Pricilla melihat sebuah jam dinding di ruang tamu rumah Kim sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Dia pamit untuk kembali. Dia diantarkan oleh Kim sampai di depan rumah. Pricilla menawarkan kepada Kim untuk mampir terlebih dahulu, namun ditolak. Akhirnya, Pricilla hanya bisa melihat mobil Kim yang menghilang dari halaman rumah. Melangkah ke depan pintu, mencari kunci rumah yang ada di bawah keset.
Benar saja, kondisi rumah sudah kosong. Anara yang pergi entah ke mana. Sudah beberapa bulan ini Pricilla tinggal seorang diri. Ibunya pergi mencari pundi-pundi rupiah di kota orang agar bisa melunasi utang dan mencapai kesejahteraan.
Pricilla duduk di ruang tamu ditemani segelas air teh hangat. Dia mengambil ponsel untuk menanyakan keberadaan Anara. Ternyata, dia sedang berada di sebuah kedai kopi bersama dengan Agnetha. Tidak ada masalah akan hal itu, Pricilla juga tidak ada rasa cemburu atau apa. Dia hanya merasa memiliki tanggung jawab atas Anara.
Beberapa waktu kemudian, Pricilla mendengar sebuah panggilan dari luar rumah. Dia membuka pintu depan, melihat ada ibu RT yang berdiri di sana dengan tersenyum ramah.
“Pris, saya ada makanan. Semoga kamu suka, ya,” katanya sembari mengulurkan satu wadah makanan berwarna biru muda.
“Terima kasih, Bu. Nanti saya kembalikan lagi wadahnya,” jawab Pricilla menerima wadah tersebut. Dia menawarkan kepada ibu RT untuk masuk ke rumah. Namun, beliau menolak dengan alasan akan pergi ke suatu tempat jadi tidak bisa mampir.
Pricilla masuk kembali ke rumah setelah ibu RT pulang. Dia memindahkan makanan ke dalam mangkuk milik sendiri. Kemudian mencuci wadah milik ibu RT, disimpan di sebuah rak. Kemudian, duduk di kamarnya untuk mencari kenyamanan. Dia memainkan ponsel untuk melihat video, mencari hiburan sampai akhirnya Anara kembali ke rumah.
“Pris, aku mau pulang nanti sore.”
“Oke, Ra. Makan siang dulu, yuk,” kata Pricilla beranjak dari kasur.
Kedua perempuan itu menikmati makanan dari ibu RT di ruang makan. Walaupun hanya sayur jengkol, tapi mereka menghargainya. Apalagi, Pricilla yang tahu betapa sulitnya mencari makanan. Jadi, tidak ada di dalam hidupnya untuk menjelekkan makanan apa pun, sekalipun dia tidak menyukainya.
Waktu telah berjalan dengan cepat. Anara telah bersiap untuk pulang ke rumah. Dia pergi dengan dijemput oleh sopir pribadinya. Pricilla hanya bisa mengantarkannya sampai halaman rumah saja. Setelahnya, dia hanya bisa melihat mobil itu semakin menjauh dari halaman rumah.
Rasanya, Pricilla ingin pergi dari rumah itu. Dia ingin menyusul ibunya di kota orang, tapi dia sadar masih ada tanggungan yang wajib diselesaikan. Perihal hukuman dari sekolah dan ujian nasional yang tinggal beberapa waktu lagi.
“Nah, mana uang untuk bayar utang!” teriak seorang pria dari halaman rumah Pricilla.
“Aduh, Pak, tolong jangan teriak-teriak. Tunggu di sini.” Pricilla melenggang masuk ke rumah. Dia mengambil uang yang sudah disiapkan sejak beberapa waktu lalu. Walaupun, dia harus mendesak ibunya agar segera mendapatkan uang itu. Mau bagaimana lagi, hanya ibunya yang bisa dijadikan tempat untuk berpangku.
“Sekarang, silakan pergi.” Pricilla menyerahkan amplop cokelat berisi uang lima juta, sesuai dengan jumlah angsuran yang wajib dibayarkan setiap bulannya. Tidak lama, pria dengan jaket kulit itu pergi dari hadapan Pricilla. Gadis itu masuk ke rumah dengan napas yang lebih lega. Bukan karena apa, dia merasa tidak nyaman jika harus berhadapan dengan rentenir yang mencekiknya perlahan.
Sekitar pukul lima sore, Pricilla memutuskan untuk membuat sebuah kue. Dia ingin menghabiskan waktu untuk sesuatu yang bermanfaat. Paling tidak, dia bisa mencari tempat untuk bergantung selain ibunya, yaitu diri sendiri. Dia ingin memulai sesuatu yang bisa menghasilkan.
Selama dua jam berkutat dengan adonan, dia berhasil membuat kue putri salju dengan rasa yang nikmat. Tidak lupa, Pricilla memasukkan beberapa kue ke dalam wadah biru milik ibu RT. Rasanya, mengembalikan wadah dengan kosong tidak sopan. Sekitar pukul delapan malam, dia berangkat ke rumah ibu RT dengan perasaan bahagia.
“Assalamualaikum, Bu,” katanya sembari mengetuk pintu tiga kali.
Tidak lama kemudian, pintu terbuka dengan lebar. Pricilla melihat ibu RT yang tengah berdiri dengan senyuman manisnya. Dia mempersilakan Pricilla untuk masuk ke rumahnya yang terlihat luas dan megah. Namun, Pricilla memutuskan untuk tidak masuk ke rumah. Cukup di teras sembari memberikan wadah tersebut. Tidak lama, dia pamit untuk pulang ke rumah. Radanya, tidak etis jika berkunjung ke rumah orang lain di waktu malam hari dalam jangka waktu yang lumayan lama.
Dia berjalan kaki ke rumah. Melenggangkan kaki memasuki rumah dengan langkah yang tegap. Duduk di sebuah bangku yang ada di ruang tamu. Menatap sendu ke sudut ruangan, dia rindu dengan ibunya. Tapi, bagaimana caranya dia bisa berjumpa?
Beberapa waktu kemudian, Pricilla memutuskan untuk menelepon ibunya sejenak sebelum pergi menjemput mimpi. Tapi, sambungan telepon itu tidak terhubung dengan baik. Pricilla memilih pergi ke dapur menyiapkan barang jualan untuk hari esok. Dia bertekad untuk menjalankan usaha lagi, berjualan kue di sekolah. Tidak apa, setidaknya dia bisa mendapatkan uang tambahan. Sudah seharusnya dia memulai usaha kembali, supaya kelak dia sudah punya satu kunci kesuksesan.
“Alhamdulillah.” Pricilla menutup wadah kotak itu. Kemudian, dia mencuci kaki dan tangan, serta wajah.
Waktu sudah larut, dia memejamkan matanya. Dia menjemput mimpi di sebuah ruangan yang sudah ditempati selama beberapa tahun. Bedanya, dia harus menahan rasa rindu terhadap ibunya. Padahal, di dalam hati kecilnya Pricilla ingin menjalani kehidupan bersama ibunya.
Keesokan harinya, Pricilla berangkat ke sekolah dengan membawa satu kotak barang jualannya. Dia mampir ke kantin untuk menitipkan kue buatannya. Menurutnya, rasa dari kue itu sudah mendekati buatan ibunya. Dia hanya berharap makanan buatannya bisa disukai oleh banyak orang. Ah, rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk saat ini. Paling tidak, dia mendapatkan satu point utama dalam berusaha, yaitu disukai oleh orang lain. Setidaknya barang dagangannya sudah memiliki daya tarik tersendiri.
Pricilla bertemu dengan Anara yang sudah rapi dengan seragam putih abu-abu. Mereka berjalan ke kelas beriringan disertai tawa-canda. Pertemanan yang sudah jalan tiga tahun membuat keduanya tidak ada rasa sungkan untuk saling bergurau. Apalagi, dasarnya mereka sudah satu geng yang akrab. Duduk di bangku masing-masing sembari menunggu bel berbunyi.
“Eh, nanti kita lanjut buat bikin kode. Gue udah jenuh mikirin itu. Lebih baik kalau kita selesaikan segera.” Anders berdiri di depan Pricilla, kemudian melanjutkan satu langkah untuk sampai di mejanya.
Kode. Sebuah hukuman yang belum juga terselesaikan. Pricilla pun ingin sekali menyudahi hukuman tersebut. Sudah waktunya untuk fokus pada satu kegiatan yang lebih bermanfaat lagi untuk kehidupan di masa yang akan datang.
“Oke.” Anara menyetujui permintaan Anders dengan mengangkat tangan, jarinya membentuk ‘Oke’
“NDERS DI LUAR ADA .... ADA MASALAH!” teriak Raynar yang baru saja masuk kelas. Dia meletakkan tas hitam di salah satu meja, kemudian keluar dari kelas lagi. Seketika seisi kelas menjadi gaduh dan tidak teratur. Banyak siswa yang berlarian untuk melihat kejadian di luar sana.