My Destiny | 4

3412 Words
Rara berusaha mengabaikan Alex dan juga Syeila. Keduanya nampak serasi dengan kemesraan yang sangat kentara. Membuat siapa saja melihat hubungan mereka tak segan menebar pujian. Alex adalah pria rupawan, bertemu dengan Syeila yang juga memiliki paras terpahat apik. Mereka seperti dua pasangan yang hampir mendekati kata sempurna, begitu berpengaruh dalam bidang kesuksesannya masing-masing. Sekarang lihat, siapa Rara? Oh astaga, dia hanya butiran debu yang tak pantas bersanding dengan keduanya. Meski orang tua Rara tergolong jajaran keluarga berada yang memiliki banyak aset di mana-mana, tetap saja Rara masih gadis kecil yang cuman bisa bermain alat musik biola. Bahkan dalam segi pengetahuan, Alya selalu lebih unggul darinya. Rara pas-pasan, dia sangat takut menjadi keturunan Frenzo yang mengecewakan. Lihat Remon--ayahnya, begitu cerdas tak tertandingi, hampir semua orang mengakui cara olah pikirnya. Julia, ibunya adalah pengusaha muda pada jaman dia muda dulu, wanita cerdas yang selalu berhasil memecahkan target perusahaan dalam jumlah yang menakjubkan. Sementara dirinya apa? Hanya Alex, lagi-lagi Alex dalam pikirannya. Penuh dengan pria itu, tidak tahu diri sekali. Selain mencintai Alex, tidak ada keahlian lain, menyebalkan sekali kedengarannya. Rara mengubah posisi duduknya ke pangkuan Calvin, lelaki itu dengan senang hati menerima. Malah menambah kesan intim dengan melingkarkan lengan pada pinggang ramping Rara. Ini menakjubkan, Rara yang biasanya selalu membatasi diri padanya malam ini rupanya akan segera dia dapatkan. Calvin sudah lama mengincar Rara, lelaki itu begitu menyukainya. Bagi Calvin, mendapatkan Rara adalah kebahagiaan. Bahkan di umurnya yang masih di angka dua puluh tahun, lelaki itu berniat membawa Rara ke jenjang lebih serius--pernikahan--jika menerima cintanya. Hey, kenapa Alex tak seperti Calvin? Rara tidak menyukai Calvin, melainkan sosok menyebalkan si Alex. Dunia memang selucu ini. Selalu ada orang yang begitu menginginkan kita, sementara kita dengan tidak tahu diri malah menginginkan yang lain. Double s**t! "Bolehkan aku duduk seperti ini?" tanya Rara pada Calvin memastikan. Sebelah sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman sinis, sulit diartikan. Dia sebenarnya tahu betul jika posisi saat ini begitu dinantikan Calvin, hanya ingin mengetahui jawaban lelaki itu saja. Tidak tahu apa yang dia pikirkan, Rara bertindak sejauh dan seliar ini. Hanya gara-gara cemburu dengan kedekatan Alex dan Syeila? Entahlah. Dia mungkin sudah terlihat sinting, tapi ini tidak terlalu buruk. Rara akan keluar dari zona nyamannya untuk mencari keadaan yang lebih baik. Berada dalam pesakitan terus bukan pilihan yang tepat. Tapi ini baru rencana saja, tidak tahu kapan akan terlaksana. Untuk saat ini, perasaannya secara penuh masih milik Alex. Calvin mengangguk. Dia mengusap pelan punggung sampai pada daerah pinggang Rara secara berpola, tatapan Calvin begitu dalam seperti sedang menelanjanginya. Sebetulnya bagi Rara ini menggelikan, sangat tidak biasa dia terima. Namun untuk memancing perhatian Alex yang sedari tadi memang sudah tertangkap basah mencuri pandang kepadanya berkali-kali, Rara akan membuktikan jika dia bukan lagi gadis kecil ... Rara berusaha menikmatinya--bersikap baik-baik saja seolah dia tidak masalah dengan apa pun yang Calvin lakukan padanya. "Tentu saja tidak masalah, Beb. Setiap saat jika kamu menginginkan posisi ini aku siap memangku. Kamu begitu manis dan jinak hari ini, aku senang. Apa kamu baru saja salah makan?" Sambil terkikik geli, bercanda. Rara tersenyum singkat, kini kedua tangannya dia lingkarkan pada leher Calvin. Mulutnya komat kamit mengikuti alunan lagu yang sedang diputar. Sebentar lagi tepat jam dua belas malam, ulang tahunnya Devina. Saat ini cewek itu sedang bermesraan dengan kekasihnya, bahkan tak malu saling mencium ketika merasa bahagia satu sama lain. Rara tahu betul sejauh apa hubungan kasih teman-temannya, hanya dia dan Alya yang waras. Masih dalam tahapan wajar tak tersentuh. Meski begitu, Liona dan yang lainnya tak pernah memaksakan agar Rara maupun Alya mengikuti jejak mereka yang bisa dibilang sesat, tak berarah. Semua kembali ke pilihan masing-masing. Rusak pun tidak masalah lagi, sudah menjadi sesuatu yang biasa bagi mereka. "Kamu wangi banget. Pakai parfum yang beda dari biasanya ya?" Calvin menghirup dalam aroma dari tubuh Rara yang begitu wangi dan segar. Memang benar, Rara menggunakan aroma parfum berbeda dari biasanya. Dia ingin mencoba hal baru, meski kebiasaan lama masih sangat melekat. Siapa tahu banyak kebahagiaan baru juga kan? Berharap saja dulu, dikabulkan syukur, tidak pun tidak masalah. Rara akan mencobanya kembali. Rara tertawa. Kemudian mengangguk mengiyakannya saja. "Tetap wangi kan? Mungkin aku akan menggunakannya terus setelah hari ini." Calvin menangguk cepat. "Boleh. Lebih segar, sedangkan yang kemarin lebih lembut wanginya. Sama-sama memiliki ciri khas, aku suka dua-duanya. Selera kamu memang tidak bisa diragukan lagi." Senyuman lebar Calvin berikan. "Apa pun yang kamu pakai, tetap mengundang perhatian. Cuman cowok g****k yang menolak pesona kamu, Ra. Percaya sama aku." Andai Alex yang mengatakan hal itu, Rara yakin dia sudah melayang ke langit ke tujuh. Rara terkekeh. Dia mengangkat bahu cuek, menunjukkan sikap tidak terlalu memedulikan perihal satu ini. "Ya sudah, aku mau ke toilet dulu sebentar." Sebelum Rara berhasil beranjak dari pangkuannya, Calvin menghentikan. "Mau aku temani?" tawarnya. Tidak berpikir panjang, Rara langsung menggeleng cepat. "Nggak, Vin. Aku sendirian aja, sebentar kok. Kamu nikmati aja acaranya sama yang lain dulu ya, aku akan balik ke sini lagi." Calvin mengulas senyum, lalu mengangguk mengerti. Dia mengusap paha Rara yang malam ini mengenakan celana jeans mini. Rara melangkah keluar dari acara menuju toilet ujung yang ada di rumah Liona, keluar dari kebisingan yang memekakkan telinga. Rara sebal, dia tidak suka melihat Alex bersama Syeila. Tidak terima, cemburunya membumbung tinggi. Sebelum pintu kamar mandi berhasil di tutup, seseorang memaksa ikut masuk ke dalam. Rara tak sempat mencegahnya, tiba-tiba pintu sudah dia kunci dari dalam. "Kamu gila?" Rara membulatkan mata, kaget bukan main. "Keluar sekarang!" tegasnya tak ingin dibantah. Bagaimana jika orang lain tahu mereka sedang berduaan di dalam toilet ini? Alex tidak mengindahkan ucapan Rara, dia memasukkan kunci ke dalam saku celananya. "Ganti celanamu!" perintah Alex setelah memberikan secara paksa paper bag kepada Rara yang berisi celana jeans panjang. Rara mendengkus, bukannya menurut dia malah melempar paper bag itu ke sudut ruangan. "Nggak mau! Apa urusannya sama kamu? Aku nyaman dengan pakaian seperti ini." Alex menggertakkan gigi. Nyaman dari mananya? Mata Alex bahkan tadi ingin keluar ketika melihat Calvin terang-terangan mengusap paha Rara. Lancang sekali itu. Tanpa bicara, Alex mengambil paper bag itu kembali, menyerahkannya kepada Rara. "Ganti, Rara! Jangan mendebatku di sini, aku akan marah. Kamu sejak tadi sudah menguji kesabaranku dengan bersikap semaunya kepada teman lelakimu. Ini bukan Rara yang ku kenal, berhenti bersikap seperti ini, nggak ada keren-kerennya sama sekali!" "Oke, aku nggak lagi duduk di pangkuannya jika itu yang membuatmu tidak nyaman. Sekarang, keluarlah. Aku mau buang air, dan satu lagi ... jangan memaksaku untuk mengganti celana ini. Aku nggak mau." "Tidak, ganti dulu." Alex memberikan tatapan tajam untuk membungkam Rara. "Apa kamu pikir diusap lelaki di area seperti paha terbilang wajar? Menggelikan, kamu tahu itu!" Rara memberengut. "Lalu yang tidak menggelikan itu seperti apa? Berada di bawah kungkungan lelaki dalam keadaan telanjang, begitu?" Tidak ada yang mau mengalah, Rara malah menjawab gila. Membuat Alex menganga, tidak menyangka. "s**t! Berhenti membahas soal waktu itu, Rara. Aku sudah meminta maaf untuk hal itu sama kamu." "Keluar sekarang. Apa kamu pikir ini juga hal yang wajar, kita berdua berada dalam satu toilet yang sama?" Rara melihat kedua tangannya di depan d**a, tersenyum miring. "Sama saja menggelikan, tidak waras!" Alex mengepalkan tangan. Coba saja jika Rara bukan dia anggap sebagai adiknya, sudah Alex bungkam mulutnya dengan ciuman. Hanya saja, Alex masih tahu batasan di antara mereka. Rara benar-benar mengujinya, sabar. "Rara, plis. Apa susahnya menurut tanpa harus mendebat? Ganti celana kamu yang super pendek itu, sangat tidak mengenakkan dilihat." Alex memberikan penjelasan agar Rara lebih mengerti. Permukaan kaki jenjangnya membuat siapa saja salah fokus, begitu sempurna dalam keadaan mulut tanpa bekas luka atau apa pun itu. Alex cemas, lelaki akan memanfaatkannya untuk fantasi liat mereka. Menjijikan sekali, bukan? "Kamu yang terlalu mengurusi diriku, berhenti bersikap seperti ini bisa? Aku muak, sungguh. Aku sudah dewasa, aku tahu mana saja batasan yang harus aku lakukan meski menjalin kasih sekalipun dengan lelaki di luar sana. Aku tidak akan menyerahkan tubuhku kepada mereka--jika itu yang kamu takutkan--seperti Syeila. Ya ... kecuali aku sudah gila. Kita lihat saja nanti, semua tergantung bagaimana aku mau. Lagi pula, tidak terlalu masalah juga di jaman sekarang bercinta dengan kekasih tercinta, sudah lumrah. Kan?" Rara Alex mengetat. Dia menarik tangan Rara, menyentak tangan gadis itu untuk menyadarkannya. "Apa yang kamu ucapkan? Tidak ada yang wajar dalam urusan ini. Kamu masih terlalu kecil. Jangan ikut-ikutan yang lain, kamu jauh lebih waras dari mereka!" "Ya, ya, ya, terserah saja. Sudah, kamu ngomong terus ih dari tadi. Kapan keluarnya? Aku mau pipis." Rara mendengkus. Dia mengentakkan kaki, memaksa Alex keluar. "Ganti dulu celananya. Dengarkan aku, ini untuk kebaikan kamu juga." "Kenapa sih? Yang penting aku nggak telanjang kan? Aku masih mengenakan celana. Teman-temanku juga begini pakaiannya, bahkan lebih terbuka. Mereka semua biasa-biasa saja." "Aku gak mau peduli sama mereka, yang pasti adalah kamu. Ganti dulu, setelah itu baru aku keluar." "Cih! Syeila noh sering pakai rok span pendek, nggak kamu tegur tuh. Kenapa aku pakai repot-repot segala! Heran." Rara merebut paper bag itu dari Alex secara kasar, memberikan ekspresi teramat kesal. Moodnya seketika tambah buruk. "Iya, aku ganti. Sekarang keluarlah!" "Tidak, sebelum kamu menggantinya dulu." Mata Rara membola, mulutnya bahkan menganga. "Kamu bercanda? Aku akan berganti celana. Oh, atau kamu sengaja ingin melihatku telanjang di hadapanmu? Ck! Mata keranjang sekali, tapi tadi sok-sokan menegurku agar tidak begini begitu di hadapan lelaki lain." "Aku akan berbalik saat kamu menggantinya. Aku juga tidak berminat melihat tubuh kamu." Sebelum Rara menjawabnya lagi, Alex lebih dulu menghentikan, "Cepat ganti, jangan banyak bicara!" Setelah itu dia membalik tubuhnya membelakangi Rara. "Aku akan buang air dulu, baru mengganti celananya. Keluarkan, aku tidak akan berbohong." Alex menatap Rara dengan mata menyipit, penuh intimidasi. "Aku nggak akan bohong. Aku akan menggantinya, aku janji." "Coba kamu begitu dari awal, kita nggak akan buang-buang waktu untuk berdebat seperti tadi. Kamu terlalu keras kepala, aku sampai tidak habis pikir." Alex menghembuskan napas sambil menggeleng keheranan. "Habis ini, jadilah gadis yang manis. Jangan melakukan apa pun yang tidak sesuai dengan umurmu. Jangan terlalu jauh melangkah, kehidupan orang dewasa benar-benar tidak semenyenangkan yang kamu pikir." "Aku keluar, kamu tepati janjimu. Jika ketahuan berbohong nanti, aku sendiri yang akan menyeretmu di hadapan mereka." Setelah itu, Alex keluar. Rara berhasil dibuat bungkam. Lelaki itu benar-benar! Selalu saja pandai menguasai diri Rara. Menyebalkannya, Rara selalu kalah. Dia seperti milik Alex, padahal jelas sekali terlihat jika Alex mencintai Syeila. Rara segera buang air kecil seperti niat awalnya tadi, sesudahnya mengganti celana sesuai perintah Alex. Dia tidak mungkin membangkang lagi, Alex pasti akan marah besar. Dan jika itu semua terjadi, Alex tak kenal siapa dan di mana pun mereka berada. Dia akan marah, tidak ada siapa pun yang bisa mencegahnya. Begitulah kiranya, manusia datar jika sudah marah akan lebih mengerikan. Jujur saja, meski suka membantah, Rara akan takut juga jika Alex marah beneran. **** Rara kembali pada teman-temannya. Bergabung di sana sembari menunggu waktu yang kurang lebih tiga puluh menit lagi mencapai puncaknya. Devina sama sekali tidak mengetahui rencana ini, ruangan yang di hias tadi siang berada di kamar tamu. Nanti Jonathan--kekasihnya--menuntun agar membawa Devina ke sana. Calvin merangkul Rara posessif, mengajak mengobrol beberapa hal termasuk menanyakan perihal Rara yang lama sekali ke kamar mandinya. Alex berada di sofa seberang, masih bersama Syeila yang sedang mengobrol bersama teman-temannya. Wanita itu cepat akrab dengan orang lain, terlihat menyenangkan sebab dia memang begitu ramah. Siapa sih yang tidak menyukai Syeila? Wanita yang memiliki sejuta senyuman manis--mampu memikat--serta dengan segala kesuksesannya. "Aku tadi nggak sengaja menyiran celanaku, jadi harus mengganti lagi sama celana yang baru. Aku sedikit kerepotan sebab di toilet belakang nggak ada handuk atau apa pun. Untung saja Bibi lewat, aku minta tolong padanya." Calvin mengangguk. Dia sangat percaya dengan apa yang Rara ucapkan, tatapannya masih sama. Begitu dalam dan tersirat banyak kasih di sana. Percayalah jika Rara membalas perasaan lelaki itu, apa saja yang Rara inginkan akan Calvin berikan. Ketulusan lelaki itu dalam menyukai seseorang tak dapat diragukan lagi. Terlebih lagi saat mendengar Calvin tak pernah menjalin kasih sebelumnya, dia tipikal orang yang senang mencintai dalam diam. Namun, sepertinya sekarang sedikit lebih berani. Calvin terang-terangan mengatakan jika dia tertarik dengan Rara, menyukai gadis yang menurut pandangannya begitu menakjubkan apalagi pada saat bermain biola, sangat seksi dan sulit dijelaskan. "Andai saja aku temani, aku akan menolongmu lebih cepat. Maafkan aku." Calvin berbisik, Rara membalasnya dengan kekehan kecil kemudian mengangguk. "Tidak masalah, aku baik-baik saja." Sekitar sepuluh menit menuju jam dua belas, Jonathan segera melancarkan idenya. Dia berpura-pura ingin mengambil sesuatu di kamar tamu, minta ditemani oleh Devina. Awalnya gadis tinggi dengan gigi berpagar itu menolak, dia mendesis tajam karena sedari kemarin Jonathan nampak mengesalkan di matanya. Ada saja kelakuan lelaki itu yang membuat Devina marah dan ujung-ujungnya harus mengomel. "Ayang, aku mau ambil gelang jamku yang nggak sengaja ketinggalan di meja kamar tamu itu. Tadi aku sama Ryi duduk santai di balkonnya, kelupaan naruh di sana." Jonathan kembali merengek, pokoknya Devina harus setuju bagaimana pun caranya. "Sana udah, Dev. Temani Jojo dulu." Liona menyenggol lengan Devina, menyuruh menemani Jonathan. Devina menggeram, dia mencubit paha Jonathan kesal. "Kamu sih, resek banget dari kemarin juga! Ada aja kelakuannya yang bikin mood aku semakin buruk, ngeselin tahu nggak?!" "Udah, ih, kok malah pakai berantem segala?" Rara mencoba menengahi. "Dev, jangan marah-marah terus, nanti cepat tuir mau lo?! Sana gih temani Jojo dulu, setelah ini kalau dia nyari gara-gara lagi, gue temani ngehajar dia." Devina menarik napas, lantas beranjak lebih dulu baru kemudian di susul oleh Jonathan. Sementara Jonathan dan Devina menuju kamar tamu itu, Liona dan yang lainnya menjalannya rencana lain sesuai rencana. Rara dan Liona bagian membawa kue ulang tahun yang sudah terdapat lilin menyala. Alex membawa beberapa balon gas yang berbentuk hati, Syeila membawa beberapa balon gas berbentuk angka yang menunjukkan umur Devina saat ini--19 tahun, sementara Calvin membawa kamera untuk mengabadikan setiap momen mereka di malam yang indah ini. Yang paling penting, semua mengenakan topi ulang tahun yang bertulisan Happy Birthday Devina. Bersamaan dengan lampu kamar yang dinyalakan oleh Jojo, Rara dan teman-teman datang sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Devita menganga dengan mata terbelalak sempurna. Sampai air mata tak dapat dia cegah agar tak jatuh membasahi pipi. Dia begitu terharu. Jonathan langsung membawa Devina ke dalam pelukannya. "Selamat ulang tahun, By. Maaf sudah buat kamu kesal sejak kemarin." Jonathan mengecup puncak kepala Devina. Devina mengangguk haru. "Jadi untuk semua ini yang kamu bilang ada kerjaan di luar sampai nggak sempat buat hubungi aku?" Jonathan mengangguk, dia menangkup wajah Devina kemudian mengecup singkat bibir gadis itu. "Iyap, maafin aku. Selamat bertambah umur, semoga cinta kamu ke aku juga semakin bertambah." Jonathan menggoda, Devina malu-malu kucing. "Terima kasih, By." Kemudian pandangannya beralih pada teman-temannya. Meniup lilin kemudian masing-masing dari mereka mengucapkan selamat ulang tahun kepada Devina dan meminta maaf karena sudah mendukung ide Jonathan. Mereka juga menjadi dalang dari kekesalannya Devina. "Terima kasih banyak. Aish, gue jadi makin sayang sama kalian." Devina berdecak sebal. Malu mengungkapkan rasa sayangnya. Alex menunjukkan layar ponselnya ke hadapan Devina. "Ayaa telepon, dia mau ngomong katanya." Mata Devina melebar. "Ayaaa?!" "Iya, ini gue. Aduhhh senangnya sekarang sahabat gue satu ini udah nambah umur aja, tancap gas duluan di antara kita semua." Alya terkikik geli. "Selamat ulang tahun ya, Devdev! Semoga makin dewasa dan jadi baik hati--biar nggak gampal ngomel lagi. Kesian tuh Jojo ngadepin lo, sabar banget dia." Devina memajukan bibir. "Ah, bener banget. Makasih Ayaa, semoga secepatnya kita bisa bertemu lagi. Kita di sini merasa ada yang kurang karena lo misah sendirian ke sana. Jaga kesehatan, jangan terlalu banyak belajar. Lo juga perlu hiburan!" Alya mengangguk. "Siap, Bos!" Setelah itu panggilan telepon terputus, Alya tidak bisa terlalu lama mengobrol, saat ini di sana dia sedang ada latihan bermain biola bersama guru musik baru yang keahliannya juara, sangat menakjubkan dan luar biasa. Devina memeluk Jonathan, menenggelamkan wajahnya pada d**a bidang lelaki itu. Di susul oleh Liona yang juga berpelukan dengan Ryi, Alex dan Syeila, mau tidak mau Rara juga menerima dekapan dari Calvin meski ingin sekali menolak. Mereka menikmati acara kecil-kecilan di tengah malam dengan taburan jutaan bintang di langit. Semakin indah dengan adanya pesta kembang api menemani. Cuaca sangat mendukung, tidak hujan. Sekitar pukul satu malam, mereka kembali ke kamar masing-masing. Devita dan Jonathan tidur dalam satu kamar, bagi mereka hal ini sudah biasa dilakukan. Begitu pun dengan Liona dan Ryi, serta Alex dan Syeila. Rara? Dia menolak keras tidur dengan Calvin. Alhasil karena mereka berdebat, Rara tidur bersama Liona sementara Calvin bersama Ryi. *** Hingga pukul dua malam Rara tidak bisa menidurkan diri, sementara Liona di sebelahnya sudah berada di alam mimpi yang menyenangkan. Tidur gadis itu nyenyak sekali. Rara keluar dari kamar, berniat ke halaman samping--teras kolas renang, duduk di gazebo sambil menikmati secangkir teh. Rara benar-benar tidak mengantuk, dia ingin mencari angin untuk menenangkan sisa pikiran yang nampaknya belum bersahabat, membuat kepalanya pening. Tidak lama Rara menyendiri di gazebo, seseorang datang secara mengagetkan. "Kenapa belum tidur? Ini sudah malam, nanti kamu sakit." Alex, dialah orang itu. Tubuh jangkungnya hanya terbalut celana selutut dan kaos hitam. Apa Alex habis melakukan sesuatu bersama Syeila, lagi? Aish ... ini benar-benar menyakitkan bagi Rara. Apa dia memang tak memiliki kesempatan sedikit pun? Dia sebenarnya begitu tidak rela ada orang lain yang berada di bawah kungkungan Alex, berbagi kenikmatan bersama selain dirinya kelak ketika sudah menikah. Nyatanya ... Alex sangat berbeda dengan Alsen. Tidak tahu apa yang membuat Alex sebebas ini sekarang, dia berani meniduri wanita padahal tahu betul hubungan belum suami istri--ikatan suci pernikahan yang diberkati Tuhan. Mengecewakan! "Belum ngantuk." Alex mengangguk, dia mengambil tempat di sisi kanan Rara, menyandarkan punggungnya di sana dengan memejam beberapa saat. "Kenapa kamu malah di sini? Sana kembali ke kamarmu, pasti Kak Syeila nanti mencari kamu." "Dia sudah tidur." Sesantai itu Alex menjawab. Rara kehabisan kata-kata, gadis itu kemudian lebih memilih diam. Pandangannya berpusat pada langit yang nampak terang oleh para bintang. "Sekarang yang jadi pertanyaan, sampai kapan kamu di sini?" Rara menggeleng. "Tidak tahu. Sampai aku ingin tidur." "Bukannya tidak bisa tidur, kamu yang terlalu banyak pikiran hingga tak bisa mengistirahatkan diri." "Mungkin." "Apa yang kamu pikirkan sih? Jangan berat-berat, nanti kamu sakit." Alex menjadikan lengan sebagai bantalan untuknya. "Nggak tahu. Aku hanya sedikit kurang enak pikiran, ada saja rasanya yang mengganggu. Aneh ya?" Rara tersenyum singkat. Malam ini dia kedengarannya sedang tak ingin berdebat dengan Alex, capek juga ternyata. Alex tertawa kecil. "Kamu cantik kalau tersenyum, nggak pernah bosan aku mengatakannya. Jadi jangan banyak cemberut dan mengomel lagi, nanti ilang cantiknya." "Kak Syeila tahu kamu menggombaliku begini, dia mungkin akan cemburu." "Dia terlalu baik dan dewasa, tidak pernah aku melihatnya memperdebatkan hal-hal kecil agar menjadi besar. Dia mengerti jika kamu adalah adikku, sama seperti Alya. Kita tumbuh bersama, wajar jika sangat dekat sekali." Ucapan Alex tersebut membuat Rara menoleh. "Hem ... tidak seperti aku yang gampang ambekan. Kayak anak kecil kan? Hehe ... bukan kriteria kamu banget. Aku jadi malu." Lantas memalingkan wajahnya ketika Alex ikut menatap kepadanya. "Kamu memang masih kecil, Rara. Makanya bersikaplah sesuai usiamu ketika bergaul dengan lelaki. Siapa saja akan memanfaatkan kepolosanmu." "Kamu juga begitu?" Alex terdiam. "Aku pengecualian. Aku tidak pernah berbuat yang tidak-tidak padamu kan?" Rara tersenyum miring. Benar, tidak pernah melakukan yang ke arah intim! Tapi setiap perlakuan Alex-lah yang selalu mengarah pada yang tidak-tidak. Membuat Rara membawa perasaan, semakin dalam saja rasanya kepada pria itu. "Apa saling memeluk itu wajar?" Alex terdiam, dia mencoba memikirkannya terlebih dahulu. "Wajar." "Bagaimana jika berciuman?" "Rara?" Alex kaget. "Apa kamu ingin berciuman dengan lelaki? Bersama Calvin maksudnya?" Rara menggeleng. "Aku hanya bertanya. Soalnya jujur saja, aku juga penasaran bagaimana rasanya." Singkat, dia mengangkat bahu bingung. "Jangan berani-berani mencobanya. Kamu masih kecil, nanti saja kalau sudah dewasa atau menikah--bersama suami kamu." "Bukankah dalam sebuah hubungan pelukan dan ciuman wajar saja? Bahkan jika ingin melakukan hal lebih pun tidak masalah. Ada banyak contohnya, aku tidak bermaksud menyindir kamu." Rara memperjelas ucapannya agar Alex tidak merasa tersinggung. "Tetap saja tidak boleh." "Bagaimana jika keduanya sama-sama ingin? Maksudnya jika nanti aku dengan kekasihku. Misalnya ... kami ingin saling memberikan kasih sayang melalui gerakan tubuh? Bisa saja kan?" Alex langsung mengubah posisinya menjadi duduk, menatap horor Rara. "Tidak. Pikirkan paman Remon dan tante Julia jika kamu ingin ke arah sana. Mereka akan kecewa jika tahu pergaulanmu sejauh itu. Kamu kebanggaan mereka." "Apa sih? Aku hanya mengibaratkan. Tadikan sudah ku kata, misalnya. Bukan berarti sudah benar kenyataannya." Rara berdecak, dia sebal. "Sudahlah, aku ngantuk. Mau tidur." Lalu beranjak meninggalkan Alex dalam bisu. Pria itu kehabisan kata-kata sekaligus kaget bukan main. Apa Rara akan sebebas itu nanti? Aish, Alex tidak akan pernah membiarkannya. Gadis itu sudah Alex anggap keluarga paling dekat, sangat menyayanginya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD