Dimas segera menelpon Winda.
"Hallo Winda, kenapa langsung pulang?" tanya Dimas gusar.
"Ehm ... maaf, Daddy, sungguh Winda tidak tahu kalau lagi ada tamu," jawab Winda takut-takut.
"Aku tanya, kenapa Winda langsung pulang?" tanya Dimas dengan suara lebih nyaring dari tadi.
"Eh ... anu ... itu, Winda takut mengganggu Daddy," suara Winda terdengar agak gugup.
"Winda tadi datang ke bengkel mau apa?" suara Dimas mulai melunak.
"Eeh anu ... mau ... mau ngajakin Daddy makan siang bareng, tapi nggak jadi. Engh lain kali aja deh!" suara Winda semakin terbata-bata.
"Kembali lagi ke bengkel sekarang, kita makan siang sama-sama!" perintah Dimas.
"Tapi pacar Daddy ...."
"Aku ingin memperkenalkan dia sama Winda sekalian."
"Owh ... Winda kembali ke bengkel sekarang, bye, Dad."
"Aku tunggu ya, bye."
"Kembali ke bengkel lagi, Pak Tarjo. Maaf ya jadi menyusahkan Bapak."
"Enggak apa, Non" jawab Pak Tarjo.
Sesampainya di bengkel, Dimas, dan Calista sudah menunggu di depan bengkel.
"Calista ini Winda, putri angkatku" Dimas memperkenalkan Winda pada Calista. Sebelum Winda datang tadi Dimas sudah bercerita tentang Winda pada Calista, ia mengatakan kalau Winda pacar Dirga putranya yang karena suatu alasan yang tidak bisa Dimas sebutkan, kini harus tinggal bersamanya.
"Halo, Tante, saya Winda. Ehmmm ... maaf tadi mengganggu, soalnya Winda nggak tahu kalau tadi Daddy lagi ada tamu." Winda mengulurkan tangannya dengan keceriaan seperti biasanya.
"Halo juga Winda, senang berkenalan denganmu," Calista menyambut uluran tangan Winda.
Sementara Dimas sudah meminta Pak Tarjo pulang, karena Winda akan ikut bersama dengan Dimas, dan Calista untuk makan siang. Winda dan Calista terlihat cepat akrab, mereka bertukar cerita, dan tertawa bersama, bila ada bagian cerita yang menurut mereka lucu. Dimas senang melihat Winda bisa cepat akrab dengan teman dekatnya.
Saat pulang Dimas mengantarkan Calista lebih dulu ke apartemennya.
Calista menawari mereka untuk mampir, tapi Dimas menolak.
Saat tinggal berdua di dalam mobil, Winda pindah duduk di depan karena saat ada Calista ia duduk di belakang.
"Daddy!"
"Hmmm."
"Kalau orang setua Daddy pacaran, pacarannya ngapain aja?" tanya Winda polos.
Dimas bingung harus menjawab apa pertanyaan yang tidak disangkanya, akan ke luar dari mulut Winda.
"Maksud Winda ngapain itu apa?" Dimas balik bertanya.
Winda memukul jidatnya dengan telapak tangan.
"Ish ... masa Daddy nggak ngerti sih apa maksud Winda? Begini loh, Dad, kalau ABG seperti Winda kan pacarannya nonton, makan, jalan di mall, nah kalau orang tua seperti Daddy, dan tante Calista apa seperti itu juga?"
"Ya ... sama seperti itu juga," jawab Dimas asal.
"Masa sih? Daddy sudah duda, sudah pernah menikah, sudah pernah tidur bareng wanita begitu, masa pacarannya seperti ABG. Winda sama Dirga saja hampir begituan, kalau tidak ketangkap basah. Teman-teman Winda malah sudah begituan sama pacarnya," cerocos Winda tanpa sadar kalau rona wajah Dimas sudah berubah-ubah.
"Winda ... aku tidak mau ya kalau Winda melakukan itu sebelum menikah. Winda harus fokus sekolah, dan jangan sampai bikin malu," kata Dimas serius.
"Tapi Daddy sama Tante Calista belum menikahkan. Hmmm ... Winda rasa, Daddy sudah begituan deh sama Tante Calista, kenapa nggak dinikahin saja Tante Calista. Eeh ... lupa, Daddy kan sudah nikah sama Winda, kalau nikahin Tante Calista, Winda jadi istri tua dong. Hahahaha ... Winda ABG, si istri tua, lucu deh ... hahaha ...." Winda tertawa karena merasa ucapannya sendiri lucu.
Dimas hanya tersenyum, dan geleng-geleng kepala mendengar celotehan, dan tingkah Winda.
"Winda memang setuju kalau aku nikah dengan Calista?" tanya Dimas.
"Itu sih terserah Daddy saja, Winda mah apa atuh, cuma anak kecil yang numpang hidup," jawab Winda dengan wajah dibikin memelas.
"Jelek ah kalau begitu" Dimas mencubit pipi Winda pelan.
"Stop, Daddy! Stop sebentar, Winda pengen itu ... itu kembang gula!" Winda menunjuk ke arah penjual yang menjajakan kembang gula. Dimas menepikan mobil, Winda langsung melompat turun dari mobil setelah membuka pintu. Winda membeli satu bungkus kembang gula.
Langsung dibuka setelah masuk lagi ke dalam mobil.
"Ini Daddy dulu yang cobain" Winda menyuapi kembang gula ke mulut Dimas.
"Enak Manis" komentar Dimas setelah memakan kembang gula yang disuapkan Winda.
"Daddy, yang namanya kembang gula pasti manis, kalau pahit namanya kembang jamu," sahut Winda sambil mengunyah kembang gula di mulutnya.
"Lagi dong!" pinta Dimas.
Winda menyuapkan lagi kembang gula di tangannya ke mulut Dimas.
"Hihihi, Daddy belepotan makannya, lucu iih seperti anak kecil," Winda terkikik geli, diseka bibir Dimas dengan tissue.
"Mau lagi Dad?" tanyanya riang.
"Cukup, Winda saja yang habiskan," tolak Dimas.
"Enak ya kalau hidup kita semanis kembang gula ini, enggak ada sedih, enggak ada menderita, enggak ada air mata duka, semua manis," celoteh Winda dengan mulut masih berisi kembang gula.
Apa yang dikatakan Winda terdengar ringan, tapi Dimas merasa kalau itu sebuah curahan hati yang tidak sadar sudah ia sampaikan.
Dimas menjalankan lagi mobilnya.
"Daddy."
"Hmmm."
"Winda boleh nggak punya pacar?" pertanyaan Winda, kembali tidak disangka Dimas akan terlontar dari mulut Winda.
"Memangnya Winda sudah tidak cinta lagi sama Dirga?" Dimas balik bertanya.
"Ehmm ... nggak tahu." Winda mengangkat bahunya santai.
"Kok enggak tahu sih?" tanya Dimas heran.
"Kalau cinta itu seperti apa, kalau suka itu artinya cinta ya? Kalau mau dipeluk dicium itu cinta ya?" tanya Winda dengan segala kepolosannya.
Dimas diam sesaat.
"Winda merasa kehilangan Dirga tidak? Merasa rindu sama Dirga tidak?" tanya Dimas.
"Idih, Daddy ditanya malah balik tanya," gerutu Winda.
"Kalau Winda merasa kehilangan, dan merasa rindu sekali dengan Dirga, mencemaskan keadaan Dirga, juga terus berharap Dirga kembali, itu artinya Winda cinta sama Dirga" jawab Dimas.
"Ooh begitu ya. Hmmm ... Winda begitu nggak ya? Enghh sebentar deh, Winda pikir-pikir dulu ya," sahut Winda membuat Dimas bingung sendiri mendengar ucapan Winda.
Dimas tidak tahu Winda ini apakah labil, atau terlalu polos.
Tidak paham arti cinta, tapi paham sekali masalah yang seharusnya belum boleh ia lakukan.
"Daddy."
"Ya."
"Ehm ... temen Winda ingin main ke rumah, boleh nggak?"
"Hmmm ... laki-laki, atau perempuan?"
"Perempuan."
"Boleh asal jangan laki-laki."
"Memang kenapa kalau laki-laki, cuma temen bukan pacar."
"Winda, Aku tidak melarang Winda pacaran, asal tahu batasannya, dan tidak mengganggu sekolah Winda."
"Beneran Winda boleh pacaran, beneran boleh? Asik, Daddy memang baik banget!" Winda bersorak kegirangan.
Dimas tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah Winda.
"Memang di sekolah ada cowok yang Winda suka? Apa Winda sudah lupa sama Dirga?"
"Issh ... ngapain ingat Dirga, Dirga kan sudah ninggalin Winda seenaknya, padahal dia sudah cium Winda, pegang-pegang badan Winda, huh Dirga buang ke laut saja deeh, biar dimakan ikan hiu, Dir ...." Winda menghentikan ucapannya, saat menyadari lelaki yang duduk di sebelahnya, dan dipanggilnya Daddy, adalah ayah dari orang yang sudah ia sumpahi.
"Ehmm maaf, Winda lupa, kalau Dirga anak kesayangannya Daddy" mohonnya lirih.
"Tidak apa-apa, Dirga memang salah, tapi jangan didoakab dimakan hiu ya" seloroh Dimas, membuat Winda tertawa.
Mereka tiba di rumah.
Winda turun tapi Dimas tidak.
"Daddy tidak turun?" tanya Winda heran.
"Aku mau kembali ke bengkel lagi" jawab Dimas.
"Masa sih ke bengkel, hmmm ... pasti mau ke apartemen Tante Calista kan, jujur aja, nggak usah bohong, Winda juga ngerti kok, kalau pria seperti Daddy perlu untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya, iya kan? Winda benarkan? Oke, terima kasih atas makan siangnya. Selamat bersenang-senang dengan Tante Calista, bye!" Winda memberi kecupan jauh pada Dimas dengan gaya jenaka.
Tiba-tiba Winda kembali lagi.
"Daddy kalau begituan jangan lupa pakai pengaman ya, hehehe ...." Winda berbalik lagi menuju pintu masuk ke dalam rumah, dan meninggalkan suara tawa yang terdengar cempreng.
Dimas masih diam di tempat, ia tidak tahu apa yang membuat Winda berpikir seperti itu tentang dirinya, dan Calista.
Tapi memang ia, dan Calista sering melakukan hal itu, bukan hanya dengan Calista tapi dengan wanita yang disukai, dan menyukainya juga.
Tapi sekarang Dimas mulai belajar untuk menahan hasratnya, ia sudah merasa mulai tua, harus mulai bisa mengurangi berbuat dosa. Dimas menghela nafas, baru menjalankan mobilnya lagi.
*
Dimas seperti biasa lebih banyak berada di bengkelnya, dari pada di tempat usahanya yang lain. Pintu ruangannya terdengar ada yang mengetuk.
"Masuk."
"Maaf Mas Dimas, ada seorang Ibu mencari Mas Dimas" kata salah seorang karyawannya.
"Seorang Ibu, siapa?" Dimas mengernyitkan keningnya, mungkinkah Gina?
"Katanya, beliau Mamahnya Mbak Winda, Mas."
"Mamah Winda? Ohh ... persilahkan masuk."
Mamah Winda atau Bu Linda masuk ke dalam ruangan Dimas, Dimas menyambutnya dengan menjabat tangan Bu Linda.
"Silahkan duduk, Bu" Dimas mempersilahkan Bu Linda untuk duduk.
"Terima kasih." Bu Linda duduk di sofa panjang diikuti Dimas yang duduk di seberangnya.
"Maaf mengganggu pekerjaan Mas Dimas, saya datang kemari hanya ingin menanyakan kabar Winda. Meski saya percaya, Mas Dimas pasti bisa mengurusnya dengan baik, tapi tetap saja rasa cemas itu ada, karena Mas Dimas masih asing bagi saya juga Winda."
"Saya mengerti hal itu Bu, keadaan Winda baik-baik saja, Bu. Ibu tidak perlu khawatir, saya akan berusaha memberikan yang terbaik untuk Winda," jawab Dimas untuk menenangkan perasaan cemas di hati Bu Linda.
"Jujur saja, saya sebenarnya sangat malu, karena Mas Dimas mengetahui keadaan keluarga kami yang seperti ini. Dari dilahirkan, Winda tidak pernah merasakan kasih sayang seperti anak-anak lainnya."
"Kenapa bisa seperti itu, Bu? kenapa orang-orang yang harusnya menyayanginya justru tega melukainya?" tanya Dimas yang sangat ingin menuntaskan rasa penasarannya.
"Maaf Mas, tapi saat ini saya belum siap untuk menceritakannya, tapi suatu hari nanti pasti akan saya ceritakan semuanya" Bu Linda menolak menjawab pertanyaan Dimas.
"Daddy!" Winda masuk, karena pintu memang dibiarkan Dimas terbuka.
"Winda!" Bu Linda sontak berdiri, lalu melangkah mendekati Winda.
"Mamah!" Winda mengerjapkan mata, ia tak percaya kalau Mamahnya ada di hadapannya saat ini. Dua orang yang saling merindu itu saling berpelukan erat, dan sama-sama menangis. Bu Linda memeluk Winda, dan rasanya tak ingin lagi dilepaskannya Winda.
"Mamah apa kabar?" tanya Winda lirih diantara isakannya.
"Mamah baik, Winda?"
"Winda baik Mah, bagaimana kabarnya Papah, Nenek, dan yang lainnya Mah?"
"Semua baik Winda"
"Syukurlah kalau begitu, Winda bahagia sekali bisa bertemu Mamah, setelah sekian lama berpisah. Andai bisa Winda ingin selalu ada di dekat Mamah"
"Mamah juga merindukanmu sayang" Bu Linda menyusut air mata di pipi Winda.
Tiba-tiba terdengar keributan di luar, ada suara orang yang berteriak-teriak tengah memaki. Dimas langsung ke luar dari ruagannya, dan ia tegak berdiri tak bergerak, saat tahu siapa orang yang sudah membuat keributan di tempatnya.
Winda, dan Mamahnya ikut ke luar dari ruangan Dimas, dan saat melihat siapa yang tengah berteriak ke arah Dimas, wajah keduanya langsung sepucat kapas.
Tubuh Bu Linda gemetar begitu juga Winda, mereka tahu betul bagaimana jika orang itu emosinya sudah naik ke atas kepalanya. Bila itu sampai terjadi, maka tidak ada ampun lagi bagi mereka berdua. Orang itu adalah Pak Wahid suami Bu Linda, dan Papah bagi Winda.
*