“Hari ini Lo kelihatan agak beda deh,” ucap Tio melihat Nirina yang baru saja keluar dari kamar. Seperti biasa, Tio tiba di rumah Nirina pagi-pagi dan sekarang sudah duduk manis di kursi makan. Hari ini si mbak yang biasa memasak bangun kesiangan dari biasanya. Jadilah masakan belum matang. Kalau sudah matang sih palingan Tio makan lebih dahulu. Tamu yang sangat sopan.
“Masa sih? Perasaan biasa saja. Mata lo kali yang agak bermasalah,” jawab Nirina. Masih dengan bantuan tongkat, mendudukkan diri di kursi yang paling dekat. Tio dengan sigap membantu memundurkan kursinya. Kaki Nirina masih saja belum sembuh. Namun sudah dalam tahap mendingan karena Nirina sudah diperbolehkan menggunakan kruk satu saja. Sebelumnya kan dua. Kanan dan kiri.
“Huh enggak percaya banget. Lo kan biasanya cuman gerai itu rambut. Sekarang di ikat dong. Terus bibir lo juga agak berminyak. Lo pakai apa sih? Apa lo makan gorengan terlalu banyak? Aneh banget,” selidik Tio.
Nirina menghela nafas. Nirina ingin lebih bebas bergerak. Menggerai rambut panjangnya selalu menyiksa. Apalagi di siang hari yang gerah luar biasa. Dan untuk bibir, Nirina sengaja memakaikannya dengan lip balm. Bibir Nirina agak kering belakangan ini. Setelah melihat beberapa artikel, Nirina memutuskan saran untuk memakai lip balm. Apa Nirina terlihat aneh? Padahal kan ini hal normal yang sering remaja seusianya lakukan. Di sekolah malah banyak yang menggunakan lip stik dengan warna berani. Lip balm yang Nirina pakaikan hanya berwarna pink muda. Hampir mirip dengan warna bibir Nirina. Jadi bisa dibilang samar.
“Kamu makin cantik nduk. Terlihat lebih fresh. Enggak usah di dengar kata nak Tio,” kata nenek Anah yang tadi mendengar ucapan Tio. Nenek Anah malah senang melihat perubahan Nirina. Sudah dari dulu nenek Anah selalu meminta agar Nirina mengikat rambutnya. Nenek Anah yang hanya melihat saja sudah merasa gerah. Tapi gadis itu bersikeras menggerainya terus. Katanya kalau di ikat malah wajahnya terlihat aneh. Ya pernah sih sesekali mengikatnya tapi tetap tidak bertahan lama.
“Hehe. Terima kasih nek. Oh iya nek, barangkali nanti ada paket datang ya,” pesan Nirina.
“Paket apa lagi nduk? Kemarin sudah datang dua atau tiga kan.” Anah heran dengan Nirina yang sekarang membeli hal sederhana saja melalui online. Apa karena saking malasnya keluar rumah? Bisa juga sih. Untuk apa keluar jika hanya diam di rumah juga bisa memiliki barang incaran?
“Nanti nenek juga tahu sendiri. Hari ini yang datang mungkin ada tiga nek.” Nirina meringis. Nirina telah terkena racun virus belanja online di salah satu aplikasi karena penawaran gratis ongkos kirimnya. Awalnya hanya mencoba, tapi lama-lama ketagihan juga. Tinggal klik-klik saja dan barang sampai. Tidak perlu repot datang ke tokonya langsung. Kalau memilih juga tinggal menggulir ponsel saja tidak perlu masuk ke toko yang satu ke toko lainnya. Tapi ya memang ada kekurangannya juga belanja online. Kadang barang yang datang tidak sesuai dengan gambar yang tersaji.
“Dasar. Jangan boros ya nduk,” nasihat Anah. Walau memiliki banyak uang, tidak boleh boros dengan membelanjakannya dengan sesuatu yang memang tidak diperlukan.
“Iya nek siap,” patuh Nirina. Sejauh ini Nirina membeli kebutuhan pribadinya saja kok. Yang pasti akan digunakan.
Sampai tiba di kelas, Nirina masih enggan berbicara dengan Tio. Kesal juga dibilang aneh di saat Nirina ingin merawat diri. Huh, apa Tio tidak bisa menghargai atau lihat saja siswi lain, mereka lebih parah dari Nirina. Nirina juga melakukannya bukan untuk gaya-gayaan dan agar membuat orang lain tertarik, tapi memang untuk dirinya sendiri. Sepertinya Tio butuh pencerahan.
“Lo kenapa diam saja sih?” protes Tio.
Nirina hanya menjawab dengan mengedikkan bahunya. Tio tidak peka sekali. Harusnya bukan bertanya tapi langsung meminta maaf saja. Dasar tidak tahu diri. Dengus Nirina dalam hati. Benar ya kata orang-orang kalau laki-laki itu tidak peka. Masa Nirina harus mengatakannya pada Tio bahwa Nirina kesal karena dibilang aneh di penampilan barunya. Huh, yang benar saja.
“Oh, lo marah karena gue ikut makan di rumah lo lagi?” tebak Tio. Nirina menghela nafas, masih mendiamkan Tio sampai lelaki itu menyadari kesalahannya. Sebenarnya hanya kesalahan kecil, tapi Nirina nya saja yang terlalu berlebihan dan kekanakan. Ingat, perempuan itu tidak pernah salah.
“Lo marah karena gue terlalu tampan? Kalau iya, ya maafkan gue. Ini kan juga bukan mau gue,” ucap Tio. Sedari tadi menebak masih saja salah. Laki-laki memang selalu salah.
Nirina mencibir dengan kenarsisan Tio. Ada ya laki-laki yang seperti itu. Terlalu membanggakan dirinya sendiri. Jika ada kesempatan, Tio selalu memuji ketampanannya sendiri.
“Lah, terus apa Maemunah? Ngomong kek, ngomong. Jangan diam saja. Gue kan bukan cenayang yang serba tahu.” Tio putus asa. Menghadapi perempuan yang tengah merajuk seperti ini memang menyebalkan. Tuhan menciptakan mulut kan ya untuk berbicara. Bukan diam saja seperti ini. Sampai malam pun, Tio tidak akan menemukan jawabannya jika Nirina terus saja diam. Lama-lama jadi Tio yang kesal sendiri. Tio akan balik merajuk.
“Tadi di ruang makan,” dengus Nirina. Nirina sudah memberikan clue. Semoga Tio bisa langsung memahaminya. Dan segera mengakui kesalahan.
“Gue yang menumpang makan lagi kan? Tenang saja, nanti belanja bulanan gue yang beli.”
“Ah gue paham. Lo sakit hati gue bilang penampilan lo aneh ya?” tebak Tio setelah menyadari kejadian yang terjadi selama di meja makan. Hari ini Nirina kan tidak menyinggung tentang belanja bulanan, berarti memang komentar Tio tentang penampilan Nirina yang menjadi akar permasalahan ini.
Nirina mendengus. Mengalihkan wajahnya tidak mau melihat Tio. Itu memang benar. Nirina terlalu kesal Tio tidak peka dan agak malu juga hal remeh seperti itu dipermasalahkan. Apa ini karena efek datang bulan ya? Nirina jadi merasa perkataan kecil saja dapat menyinggung dirinya. Atau memang semua perempuan tidak terima jika dinilai aneh? Entah, Nirina tidak tahu menahu tentang itu. Nirina juga baru mengalaminya sekarang.
“Ya sudah iya. Gue mengaku salah. Harusnya memang gue enggak komentar tentang lo yang aneh. Gue minta maaf. Gue terlalu pengecut buat bilang yang sebenarnya. Lo cantik. Itu yang mau gue bilang, tapi gue gengsilah terus juga nanti yang ada lo malah besar kepala dipuji orang setampan gue. Jadi yang keluar dari mulut malah Lo aneh,” kata Tio mengakuinya. Benar kata nenek Anah sebenarnya. Nirina makin cantik. Tapi ya tahu sendiri kalau Tio ikut memuji, Nirina malah akan besar kepala.
Pipi Nirina memerah mendengar ucapan Tio barusan. Apa benar Nirina terlihat cantik? Tapi saat mendengar alasan Tio tidak jadi mengatakannya malah membuat Nirina kesal. Nirina tidak pernah besar kepala kali jika dibilang cantik. Karena ya, sudah terlalu sering dan memang itu faktanya. Nirina kan memang cantik. Banyak yang sudah mengakuinya. Mama, papa, dan semua pekerja di rumah.
“Gue kan memang cantik. Baru sadar ya lo?” ucap Nirina percaya diri. Mengibaskan rambut ekor kudanya sampai mengenai wajah Tio.
“Nah kan. Gue sudah menduga akan seperti ini. Jadi ya malas gue puji lo,” dengus Tio.
Tawa Nirina berderai. Wajah kesal Tio sangat lucu.
“Ayo turun saja. Sudah terlalu lama di dalam mobil. Nanti dikiranya yang enggak-enggak lagi,” kata Nirina. Membuka pintu mobil dan keluar sendiri. Nirina sudah bisa melakukan hal-hal yang memang sederhana sendiri. Tidak membutuhkan bantuan orang lain terlalu banyak. Melatih kerja kakinya juga yang hanya diam saja.
“Yang enggak-enggak bagaimana maksud lo?” tanya Tio meledek. Lelaki itu sudah berdiri di samping Nirina. Menyejajarkan langkah Nirina yang memang pelan. Menaik turunkan alisnya.
“Ya pikir saja sendiri.” Nirina tidak memedulikan Tio yang iseng bertanya. Padahal Nirina yakin, Tio pasti mengetahuinya dengan pasti. Dia hanya sengaja agar Nirina mengungkapkannya saja. Tio kan memang seperti itu.
Pelajaran dimulai. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, hari ini diadakan ulangan harian. Nirina sih santai saja. Sudah menguasai materi yang akan diujikan hari ini. Nirina melirik ke arah tempat duduk pria itu. Tio juga dengan tidak sengaja melihat ke arah Nirina. Tio memasang wajah memelas ke Nirina. Bibir pria itu mengucapkan kata yang Nirina tidak ketahui apa. Mungkin meminta bantuan. Tapi bagaimana bisa Nirina membantu saat jarak tempat duduk mereka saja sangat jauh. Walau dekat juga Nirina tidak ada rencana untuk memberi sontekan sih. Biar saja Tio berpikir sendiri. Suruh siapa jika kegiatan belajar mengajar berlangsung malah sibuk main game sendiri. Saat diminta untuk belajar juga tidak menurutinya sama sekali. Makan sana game yang selalu diagung-agungkan.
Saat istirahat, Tio dengan segera mendatangi tempat duduk Nirina. Menceritakan bahwa dirinya hanya bisa mengerjakan satu dari lima soal yang diberikan. Menyesal karena semalam tidak belajar. Di sesi berceritanya, Tio tidak ketinggalan ikut menyantap bekal yang Nirina bawa. Tio memang tidak membawa bekal dan malas untuk ke kantin.
“Heh makanan gue. Kenapa dari tadi lo yang makan sih,” kesal Nirina. Nirina hari ini membawa roti isi dan beberapa potongan sosis goreng. Ini kan jatah Nirina kenapa Tio terus yang makan.
“Habis mikir jadi lapar. Besok mau minta nenek Anah juga ah,” kata Tio. Sebelumnya Tio selalu menolak jika ditawari bekal. Sekarang malah menyesalinya. Huh, hilangkan rasa malu. Demi perut, tidak usah pedulikan malu dan gengsi. Malu tidak akan membuat perut menjadi kenyang.
“Dasar,” dengus Nirina.
Pulang sekolah, Tio memutuskan untuk mampir terlebih dahulu di rumah Nirina. Di rumah hanya sendiri mending di sini bisa menjahili Nirina. Tio dengan seenaknya merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di ruang tamu. Rumah ini sudah seperti rumah kedua bagi Tio. Tio lebih sering berada di sini. Di rumahnya malah seperti hanya digunakan untuk tidur saja.
“Rumah gue kaya penampungan banget,” gumam Nirina.
Nirina memilih berdiam di kamar. Mengistirahatkan dirinya. Membiarkan Tio seorang diri di ruang keluarga. Nirina juga lelah kali jika harus terus menemani Tio. Apalagi Tio kemungkinan akan tetap di sini sampai petang. Setelah makan malam baru pulang. Menghargai tamu memang sebuah kewajiban tuan rumah. Tapi jika tamunya seperti Tio yang tidak tahu diri ya, sah-sah saja dibiarkan.
“Kapan ya ini kaki bisa sembuh,” gumam Nirina menatap kaki kanannya yang masih terbalut perban. Saat kontrol mingguan sih, dokter mengatakan sudah mendingan, tinggal menunggu sampai benar-benar pulih baru bisa dilepas. Saat sudah dilepas juga harus belajar berjalan lagi. Terlalu lama tidak digunakan, akan kaku pastinya kaki Nirina.
“Semoga secepatnya deh.”
Nirina memejamkan matanya. Padahal niat awal hanya tiduran saja. Tapi kantuk tiba-tiba saja datang. Sore hari, Nirina baru bangun dari tidur siangnya. Langsung mandi dan keluar dari kamar.
“Masih saja di sini.” Nirina memutar bola matanya malas melihat Tio yang masih di rumahnya. Bersantai sambil menonton televisi ditemani camilan dan jus di gelas. Ya Tuhan, Tio benar-benar menganggap rumah ini seperti rumahnya sendiri.
“Eh sudah bangun juga lo. Sini duduk, episode yang ini seru banget tahu,” ucap Tio santai. Menepuk kursi kosong di sebelahnya. Makin dibiarkan, Tio makin kurang ajar. Harusnya kan yang bersikap seperti itu Nirina. Eh malah Tio yang berstatus sebagai tamu.
“Sekalian saja lo pindah ke sini,” cibir Nirina. Punya rumah sendiri juga percuma kalau waktu yang Tio habiskan lebih banyak di sini.
“Boleh? Kalau boleh sih gue langsung gas deh. Kalau enggak, lo buka kos-kosan saja di rumah ini. Ide gue baguskan?” Tio menaikkan alisnya. Menunggu respons Nirina mengenai ide Tio yang brilian. Di rumah ini ada cukup banyak kamar. Salah satunya disewakan pada Tio, juga Tio mau sewa kamar di sini. Siapa yang tidak mau coba. Bayar kamar dan gratis makan satu bulan penuh.
“Heh malas banget gue harus satu rumah sama lo. Di sekolah ketemu, di rumah ketemu. Bosan yang ada,” cibir Nirina. Apa sebegitu inginnya Tio tinggal di rumah ini? Hih, sayangnya Nirina yang enggan.
Selesai menumpang makan, Tio langsung pulang. Katanya takut kalau rumahnya ada yang menggotong karena terlalu lama ditinggal. Kadang Nirina bingung dengan pemikiran Tio yang tidak masuk akal. Tapi ya mungkin memang seperti itu dari sananya. Nirina tidak mau mengambil pusing.
“Terima kasih loh sama jamuannya. Jadi enak gue nya. Gue balik dulu ya,” pamit Tio.
“Iya sana balik lo. Bosan gue lama-lama lihat wajah Lo terus,” ledek Nirina.
“Eh sini dulu deh Na.” Tio meminta Nirina untuk mendekat dengan lambaian tangan.
Nirina menurut. Mendekat dengan wajah penasaran. Apa yang akan dilakukan lelaki itu lagi? Nirina sudah mencium bau bau mencurigakan. Tio itu kelewat jahil.
“Ada ap-“
“Lo cantik,” ucap Tio memotong tanya Nirina yang belum sempat terlontar. Setelahnya, Tio langsung menutup kaca dan melajukan mobilnya menjauh. Tio tidak bertanggung jawab dengan ucapannya yang membuat Nirina terbengong. Sedang Nirina masih terpaku di tempatnya berdiri. Ucapan Tio yang tiba-tiba membuat kerja otaknya melambat. Dengan perlahan, senyum Nirina tercipta disertai dengan pipi gadis itu yang bersemu merah.
“Kenapa sih harus ngomong lagi. Dan jantung, kenapa lo malah disko?” gumam Nirina menyentuh bagian luar jantungnya yang berdetak di atas normal. Gara-gara Tio, Nirina jadi seperti ini.