Semua orang sudah kembali ke rumah masing-masing, kecuali Alex. Pria itu tetap pada pendiriannya untuk menginap beberapa malam di apartemen Rara dengan alasan menjaga gadis itu hingga sembuh total. Tadi tukang urut sudah mengurut bagian leher, pundak, dan punggung bagian atas Rara agar tidak terjadi kecacatan di kemudian hari. Tulangnya sudah diperbaiki, tinggal menunggu penyebuhan dengan beristirahat beberapa waktu.
"Apa kamu serius tidak ingin aku menghubungi Tante Julia atau Paman Remon untuk memberitahukan kondisimu saat ini?" tanya Alex lagi. Dia baru saja selesai menyuapi Rara untuk mengisi perut di waktu makan siang kali ini. Kemudian memberikan obat agar mengurangi rasa nyeri di kepala bekas luka yang tadi. Serta obat lain untuk membantu penyembuhan.
Rara bergumam pelan. "Mami akan sangat cemas ketika tahu keadaanku saat ini. Begitu pun dengan Papi. Mereka sedang sibuk mengurus pekerjaan masing-masing, nanti saja aku memberitahunya sendiri setelah sembuh. Kesian Mami kalau harus bolak-balik ke sini merawatku sementara Theo masih butuh pengawasan lebih, begitu pun dengan Chyntia yang belum bisa terlalu sering ditinggalkan."
Theo adalah anak kedua Remon dan Julia, anak laki-laki itu berusia lima tahun. Sementara Chyntia adalah adik paling kecil, dia baru saja genap berusia satu tahun.
Rara tidak tega jika selalu merepotkan Julia, sementara pekerjaan wanita mulia itu begitu banyak. Mengurus adik-adiknya yang masih kecil dan lagi super aktif seperti Theo.
Alex setuju dengan apa yang Rara usulkan. Ada baiknya juga seperti ini. "Ya sudah. Biarkan aku saja yang tinggal di sini beberapa waktu sampai kamu sembuh."
Rara menoleh kepada Alex. "Lho? Kenapa begitu? Aku baik-baik saja, sungguh. Aku tahu kamu juga begitu sibuk mengurus kerjaan kantor, aku bisa sendiri. Lagian mungkin besok aku sudah lebih baik. Hanya perlu istirahat bukan?"
"Setuju atau tidak, aku akan tetap di sini. Bibi Ann yang akan membantuku mengurusmu di sini. Makanya, setelah ini jadilah gadis yang manis biar nggak ada lagi kejadian begini. Susah banget dibilangi, kalau udah sakit baru merengek nggak jelas. Aku negur kamu untuk kebaikan, bukan mencelakai. Tolong didengarkan."
"Kamu menyakitiku terus!"
Alex menaikkan alisnya. "Menyakiti bagaimana maksudmu, Ra? Aku sejak semalam berusaha melindungi kamu, tapi terus saja mengeyel. Kamu sudah sebesar sekarang, kalau mau ngelakuin sesuatu ya dipikirkan dulu."
Rara memutar bola mata malas. "Iya, iya. Kamu bisa kembali ke kamarmu, aku akan tidur sekarang. Bukankah tadi katamu aku harus banyak istirahat?"
"Tetap saja mengesalkan, padahal kamu tahu keadaanmu sekarang tidak memungkinkan." Alex menggerutu sebal. Tidak habis-habis kelakuan Rara ini, semakin menjadi-jadi.
Rara mencibir. "Kamu sih menyulut emosiku terus. Banyak aturan banget, heran!"
"Harusnya aku yang bilang begitu. Kamu yang terlalu mengeyel di bilangi. Nggak mau dengar, padahal aku lebih tua darimu."
"Iya, iya, aku juga tahu kamu sudah tua. Udah berumur aja suka pamer. Heran aku!"
Alex menarik selimut hingga menutupi sebagian tubuh Rara. "Jangan banyak omong, mau aku sentil bibir kamu? Udah tidur, aku akan mengurus pekerjaan sebentar untuk rapat besok. Jangan mengadaliku, cepat tidur. Jangan teleponan dengan siapa pun, aku akan menyita ponselmu kalau tetap kolot!"
"Heem."
"Kalau perlu apa-apa tinggal hubungi aku."
"Iya."
"Apa sekarang sudah tidak ada yang dibutuhkan?"
Aku butuh kasih sayang kamu! Kalau saja memungkinkan, mungkin Rara sudah membalas dengan kalimat itu. Sayangnya ... Alex sudah milik wanita lain. Miris sekali kisah percintaannya.
"Tidak. Aku mau tidur. Aku capek. Kurang tidur sejak semalam."
"Huh? Bagaimana bisa? Ohhh ... berarti tadi malam kamu membohongi dengan mengatakan sudah mengantuk, akan tidur dengan segera. Kebiasaan sekali, sukanya mengadali orang. Paman Remon tahu kelakuan kamu, sudah dimarahi sejak semalam!"
Rara mengantup bibirnya rapat. "Bodohnya, pakai acara keceplosan lagi!" dumelnya dalam hati.
"Ah, aku memang mengantuk. Tapi pas sampai kamar, tiba-tiba rasa kantuk itu hilang. Bukan salahku, bukan aku yang mau. Tanyain aja sama mataku nih, kenapa susah tidur semalam."
Alex geleng-geleng kepala. "Ada-ada saja. Ya sudah, kamu tidur sekarang. Jangan coba-coba bohong lagi, aku akan memberi hukuman setelah ini."
"Eh? Beraninya kamu ngasih aku hukuman. Aku nggak takut ya!"
"Nggak usah nyolot, kamu lagi sakit gini makin gampang kalo mau aku angkut terus buang ke rawa-rawa!" Alex memicingkan mata, menggertakkan gigi kesal.
Rara mengerucutkan bibir. "Jahat banget. Kamu tega aku dimakan para serangga?"
"Jangankan serangga, dimakan hewan buas pun aku tontonin kamu. Biar tahu rasa!"
"Dih, kurang ajar banget itu mulut!" Rara berdecak. "Sudahlah, kalau terus berdebat, kapan aku tidurnya? Aku sudah mengantuk."
"Tidurlah. Aku akan pergi setelah kamu benar-benar tidur. Aku berubah pikiran, soalnya kamu pintar bohong sekarang."
"Aku serius."
"Aku tetap tidak percaya."
"Ngeselin." Rara langsung mengubah posisinya membelakangi Alex. "Pergilah. Aku akan tidur. Mana bisa aku tidur dilihati kamu gini, malu tahu!"
"Halah, biasanya juga kamu nggak tahu malu kalau di depan aku. Sejak kamu kamu punya malu?"
"Alex! Kamu pengen aku cekik? Udah ih sana, pergi nggak?"
Alex tertawa renyah. "Iya, iya. Ambekan banget." Setelah itu Alex benar-benar pergi dari kamar Rara. Kembali ke kamar biasanya dia jika menginap.
Seperginya Alex, Rara berdecak lagi. Kenapa dia sangat merindukan berbagi momen bahagia bersama Alex? Rasanya capek jika terus berdebat dan dalam keadaan mood buruk ketika berhadapan. Dia tahu senang Alex masih memerhatikan dirinya melebihi siapa pun. Apa dia menjadi prioritas?
Tapi kenapa hubungan di antara mereka tidak pernah lebih dari seorang Kakak dan Adik? Bukankah ini terdengar sangat miris?
Kasihan sekali!
***
Saat sore tiba, Rara sudah merasa dirinya lebih baik. Dia beranjak dari kasur, berniat mencari makanan di dapur untuk mengganjal perutnya yang sudah berbunyi sedari tadi, membuat tidurnya tidak lagi nyenyak. Ternyata terlalu banyak berbaring tidak baik juga, dia jadi pusing.
Rara turun ke bawa hanya menggunakan celana bahan setengah paha dan tanktop. Dia terbiasa mengenakan pakaian seperti itu ketika di rumah. Jika tidak dengan tanktop, maka Rara akan menggantinya dengan kaos kelonggaran, namun celananya tetap. Selalu celana pendek.
Rara pikir, suara siapa yang terdengar dari ruang telivisi. Ternyata di sana ada Alex dan Syeila yang sedang menonton bersama. Posisi Alex setengah berbaring, Syeila berada di dekapannya. Mesra sekali bukan dua sejoli itu? Kenapa harus menunjukkan hal itu di depan matanya? Rara benci. Dia tidak sama sekali suka dengan pemandangan yang membuat kepalanya semakin migren. Yang tadinya sudah agak baikan, kini masalah baru kembali bermunculan.
"Oh, hai Rara ...," sapa Syeila. Dia langsung bangun dari posisinya. Begitu pun dengan Alex. Keduanya duduk bersisian. Syeila menyunggingkan senyuman manis, sementara Alex datar. Rara melihat kecanggungan di wajah pria itu.
Rara berusaha menyunggingkan senyuman, kemudian mengangguk. "Hai, Kak. Sudah lama datang? Maaf aku baru bangun, aku kelelahan."
Syeila menggeleng. "Nggak apa. Aku paham kok, aku ke sini cuman mau nemenin Alex nyelesein kerjaannya."
Rara hanya membalas dengan senyuman tipis. "Apa Bibi An sudah menyiapkan kalian makanan? Kalau belum, nanti aku akan memintanya. Biar sekalian makan bersama, aku juga kebetulan lagi laper."
Alex beranjak dari tempat duduknya. Menghampiri Rara. "Bibi An lagi berbelanja. Aku menguruhnya, stok makanan di dapur sudah menipis. Kamu perlu banyak makan makanan sehat, kamu kurusan sekarang."
"Sayang, biar aku yang memasak untuk makan sore kita kali ini. Mungkin yang simple aja, nasi goreng ayam katsu teriaki misalnya? Hem ... ayamnya ganti sama cumi atau udang tepung?"
Alex menoleh pada Rara. "Kamu lagi kepengen nasi goreng? Atau ada menu lain, Ra? Nanti biar Syeila aja yang masakin sebentar."
Rara mengangguk saja mengiyakannya. "Apa pun, aku makan semua kok."
Syeila tersenyum lebar. "Oke." Setelah itu, Syeila bergelut dengan segala peralatan dapur untuk menciptakan masakan yang enak.
Alex mengusap rambut Rara. "Wajah kamu masih sedikit pucat. Apa beneran sudah lebih baik?"
Rara bergumam rendah. Lantas melangkah dulu. Mengambil posisi duduk di salah satu kursi bar dapur. Sembari menunggu nasi goreng siap, Rara mengganjal rasa lapar dengan roti selai cokelat kesukaannya.
"Rara, kata Alex kamu jago masak dan bikin kue?" tanya Syeila mencoba lebih mengakrabkan diri. Selama mengenal Rara, dia tak banyak saling bertukar obrolan. Hanya sekedar saling menyapa biasa.
Rara menggeleng. "Nggak jago, hanya bisa sedikit-sedikit. Karena sekarang aku jarang masak, aku jadi lupa, nggak terbiasa lagi menyibukkan diri di balik pantry."
Alex menoleh, dia tahu Rara berbohong. "Kamu bukannya lupa, hanya malas saja. Iyakan?"
Rara mengerucutkan bibir. "Cih! Sok tau."
Syeila terkikik geli. "Kalian berdua senang sekali berantem. Apa nggak bosan?"
Rara mengangkat bahu. "Sebenarnya Alex yang ngeselin, Kak. Dia selalu menyulut emosiku, setiap saat tanpa terkecuali!"
Mata Alex membola. "Heh? Nggak kebalik? Yang keras kepala siapa? Yang sering membuat kekacauan siapa? Kamu!" Dengan mata menyipit, Alex berkata tegas seolah mengungkapkan isi hatinya saat ini. "Dengar kan, Sayang, sekarang dia bahkan juga sudah menggilangkan sebutan 'abang' untukku. Tidak seperti dulu lagi, memang keterlaluan."
Rara mengolok. "Kalau aku masih memanggilmu dengan embel-embel abang, aku akan sungkan mengataimu. Aku nggak suka itu, aku akan tetap berbicara seperti ini."
Alex geleng-geleng. "Memang menyebalkan!"
"Biarlah. Kamu juga, senang banget ngurusin aku yang ngeselin ini. Sekarang, salah siapa?"
"Sudah, sudah. Alex, kamu yang lebih tua harusnya banyak mengalah. Rara memang lagi berada di usia selalu ingin dimengerti dan dipahami maunya apa. Nanti kalau dia udah beranjak kepala dua, semua akan berubah secara perlahan." Dengar, tidak pernah bosan menyebut Syeila adalah wanita idaman para pria. Dia wanita cerdas dengan segala pemikiran dewasanya. Tidak sama sekali terdapat keegoisan, Alex kelihatannya sangat beruntung bersanding dengan Syeila.
Alex menghela napas, tersenyum tipis. "Oke, Sayang."
Rara hanya mengelus d**a dalam angin, dia harus banyak-banyak mengebalkan perasaannya agar tidak melulu makan hati. Benar, mencintai seorang diri begitu menyiksa. Luka yang sulit disembuhkan.
***
Di ujung sofa panjang di ruang keluarga, Rara duduk di sana sambil melipat kaki seperti orang sedang kedinginan. Dia meratapi nasib ketika sesekali melihat kehangatan Alex dan Syeila. Keduanya cekikikan, Rara hanya ikut tertawa meski sebenarnya tidak sedang berada dalam obrolan mereka. Rara dengan segala pemikiran dan pandangan kosongnya, ingin berteriak agar Alex mengerti jika dia cemburu. Rara sakit hati sekali!
Rara menopang dagu, wajahnya begitu masam. Dia persis seperti anak yang dibuang, memprihatinkan keadaannya. Seketika Rara terbayang, bagaimana jika Alex dan Syeila menikah? Pasti keduanya selalu saling melengkapi kekurangan dan mengisi kekosongan masing-masing. Ah, kedua insan tersebut pasti penuh. Saling menyempurnakan, bahagia selamanya.
Kemudian bagaimana dengan kabar Rara?
Sudah dipastikan menjadi gadis paling tragis, hujan air mata hingga tujuh hari tujuh malam. Rara kalah dan merasa seperti dihempas kasar oleh kenyataan. Dia yang mencintai Alex sejak dulu, mengangumi sampai rasanya akan gila. Memberikan perhatian, pokoknya apa saja yang terbaik agar selalu membuat Alex bangga padanya. Rara mencintai terlalu banyak, hingga tidak pernah terpikir jika kehidupan akan sekejam sekarang.
Dulu dia dan Alex masih berada di dalam keadaan yang benar-benar menyenangkan, meski dulu Alex pernah patah hati kepada Kania yang berjodoh dengan Alsen. Setelah sembuh hatinya, Rara seperti tak mengenal Alex lagi. Ada beberapa sisi dari diri pria itu yang menghilang, Rara tak lagi menemukannya.
Kemudian sekarang, Rara mengerti. Sakit hati membuat banyak perubahan pada diri kita. Rara merasakannya, dia seperti menjadi orang lain sekarang hanya untuk menghilangkan pikiran yang membuatnya kacau tentang Alex.
Beginikah kejamnya mencintai tanpa dicintai?
Apa memang seperti ini rasanya? Rara bahkan tidak dapat menggambarkan seberapa banyak dia kecewa, namun hatinya lagi-lagi tetap memilih mendekap, mencintai Alex tanpa mau menolak. Dia bodoh, memang benar. Dia akui, tapi mau bagaimana lagi? Nanti, setelah hatinya benar-benar mati, semua akan berakhir tanpa siapa pun bisa mencegahnya.
"Rara, aku pulang dulu ya. Udah terlalu sore. Aku juga kebetulan mau ada pertemuan jam tujuh nanti, maaf tidak bisa menginap untuk menjagamu."
Rara tersadar dari lamunannya. Dengan menyunggingkan senyuman, gadis itu mengangguk. "Nggak pa-pa, Kak. Aku sudah lebih baik, ini akan segera sembuh kok. Terima kasih sudah membawakan buab-buahan dan menyiapkan makanan yang enak untukku. Jangan bosan mampir ke sini ya."
Syeila mengangguk. "Ya, enggaklah. Nanti kapan-kapan aku menginap di sini ya sama kamu. Kita bakar-bakaran jagung kayaknya seru."
"Boleh banget, Kak." Rara tersenyum lebar. Entah kenapa, Rara tidak bisa membenci Syeila. Lihat, wanita itu begitu baik padanya. Dia sangat tulus menyayanginya seperti keluarga sendiri. "Aku tunggu kedatangan Kakak selanjutnya ya. Lancar untuk pekerjaan Kakak."
"Siap. Terima kasih." Kemudian pandangan Syeila terarah pada Alex yang kebetulan sedang memerhatikan dirinya. "Sayang, aku balik sekarang ya."
Alex mengangguk mengiyakan. "Iya, beneran nggak mau aku antar aja, Sayang?" Tangan besar pria itu mengusap puncak kepala Syeila.
"Enggak. Aku naik taksi aja. Kamu lagi jaga Rara, dia yang perlu perhatian lebih. Aku bisa sendiri, santai."
Alex mengacak-acak gemas rambut Syeila, sangat mencintai kekasihnya itu. "Makin sayang deh!"
Sungguh, Rara mual seketika mendengar. Dia tambah sakit, bahkan sampai mau mati. "Alex sialan!" maki Rara dalam hati.
Syeila mencubit pelan perut Alex. "Sayang ih! Ya sudah ah, kalau terus kamu bercandain aku kayak gini, makin telat aku pulangnya."
Alex terkikik. "Ya sudah, gih sana pulang," balasnya dengan nada mengusir. Syeila hanya menggelengkan kepala keheranan.
"Rara, sampai bertemu lagi ya. Semoga cepat sembuh."
Rara mengangguk, kemudian membalas lambaian tangan Syeila. "Hati-hati di jalan, Kak."
Sepeninggalnya Syeila, Rara cemberut. Helaan napas panjang terdengar dari gadis itu, langsung membuat Alex cemas. "Ra, kamu berat pernapasannya? Sesak?"
"Iya, sesak! Hati aku kayak mau mati rasa." Rara mendesis dalm hati. "Nggak, aku baik-baik aja." Tidak ada selain jawaban seperti ini yang lebih benar untuk menjawab pertanyaan tersebut, bukan?
Alex mengusap rambut Rara. "Kamu kalau masih pegel badannya bisa istirahat aja di kamar. Nanti malam sekitar jam delapan aku bangunkan lagi buat makan. Mau?"
"Nggak. Aku sudah kenyang."
"Nanti malam makan sedikit aja untuk teman minum obat."
"Ya, ya, terserah sajalah."
"Aku antar ke kamar?"
"Enggak. Aku masih mau nonton tv di sini."
Alex akhirnya mengangguk saja. Kemudian tidak lama bel kembali berbunyi. Alex mengira Syeila kembali karena ada barang yang ketinggalan, ternyata yang datang beda orang. Dia adalah Calvin. Lelaki itu membawa banyak bingkisan, entah apa saja isi dalam setiap kotak dan paper bag-nya.
Rara tersenyum lebar. Ah, Calvin terlambat datang. Coba dari tadi, dia tidak akan semenyedihkan ini melihat kemesraan Alex dan Syeila. "Calvin? Banyak banget bawaannya, nggak sekalian sama tokonya aja buat aku?" goda Rara gemas. Lelaki itu memang manis sekali, sayangnya Rara malah mencintai Alex duluan.
Calvin terkikik geli. Dia menyusun bawannya ke atas meja, penuh. "Boleh kalau kamu mau. Nanti hadiah imbalannya pemberkatan untuk mengikat kita dengan janji suci pernikahan. Bagaimana?" Tanpa dosa Calvin mengatakan begitu mudah. Dia menunjukkan senyuman lebar di hadapan Rara.
Alex yang mendengarnya, langsung tersedak saliva. Kemudian memberengut kesal, membuat muka untuk mengabaikan. Alex lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya saja, bodo amat dengan kedatangan Calvin, anggap saja lelaki itu angin lewat.
"Boleh saja kalau Tuhan sudah menakdirkan kita bersama. Bukannya begitu?" Rara mengulum senyum.
Alex menyipitkan mata. Dia kesal, terlihat dari cara menekan setiap tombol keyboard pada laptopnya. Kasar hingga menghasilkan bunyi.
Calvin mengangguk. "Bener. Kita jalani aja dulu, sembari aku berusaha menjadi lelaki baik. Jika nanti Tuhan berpihak ada kita, aku akan menobatkan diriku sendiri sebagai lelaki paling beruntung telah mendapatkan kamu."
Rara tertawa. "Kebiasaan, berlebihan banget. Ada banyak perempuan lebih di luar sana, Vin. Tidak perlu aku bilang, kamu tentu jauh lebih mengenal banyak perempuan daripada aku kan? Kamu menemui banyak sifat dalam setiap orangnya. Tentu paham banget."
Calvin membenarkan, lantas ikut tertawa. Dia malu sebenarnya membicarakan perihal dirinya yang b******k ini. Dia memang nakal, tapi setelah tumbuh dewasa seperti sekarang dapat berpikir lebih terang. Ngomong-ngomong, Calvin sudah semester akhir. Begitu pun dengan Ryi dan Jonathan. Mereka kakak tingkat Rara, sebenarnya mereka sudah berhubungan semenjak masih Rara dan teman-temannya duduk di bangku sekolah.
"Oh lupa. Sebentar aku ke dapur dulu, biar Bibi Ann bikinkan kamu minuman ya. Ini juga bawaan kamu, dibuka aja semua biar di makan bareng." Sebelum Rara beranjak, Calvin mencegah duluan. "Kenapa?" Rara bingung.
"Nggak usah repot, Ra. Aku mampir cuman sebentar, udah mau malam juga soalnya. Tadi aku habis latihan, jadi aku pikir sekalian aja mampir ke tempat kamu."
Calvin hobi bermain sepak bola, keren bukan?
Tetapi tetap saja Alex nomor satu di hati Rara. Pria pemain basket handal yang sering menjuarai perlombaan sejak dia kecil. Namun, karena tuntutan keluarga ... Alex mengikuti jejak yang terdahulu, mengurus perusahaan. Meski tak secerdas Alsen, Alex tak bisa dikatakan bodoh juga. Dia termasuk siswa yang berprestasi meski tak menduduki juara umum.
"Baguslah kalau sebentar," cicit Alsen terdengar mengesalkan. Wajahnya memang tak tahu dosa, sembarangan saja kalau berucap.
Calvin melirik sebentar, sementara Rara mendengkus. "Jangan dengerin dia, Vin. Aneh emang, sensi kayak cewek PMS."
"Santai, mungkin ada benarnya juga sih. Kamu kan perlu istirahat yang banyak juga. Nanti kalau udah sembuh aku ajak jalan-jalan."
"Oke, siap! Ajak sekalian yang lain, kita kemping di puncak. Atau menginap di villa keluarga kamu. Iyakan?" Mata Rara berbinar indah, dia sangat bersemangat untuk hal ini. Sejak lama Rara mendambakan bisa berkeliling untuk bersenang-senang bersama teman-temannya.
Calvin menjentikkan jari. "Boleh! Nanti aku atur jadwalnya dulu, akan aku kosongkan villa untuk kita."
Alex memberikan tatapan menghunus. Rara tahu Alex tak senang dengan ide ini, sebab kalau soal urusan menginap pria itu paling anti. Bukan pria itu, tetapi berlaku untuk Rara. Alex selalu menolak jika Rara ingin menginap, apalagi bersama para lelaki. Pasti alasannya berbahaya, akan menimbulkan yang tidak-tidak.
"Mata kamu melotot gitu?" Rara membalas Alex, menatap tajam. Calvin yang tadinya fokus pada Rara, ikut menoleh.
Sementara Alex hanya membuang muka. Dia kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Ah, ya sudah ... aku kayaknya sudah harus pulang, Ra. Kamu jangan lupa makan, minum obat, dan istirahat yang banyak ya. Maaf sudah menempatkan kamu dalam keadaan seperti ini."
Rara mengangguk. "Jangan maaf terus, sudah ku kata, kamu nggak salah. Iya, iya ... aku akan cepat membaik. Ini aja sakitnya sudah mendingan."
Calvin mengusap rambut Rara. "Heem. Aku pamit ya."
Rara beranjak dari tempat duduknya, mengantar Calvin sampai ke pintu utama hingga pria itu benar-benar menghilang dari pandangan matanya.
Rara kemudian menutup kembali pintu. Setelah berbalik, gadis itu memekik kaget. "Alex! Kenapa kamu berdiri di sini, astaga. Aku kaget tau, untung nggak jantungan."
Alex berdiri tegap, wajahnya datar dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. "Ck! Lelaki satu itu senang banget ajak kamu ke sana ke mari, nggak baik. Ada niat tersembunyi jangan-jangan!"
"Eh? Kok kamu yang jahat, nuduh sembarangan. Selama ini meski kami semua tahu brengseknya Calvin, dia nggak pernah macam-macamin aku. Dia baik."
Alex menggertakkan gigi, semakin tersulut ketika mendengar Rara membela lelaki lain di hadapannya.
"Baik apaan? Mukanya m***m, dia natap kamu itu kayak mau nerkam. Aku bisa melihatnya, aku juga lelaki."
Rara tersenyum miring. "Oh, jadi kamu juga natap aku begitu?"
"Heh? Kok malah aku? Kita bicarain Calvin."
Rara mengangkat tangan. "Sudah ah, capek berantem mulu. Aku mau istirahat aja di kamar. Aku belum sehat ternyata, apalagi pas denger kamu ngomel gini, makin tambah menjadi penyakit aku."
Setelah itu tanpa memedulikan Alex, Rara segera meninggalkannya menuju kamar. Beristirahat memang lebih baik. Alex mengesalkan sekali akhir-akhir ini. Sumpah!
***