Korban Ghosting

1132 Words
Keesokan harinya, Pricilla telah siap untuk berangkat ke sekolah. Duduk di meja makan bersama Alya. Menikmati sarapan walau hanya dengan nasi dan kecap harga lima ratusan, serta tanpa ada s**u yang menemani. Tentu saja, hanya air putih yang membantu melegakan nasi yang lama-lama membuatnya terasa seret. “Mama berangkat,” kata Alya sembari menggendong tas berwarna hijau yang diberi tetangga tahun lalu. Tas yang khas dengan hampers lebaran. “Mama mah kang gosthing!” teriak Pricilla sembari menatap tajam ke arah Alya. “Prissy baru nyaman menikmati makanan. Mama malah ninggalin,” sambungnya. “Ya wis nik ngono, goleken penyembuh luka mbek rakyate Pak Ganjar,” (Ya, sudah kalau begitu, cari saja penyembuh luka sama rakyatnya Pak Ganjar) ujar Alya membenarkan roknya yang sedikit kusut akibat duduk. “Asyik, Mama sejak kapan jadi korban si anu?” tanya Pricilla sembari melirik ke arah ibunya berdiri. “Mana tahu-tahu bisa Bahasa Jawa,” sambungnya. Alya tertawa renyah. Kemudian, melangkah pergi meninggalkan Pricilla yang masih sibuk dengan nasi kecap. Baru saja kaki Alya keluar dari pintu, Pricilla teriak dua kali memanggil namanya. Otomatis, sebagai seorang ibu, Alya akan menengok ke belakang bertanya pada anaknya tentang apa yang akan dikatakannya. Tapi, beda. Alya justru terdiam sembari menunggu Pricilla mendekat ke arahnya. “Mana uang saku Prissy, Ma?” Sesuai dengan dugaannya. Anak semata wayangnya menagih uang saku. Rutinitas setiap paginya. Membuka tas hijau dari perekatnya. Mengambil dompet kecil khas bonus dari toko emas. Tapi, lagi-lagi bukan Alya yang datang ke toko emas. Melainkan dompet bekas yang diberikan oleh majikannya. “Iki lho simbokmu lagi mletre,” ujarnya sembari memberikan uang kertas berwarna ungu. “Mama masih waras, kan? Kenapa bisa Bahasa Jawa, Mama hutang cerita!” teriak Pricilla berlari dari dalam rumah. Berangkat ke sekolah dengan jalan kaki sampai gang depan. Berdiri di tepi jalan untuk menunggu angkutan umum. Angkutan berwarna merah yang akan mengantarnya ke sekolah. Tapi, seperti mendapatkan hoki dari Tuhan, Pricilla bertemu dengan Kim yang mengendarai mobilnya berhenti tepat di depannya. Pricilla menarik pintu lalu masuk tanpa ada aba-aba atau tawaran sebelumnya. Menyelonong masuk ke mobil orang. Duduk di samping Kim sembari menatap lurus ke depan. “Astaga lu lagi. Gue kira tadi Mbak-mbak Indogrosir yang nyamar jadi anak SMA.” Kim menepuk dahinya. Memasang sabuk pengaman lalu mulai menyalakan mesin mobil. Melaju dengan kecepatan rendah demi keselamatan berdua. “Tumben, lambat,” kata Pricilla yang sibuk dengan pensil alis. Menggambar alis dengan baik dan hati-hati, walau kenyataannya antara kanan dan kiri tidak selaras. “Gue paham lu lagi pakai alis. Kalau gue gas-gasan, ya, siap-siap bakal kena omel,” jawab Kim yang dengan santainya menambah kecepatan laju mobil. “Anjir! Napa lu cepetin,” teriak Pricilla yang merasa kesal. Akibat ulah Kim, pensil alis menyasar sampai bawah kelopak matanya. Menunduk lalu mendongak sekilas, mengambil tisu yang menggantung di tempatnya. Mengambilnya lalu dibasahi dengan air mineral milik Kim. “Masa bodoh, mobil lu jadi banjir,” sambungnya. Pricilla menghapus goresan pensi alis yang melebar jauh. Membenarkan sampai pada porsi yang pas. Tidak lama kemudian, mereka telah sampai di gerbang sekolah. “Lu turun sini. Gue ogah jadi bahan pembicaraan teman-teman,” kata Kim sembari menghentikan mobilnya. Satpam sekolah yang dengan santai berdiri di samping kanan mobil hanya tersenyum kikuk. Pricilla menatap ke arah Kim berwajah datar tanpa ekspresi. Saat itu juga cuaca langit tiba-tiba mendung. “Nanti kehujanan lalu sakit,” jawab Pricilla dengan mimik yang dibuat sedih. “Tenang, itu hanya mendung tanpa udan,” katanya dengan santai. “Hilih, tiru-tiru.” Pricilla melepas sabuk pengaman. “Loh memang itu lagi membumi, lu aja mainnya kurang jauh!” Kim melajukan mobilnya ke arah parkir sekolah. Tentu saja setelah Pricilla keluar dari mobilnya. Pricilla berjalan ke arah kelasnya. Melewati lorong-lorong sekolah agar bisa sampai di ruang kelasnya. Di ujung lorong ada seseorang yang memakai khas pegawai negeri sedang berdiri. Tatapannya tajam menyorot ke arahnya yang baru saja menginjakkan kaki di tengah lorong. Guru itu mengangkat tangannya dengan menunjuk ke arah Pricilla. Takut? Tidak, justru Pricilla malah menantang guru itu. Seakan-akan ingin mengajaknya duel tinju. “Heh kamu!” teriaknya dengan suara yang menggelegar. Saking memaksa tenggorokannya untuk mengeluarkan suara yang begitu keras dan panjang, sampai-sampai peniti hijabnya runtuh terjatuh entah di mana. Tangannya yang semula menunjuk-nunjuk tanpa dosa itu bergegas meraih hijab warna kuning sebelum melayang tertiup angin. Pricilla berjalan ke arah gurunya yang sedang mencoba mencari peniti di lantai. “Ibu butuh bantuan? Makanya, Ibu jangan suka marah-marah. Kalau sudah seperti ini, Ibu mau apa?” kata Pricilla dengan tertawa. Guru itu beranjak berdiri. “Kurang ajar kamu! Alismu itu terlalu tebal. Kamu mau seolah atau jadi pengantin?” “Duh, Ibu saja belum pernah merasakan jadi seorang pengantin.” Pricilla lari meninggalkan gurunya dengan pipi yang mulai merah padam. Guru itu hanya bisa menatap muridnya yang tengah berlari dengan mengelus d**a. “Ujian apa ini? Tidak pernah dighosting sama pasangan, eh, sekalinya dighosting malah sama murid sendiri. Dasar murid tak tahu diuntung!” Gadis dengan rambut yang diberi jepit warna putih di samping kanan itu duduk di tempat paling pojok dekat jendela. Melepas jaket denimnya lalu merenggangkan kedua tangannya. “Pris, gue harus bagaimana?” tanya Agnetha yang baru saja sampai di kelas. Duduk di sebelah Pricilla sembari mengucek matanya. “Ape?” sahut Pricilla tanpa menatap temannya. “Davin ... ternyata Davin cuman mau manfaatin doang. Dia cuman bikin nyaman, sekarang pergi.” Agnetha melempar tas ke bangku. “Loh, selama ini Davin baik ke lo, bukan berarti dia naruh hati juga ke lo. Tha, sadar! Lo sama Davin itu temenan. Kalau lo nuntut buat Davin suka sama lo, artinya lo nyari sakit sendiri.” Agnetha menunduk. Memukul meja dengan sangat keras. Bahkan, sampai tangannya terluka. Tulangnya sampai terasa nyeri. Tapi, dia merasakan puas untuk melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya. “Jadi, lo bela Davin?” “Gue enggak membela siapa-siapa. Tapi, kita harus tahu sebatas apa hubungan di antara kita bertujuh. Andai saja, lo sama Davin serius jadian. Terus, kalian putus. Setelahnya, pasti akan runtuh persahabatan kita.” “Dahlah, lo mah enggak ngerti jadi korban ghosting,” ucap Agnetha sembari mengusap air mata. “Ya, iya Davin nolak gue. Dia enggak menaruh rasa sama gue. Tapi, sikap dia ke gue pas chattingan benar-benar bukan serasa teman. Begitu perhatian sampai gue terhanyut dalam rasa nyaman. Terus sekarang? Dia malah menyukai perempuan lain terus ninggalin gue.” Agnetha membuka tas untuk mengambil kotak makan. Tidak lama kemudian, Davin dan Kim masuk ke ruang kelas secara bersamaan. Agnetha menghapus air matanya dengan kilat dan berusaha untuk bersikap biasa saja. Walau sebenarnya, hatinya begitu rapuh dan hancur. Tambah lagi, Davin dan Kim sedang membicarakan anak baru di kelas sebelah. Seorang siswi yang menjadi incaran Davin saat ini. “Gak usah pura-pura baik-baik saja. Kalau lagi nangis, ya ... udah nangis aja.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD