Dimas bukan daddy kandung Winda. Tapi daddy Dirga, mantan kekasih Winda.
Panggilan daddy pada Dimas dari Winda, hanya karena menghormati Dimas sebagai daddy Dirga.
HAPPY READING
"Winda kapan kamu akan mulai masuk sekolah lagi?" tanya Dimas usai makan siang, dan mereka tengah duduk di teras samping rumah yang menghadap taman.
Winda duduk santai di atas ayunan besar, sedang Dimas duduk di kursi teras.
"Senin depan," jawab Winda.
"Berapa uang saku yang biasa Winda terima?"
"Uang saku? Oh uang jajan, tiap hari Nenek memberiku Rp20.000."
"Hmmm, dua puluh ribu, artinya enam ratus ribu satu bulan. Aku akan memberimu uang saku satu juta untuk satu bulan, tapi kamu harus belajar mengelola keuanganmu sendiri, untuk keperluan yang berhubungan dengan urusan sekolah, nanti aku akan langsung bicara dengan kepala sekolah, atau wali kelasmu."
"Daddy tidak perlu serepot itu mengurusi sekolahku."
"Dari sekarang, Winda adalah tanggung jawabku, Aku minta jangan abaikan pendidikanmu, Aku ingin kamu jadi wanita sukses, Aku tidak akan mengebiri masa remajamu, tapi aku juga tidak ingin Winda lepas kendali. Jangan khianati kepercayaanku pada Winda, itu permintaanku," ucap Dimas serius.
Ada keharuan menyusup dalam relung hati Winda mendengar permintaan Dimas, yang disampaikan Dimas dengan suara lemah lembut.
Bahkan Papahnya yang mengalirkan darah dalam setiap denyut nadi Winda tidak pernah bicara seperti ini.
Mata Winda berkaca-kaca, ditundukkan kepala.
"Ya, terima kasih, Winda akan berusaha untuk tidak mengecewakan." Winda pindah duduk tepat di sebelah Dimas, dan tanpa sungkan Winda menyandarkan kepala di lengan atas Dimas.
"Bolehkan Winda menganggap Daddy sebagai ayah Winda? Bolehkan Winda bermanja-manja dengan Daddy, Winda punya Papah tapi tidak pernah merasakan kasih sayang Papah, Winda."
"Winda, baik atau buruk, beliau tetaplah orang tuamu yang harus dihormati." Dimas menarik tangannya yang dijadikan tempat bersandar kepala Winda.
Direngkuh bahu Winda hingga kepala Winda bersandar di dadanya.
"Meski baru dua hari bertemu, tapi Winda sudah seperti sangat mengenal Daddy dari cerita Dirga. Dirga mengatakan, kalau dia sangat menyayangi Daddy. Dirga juga mengatakan kalau Daddy adalah Ayah terbaik di dunia, tapi kenapa Dirga tidak sebaik Daddy, kenapa Dirga pergi meninggalkan Winda?" Winda mendongakkan wajah, untuk menatap wajah Dimas.
Dimas menggeleng.
"Apa Winda masih berharap pada Dirga?" tanya Dimas.
"Apa Daddy akan menceraikan Winda, kalau Dirga tiba-tiba datang? Apa Dirga akan menikahi Winda nantinya?" Winda balik bertanya.
"Mungkin Winda harus tahu, kalau Winda dan Dirga tidak boleh menikah selamanya" ucapan Dimas membuat Winda menarik kepalanya.
"Kenapa?"
"Ibu tiri ataupun mantan Ibu tiri tidak boleh menikah dengan anak tiri atau mantan anak tirinya."
Winda ternganga mendengar jawaban Dimas. Matanya berkedip-kedip mendengar ucapan Dimas yang menyebutnya Ibu tiri.
"Winda, Ibu tiri Dirga?" tanyanya takjub.
"Iya. Kita sudah menikah, jadi Dirga anak tiri Winda sekarang." Dimas menjelaskan.
Winda baru menyadari, kalau dengan menikahi Dimas, sama artinya kalau ia sudah secara otomatis menjadi Ibu tiri Dirga.
"Jadi Winda tidak boleh menikah dengan Dirga?" tanyanya masih penasaran.
"Ada yang mengatakan boleh, asal Winda belum aku sentuh. Tapi, sebaiknya Tidak. Pria tidak hanya Dirga seorang, Winda bisa menikah dengan pria yang lainnya, yang lebih baik dari Dirga nanti bila saatnya sudah tiba."
Winda mengerjapkan mata.
"Tapi Dirga sudah pegang-pegang badan Winda, sudah cium mulut Winda, sudah.... " Winda menghentikan perkataannya, wajahnya merah merona.
"Dirga sudah berbuat apa lagi sama Winda?" tanya Dimas menggoda.
Winda menggeleng malu.
Dimas menarik nafas pelan.
"Winda masih terlalu muda, aku berharap Winda bisa terbuka dalam segala hal.angan sembunyikan apapun dari Daddy, Winda bisa mengajak Daddy berdiskusi dalam hal apa saja."
"Uhhh ... ternyata Dirga memang benar, Daddy-nya memang Ayah terbaik di dunia, kalau dia pulang Winda tidak akan mengembalikan Daddy pada Dirga, Daddy sekarang sudah jadi Ayahnya Winda'kan? Hmm ... salah sendiri kenapa Dirga ninggalin Winda!" cerocos Winda.
Dimas hanya tersenyum saja, kehadiran Winda di rumahnya sepertinya akan memberi warna baru dalam kehidupannya.
**
Winda sudah siap dengan seragam, dan tas sekolahnya. Ia berlari menuruni tangga menuju ruang makan.
"Pagi!" sapanya ceria pada semua yang ada di ruang makan.
"Pagi," sahut Dimas, dan Bik Yayuk juga Mbak Titik.
"Winda pergi ke sekolah diantar Pak Tarjo ya."
"Ya Daddy."
"Ini aku belikan Winda ponsel baru, sudah ada nomerku, nomer Pak Tarjo, dan juga nomer telpon rumah di sini. Dan ini, dua ratus lima puluh ribu, uang jajan Winda selama satu minggu. Ini atm Winda, yang tujuh ratus lima puluh ribu, sudah di masukan ke rekening Winda. Ingat atur dengan baik keuanganmu sendiri, kalau Winda mau bantu-bantu sambil belajar di toko kue, di restoran, atau di bengkel, dan showroom, Winda nanti akan dapat gaji."
"Beneran?" tanya Winda antusias.
"Iya benar!"
"Ehmm ... yang banyak cowok cakepnya di mana, Dad? Di restoran, di toko kue, di bengkel, atau di showroom?" tanya Winda polos.
Dimas mengernyitkan dahi, ditatap Winda yang tengah asik mengolesi roti dengan selai coklat kesukaannya.
"Winda ingi belajar kerja, atau ingin cari pacar di sana?" tanya Dimas menyelidik.
"Iih Daddy seperti tidak pernah muda saja," jawab Winda seraya tertawa sampai ia tersedak rotinya.
Cepat Dimas menyodorkan gelas berisi air putih ke mulut Winda, sambil tangannya yang lain mengusap punggung Winda pelan.
"Terima kasih, Daddy," ucap Winda, matanya berkaca-kaca bukan hanya karena tersedak saja, tapi juga karena merasa terharu dengan perhatian Dimas kepadanya.
"Aku berangkat duluan ya, ingat pulang tepat waktu, kalau ingin pergi telpon dulu, jangan pergi tanpa minta ijin, oke."
"Siap Daddy," angguk Winda cepat.
*
Winda turun dari mobil yang disupiri Pak Tarjo.
"Terima kasih ya, Pak."
"Ya, Non, nanti telpon saya kalau minta jemput"
"Siap, Pak!" sahut Winda.
"Winda!" teriak Sisi, dan Elma begitu Winda memasuki gerbang sekolah.
"Hai!"
"Winda, kamu sombong sekali ya, satu bulan ini hp kamu nggak aktif kenapa?" tanya Elma seraya meninju ringan lengan Winda.
Winda tertawa pelan.
"Ponselku hilang, nih aku sudah ganti sama yang baru." Winda mengacungkan ponsel baru pemberian Dimas.
"Wow! Keluaran terbaru! Siapa yang membelikan? Papahmu nggak mungkinkan, atau hadiah dari Dirga?" Elma dan Sisi langsung berebut menyambar ponsel ditangan Winda.
"My Daddy! Siapa My Daddy?" tanya Elma bingung saat membaca nama kontak di ponsel baru Winda.
"Kalian berdua harus tahu, aku sekarang tidak tinggal di rumah neraka itu lagi, sekarang aku tinggal sama ... sama, ehmm ... saudara Mamahku. Aku memanggil dia, Daddy." Winda terpaksa berbohong.
"Kok bisa?" tanya Elma, dan Sisi berbarengan.
"Bisalah, Mamah kasihan barangkali sama aku, karena sering kena marah Papah. Makanya Mamah menitipkan aku di rumah saudaranya. Saudara Mamah setuju, asal aku menurut sama dia," cerocos Winda, sangat lancar mengarang kebohongan.
"Oh enak dong, nggak perlu bertemu lagi sama Nenek lampir itu."
"Hmm ... begitulah."
"Eh, ada rencana bolos lagi nggak?" tanya Sisi sambil mengedip-ngedipkan matanya.
"Janjian sama cowok-cowok kita yuk, kita telpon mereka, aku yakin hari ini pelajaran belum dimulai," usul Elma.
"Enggak, aku nggak mau ikut," tolak Winda.
"Kenapa?"
"Aku takut dosa!" jawaban Winda membuat Elma dan Sisi tergelak.
"Eh, kemaren-kemaren kamu iya-iya saja. Sekarang kenapa bisa takut dosa? Apa daddy-mu sudah mencuci otakmu, Winda?" Elma menatap Winda bingung.
Winda mengangkat bahunya.
"Aku nggak mau begituan sebelum nikah."
"Ah, kamu ngomong begitu karena kamu belum pernah merasakan. Coba kalau sudah, pasti kamu ketagihan."
"Makanya aku nggak mau coba-coba. Nanti kebablasan, terus hamil bagaimana?" Winda bergidik, membayangkan tubuh kecilnya harus membawa ke sana ke sini perutnya yang buncit.
'Eeh tapi kenapa pikiran seperti itu tidak muncul di otakku ya, waktu aku ketangkap basah sama Dirga,' batin Winda.
"Ah nggak salah ucapanmu, Win? Bukannya kemaren kamu juga mau mencoba. Tapi karena waktu itu, kamu lagi datang bulan jadi gagal deh ya kan!?"
Winda terkekeh.
"Itu dulu, beda dengan sekarang," sahut Winda.
"Hh ... terserah kamu Win. Aku lapar nih, kita ke kantin aja yuk Win, El, aku belum sarapan nih," ajak Sisi dengan tangan menepuk perutnya pelan.
"Aku sudah sarapan," jawab Winda membuat kedua temannya bengong.
"Hah! Yang benar, sejak kapan kamu sarapan di rumah, Winda?" tanya Sisi sangsi.
"Sejak tinggal di rumah My Daddy" jawab Winda pasti.
"Ish ... aku jadi penasaran, seperti apa sih orang yang kamu sebut My Daddy itu." Elma mencibirkan bibirnya.
"Pasti gendut, botak, dan pendek," sahut Sisi sambil tertawa.
"Hmm ... kalau kalian bertemu dengan Daddy, pasti pada klepek-klepek" Winda memutar-mutar telapak tangannya.
"Ya sudah, kalau begitu ajak kita ke rumah Daddy-mu nanti siang," sahut Sisi.
"Jangan hari ini, kapan-kapan ya, masa aku baru beberapa hari tinggal di situ sudah bawa teman ke rumah, Enggak enak."
"Ya sudahlah, kapan-kapan ya, ayo aah kita ke kantin, aku yang traktir kalian!" ajak Sisi akhirnya.
*
Tidak terasa sudah dua bulan Winda tinggal bersama Dimas.
Menurut Winda, Dimas benar-benar ayah idaman, tidak pernah marah, tidak pernah bersikap kasar, sangat berbeda dengan Papahnya.
Pagi minggu, seperti biasa Winda bangun agak siang, tanpa mencuci muka, dan menggosok gigi lebih dulu, Winda turun ke lantai bawah.
Rambutnya masih berantakan, mulutnya menguap lebar, tangannya mengucek-kucek matanya, untuk merazia barang kali ada belek yang melekat dimatanya.
"Daddy mana, Bik?" tanyanya pada Bik Yayuk sambil menyeka bibir, dengan punggung tangannya, seakan ingin membersihkan iler yang ada di sudut bibirnya.
"Lagi berenang," jawab Bibik.
"Berenang? Brrr apa nggak kedinginan," gumamnya sambil berjalan ke arah kolam renang.
Dimas berenang dengan menggunakan celana renang hitam.
Winda duduk di tepi kolam, dengan kedua kaki masuk ke dalam kolam renang.
Dimas mendekatinya.
"Baru bangun, belum mandi ya, berenang yuk," ajak Dimas yang terlihat sangat aduhai dengan bahunya yang lebar, dadanya yang bidang, dan perutnya yang bak roti sobek..
Winda menggeleng.
"Nggak mau, dingin," jawab Winda.
"Nggak dingin kok, nih nggak dinginkan?" Dimas memercikan air kolam ke wajah Winda.
"Dingin! Ini kaki Winda sudah masuk ke dalam air kolam dari tadi," tunjuk Winda ke kakinya.
"Kalau begitu, ayo sekalian saja masukin badan Winda," tanpa disangka Winda, kedua tangan Dimas meraih pinggangnya, dan menurunkannya ke dalam kolam.
Spontan, baby doll terusan yang dipakai Winda jadi terangkat naik, saat tubuhnya dimasukan Dimas ke dalam kolam. Refleks, Winda meraih bahu Dimas, tubuh mereka menempel satu sama lain.
Dimas bisa merasakan, di balik baby dollnya Winda tidak mengenakan bra.
"Dingin," suara Winda menyadarkan Dimas akan lamunannya.
"Dingin!? Oh ya ... ya, ayo sekarang naik, ke luar dari kolam." Dimas mengangkat Winda di bagian ketiak, tanpa sengaja tangannya menyenggol d**a Winda.
Winda yang sudah duduk lagi di tepi kolam menyilangkan kedua tangan di depan dadanya, untuk menutupi dadanya yang tercetak jelas, karena bajunya yang basah.
Pahanya yang putih terekspose sempurna, bahkan Dimas sempat melihat bukit kecil di pangkal paha Winda yang tertutup celana dalam.
"Lepas bajumu di kamar mandi sana, pakai saja handukku kalau Winda ingin naik ke atas" Dimas menunjuk handuknya.
Dimas masih bertahan di dalam kolam renang, ia tidak akan ke luar dari kolam sebelum Winda pergi.
Ia tidak ingin Winda melihat sesuatu yang sudah membesar, dan menyesakan celananya, karena sudah melihat bukit kembar di d**a Winda, dan bukit kecil di pangkal paha Winda. Bagaimanapun, ia seorang pria normal, dan apa yang dilihatnya tadi sudah membangkitkan hasratnya.
*
Pulang sekolah, seperti biasa Winda dijemput Pak Tarjo.
"Pak antar Winda ke bengkel Daddy ya," pintanya.
"Siap Non," jawab Pak Tarjo.
Hari ini Winda ingin mengejutkan Dimas dengan datang ke bengkel, tanpa memberitahu lebih dulu.
Usaha bidang otomotif Dimas berada dalam satu kawasan.
Paling ujung adalah show room mobil bekas, usaha jual beli mobil bekas inilah, yang merupakan cikal bakal dari usaha Dimas lainnya.
Karena itu, meski sudah kaya, dan punya banyak usaha, Dimas tidak mau meninggalkan usahanya yang satu itu. Padahal Dimas sudah memiliki show room mobil dari merk-merk ternama, di luar dari kawasan itu.
Setelah show room mobil bekas, ada bengkel besar yang melayani penjualan, dan pemasangan untuk variasi mobil, juga penjualan, dan pemasangan spare part mobil.
Juga melayani penjualan, dan pemasangan ban, dan velg mobil sekaligus beserta balancing, spooring, dan press velg.
Tidak ketinggalan melayani penjualan, dan penggantian oli beserta bengkelnya yang melayani berbagai keluhan pada mobil.
Satu lagi, ada pencucian, dan salon mobil juga di deretan usaha Dimas di wilayah itu.
Sedang toko kue, dan restorannya berada dikawasan lain, yang tidak begitu jauh dari kawasan pertama.
Siang ini Dimas duduk di ruang kerjan di bengkel besar miliknya.
Ada wanita cantik yang duduk di atas pangkuan kedua pahanya.
Wanita cantik itu mengalungkan tangan di leher Dimas.
"Sekarang kamu banyak berubah, Sayang."
"Berubah bagaimana?"
"Tidak mau diajak ML lagi"
Dimas tertawa.
"Usia kita semakin tua, kita tidak tahu kapan ajal menjemput kita. Aku sengaja belajar, untuk setahap demi setahap mengurangi untuk berbuat dosa," jawab Dimas.
"Kalau tidak ingin berbuat dosa, kita bisa menikah."
"Hhh ... kita sudah membahas hal ini berulang kali, Calista. Dan jawabanku tetap sama, aku tidak siap untuk berkomitmen."
"Hhhh ... kenapa?"
"Karena.... "
Braakk.
"Kejutan! Selamat siang, Daddy! Owh ... maaf ... maaf menganggu, Winda tidak tahu kalau sedang ada tamu, maafkan. Winda pulang sekarang," tanpa menunggu jawaban Dimas, Winda langsung kembali ke mobilnya, dan meminta Pak Tarjo segera membawanya pulang.
Wajah Winda terlihat bersemu merah, karena rasa malu juga rasa takut akan dimarahi Dimas, karena sudah mengganggu waktu Dimas dengan pacarnya.
Dimas yang baru tersadar dari rasa kagetnya, mengejar Winda sampai ke depan bengkel, tapi mobil yang membawa Winda sudah menjauh dari halaman bengkelnya.
*** BERSAMBUNG***