Nasib yang sama

2113 Words
Seminggu lebih Tio selalu menemani Nirina saat di sekolah. Nirina sudah mulai merasa terbiasa akan kehadiran pria itu. Sesekali juga Tio mampir untuk bertamu ke rumah. Ternyata benar bahwa Tio tinggal di daerah yang sama. Bukan salah Nirina yang tidak mengetahui. Itu karena Tio yang baru pindah tidak lama. Memangnya Nirina ketua RT yang selalu mengetahui penduduk baru di sekitarnya. Seperti saat ini, Tio tengah datang ke rumah Nirina bermaksud meminta bantuan yang guru berikan tadi di sekolah. Tio mengaku dirinya agak lama menerima materi yang masuk. Dan Nirina terkenal memiliki kecerdasan di atas rata-rata. “Daripada kepintaran lo itu dibiarkan saja, mending dimanfaatkan kan?” tanya Tio seenaknya. Nirina mendengus. Tio tetaplah Tio. Pria itu sering kali berucap sembarangan tanpa filter. Nirina sudah terbiasa sih. Satu minggu dibuntuti Tio ke mana pun membuatnya tidak terkejut lagi saat mendengar ucapan yang keluar dari bibir Tio. “Sudah buruan. Mana yang belum paham?” tanya Nirina tak sabar. Nirina ingin cepat selesai agar bisa mengistirahatkan dirinya. Pulang sekolah Tio langsung merusuhinya. Padahal Nirina ingin sekali tidur siang. Mata Nirina ngantuk parah karena semalam begadang. “Ya semua lah,” ucap Tio polos. Kan memang belum paham semuanya. Jika ditanya materi kelas 10 pun Tio akan menjawab sama. Materi selama dirinya sekolah, sepertinya tidak ada satu pun yang tertinggal di otak. “Lo ngapain saja di sekolah sampai enggak paham semuanya.” Nirina tidak habis pikir dengan jawaban Tio. Jika sudah begini, apa Nirina harus mengajari materinya dari awal? Ini kan masih berhubungan dengan materi sebelum dan sebelumnya. Nirina ingin menangis saja. “Ya gue sekolah. Ibunya saja yang terlalu cepat menjelaskan. Otak gue kan masih 2G enggak kaya lo yang sudah 5G,” cebik Tio. “Ya lo ngomonglah. Ibu, maaf apa bisa diulang dan tidak terlalu cepat? Gampang banget. Punya mulut itu dipakai,” cibir Nirina. Jika mengatakan juga pasti guru tidak akan keberatan untuk mengulang dan memperlambat penjelasannya. “Ya gue malulah. Ya kali, yang lain saja sudah bilang paham. Gue masa minta ngulang. Harga diri gue mau ditaruh di mana coba,” dengus Tio. Mending tidak paham daripada di cap murid yang lama memahami materi dan nanti akan dianggap ‘bodoh’. “Semerdeka lo saja deh,” ucap Nirina malas. Ada ya orang yang seperti itu. Harga diri yang tinggi tidak akan menyelamatkan dirinya dari ujian nanti. Nirina dengan sabar mulai mengajari Tio. Benar saja, Tio memang sulit memahami materi yang disampaikan. Nirina harus bolak-balik menjelaskan. Sampai rasanya ingin menyerah saja. Nirina memang pintar. Namun mengajari orang lain bukan salah satu keahliannya. Nirina akan terpancing emosi jika yang diajarinya tidak dapat menerima penjelasannya dengan cepat. Makanya Nirina tidak berencana menjadi pengajar. Bisa habis nanti muridnya. “Oh jadi cuman begitu doang?” tanya Tio tidak percaya. “Lah memang begitu doang,” kata Nirina dengan memaksakan senyum. Satu jam hanya membahas satu soal saja. “Gampang banget. Ah, kayanya gue terlalu bego deh,” gumam Tio. “Akhirnya sadar juga,” cibir Nirina. Mengabaikan tatapan protes Tio. “Ini silakan dimakan dulu. Nenek baru buat kue kering.” Anah datang dengan membawa dua stoples berisi kue kering buatannya. Meletakkan pada meja dan kembali masuk ke dalam rumah. “Enak ya ada yang perhatiin. Gue mah boro-boro,” gumam Tio. “Lah memang lo enggak ada?” tanya Nirina penasaran. Nada yang Tio gunakan sarat akan kesedihan. Seperti memang benar-benar tidak ada yang memedulikannya. “Mana ada. Nyokap sama bokap sibuk sama urusan mereka masing-masing. Mereka sudah pisah lumayan lama. Sekarang mereka ada di mana saja gue enggak tahu. Ketemu sebulan sekali saja sudah untung banget. Sedangkan kakak gue sudah nikah sama orang luar. Ilang begitu saja. Enggak ada kabar. Untung orang tua gue masih tanggung jawab dengan selalu mengirim uang. Jadi ya, masa bodoh mereka mau ke mana. Yang penting duit ngalir terus. Eh maaf jadi curhat.” Tio menyengir saat sadar dirinya barusan kelepasan menceritakan keluarganya yang berantakkan. Nirina hanya tersenyum. Apa sekarang Nirina harus bersyukur? Walau mama telah tiada dan papanya yang sudah tidak memedulikannya, Nirina masih mempunyai keluarga di rumah. Nenek Anah, pak Ardi, dan dua asisten rumah tangganya yang lain. Mereka memang bukan keluarga yang terikat darah namun mereka yang bisa disebut dengan keluarga sesungguhnya. Sekarang Nirina sadar, bahwa bukan dirinya yang paling menderita di sini. Masih banyak kisah yang lebih menyakitkan daripada kisah hidupnya. Tapi mereka mampu menghadapinya. Menutupi semua dengan senyum seolah tidak ada masalah yang terjadi. Seperti Tio, siapa yang menyangka pria yang selalu menebar senyum dan membuat tawa di kelas ternyata seorang yang kesepian. Keluarganya hancur tanpa ada satu pun yang tersisa di sampingnya. Bukan karena kematian, namun karena kesibukan yang mereka buat sendiri. Jika tidak mendengar langsung dari mulut Tio, Nirina mungkin tidak akan mempercayainya. “Sudah enggak usah iba sama gue. Gue mah sudah biasa kali.” Tio tidak mau dikasihani. Alasan yang membuat Tio menyembunyikan semuanya. Jika menceritakan pada orang lain, pasti mereka akan memandang Tio iba. Iba dengan kehidupan Tio. Untuk apa iba kan, Tio sudah menerima semuanya. Seperti katanya tadi. Yang penting uang mengalir setiap bulannya. Itu yang paling penting untuk hidup. Buktinya, sampai sekarang Tio masih hidup walau tanpa keluarga di sampingnya. “Terus lo di rumah tinggal sama siapa?” tanya Nirina pelan. “Ya sendirianlah. Dari zaman gue SMP juga sudah tinggal sendiri. Kurang mandiri apa coba?” jawab Tio. Perpisahan kedua orang tuanya terjadi saat dirinya berada di kelas akhir sekolah dasar. Mereka enggan membawa Tio kecil bersama mereka. Tio saat itu menangis dan memohon pada mamanya. Tio ingin tinggal bersama mamanya. Mereka memang tinggal bersama. Namun saat Tio mulai ke jenjang yang lebih tinggi, Tio meminta sebuah apartemen untuk ditempatinya sendiri. Dengan mudah, mamanya membelikan apartemen atas nama Tio. Dan mulai saat itu Tio tinggal dan hidup sendiri. Tio yang masih beranjak remaja dipaksa keadaan untuk menjadi dewasa. Yang bertanya kakaknya, kakak Tio sudah tinggal di luar negeri saat itu. Dia juga masa bodoh dengan kehidupan adiknya. “Kok bisa sih lo tetap tertawa di saat kehidupan lo seperti ini?” “Seperti ini bagaimana? Menyedihkan ya? Tertawa ya tertawa saja. Hidup terlalu berharga buat memikirkan hal-hal yang cuman buat lo sedih. Selain karena terbiasa, gue juga sudah melupakan keberadaan mereka di dunia ini. Kalau gue sudah cari duit sendiri juga gue enggak akan menerima pemberian mereka. Mau mereka sakit atau mati sekalipun, gue enggak peduli. Ya kaya yang mereka lakukan ke gue.” Tio mengedikkan bahunya acuh. Memasukkan kue kering selanjutnya ke dalam mulut. Seperti orang tuanya yang memilih lepas tangan, Tio juga. “Lo yang bahkan sekarang sudah enggak punya siapa-siapa masih bisa bertahan. Lah gue, gue masih punya nenek Anah dan semua pekerja yang sudah seperti keluarga. Tapi gue malah pilih mengakhiri hidup. Haha, gue terlalu merasa jadi yang paling menderita.” Nirina menertawai kebodohannya sendiri. Nirina malu pernah mencoba mengakhiri hidupnya. Tio membelalakkan matanya terkejut mendengar pengakuan Nirina. “Lo pernah mau mengakhiri hidup lo?” tanya Tio tak percaya. Nirina mengangguk. “Ya. Gue yang sedih dengan kepergian mama yang tiba-tiba dan kecewa sama papa yang sama sekali enggak mengkhawatirkan gye atau sekedar datang menjenguk. Papa terlalu bahagia sama keluarga barunya sampai lupa kalau gue juga salah satu anaknya. Miris banget ya. Ternyata kita sama, sama menjadi korban orang tua yang berpisah,” kata Nirina jujur. Yang Nirina butuh kan memang teman untuk berbagi kesedihan. Nirina tidak bisa membebani nenek Anah dengan semua kesedihannya. Hening cukup lama. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Nasib mereka memang sama. Menjadi korban keegoisan orang tua. Namun Nirina masih bisa dibilang beruntung karena mamanya selalu ada di samping gadis itu sampai menutup mata. Berbeda dengan Tio yang entah di mana mamanya berada. “Sudahlah. Sekarang yang perlu kita lakukan terus hidup dan membuktikan pada mereka yang telah menyiakan kita, bahwa kita bisa. Kita mampu bahkan tanpa mereka ada di samping kita. Sadarkan mereka dengan pencapaian terbaik kita. Balas dendam terbaik kan dengan menjadikan diri lebih baik dan menunjukkannya pada mereka,” ujar Tio. Nirina tersenyum. Tio benar. Nirina akan menunjukkan bahwa dia bisa hidup walau tanpa Haidar. Nirina akan membuat Haidar menyesal pernah menyiakannya. “Kita sukses bareng-bareng ya,” ucap Tio. Nirina mengangguk semangat. Mereka akan berusaha untuk menggapai semua yang menjadi tujuannya dengan jalan yang pasti akan berbeda. “Mau lanjut ke soal nomor dua?” tanya Nirina. Sepertinya mereka terlalu lama beristirahat. Sampai melupakan soal yang masih tersisa sembilan nomor. “Enggak deh. Sudah malas gue. Mau lihat punya lo saja nanti,” jawab Tio. Nirina memutar bola matanya malas. Baru tadi Tio berkata akan membuktikan pada orang tuanya sebuah pencapaian yang luar biasa. Tapi tugas sekolah malah minta untuk menyontek. “Cuman bercanda ih. Nanti gue coba kerjakan sendiri di rumah. Sudah mau malam. Enggak enak gue bertamu terlalu lama.” Sekarang memang sudah mendekati malam. Nirina menghitung dengan jari. Jadi, sudah lebih dari dua jam mereka duduk di sini? Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. “Makan di sini saja,” kata Nirina yang kasihan jika mengingat bahwa Tio tinggal seorang diri. Untuk makan harus memasak atau beli terlebih dahulu. “Kalau lo maksa sih ya sudah gue makan di sini,” ucap Tio. “Terserah Lo saja,” pasrah Nirina. Padahal tidak memaksa sama sekali. Keduanya makan setelah menunaikan salat magrib. Tio dengan semangat menyantap makanan yang tersedia. Sampai menambah dua kali. Nirina makin kasihan melihatnya. Apa Tio di rumah hanya makan makanan yang sederhana karena malas memasak? Kan bisa memesan padahal. Tapi ya itu, kadang memerlukan waktu yang lama. “Kaya enggak makan satu minggu saja,” cibir Nirina pelan. “Gue itu sudah lama enggak makan masakan rumah kaya begini tahu. Kangen banget,” ucap Tio dengan nasi yang masih penuh. Nirina tersenyum melihatnya. Makin menunjukkan bahwa Nirina bukan yang paling menderita di sini. Nirina bisa dengan bebas makan masakan rumahan setiap hari. “Nanti kalau nak Tio lapar, bisa datang ke sini saja. Atau mau setiap hari makan di sini juga boleh. Selalu ada makanan kok di sini,” sahut Anah yang ikut makan juga. Merasa kasihan melihat Tio yang begitu lahap makan. Tadi Anah juga sempat mendengar cerita Tio yang hanya tinggal sendiri. “Iya mas. Bibi selalu masak kok setiap hari. Enggak papa kan ya mbak,” ucap Bi Diah yang bagian memasak di rumah ini. Menatap Nirina meminta persetujuan. Nirina memang terbiasa makan dengan para pekerjanya di meja makan. Sedari dulu bahkan saat Diana masih hidup. Mereka benar-benar keluarga. Bukan sekedar majikan dan pekerja. Nirina menganggukkan kepalanya. “Iya, kalau mau makan ke sini saja. Tapi ya tahu dirilah buat bantu isi kulkas.” Semua tertawa mendengar ucapan Nirina. “Tenang saja. Duit bulanan gue banyak kok. Mau beli super marketnya juga bisa,” jawab Tio santai. Setelah kenyang makan, Tio pamit tidak lama setelahnya. Sudah terlalu lama di bertamu. Nirina pasti ingin beristirahat. Tio sih betah saja berjam-jam di rumah Nirina. Terasa ramai tidak seperti di rumahnya yang selalu sepi dan mencekam. “Gue balik dulu ya. Besok berangkat bareng gue,” pamit Tio. “Ya, hati-hati di jalan.” Nirina memasuki rumah. Untung saja tadi sore sempat mandi terlebih dahulu jika tidak pasti akan malas mandi karena udara malam yang dingin. Nirina langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Hari ini begitu banyak pelajaran yang di dapat dari seorang bahkan kehadirannya sempat dirutuki Nirina. Nirina mulai harus banyak bersyukur dengan hidupnya sekarang. “Ternyata dia pandai menyembunyikan kesedihannya,” gumam Nirina. Nirina tidak pernah mendapati wajah sedih Tio. Wajah pria itu selalu cerah dan ceria. Tanpa tahu bahwa di baliknya menyimpan kesedihan yang begitu besar. Tio: Terima kasih untuk hari ini. Berkat lo dan semua orang yang ada di rumah lo, gue jadi merasa punya orang lain. Gue enggak sendiri lagi. Terima kasih dan maaf. Nirina tersenyum membaca pesan yang Tio kirimkan. Sebenarnya Nirina agak heran dan ingin bertanya. Kenapa setiap di akhir pesannya, Tio selalu menyempatkan untuk meminta maaf. Tio kan tidak mempunyai salah pada Nirina. Ingatkan Nirina untuk menanyakannya besok. “Kenapa gue jadi deg-degan ya kalau sama si Tio? Gue enggak suka kan sama dia?” Nirina menggelengkan kepalanya. Menghilangkan pikiran tentang itu. Meyakinkan diri bahwa itu terjadi karena Nirina tidak terbiasa dekat dengan pria. Wajar saja jadinya. Bukan hanya jika dengan Tio Nirina merasakan berdebar seperti itu. Saat ada teman satu kelasnya yang mengajak berbicara juga sama. Saat maju untuk ke depan kelas juga sama. Tapi, rasanya sedikit berbeda. “Enggak, semua sama saja,” sangkal Nirina. Lama kelamaan Nirina memejamkan mata sendiri. Menggapai mimpi. Nirina tidur dengan senyum yang tersungging. Entah apa yang gadis itu lakukan dalam mimpi. Yang jelas sangat bahagia sampai senyumnya tidak putus. Huh, memang banyak yang bilang jika mimpi itu lebih indah daripada kenyataan. Dan banyak juga yang setuju akan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD