Keluar Jalan

1055 Words
Pricilla ada sebuah misi yang harus segera diselesaikan. Ada rasa penasaran yang harus segera dituntaskan. Dia tidak ingin menyimpan rasa itu terlalu lama lagi, hati dan pikirannya sudah tidak bisa untuk diajak kerja sama lagi. Rasa yang menggebu untuk mengetahui mengenai Kim. Gadis itu menolak ajakan Anara untuk pergi jalan-jalan, bukan karena tidak menginginkannya. Namun, ada hal lain yang lebih berharga. Mengetahui penolakan dari Pricilla, Anara seakan marah. Dia pergi meninggalkan ruangan itu dengan langkah kaki yang terdengar keras. Gadis dengan gaun selutut berwarna biru muda itu duduk di bangku ruang tamu dengan menunduk. “Ra, maaf,” kata Pricilla ikut duduk di sebelah kanan Anara. “Besok kita pergi, berdua. Hari ini lebih baik kamu liburan sendiri. Menikmati waktu untuk sendiri. Sekali-kali kita butuh sendirian untuk bisa mencari apa yang sebenarnya kita butuhin.” “Pris, aku gak suka pergi sendiri.” “Aku tahu, tapi hal itu perlu, Ra.” Pricilla beranjak kembali ke kamar. Dia bersiap untuk pergi menjalankan misi di hari ini. Dia mengambil sebuah tas berwarna hitam, kemudian bergegas meninggalkan rumah. “Kalau pergi, pintu ditutup dan dikunci, ya,” kata Pricilla tersenyum menatap Anara yang masih menekuk wajah. “Ayolah, Ra, jangan marah. Kuncinya diletakkan di bawah keset saja, ya,” sambung Pricilla sembari melangkah keluar dari pintu. Anara masih terdiam di tempat melihat punggung Pricilla yang semakin menghilang. Dia beranjak ke kamar temannya untuk melanjutkan tidur. Rencananya untuk pergi jalan-jalan gagal karena tidak ada teman. Akan tetapi, dia teringat dengan Agnetha ketika memejamkan mata selama dua detik. Dia mengambil ponsel untuk mengirimkan pesan kepada Agnetha. Akhirnya, dia pergi juga dari rumah Pricilla. Di saat yang lain, Pricilla masih terpaku pada sebuah halte yang tidak jauh dari rumah. Dia masih menunggu bus yang belum muncul juga. Sebenarnya, dia merasa jengah di tempat yang sama selama lima menit. Beruntung, lima detik kemudian ada bus berhenti di sana. Dia menaiki kendaraan roda empat itu sampai depan kompleks perumahan Kim. Pricilla berjalan kaki selama kurang lebih dua ratus meter untuk sampai di depan rumah teman laki-lakinya itu. Dia mengetuk pintu tiga kali sembari mengucapkan salam. Tidak lama kemudian, ada seorang perempuan yang membukakan pintu. Pricilla masuk ke rumah dengan berjalan di belakang sang pemilik hunian. “Silakan duduk, saya panggilkan Kim dulu,” katanya dengan ramah. Perempuan yang sedang menaiki tangga itu adalah ibu Kim. Seorang wanita yang terlihat salihah dengan pakaian yang sesuai dengan syariat. “Ada apa, Pris?” tanya Kim yang sedang berjalan ke arah sofa. “Eh, gak ada. Aku hanya ingin main ke sini,” kata Pricilla dengan kikuk. Sebenarnya, dia pun merasa malu berkunjung ke rumah Kim. Pricilla sendiri jarang berkunjung ke rumah orang lain, apalagi ke rumah lawan jenis. Tapi, kali ini dia harus melakukan itu untuk mendapatkan jawaban dari semua rasa penasaran yang ada sejak beberapa waktu lalu. “Nak, silakan dinikmati,” kata ibu Kim yang sudah duduk di sebelah anaknya. Pricilla mengikuti Kim yang sudah meneguk air minum. Sebagai tamu, Pricilla harus menghargai jamuan dari sang pemilik rumah tanpa ada mengejek makanan yang disediakan. Apa juga yang harus diejek, perempuan paruh baya itu menjamu Pricilla selayaknya seorang putri kerajaan yang dihormati semua kalangan. Padahal, pada kenyataannya Pricilla hanya seorang perempuan biasa yang tinggal di sebuah gubuk sederhana. “Terima kasih, Bu,” kata Pricilla tersenyum ramah. “Bagaimana, enak gak kuenya?” tanyanya sembari beranjak dari tempat duduk. “Mari ikut Ibu makan, kita sarapan dulu,” katanya. Pricilla lupa bahwa dia bertamu tidak pada jam yang tepat. Mana ada seseorang yang bertamu pada jam yang masih terlalu pagi. Setengah delapan pagi dia sudah berada di rumah Kim. Rasanya, Pricilla ingin terbang seketika. “Ayo, Pris,” kata Kim yang sudah mengikuti langkah kaki ibunya. Kini, mereka sudah sampai di sebuah ruangan yang kecil, namun terlihat begitu indah nan bersih. Pricilla duduk di salah satu kursi yang ada. Dia mengikuti ibu Kim yang sudah mengambil seporsi makanan. Dia makan dengan rendang yang sudah beberapa tahun terakhir ini tidak ia santap, karena tidak memiliki cukup uang untuk membelinya. Maklum saja, Pricilla bukan seperti temannya yang bergelimpangan harta benda. “Masakan rendang ibu enak gak?” tanyanya setelah meneguk air putih sebanyak dua kali. Masakan rendang itu terasa nikmat di lidah Pricilla. Entah karena terlalu lama belum menikmatinya lagi atau karena rasa yang memang begitu pas untuk masakan rendang. Pricilla pun mengatakan apa yang ia rasakan dengan sejujurnya. Masakan itu begitu lezat dengan bumbu yang pas. Tidak lama kemudian, dia ikut Kim ke halaman belakang. Mereka duduk di sebuah bangku panjang memandangi taman kecil yang dibuat ibu Kim. Banyak jenis bunga yang ditanam di sana dengan rapi. Tanaman itu terlihat segar karena rutin diberi pupuk dan air. “Kamu ada masalah?” tanya Kim tanpa menatap Pricilla sama sekali. Terlihat tangan Kim yang tidak tenang meremas celananya. “Tidak ada. Mungkin, kamu?” “Pris, jangan terlalu jauh ketika kamu keluar dari jalan. Bisa tersesat dan merugikan. Apalagi, terlalu jauh dengan rasa penasaran akan sesuatu. Memang menurutmu, aku kenapa?” “Aku merasa kamu tidak baik-baik saja.” Pricilla tidak percaya dengan apa yang dikatakan Kim. Sebab, Pricilla terlalu sering melihat tingkah laku yang aneh dari pria itu. Seperti saat ini, Kim selalu meremas celana ataupun jemarinya sendiri. Kadang juga dia terlalu sering melamun dengan tatapan kosong. Hal itu yang menyebabkan rasa penasaran Pricilla semakin meningkat. Namun, untuk mengorek lebih dalam secara langsung pun Pricilla tidak sanggup, hal itu bukan kapasitasnya untuk memaksa Kim berbicara lebih banyak. “Kalau ada apa-apa, cerita saja.” Pricilla menepuk bahu Kim sekali dengan lembut. Kim hanya tersenyum kecil di ujung bibir. Kemudian, dia mengajak Pricilla untuk masuk kembali, karena cuaca yang secara tiba-tiba mendung, awan hitam pekat yang sudah menghantui kota itu. Pricilla dan Kim duduk di ruang tengah yang ada di rumah itu sembari menonton tayangan televisi. Walaupun, fungsi dari televisi bukan untuk ditonton secara nyata, hanya digunakan sebagai teman pengisi kesunyian. Ya, mereka tidak memiliki topik pembicaraan yang cukup untuk mengisi kekosongan di antara mereka. Sampai akhirnya, ibu Kim ikut duduk di tengah-tengah keduanya untuk mencairkan suasana yang membeku. “Pris, kamu sekelas dan segeng sama Kim?” “Iya, Bu. Tenang saja, kalau Kim aneh-aneh, Pricilla yang akan mengingatkannya. Oh iya, Ibu, jangan menganggap kami sepenuhnya nakal. Pertemanan kami juga ada baiknya, kok.” “Baik?” tanyanya dengan wajah yang tidak seperti sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD