Dekat

2031 Words
“Lo makan di sini lagi?” tanya Nirina tidak percaya. Memang Nirina mengizinkan Tio untuk makan di rumahnya. Tapi tidak menyangka bahwa Tio benar-benar melakukannya. Dua kali dalam sehari, pagi dan malam. Kalau libur juga makan siang akan datang ke rumah Nirina. Tio mengangguk semangat. Tidak memedulikan ekspresi yang Nirina tunjukkan. Apa salahnya menumpang makan saat tuan rumah sudah mengizinkan? Tapi ya agak tidak tahu malu sih Tio ini. Tio bahkan sering makan terlebih dahulu sebelum Nirina selesai bersiap. Seperti saat ini. Makanan di piring Tio sudah hampir habis sedangkan Nirina baru saja selesai berkemas. Belum sama sekali menyentuh makanan. “Biarkan saja nduk. Ayo, kamu juga makan. Nanti terlambat loh,” ucap nenek Anah. Nirina menurut. Mendudukkan diri di hadapan Tio dan mulai menyantap makan paginya. “Kayanya lo memang harus isi kulkas deh. Rugi gue lama-lama. Mana makan lo banyak lagi,” celetuk Nirina. Tio terbatuk mendengarnya. Padahal sedang asyik-asyiknya makan malah Nirina berkata demikian. “Iya nanti gue isi. Tenang saja,” jawab Tio santai. “Enggak kok nak Tio. Nirina cuman bercanda saja,” ucap nenek Anah meluruskan. Nirina memang bercanda. Tapi jika Tio menganggapnya serius ya tidak apa. Kebetulan. Jadi Nirina tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli bahan makanan. “Iya tahu kok nek. Nirina kan memang suka bercanda,” ledek Tio yang mendapat tatapan tajam dari Nirina. Tio ini bisa saja menaikkan darahnya. “Sudah makan saja,” lerai Anah yang paham sebentar lagi akan ada keributan yang terjadi. Mereka melanjutkan makan dalam diam. Sudah terlalu siang untuk melanjutkan perdebatan. Yang ada malah nanti mereka akan terlambat ke sekolah. Sudah seperti kebiasaan, mereka akan makan pagi bersama dan dilanjutkan ke sekolah bersama. Nirina sudah terbiasa juga dengan kehadiran Tio yang selalu berada di sekitarnya. Tio yang selalu membantu jika Nirina kesulitan selama di sekolah. Tio yang menjadi teman pertamanya. Tio yang selalu bersedia menjadi tempat Nirina menceritakan kesedihannya. Sejak mengenal Tio, Nirina jadi merasa lebih hidup. “Nanti pulang, anter ke toko buku dulu ya,” ucap Nirina saat keduanya baru saja berhenti di tempat parkir sekolah. “Siap bos. Traktir makan siang ya.” Tio menaikkan alisnya. Nirina mendengus. Hih, ada saja yang Tio mau. Jika menurut cerita yang Tio sampaikan, tidak pantas Tio meminta traktiran pada Nirina. Jatah bulanan Tio kan besar. “Jangan ngadi-ngadi deh. Yang ada gue kali yang minta traktiran dari lo,” dengus Nirina. Tio hanya tertawa menanggapi. Entah sejak kapan, menggoda Nirina sampai marah menjadi hobinya. Tio suka saat melihat wajah kesal Nirina. Itu seperti hiburan tersendiri untuknya. Berjam-jam di sekolah, akhirnya tiba juga waktu untuk pulang. Tio sudah menunggu Nirina di dekat bangku gadis itu. Bersiap membantu membawakan tas Nirina. Sudah lebih dari sebulan, kaki Nirina belum juga sembuh. Patah tulang parah yang diakibatkan kecelakaan itu diperkirakan akan lama untuk sembuh. “Ke toko buku yang ada di mol kan? Biar sekalian makan,” tanya Tio yang mendapat anggukkan dari Nirina. Memang toko buku itu tujuannya. Tiba di mol, Nirina langsung menuju tujuannya. Toko buku. Nirina berdiri di bagian n****+. Mengambil beberapa n****+ yang memang sudah diincarnya dan beberapa n****+ yang menarik perhatian. Nirina pencinta n****+. Mengoleksi berbagai judul di kamarnya. Lebih sering dibeli hanya untuk cadangan saat bosan melanda. Jika disuruh memilih antara n****+ online dan n****+ dalam bentuk cetak, tentu saja Nirina memilih n****+ online. Lebih ringkas, tidak perlu membawanya susah-susah. Kebanyakan n****+ cetak yang dibeli, Nirina hanya meletakannya di rak. Untuk memenuhi koleksi saja. “Rajin banget baca n****+ tebal. Baca buku pelajaran lah mending,” cibir Tio yang sedari tadi mengintil di belakang Nirina. Tio kebagian membawa keranjang berisi hasil buruan Nirina. “Heh, enggak baca buku pelajaran pun gue sudah pintar ya,” ucap Nirina menyombongkan diri. Mengibaskan rambut panjangnya sampai mengenai wajah Tio. “Sombong banget makhluk Tuhan satu ini,” cibir Tio. “Kalau yang disombongi itu memang ada dan benar, ya enggak masalah,” kilah Nirina. “Ingat ya kawan, yang namanya sombong itu apa pun alasannya tidak diperbolehkan. Walau memang yang disombongkan itu benar adanya tetap saja tidak boleh. Tuhan membenci umatnya yang sombong,” ucap Tio menyadarkan Nirina. “Iya, iya. Gue kan sombongnya sama manusia sombong macam lo doang,” dengus Nirina. Tio bisa saja menasihatinya di saat pria itu sering menyombongkan diri. Apa tidak bercermin? Jika keduanya di pertemukan, yang terjadi hanya perdebatan yang tiada ujungnya. Tidak ada yang mau mengalah. Sama saja keras kepala. Selesai Nirina membeli beberapa n****+, mereka melanjutkan menuju rumah makan Korea yang letaknya masih di dalam mall. Tiba-tiba saja Nirina menginginkan makanan Korea. Tio sih hanya menurut karena katanya, terserah yang mau bayar. “Lo suka sama makanan Koreanya saja atau sama semua yang berbau Korea?” tanya Tio iseng. Anak muda khususnya perempuan kan sekarang sangat tergila-gila dengan sesuatu yang ada Koreanya. Mulai dari grup band, drama, sampai budaya. “Gue suka boy group nya juga sih. Ganteng-ganteng. Andai saja salah satu dari mereka mau sama gue,” jawab Nirina, berandai di akhir kalimatnya. Nirina begitu menggilai salah satu boy group asal negeri ginseng tersebut sampai sering mengkhayal bahwa mereka bisa bertemu dan kemudian saling jatuh cinta. Ah, Nirina terlalu tinggi dalam bermimpi. Walau tidak ada salahnya bermimpi, tapi ya, tahu diri saja. Perbedaan antara mereka begitu besar. “Ngimpi lo ketinggian. Memang lo sehebat apa sampai bisa buat mereka mau sama lo. Hih, tolong ngaca ya mbak,” cibir Tio. Mengangsurkan layar handphonenya yang mati bermaksud meminta Nirina untuk bercermin. “Tinggal jawab iya saja sih susah amat. Buat gue senang sekali-kali,” dengus Nirina. Tio cukup bilang iya, kan beres. Tidak ada salahnya juga. Malah akan mendapat pahala karena sudah membuat orang lain bahagia. “Halah. Lebih realistis saja deh. Enggak usah berharap sama apa yang memang sulit akan tercapai. Ya intinya sih sadar diri,” ledek Tio. Apa semua fans oppa-oppa Korea akan berpikir dan bermimpi bahwa mereka dapat menikahi idolanya? Huh, Tio tidak bisa membayangkannya. Nirina berdecap mendengarnya. Untung saja setelah itu makanan datang. Jadi pertikaian cepat terhenti. Coba kalau tidak ada yang menginterupsi, bisa sampai pagi mereka berdebat. “Oh iya, sebelumnya berarti lo tinggal di apartemen ya?” tanya Nirina. Tio mengangguk membenarkan. Masih ingatkan dengan apartemen pemberian mamanya saat Tio menginjak bangku sekolah menengah pertama? Itu apartemen yang sama sampai beberapa minggu lalu Tio tempati. Sebelum pindah ke rumah yang letaknya lumayan dekat dengan rumah yang Nirina tinggali. “Terus ngapain lo pindah? Bukannya lebih enak di apartemen ya?” Tio tersedak mendengar pertanyaan Nirina. Dengan sigap Nirina memberikan minuman pada Tio. Tio menghabiskan air mineral itu tanpa sisa. Masih menepuk dadanya yang sesak sehabis tersedak. Nirina mengernyit, kenapa Tio sampai tersedak saat mendengar pertanyaan yang Nirina lontarkan? Itu kan hanya pertanyaan sederhana. “Ingin saja sih. Mengubah suasana. Di apartemen cuman lihat pintu doang. Kalau di perumahan kan bisa lihat yang hijau-hijau. Jadi punya tetangga juga. Tetangga yang baik hati, yang selalu mengizinkan untuk makan.” Tio menjawab setelah berhasil meredakan sedikit rasa sakit akibat tersedak. Nirina mengangguk percaya. Bisa dibayangkan sih bagaimana membosankannya tinggal di apartemen apalagi Tio hanya sendiri. Di dalam unit hanya ada dirinya dan jika keluar hanya menemukan lorong dan pintu. Tidak ada tetangga yang saling sapa. “Maaf nih kalau pertanyaannya nyinggung lo. Kenapa lo enggak ikut bokap lo?” sekarang giliran Tio untuk bertanya. Mereka secara tidak langsung tengah mengadakan sesi tanya jawab mengenai kehidupan pribadi mereka. Nirina mengedikkan bahunya. “Buat apa juga di sana. Istri baru bokap kelihatan banget kalau enggak suka sama gue. Dari pada makan hati mending tinggal di rumah,” jawab Nirina acuh. Bagaimana bisa Nirina harus tinggal satu atap dengan wanita yang sudah merebut papanya? Ditambah perangainya yang buruk jika berhadapan dengan Nirina tanpa ada Haidar di antara mereka. Bisa dibilang ibu tiri Nirina bermuka dua. Akan baik saat ada papanya dan sebaliknya jika papanya tidak ada. Ya seperti ibu tiri yang ada di sinetron televisi. “Benar juga sih,” ucap Tio membenarkan. “Kalau lo sekarang tahu enggak mereka lagi pada di mana?” tanya Nirina. “Mana gue tahu. Kirim pesan atau telepon saja enggak pernah sama sekali. Sudah pada asyik sama hidup baru masing-masing,” kata Tio enteng. “Berarti mereka sudah berkeluarga juga atau bagaimana?” “Kabar terakhir yang gue dengar sih iya. Sudah pada nikah lagi. Kadang gue itu bersyukur karena cuman gue anak mereka. Jadi ya cuman gue yang jadi korban.” “Iya sih. Gue juga. Tapi kadang juga ada rasa kesepian. Dan berpikir kalau ada kakak atau adik yang benar-benar sekandung pasti rasanya akan menyenangkan. Bisa saling berbagi cerita juga.” Nirina tersenyum sendu. Bayangan tentang saudara sekandung tidak akan pernah terjadi. Diana sudah pergi. “Iya sih. Gue juga sempat mikir begitu. Kalau ada saudara pasti gue enggak akan kesepian hidup cuman sendiri,” ujar Tio setuju dengan pendapat Nirina. “Sayangnya enggak akan pernah terjadi ya,” lirih Nirina. Mengasihani dirinya sendiri. “Haha. Sekarang mah yang penting bersyukur saja. Bersikap masa bodo juga perlu. Biar enggak selalu bersedih,” kata Tio. “Iya benar banget. Bersyukur dan menerima semuanya. Tuhan pasti juga tahu bahwa memang itu yang terbaik untuk kita. Tuhan enggak pernah memberikan sesuatu yang buruk bagi umatnya kok. Semua kembali lagi pada sudut pandang dan pemikiran masing-masing orang saja,” ucap Nirina. Nirina sekarang sudah berada di tahap menerima semua yang Tuhan beri. Mereka memutuskan untuk pulang setelah makanan yang dipesan habis. Tio mengalah dengan membayar makan kali ini. Hitung-hitung sebagai pengganti saat Tio menumpang makan di rumah Nirina. Ya walau masih belum sebanding sih. Perjalanan pulang yang bertepatan dengan jam pulang kantor membuat mereka terpaksa lebih lama di jalan. Kendaraan padat merayap, kemacetan cukup parah terjadi. Ah, kan memang selalu seperti ini. Setiap hari pasti macet. Sepertinya terlalu banyak kendaraan saat kondisi jalan masih saja terbatas. “Gokil. Macetnya panjang banget. Keasyikan cerita sampai lupa waktu,” gerutu Nirina. Kendaraan di depannya masih berjajar panjang. Sudah dua kali lampu berubah menjadi hijau namun masih belum bisa mencapai. Rencana mereka sebenarnya akan pulang sebelum jam pulanv kerja. Sudah bisa membayangkan betapa akan macetnya jalanan. Tapi karena keasyikan mengobrol jadi melupakan segalanya. “Ada panggilan masuk,” beri tahu Tio saat melihat layar ponsel Nirina menampilkan telepon masuk. Nirina melihat siapa yang menelepon dan memilih mengabaikan. Meletakkan ponsel dalam posisi terbalik agar Nirina tidak dapat melihat apa orang itu masih mencoba menghubunginya atau tidak. “Kok enggak diangkat?” “Malas. Lagi enggak ingin ribut juga sih.” Nirina menatap ke sebelah kirinya. Di saat dirinya begitu membutuhkan perhatian papanya, malah papanya tidak ada. Dan digantikan oleh Tio yang kebetulan datang. “Bokap?” tebak Tio. Wajah Nirina yang sudah keruh karena kebosanan menunggu jalan lega, makin keruh saat melihat siapa yang meneleponnya. Tio bisa memaklumi rasa benci Nirina pada ayahnya. Ya, karena Tio juga demikian. Namun sebenci apa pun seorang anak terhadap ayah atau ibunya, itu tidak akan mengubah fakta bahwa mereka tetaplah orang tua yang harus dihormati. Nirina hanya bergumam. Terus melihat kendaraan di sampingnya yang merupakan sebuah keluarga. Mobil yang berhenti tepat di samping kendaraan Tio merupakan sepasang orang tua dan satu anak perempuan. Nirina ingat, dulu juga dirinya pernah berada pada posisi seperti itu. Duduk di belakang dengan Diana dan Haidar di depan. Ah, kenangan manis yang tidak akan pernah bisa terulang. “Semoga mereka tetap bisa bersama. Jangan ada lagi anak yang menjadi korban keegoisan orang tua,” gumam Nirina. “Gue salut sama lo. Lo bisa bertahan sampai sejauh ini.” “Terus jalani hidup lo dengan baik ya, apa pun yang terjadi. Ingat, hue akan selalu ada di samping lo,” lanjut Tio. Tersenyum ke arah Nirina yang ternyata sudah melihat ke arah Tio berada. Mereka bertatap cukup lama sampai suara klakson menyadarkan. Nirina salah tingkah di tempatnya. Nirina terjatuh pada tatapan Tio yang meneduhkan. “Terima kasih juga lo sudah mau menjadi teman gue. Gue jadi berasa punya saudara lagi. Jangan pernah benci gue ya. Yang perlu Lo ingat, lo harus tetap meneruskan hidup dengan baik. Entah ada atau enggak ada gue. Apa pun yang nantinya gue lakukan itu, semua untuk kebaikan kita semua,” kata Tio. Nirina mengernyit. Kenapa Tio tiba-tiba saja jadi aneh sih? Tanpa mau memusingkannya, Nirina hanya menjawab dengan anggukkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD