Winda, dan Mamahnya berpelukan dengan tubuh gemetar, Bu Linda mendekap erat tubuh Winda.
Dengan langkahnya yang lebar, Pak Wahid mendekati mereka.
Bu Linda langsung pasang badan melindungi Winda.
"Kamu sudah mulai berani melanggar perintahku, Linda! Sudah aku katakan, jangan pernah temui dia, jangan pernah! Kau dengar Linda!" mata Pak Wahid merah menyala, seakan siap membakar Linda, dan Winda.
Dimas ingin mendekat, tapi empat tukang pukul yang dibawa Pak Wahid mencegah langkahnya.
"Mas, apa Mas lupa, di dalam tubuh Winda mengalir darah yang sama dengan darah kita, jadi wajar saja'kan kalau aku merindukannya, ingin tahu keadaannya." Bu Linda mulai berani bersuara.
"Oh ... jadi kamu mulai berani menentang ku, Linda! Apa anak ini yang sudah membuatmu menantang ku, hah? Andai aku tahu kehadirannya akan membuat masalah sebesar ini, pasti sudah aku bunuh dia dari dilahirkan. Kau tahukan Linda, aku sangat membencinya, aku membenci dia!" Pak Wahid merenggut kasar lengan Bu Linda dengan satu tangannya, dan tangan yang lainnya mendorong kuat tubuh mungil Winda, hingga Winda terjengkang ke belakang.
Dimas yang tadi tidak berusaha melawan tukang pukul yang memegangi tubuhnya, sontak berusaha berontak, saat melihat Winda jatuh terjengkang, dengan kepala hampir membentur lantai.
Tepat saat terjadi perlawanan Dimas, para pegawainya yang tadinya tengah istirahat makan siang di luar berdatangan.
Melihat Bos mereka dikeroyok empat orang berbadan kekar, masing-masing pegawai Dimas, yang berjumlah enam orang, yang merupakan para montir. Langsung masing-masing meraih perkakas, yang biasa mereka pergunakan untuk memperbaiki mobil. Mereka serempak maju dengan ekspresi mengancam ke arah keempat tukang pukul itu.
Keempat tukang pukul itu langsung melepaskan Dimas, dan lari ke luar bengkel. Sementara Winda masih terduduk di lantai, Bu Linda ingin mendekatinya, tapi lengannya ditarik dengan kasar oleh Pak Wahid, untuk segera ke luar dari bengkel Dimas.
"Winda!" Bu Linda meneriakkan nama Winda dengan perasaan pilu, dan air mata membanjiri kedua pipinya. Ia tidak bisa meraih Winda, karena tidak mampu berontak dari keinginan suaminya.
"Mamah ... Mamah ... Winda masih kangen sama Mamah, jangan tinggalin Winda," Winda menangis dengan tangan menggapai ke arah Bu Linda. Tapi Pak Wahid sudah menarik Bu Linda ke luar dari bengkel Dimas, yang sedang tidak ada pengunjung, karena istirahat makan siang.
Dimas segera meraih bahu Winda, dibawa Winda agar berdiri, dipeluk Winda erat ke dadanya.
Tangisan Winda tenggelam di atas d**a Dimas, air matanya membasahi kemeja Dimas.
"Apa salah Winda? Apa salah Winda, sampai Papah sangat membenci Winda, apa salah Winda? Apa ada bayi yang lahir langsung berdosa? Apa iya Winda dalam kandungan Mamah sudah punya dosa? Kenapa Papah benci Winda? Winda darah dagingnya?" Winda terus menangis dalam dekapan Dimas.
Dimas membawa Winda masuk ke dalam ruangannya, ditutup pintu ruangan. Dibawa tubuh kecil Winda duduk di atas pangkuan kedua pahanya yang besar. Winda memeluk leher Dimas erat, tangisnya tumpah di lekukan leher Dimas, dan membasahi leher Dimas.
Dimas membiarkan Winda menuntaskan tangis, agar hatinya bisa sedikit lega. Diusap lembut punggung, dan lengan Winda. Dimas tidak habis pikir, kenapa Papah Winda sangat membenci Winda, bukankah Winda putri kandungnya?
'Ada rahasia apa dibalik kehidupan Winda sebenarnya.'
Tangis Winda sudah berhenti, tinggal isaknya yang masih terdengar, dan tubuhnya yang masih bergetar.
"Sudah selesai menangisnya?" tanya Dimas lembut. Winda mengangguk, matanya merah, hidungnya merah, dan pipinya juga merah.
Dimas meraih tissue di atas meja, disodorkan ke bawah hidung Winda.
"Buang ingusmu Winda," pintanya.
Winda membuang ingusnya ke tissue yang dipegang Dimas, dan diletakan di bawah hidungnya.
Dimas membuang tissue itu ke tempat sampah di dekat sofa.
Apa yang dilakukan Dimas membuat Winda menangis lagi.
"Daddy baik sekali, nggak seperti Papah."
"Winda, aku sudah pernah mengatakan, bagaimanapun, beliau tetap papah Winda, Winda tidak boleh benci ya."
"Engh ... terimakasih sudah membuat Winda merasakan apa yang dirasakan anak lain bersama Papahnya. Daddy membuat Winda merasa benar-benar punya Papah, terimakasih ya." Winda mengecup pipi Dimas, hingga pipi Dimas basah kena air mata juga ingus dari hidung Winda.
"Winda ... pipiku jadi basah, ini air mata, air liur, apa ingusmu sih?" kata Dimas sambil menjangkau tissue, dan melap pipinya yang basah.
Winda terkekeh pelan, lalu ikut menjangkau tissue untuk membersihkan pipi Dimas, tapi kemudian.
Dikecup pipi Dimas lalu dilap dengan tissue.
Itu berulang kali dilakukan, seakan ia baru dapat mainan baru.
"Pipi Daddy enak dicium, bibirnya pasti lebih enak ya, ehmm nanti Winda tanya sama Tante Calista deh, bibir Daddy enak nggak dicium? Ehmm enak mana ya bibir Daddy sama bibir Dirga? Enak bibir Dirga barangkali ya. Dirga'kan masih muda, Daddy sudah tua. Daging sapi muda kan lebih empuk, dari daging sapi tua yang alot. Winda jadi ingat ciuman pertama sama Dirga. Enghh ... tapi Dirga jahat, sudah meninggalkan Winda. Winda nggak akan pernah memaafkan Dirga!" wajah Winda yang tadi sempat terlihat ceria saat ia berceloteh, kini mulai kelihatan murung lagi.
"Sudah jangan sedih lagi ya, sekarang kita makan siang, oke?" Dimas menurunkan Winda dari atas pangkuannya.
"Oke!" sahut Winda kembali ceria.
"Cuci mukamu dulu sana, wajahmu bau ingus tahu!" perintah Dimas pada Winda.
"Siap Bos!" Winda memasang sikap sempurna dengan tangan posisi hormat di keningnya.
*
Di dalam mobil.
"Winda mau makan siang di mana?" tanya Dimas.
"Di restoran Daddy," jawabnya cepat.
"Enggak bosan makan di restoran yang sama terus?"
"Enggak dong, kan ada Chef Edward yang ganteng." Winda mengerdipkan mata, saat Dimas menatapnya, setelah mendengar jawabannya.
"Enak mungkin ya, kalau punya suami Chef, tiap hari akan makan enak."
"Chef Edward sudah punya tunangan, Winda," kata Dimas.
"Eehh tadi Winda kan bilang enak kali punya suami Chef, bukan berarti Winda mau menjadikan Chef Edward, suami Winda, Daddy" sahut Winda.
Dimas melongo mendengar perkataan Winda, benar juga tadi Winda tidak menyebut nama, batinnya.
"Daddy!"
"Hmmm."
"Menurut Daddy, kenapa Papah kok benci sekali sama Winda?" tanyanya dengan nada yang terdengar sangat serius.
"Aku tidak tahu, Winda. Kita baru kenal, jadi aku belum paham tentang keluarga Winda," jawab Dimas.
Dan pertanyaan Winda itu, juga merupakan pertanyaan besar di dalam hati Dimas, yang sangat menuntut untuk mendapatkan jawaban segera.
"Apa Winda bukan anak Papah ya? Eeh tapi, muka Winda mirip Papah kok, Mamah juga tadi bilang kalau darah yang mengalir di tubuh Winda, sama dengan darah yang mengalir di tubuh Mamah, dan Papah. Jadi di mana masalahnya? Apa Papah tidak suka punya anak perempuan, tapi kenapa? Nenek perempuan, Mamah perempuan, lalu apa salahnya punya anak perempuan ya?" Winda menatap lurus ke depan dengan pikiran menerawang.
"Semenjak Winda sudah mulai mengingat, rasanya Papah tidak pernah sekalipun bersikap manis pada Winda, seakan Winda ini pembawa bencana bagi Papah. Kalau Nenek masih mending sedikit dari pada Papah, meski kalau lagi marah 11 12 lah sama Papah. Hhhhh ... memikirkan ini membuat Winda stress," katanya sambil menghempaskan nafas kuat.
"Aku sudah katakan, jangan terlalu dipikirkan, pada waktunya nanti pasti akan terungkap semuanya, Winda. Sekarang Winda nikmati saja masa remaja seperti yang lainnya, belajar, belajar, dan belajar. Boleh pergi sama teman, tapi jangan kebablasan. Aku minta, Winda bisa menjaga kepercayaan yang aku berikan dengan baik" ucap Dimas pelan tapi tegas.
Bibir Winda mengukir senyum.
"Yes, My lovely, Winda sayang sekali. Cinta sekali. Daddy itu orang terbaik di dunia!" puji Winda sambil mengaitkan tangannya ke lengan Dimas yang memegang stir.
"Aku berharap, Winda juga akan jadi gadis terbaik sedunia, bisa memberikan kebanggaan pada keluarga, Winda harus bisa buktikan kepada keluarga, terutama Pada papah, kalau Winda pantas mendapatkan kasih sayang mereka, Winda mengertikan maksud aku?"
"Winda mengerti." Winda mencubit sebelah pipi Dimas gemes.
"Winda! Aku lagi pegang setir ini!" sergah Dimas gusar karena cubitan Winda membuatnya terkejut.
Winda tertawa saja mendengar protes Dimas.
*
Winda berlari menuruni tangga menuju ruang makan.
"Pagi" sapanya ceria.
"Pagi" sahut Dimas, dan kedua asisten rumah tangganya.
Tanpa duduk di kursi makan, Winda meraih roti, dan mengolesinya dengan selai coklat, menggigitnya dua gigitan lalu meminum s**u yang ada dalam gelas di depannya.
Dimas yang tengah membaca koran tidak memperhatikan tingkah Winda.
Tiba-tiba saja Winda menyodorkan tangan ingin berpamitan.
"Sarapanmu ...."
"Winda harus cepat ke sekolah," jawabnya cepat.
"Ada apa?" tanya Dimas heran.
"Ada deh, Winda pamit ya, Daddy, Bik, Mbak, Winda pergi Assalamualaikum." Tanpa menunggu jawaban, Winda berlari meninggalkan ruang makan.
"Waalaikumsalam," sahut Dimas dalam gumaman.
Ada apa dengan Winda? Tanya batin Dimas penasaran.
Dan ini terjadi sejak beberapa hari lalu.
*
Winda sudah di dalam kelas, tidak jauh di belakangnya duduk seorang cowok ganteng, gagah, dan keren.
Nama cowok itu Boy, pindahan dari Bandung, dan gantengnya tidak kalah dengan Stefan William yang main jadi Boy di sinetron anak jalanan.
Winda meraih cermin kecil dari tasnya, cermin kecil dengan gambar frozen di bagian belakangnya.
Cermin itu memantulkan wajah Si Ganteng Boy yang duduk di kursi bagian belakang
Si Ganteng itulah alasannya lebih pagi ke sekolah, agar ia bisa menikmati wajah ganteng itu dengan leluasa, tanpa gangguan, meski hanya berani lewat cermin saja.
"Duh Mamaaahh ... gantengnya si Boy luber ke mana-mana, over dosis," gumamnya sendirian.
Mata Winda seakan tidak ingin berkedip, karena menikmati wajah ganteng yang ada di cermin.
Tiba-tiba Boy melambaikan tangan seakan menyapa Winda, Winda terjengkit kaget, dan merasa luar biasa malu karena ketahuan mengintip Boy dari cermin, cepat disimpan lagi cermin ke dalam tas.
"Mau ke kantin sama-sama nggak?" tanya Boy yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelah Winda.
"Eeh ... kamu bicara sama saya?" tanya Winda.
"Siapa lagi?" Boy balik bertanya.
"Apa tadi yang kamu katakan?"
"Mau ke kantin sama aku nggak, aku belum sarapan, kamu juga pasti belum sarapan karena sepagi ini sudah ada di sini," jawab Boy.
"Ehm, iya benar juga, boleh deh saya terima tawaran kamu" Winda berdiri dari duduknya.
Mereka berjalan beriringan menuju kantin sekolah.
Sambil menikmati sarapan, mereka terlibat pembicaraan seru yang membuat wajah, dan mata Winda terus berbinar-binar.
*
Dimas menunggu Winda di depan sekolah, tanpa turun dari mobil yang dipinjamnya dari salah satu teman, yang meninggalkan mobilnya untuk diservis di bengkelnya. Matanya mengamati siswa-siswi yang berhamburan ke luar dari gerbang sekolah.
Dari kejauhan Dimas melihat Winda berjalan beriringan dengan seorang remaja lelaki seusianya.
Mereka berdua tampak asik bercengkrama, sambil sesekali tertawa. Winda terlihat melambaikan tangan pada cowok itu, saat ia masuk ke mobil yang disupiri Pak Tarjo.
Si Pria muda juga masuk ke dalam mobil yang menjemputnya, setelah membalas lambaian tangan Winda.
Dimas menarik napas dalam.
Lalu bergumam pelan.
"Jadi itu alasannya pergi cepat ke sekolah setiap pagi."
'Hhhh ... Winda, semoga hanya cinta monyet selayaknya remaja. Aku tidak ingin kejadian dengan Dirga terulang lagi,' batin Dimas penuh harap.
*