My Destiny | 5

2665 Words
Menjelang pagi yang cerah, sesuai jadwal mereka kemarin hari ini melakukan olahraga bersama di halaman belakang rumah Liona yang kebetulan sangat luas dan asri dengan banyaknya pepohonan serta tanaman bunga yang bermekaran. Semua sudah mengganti pakaian serba ketat dan terbuka, hanya Syeila yang menggunakan jaket--tertutup. Hal ini menimbulkan rasa curiga di hati Rara, apa mungkin Syeila mengenakan pakaian tertutup untuk menutupi jejak kepemilikan Alex semalam? Apa mereka benar berhubungan intim lagi? Aish, Rara memang senang sekali menyakiti perasaannya dengan pemikiran negatif yang selalu bermunculan akhir-akhir ini. Sialan! Dengan percaya diri, Rara menyusul teman-temannya dengan pakaian olahraganya yang benar-benar serba kekurangan bahan. Rara mengenakan sports bra setali dipadukan dengan celana bahan senada ketat selutut, kulit putih bersis tanpa lecet di bagian mana pun itu di ekspos sengaja. Menonjolkan dengan sangat sempurna lekuk tubuh Rara yang kian indah seiring dia beranjak dewasa. Tuhan memang nampak berpihak kepada Rara, Dia memberikan semua yang terbaik untuk gadis itu hingga terlihat memesona. Calvin yang tadinya sibuk bercengkrama dengan Ryi, Jonathan, dan Alex kini memusatkan perhatian kepada perempuan yang dia gilai selama ini, Rara. Tidak, tidak hanya Calvin sendirian. Namun Ryi, Jonathan dan Alex juga. Hanya saja, Ryi dan Jonathan nampaknya adalah lelaki setia dan tidak mata keranjang. Kedua lelaki itu hanya menatap sebentar, mereka sudah cukup dengan pasangan masing-masing. Berbeda dengan Ryi dan Jonathan yang nampak biasa saja, Alex langsung melotot dan mengetatkan rahangnya. Kedua tangannya terkepal erat memerhatikan Rara ketawa-ketiwi bersama para perempuan di sebelah sana. Tidak ada rasa malu dan canggung bagi Rara ketika mengenakan pakaian serba kekurangan bahan itu. Rasa bersalah hingga berdosa pun sepertinya tak dia pikirkan. Kurang cepat, Calvin lebih dulu beranjak dari tempatnya menyusul Rara. Dia merangkul gadis itu tanpa beban sedikit pun. "Benar-benar sempurna," komentarnya pada Rara. Mengagumi secara penuh, sampai rasanya perhatian lelaki itu tidak teralihkan dari Rara. Rara tahu maksud Calvin, namun hanya membalas dengan kekehan kecil. Liona memukul Calvin di perutnya. "Jangan coba-coba lo godain Rara ya, Calvin! Dia terlalu baik buat lelaki b******k kayak lo!" peringat Liona kejam tanpa memikirkan perasaan lelaki itu. Untuk saja Calvim kebal, dia tahan banting menerima cibiran teman-temannya. Benar, Calvin pernah menjadi lelaki paling b******k di antara Ryi dan Jonathan. Tapi nampaknya kali ini dia akan berubah jika Rara menjadi miliknya. Calvin tipe lelaki setia jika sudah berpegangan dengan komitmen. Apalagi dengan sosok Rara--semua orang tahu dia adalah gadis yang selama ini Calvin gilai sampai hilang akal. Calvin menghela napas berat. "Ayang Rara nerima aku apa adanya kan ya?" Lelaki itu menaik turunkan alisnya, meminta persetujuan dari Rara sendiri. Bukannya menjawab 'iya', Rara malah menyikut perut Calvin. "Nggak!" balasnya sarkas. Devina, Liona, dan Syeila langsung menertawakan kekalahan Calvin. "Resek, nggak seru ah!" Calvin memonyongkan bibir. Segera Devina menaboknya. "Kurang ajar tuh bibir lo, Vin! Kek kurang belaian aja lo lama-lama ya. Noh di luar sana, masih banyak cewek yang ngantre kasih sayang lo." Calvin menaikkan bahu cuek. "Gue nggak peduli. Tuhan sudah menakdirkan bidadari buat gue, nih di sebelah gue sekarang dia. Tinggal usaha sedikit lagi buat meyakinkan. Benar gak, Ra?" Rara geleng-geleng. "Iyain aja, biar kamu senang!" Calvin memeletkan lidah kepada para cewek. "Tuh dengerin ya. Jangan terlalu julit lo sama gue. Dukun bertindak nanti, mampus lo pada ngejar-ngejar gue sampai mohon-mohon gak jelas." Devita mengangkat tangan, kembali berniat memukul mulut kurang ajar Calvin. "Enyah lo! Gue cekik juga ya biar mampus duluan." Calvin tertawa. Dia memilih mengacak-acak rambut Devina. "Lo tuh pemarah banget di antara yang lain, untung Jojo tahan mental. Coba enggak, bisa-bisa gila anak orang ngadepin manusia jenis lo begini." Lantas bergidik ngeri. "Vin, sebelum gue tendang tulang kering kaki lo mending enyah sana! Kumpul sama para cowok lain, ribut aja lo bawaannya kalo bareng para cewek." Liona menatap tajam Calvin, tidak main-main dengan ucapannya. Cewek itu memang sering sebal jika Calvin sudah berulah begini. Namun meski begitu, mereka tetap bersahabat dengan baik. Memang dalam pertemanan tidak semua hidupnya lurus, pasti ada saja yang setengah belok--seperti Calvin ini misalnya. Untung sultan dan rupawan. Calvin mengusap rambut Rara sebentar, "Aku pemanasaran bareng yang lain dulu. Kamu semangat olahraganya. Oke?" Rara hanya membalas dengan anggukan pertanda bahwa dia mengerti. Sedari tadi sebenarnya Rara menyadari jika Alex sesekali menghunuskan tatapan kepadanya. Hanya saja, Rara mencoba bodo amat. Rara sudah dapat menduganya jika Alex lagi-lagi tak setuju dengan cara berpakaiannya. Heran! Sikap Alex super membingungkan, nanti kalau Rara mengambil hati, ada saja celah untuk dia dijatuhkan hingga ke dasar. Senang sekali membuat Rara sakit hati, giliran Rara ingin bersama lelaki lain, dia juga yang duluan mengamuk tidak jelas. "Ayo, kita pemanasan di tempat dulu sebelum lari memutari halaman ini." Rara berseru semangat. Dia memutar musik yang biasanya memang digunakan sebagai pemanasan. Menggerakkan dari posisi atas hingga bawah--kaki. Agar tidak ada anggota tubuh yang terkejut nantinya. "Berapa kelilingan nih niatnya?" tanya Devina sebelum memulai berlarian kecil. "Lima kayaknya. Semampunya ajalah gitu." Rara mengangkat bahu, biasanya dia melakukan lima kali namun jika waktunya terbatas hanya tiga kali putaran saja. Semua setuju. Rara memimpin, disusul oleh Syeila, Liona, dan Devina. Berbeda dengan para perempuan, para lelaki nampak melakukan olahraga lebih berat. Biasalah, kekuatan keduanya juga memang berbeda. Calvin melambaikan tangannya pada Rara. "Ra, coba sini sebentar!" panggilnya ketika melihat Rara mengatur napas habis berlarian kecil lima putaran. Rara menatap datar, menolak. "Sini, bentaran doang." Akhirnya, Rara hanya bisa menuruti. Memangnya mau bagaimana lagi? "Gue ke sana dulu!" Rara melangkah menuju ke arah Calvin, sorot tajam dari Alex terlempar padanya. Tampak mengerika, tetapi Rara masih bersikap tidak peduli. "Apa?" Calvin memposisikan dirinya seperti gerakan akan push-up. Tidak hanya rupawan, Calvin juga memiliki badan yang atletis. Otak tercetak jelas di lengan, d**a, kaki, perut, maupun punggung kekarnya. Lelaki itu memiliki badan yang seksi dengan warna kulit sedikit kecokelatan, membuat siapa saja akan bersedia jika berada di bawah kuasanya. "Naik kepunggung. Temani gue olahraga." Alex melotot, dia ingin menghentikan juga tidak mungkin. Apa kata yang lain jika dia membatasi Rara sementara di sisinya ada Syeila sekarang? Argh, Alex paling membenci situasi seperti ini. Harapan satu-satunya ialah tolakan dari Rara sendiri agar tidak terjadi olahraga antara Calvin dan Rara. Rara terdiam, dia melirik sekilas ke arah Alex yang sedang mengetatkan rahang. "Ra, sebentar aja. Sini!" "Ah, ya ... ya sudah." Alex merasa tertampar, jawaban Rara tidak seperti harapannya. Kenapa harus menerimanya? Apa Rara juga sedang ganjen? Apa sebegitu gampang dia mengiyakan ajakan lelaki? Rara melangkahkan kaki lebih dekat pada Calvin. Perasaan Alex semakin memanas saja. Lihat, pakaian minim Rara menampilkan secara jelas keringat yang mengucur dari daerah lehernya. Hah! Alex ingin rasanya menyeret gadis keras kepala itu keluar dari halaman ini. "Gimana aku naiknya? Eh, maksudku ... posisinya seperti apa?" Rara bertanya gugup. Dia tidak tenang sementara Alex sama sekali tidak berkutik, namun tatapannya semakin tajam. Siap membunuh. "Ra, apa sebaiknya nggak usah? Nanti kamu jatuh kalau nggak bisa menyeimbangkan tubuh." Alex bersuara pelan, dia mati-matian menahan amarahnya. Syeila mengangguk membenarkan. "Benar, Ra, apa yang Alex bilang. Apa sebaiknya enggak? Kamu bisa jatuh." Liona geleng-geleng kepala. "Vin, jangan mengada-ngada deh lo! Rara bukan gue dan Devina yang sering lakuin hal itu ketika berolahraga. Kami udah terbiasa mengatur keseimbangan, sementara Rara belum. Dia jatuh, lo berarti siap gue tendang ke neraka paling ujung!" Rara menengahi. "Udah, nggak apa. Aku emang belum pernah mencoba sebelumnya, tapi aku pengen. Hitung-hitung sebagai pembelajaran buat menyeimbangkan diri." Calvin tersenyum lebar penuh kemenangan. "Benar! Rara hanya belum bisa, karena belum mencoba. Kalau udah mencoba nanti, tinggal dibiasakan. Akhirnya ... bisa deh!" Kemudian terkikik geli. Ciri khas seorang Calvin, ekspresi tanpa dosanya memang sangat mengesalkan. Minta ditendang sampai ke belahan dunia lain. "Ayo, Ra, naik. Cuman dua puluh kali hitungan turun naik. Sebentaran doang." Calvin mengusap tangan Rara, lalu mengecupnya singkat. "Makin sayang deh." Devina dan Liona menunjukkan sikap ingin muntah. Syeila hanya tertawa. "Bacot amat lo, Vin!" Jojo terheran-heran. "Udah, Ra, naik aja. Nanti kalau ada apa-apa, tinggal Calvin si sultan ini kita seret ke meja hijau." Rara terkikik geli. Dia segera memposisikan diri di atas punggung Calvin. Duduk di tengah-tengah dengan bersila serta tubuh tegak sempurna. "Udah, Vin." Calvin tersenyum. Tubuh Rara lebih ringan dari tubuh gebetannya dulu, gampang. "Fokus ya, Ra. Jangan memikirkan banyak hal, berusaha menjaga keseimbangan juga." "Heem. Ayo!" Calvin segera menaik turunkan tubuhnya, otot-otot lengan menyembul dari permukaan yang sebelumnya memang sudah sedikit menonjol. Wow, semakin seksi saja! "Sayang, sini kita kayak Calvin sama Rara juga. Seru kayaknya." Ryi menyenggol Liona yang masih fokus memerhatikan Rara, cewek itu takut sahabatnya jatuh dan terluka. Mereka begitu saling menyayangi dan melindungi selama ini. Liona tersadar, dia menoleh ada kekasih tercintanya yang sekarang status sudah bertunangan. Niatnya, mereka akan menikah muda. Di antara yang lain, hubungan Liona dan Ryi lah paling aman dan damai. Mereka tidak pernah bertengkar hebat hingga tak saling berbicara, keduanya terlihat sama-sama sangat dewasa kalau soal urusan berpikir dan bersikap. Jika ada masalah, pasti membicarakannya secara baik-baik dan dalam kepala dingin. Berbeda dengan Devina dan Jonathan, hubungan yang selalu dominan bertengkar--lebih tepatnya Devina yang sering marah. Untungnya, keduanya saling melengkapi dengan Jonathan yang sangat penyabar. "Ayo!" Mata gadis itu berbinar. Liona paling senang posisi olahraga seperti ini. Apalagi jika Liona tengkurap di atas punggung Ryi sambil menopang dagu. Seperti tempat santai paling menyenangkan. Ryi mengusap lembut puncak kepala Liona. "Ayo, sini." Devina menoleh pada Jonathan. "Ayang Jo, ayo kita olahraga bareng juga dengan gaya berbeda." Jonathan mengernyit. "Mau push-up juga?" Devina menggeleng. "Enggak. Aku mau bergantung, jagain aku biar nggak jatuh ya." Jonathan mengangguk. Dia merangkul bahu Devina. "Yeay, makasih, Ayang!" Syeila hanya tertawa melihat pasangan keduanya. "Kamu mau olahraga apa?" tanya Alex peka terhadap suasana. Syeila mengangguk. "Yang ringan-ringan aja, Sayang, kamu jangan terlalu banyak lelah. Ayo." Rara hilang fokus mendengar ucapan manis Alex pada Syeila, keseimbangan tubuhnya seketika ambyar. "Aaaargh!!!" Gadis itu terjungkal ke belakang tanpa siapa pun bisa mencegahnya. Alex yang tadinya baru saja beranjak beberapa langkah, kini secepat kilat berlari lagi ke arah Rara. Segera mengangkat gadis itu dan membawanya ke atas kursi panjang. "Rara?!!!" Syeila berteriak, teman yang lain langsung menyusuli dengan wajah kaget semua. Rara juga kaget, wajahnya langsung pucat dan membuat tubuhnya bergetar. "Alex, kepalaku ... kepalaku berdarah?" tanyanya ketika menyentuh bagian paling sakit ketika terjatuh tadi. Ternyata ada sedikit noda merah. Mungkin kepala Rara tadi terbentur semen ujung kolam renang. Alex langsung panik, dia memeriksa kepala Rara yang memang benar sedang terluka. Untung saja hanya luka kecil. Liona datang dengan kotak P3K. "Ini, Kak!" Menyerahkannya kepada Alex untuk mengobati Rara. "Kan, Calvin!" Devina meninju lengan Calvin yang masih nampak tak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Mulutnya terbuka, dengan tatapan mata kosong. "Ha? Gue n-nggak sengaja. Gue nggak tahu kenapa Rara bisa jatuh padahal tadi gue rasa posisinya seimbang." Rara terisak, entah apa yang paling menyakitinya. Entah perhatian Alex pada Syeila atau luka pada kepala dan rasa sakit pada lehernya. Syeila duduk di sisi Rara, mengusap punggung tangannya sembari menenangkan. "Sebentar lagi sembuh, Alex yang akan mengobati luka kamu." "Kak Alex, sebaiknya Rara dibawa pulang saja. Biar dia bisa istirahat lebih banyak, wajahnya pucat banget. Kayaknya Rara sangat terkejut, nanti aku susulin dengan membawa tukang urut ke apartemennya. Leher Rara juga pasti sakit karena posisi jatuhnya kepala lebih dulu tadi." Alex mengangguk mengiyakan. "Tolong, Sayang, bantu bereskan pakaian Rara dulu. Kita pulang habis ini." Syeila mengangguk. Dia ke kamar untuk membereskan pakaian Rara ke dalam tas seperti kemarin. "Dev, telepon tukang urut yang biasanya. Bilangin siap-siap abis ini biar dijemput langsung ke apartemen Rara." Liona menatap Devina. Kebetulan tukang urut itu posisinya searah dengan rumah Devina. Biasanya jika mereka lelah berkegiatan pasti memanggil tukang urut. Devina mengangguk. "Sayang, kamu sebaiknya sama Ryi bersih-bersih dulu aja, masih sempat kok. Nanti setelah itu enak kita langsung berangkat aja." Jonathan mengangguk. Dia dan Jonathan beranjak ke kamar mereka masing-masing. "Ra ... gue minta maaf. Gue nggak bermaksud--" "Vin, bukan waktunya sekarang. Rara masih kaget, dia takut." Rara yang tadinya menunduk dalam, kini mengangkat kepalanya. Dia menatap Calvin kemudian mengangguk pelan. "Salah aku, nggak usah minta maaf. Aku yang tiba-tiba lemas, terus jatuh." Lantas menyunggingkan senyum tipis. Calvin mengangguk saja. Dia mengusap pipi Rara. "Tetap aja gue yang salah. Maaf sudah buat lo celaka." Rara tersenyum, dia akhirnya memilih mengangguk. "Thanks udah mengkhawatirkan gue. Kamu susul Ryi sama Jojo aja. Bersih-bersih. Nanti ikut ya ke apartemenku. Aku baik-baik aja, mungkin emang sedikit kaget dan nggak nyangka." Lalu memberikan senyuman tipis. Alex yang baru saja selesai mengobati luka di kepala Rara mendengkus kesal. Dia yang paling mengkhawatirkan keadaan gadis itu, tapi malah bersikap manisnya ke Calvin. Kurang ajar sekali! "Aku gendong, kita pulang sekarang aja. Sama aku!" Alex menyudahi obrolan di antara mereka. "Jangan mengeyel lagi Rara, lihat apa yang terjadi kalau kamu selalu bersikap keras kepala." Rara memberengut. "Ya, ya. Kamu berlebihan. Memangnya aku patah tulang kaki apa pakai di gendong segala?" Alex tak menyahut, dia berjongkok di hadapan Rara--menyuruhnya agar segera naik ke punggung untuk digendong sampai ke mobil. "Liona, tolong berikan Rara jaket. Pakaiannya terlalu terbuka." "Aku bisa jalan sendiri. Nanti dibantu sama Liona." "Rara?! Jangan membantah lagi. Apa mau setelah ini tangan atau kakimu yang ketimpa?" Rara dengan tega memukul kepala Alex, entah dapat keberanian dari mana. "Ngomongnya dibenerin sedikit. Jangan-jangan kamu yang mendoakanku sampai kejadian seperti ini! Iyakan, ngaku nggak?!" Alex menghela napas. "Jangan main-main, aku sedang kesal saat ini sama kamu Rara. Cepat naik atau aku lempar kamu ke kandang harimau Liona!" Rara bergidik ngeri. Dia memang sangat penakut soal hewan buas. Segera Rara melingkarkan kedua tangannya pada leher Alex, sebelum pria itu benar-benar serius dengan ucapannya barusan. Menakutkan juga jika Alex sampai marah besar, bumi saja bisa dia putar balik. Hih! "Lain kali jangan memakai pakaian seperti ini kalau tidak mau aku marahi di hadapan teman-temanmu. Baru saja tadi malam aku memperingatkan, tapi pagi ini kamu kembali berulah. Selalu saja menguji kesaranku, sampai aku tidak habis pikir." Alex mengutarakan kekesalannya pagi ini kepada Rara ketika mereka sampai di mobil. Rara hanya memajukan bibir, nampak sebal juga. "Terserah aku dong. Lagian ini tubuh aku yang menjadi tontonan, bukan tubuh kamu." Alex berdecak semakin memanas. Dia dengan gemas mencubit lengan Rara sampai gadis itu meringis. "Sakit, Alex!" pekiknya sambil mengusap-usap kulitnya yang sudah memerah. Bibirnya semakin persis bebek. "Sakit kan? Begitu juga perasaan aku lihat kelakuan kamu akhir-akhir ini. Entah kenapa sekarang kamu emang senang membuatku ingin memangsa manusia. Pandai membuatku marah dengan hal-hal yang seperti ini." Alex menatap datar. Dia sangat serius sekarang, marahnya tak main-main. Rara dapat melihat dari caranya menatap. "Benar saja tubuh kamu yang menjadi tontonan, bahkan bukan aku yang rugi. Tapi apa aku bisa membiarkannya begitu saja? Sejak kecil aku selalu berusaha melindungimu dan Ayaa, apa dengan melihatmu begini aku bisa diam saja tanpa beban sedikit pun? Kamu jangan gila!" Rara mencibir. "Terserahlah. Kamu sepertinya terlalu berlebihan denganku, harusnya kamu lakukan itu pada Syeila. Kesian kan dia bisa saja cemburu dengan kedekatan kita selama ini. Ada baiknya kita jaga jarak, beneran. Aku serius kali ini." Alex melotot. Mimpi buruk ialah jika dia diharuskan berpisah dengan Rara. "Tidak!" "Kenapa?" "Karena kamu sudah aku anggap adikku, sama seperti Ayaa. Kita selalu bersama, bagaimana pun caranya. Bila di sana ada kamu, berarti ada aku juga." Rara menggerutu habis-habisan. "Tapi kamu keterlaluan. Jangan terlalu mengaturku. Aku nggak suka. Sana atur aja Syeila. Kalian berdua memang cocok, berbeda denganku. Kita memang bertolak belakang." "Apa sih? Kamu semakin nggak jelas omongannya, sulit dimengerti." Alex berniat menyudahi obrolan tidak berfaedah ini. "Lihat sekarang ketika kamu sakit begini, aku juga ikut merasakan hal yang sama. Kamu selalu membantah, padahal aku bersikap begini untuk kebaikanmu. Bukan hanya keluargamu, tapi keluargaku juga begitu mencintaimu. Semua menyayangimu. Jangan buat mereka kecewa dengan kebebasan kamu yang tanpa aturan. Jadilah Rara seperti kemarin, lupakan persoalanku dengan Syeila. Aku minta maaf untuk itu, sudah kesekian kalinya aku katakan ... aku benar-benar tidak bermaksud--" "Nggak ada kata terbaik buat aku. Kamu mengecewakan, kamu tahu itu." Rara memalingkan wajahnya, tidak lagi berniat menatap Alex. Dia sungguh kesal, kali ini beneran ingin memukul Alex habis-habisan. Alex terdiam seribu bahasa, bertepatan dengan kedatangan Syeila yang menyelamatkan keduanya dari perdebatan dan kecanggungan setelahnya. Kemudian ketiganya pergi meninggalkan pekarangan rumah Liona setelah berpamitan beberapa saat lalu. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD