kelas bekerja sama agar bisa makan lezat di siang itu. Anders bertugas menerima mangkok yang diulurkan dari bawah. Anders duduk dengan tenang di atas tembok sekolah. Lalu memberikannya kepada orang yang ada di bawahnya. Begitu sampai berakhir pada mangkok ke tiga puluh dua.
Setelah selesai, mereka makan bersama di belakang kelas. Duduk lesehan tanpa alas, menikmati hangatnya mi ayam. Mereka dengan santai menikmati makanan tanpa ada rasa khawatir. Lima menit kemudian, ada seorang guru yang masuk ke kelas. Terkejut dengan ruangan yang rapi dan bersih.
“Saking rapinya, murid sampai tidak mau menempati tempat duduknya,” lirihnya sembari mendekat ke arah siswa-siswi yang masih tenang menyantap mi ayam.
“Astaga, kalian ini!” teriak seorang guru yang memakai kacamata dan kerudung warna biru. Memakai batik berwarna senada dengan kerudungnya. Batik bergambar indahnya bunga-bunga.
“Eh, Ibu ... Bu, mau ikut makan gak?” tanya Anders dengan santai.
Anders memberikan satu mangkok kepada gurunya. Seporsi mi ayam yang seharusnya disantap Agnetha. “Tapi, maaf ya, Bu ... minumnya pakai air minum Ibu sendiri,” sambung Anders.
Guru itu pun menerima mangkok yang diberikan oleh Anders. Berjalan ke arah meja guru sembari menggelengkan kepalanya. Duduk dengan tenang menatap mi ayam yang menggoda. Tapi, sayang dirinya telah menikmati bekal makan dari rumah.
“Kalian beli mi ayam di mana?” tanyanya sembari memainkan ponselnya.
“Itu Bu di Bapak-bapak penjual mi ayam,” jawab Anara dengan jujur.
“Ya, tahu. Masa beli mi ayam di tukang sate. Maksud saya tempatnya di mana?” jawabnya sembari menatap ke arah belakang kelas. Tidak lama kemudian, guru itu berjalan ke arah siswa dan siswinya yang sedang asyik makan siang.
Tidak ada suara orang atau suara ketukan pintu. Tiba-tiba ada suara ganggang pintu terbuka. Muncul sosok Agnetha yang berjalan memasuki pintu dengan santainya. Bahkan, tidak menyadari ada guru yang sedang duduk di kursi paling belakang.
“Tumben hening. Tadi saja persis sama pasar,” katanya.
“Tha, dari mana?” tanya guru itu dengan ramah.
“Eh, Bu Santi ... saya baru saja dari ruang guru. Mengumpulkan tugas Bahasa Indonesia,” jawab Agnetha sembari menunduk. Tangannya meremas rok karena bingung dan malu telah mengumbar aib kelasnya sendiri.
“Bagus. Nah, itu mi ayam kamu ada di meja Ibu. Kamu makan dulu, biar nanti kuat untuk bimbingan konseling,” ujarnya.
Glek
Suara yang tidak asing. Raynar merasa begah akibat terlalu kenyang menyantap mi ayam. Bu Santi pun hanya bisa menepuk jidat akibat ulah siswanya. “Tha, makan dulu daripada mubazir. Tadinya dikasih ke Ibu, tapi saya yakin itu hak kamu, makanya tidak saya makan.”
Agnetha tersenyum lalu mengambil mangkok yang ada di meja gurunya. Belum jadi melangkah ke arah teman-temannya. “Eh, Bu Agnetha izin buat makan di sini saja, ya,” katanya sembari tersenyum yang paling manis.
Bu Santi mengangguk. Agnetha pun duduk lalu menyantap makanannya. Selang sepuluh menit, mereka telah selesai menghabiskan mi ayamnya. Hahya tinggal wajah yang memerah akibat kepedasan.
“Oke, langsung saja ya. Pertama kalian menyalahi aturan. Siapa yang menyuruh kalian makan di dalam kelas saat jam pelajaran?” tanya Bu Santi yang berdiri di depan kelas.
“Loh, bukannya Ibu tadi diam waktu kami makan?” tanya Pricilla sembari mengusap bibirnya dengan tisu.
“Memang saya tadi diam. Sebab, tidak pantas maki-maki di depan makanan. Itu bukan adab yang baik ketika menikmati hidangan. Tapi, aturan tetap aturan. Kalian harus bertanggung jawab dengan risiko yang harus diterima.”
“Astaga! Tahu begini, saya mendingan tidak makan waktu Ibu menawari mi ayam kepada saya,” ucap Agnetha sembari meletakkan garpu ke mangkoknya.
“Hukumannya, cuci mangkok, sendok, dan garpu yang kalian gunakan untuk makan.”
Seisi kelas buru-buru beranjak lalu keluar kelas. Mencari keran air untuk melaksanakan perintah dari gurunya. Setelah bersih, mereka meletakkan mangkok dan sendok di depan kelas. Tujuannya, agar tidak membasahi lantai kelas dan cepat kering.
“Baik, terima kasih sudah membantu penjual mi ayam dalam membersihkan mangkok dan memberikan Beliau uang untuk menafkahi keluarganya. Sekarang, saya minta ke kalian untuk membuat sebuah video yang mencerminkan sikap toleransi dan saling menghargai. Tugas ini dikerjakan dalam jangka waktu satu minggu.”
Bu Santi mengambil barang-barangnya yang tadi diletakkan di atas meja. “Bu, jangan masukkan kami ke buku haram itu, ya?” ucap salah satu siswi di kelas yang belum pernah menikmati indahnya ruang BK.
“Nyanyikan saja lagunya Yura Yunita yang baru-baru saja rilis,” ucapnya dengan tersenyum santai.
Seisi kepala Agnetha memutar. Memikirkan judul-judul lagu milik Yura Yunita yang pernah didengarkan. Tapi, judul apa yang dimaksud guru itu?
“Siap, Bu! Tenang, tenang, tenang,” sahut Anara dengan menyanyikan sebait lagu yang dimaksud.
Tidak lama kemudian, ada seorang guru yang berdiri di ambang pintu. Wajahnya yang menyeramkan membuat seisi kelas kalang kabut. Teringat tumpukan mangkok bercap ayam jago masih berada di luar sana. “Kalian jualan mi ayam?” katanya dengan nada dan wajah yang datar, “atau baru selesai menyantap mi ayam?”
Seisi kelas diam. Satu pun tidak ada yang berani membuka mulut. Hanya orang yang sedikit polos yang akan berani menjawab dengan jujur. Benar saja, Agnetha melakukan itu. “Iya, Bu. Kami sekelas baru saja menikmati mi ayam.”
“Kalian ...!”