"Saya adalah ... nama saya Dimas Pramudya Wiratama, saya Daddy Dirga," sahut pria itu.
"Daddy Dirga! Ayah Dirga maksudmu? Kau tahu anakmu itu seorang pengecut, dia sudah mengingkari janjinya!" Pak Wahid menatap tajam ke arah Dimas.
"Maaf, tapi saya juga baru tahu hari ini, saya tidak tinggal bersama Dirga, karena Dirga tinggal bersama Mami, dan Papi tirinya. Saya datang ke sini karena ingin menyampaikan permintaan maaf, atas apa yang sudah dilakukan putra saya terhadap Putri anda," sahut Dimas sopan.
"Permintaan maaf anda tidak akan membuat kehormatan Winda kembali, andai saja bukan karena aku kasihan pada istriku, pasti sudah ku lemparkan ke luar dia dari rumah ini. Dia tidak bisa diatur, aku sudah lelah menghadapi kelakuannya!" geram Pak Wahid dengan tangan menunjuk ke arah Winda yang hanya diam membisu duduk di atas sofa ruang tamu.
"Kalau anda ijinkan, saya ingin bicara dengan Winda sebentar," pinta Dimas.
"Bicaralah semau mu!" Pak Wahid mengibaskan tangannya. Pak Wahid masuk ke dalam diikuti yang lainnya.
Mata Nenek menatap penuh selidik ke arah Dimas, Dimas menganggukkan kepalanya sopan.
Winda duduk bersebelahan dengan Dimas.
"Halo Winda, kenalkan saya Dimas Daddy-nya Dirga, Winda boleh panggil saya Om, Ayah, Papi, Papah, Bapak, Pipi, Daddy atau apa saja terserah maunya Winda. Saya datang ke sini untuk menyampaikan permintaan maaf atas apa yang sudah Dirga lakukan kepada Winda." Dimas berusaha untuk bicara akrab dengan Winda.
"Apa Dirga pernah bicara tentang saya?" pancing Dimas agar Winda mau bicara.
"Iya."
"Apa yang dikatakan Dirga pada Winda tentang saya?"
"Ehm ... Daddy baik kata Dirga," jawab Winda polos.
"Itu saja."
"Iya."
"Sekarang Dirga sudah meninggalkan Winda entah ke mana. Saya sangat menyesali apa yang sudah dilakukan Dirga hingga berakibat kemarahan dari keluarga Winda. Katakan apa yang bisa saya bantu untuk Winda?".
Pertanyaan Dimas yang lembut, tiba-tiba saja menimbulkan ide gila di kepala Winda.
Masa bodoh dengan yang lainnya, yang ia inginkan hanyalah bisa ke luar dari rumah ini, dari tekanan yang menghimpitnya, ia merasa menderita lahir, dan batin bila terus tinggal di rumah ini.
"Winda?" suara lembut Dimas menyadarkan lamunan Winda.
"Apa Daddy benar-benar ingin membantu Winda?" tanya Winda pelan.
"Ya, katakan saja apa yang harus saya lakukan untukmu."
"Tolong bantu Winda agar bisa ke luar dari rumah ini Daddy, Winda sudah tidak tahan lagi dengan sikap kasar Papah."
"Tapi bagaimana caranya saya bisa membawa Winda pergi dari sini? Orang tua Winda pasti tidak akan mengijinkan. Saya tidak mungkin mengatakan kepada orang tua Winda, kalau saya ingin menjadikan Winda anak angkat saya?"
"Daddy single? Tidak punya istri?"
"Iya, saya tidak punya istri." Dimas mengerutkan kening mendengar pertanyaan Winda.
"Tolong nikahin Winda, Daddy!"
"Apa?" Mata Dimas menatap Winda lekat.
"Winda, apa kepergian Dirga sudah membuat Winda sangat frustasi?" tanya Dimas dengan reaksi yang luar biasa kaget mendengar permintaan Winda.
"Daddy ingin bantu Winda'kan, jadi tolong nikahin Winda besok. Biar Winda bisa ke luar dari sini, ijinkan Winda ikut dengan Daddy, Winda janji tidak akan mengganggu kehidupan pribadi Daddy. Winda cuma minta Daddy biayai sekolah Winda, dan mencukupi kebutuhan Winda. Winda janji akan membantu pekerjaan di rumah Daddy, Winda janji tidak akan menyusahkan Daddy, Winda mohon nikahi Winda." Winda menangkupkan kedua tangannya di depan d**a, mata kekanakannya menatap penuh permohonan pada Dimas.
Dimas tidak tahu kenapa pikiran gila itu bisa masuk kedalam pikiran Winda.
"Kalau Daddy takut pacar Daddy marah, Daddy bisa katakan kalau Winda anak angkat Daddy, Winda janji, Winda nggak akan mengganggu pacar Daddy" janji Winda, ia tahu benar dari cerita Dirga kalau Daddy Dirga ini punya banyak pacar. Menurut Winda hal itu wajar saja, karena Daddy Dirga jauh lebih keren, dan ganteng dari Dirga, wajahnya ada campuran latinnya.
"Kenapa hal itu yang Winda minta dari Daddy?"
"Winda capek tiap hari seperti ini, dipukul, dimaki, tidak ada kelembutan sama sekali dari Papah, Mamah, Nenek, dan Kakak-Kakak Winda"
"Winda, harusnya Winda bisa introspeksi diri Winda, mungkin semua terjadi karena kesalahan Winda sendiri," kata Dimas lembut berusaha menasehati Winda.
"Kalau Daddy tidak mau menikahi Winda tidak apa-apa, Winda bisa ke luar dari rumah ini dengan cara Winda sendiri, Winda tidak peduli meski harus jadi gelandangan, atau wanita panggilan akan Winda jalani, asal Winda bisa terbebas dari rumah ini!" ancam Winda pada Dimas.
Winda pernah mendengar cerita Dirga, kalau Daddy Dirga orang yang tidak tegaan, dan Winda yakin dengan ancaman yang baru saja ia ucapkan pasti Daddy Dirga mau menikahinya.
"Jangan mengambil jalan pintas seperti itu Winda, itu tidak baik."
"Winda sudah tidak tahan lagi tinggal di rumah ini, Winda bisa bunuh diri kalau terus-terusan begini!" Winda menambah ancamannya.
"Winda, jangan berpikiran pendek seperti itu!" sergah Dimas gusar.
Winda berdiri dari duduknya.
"Sebaiknya Anda pergi kalau tidak ada yang ingin Anda bicarakan lagi!" Ucap Winda dengan rasa marah, panggilan Daddy pada Dimas berganti jadi Anda.
"Duduklah dulu Winda, kita bicarakan bagaimana kita setelah menikah nanti," bujuk Dimas.
Mata Winda langsung bercahaya.
"Jadi Daddy setuju menikah dengan Winda?" tanyanya tak percaya.
"Ya, tapi semuanya harus jelas, termasuk batasan hubungan di antara kita."
"Winda terserah Daddy saja!" sahut Winda, baginya yang penting ia bisa ke luar dari rumah orang tuanya.
Winda hanya mengangguk, dan iya saja terhadap apa yang dikatakan Dimas. Ia tahu dari cerita Dirga kalau Daddynya adalah orang yang sangat baik, jadi Winda menyerahkan semuanya kepada maunya Dimas saja.
--
Orang tua Winda sudah setuju kalau Dimas yang akan menggantikan Dirga untuk menikahi Winda.
Sepertinya mereka sudah benar-benar tidak peduli dengan Winda, tidak peduli bagaimana kehidupan Winda nantinya.
Pernikahan mereka hanya pernikahan siri saja, yang hanya dihadiri, dan diketahui oleh keluarga Winda, dan Dimas yang datang sendiri saja.
Bahkan saat Winda berpamitan untuk pergi mengikuti Dimas, tak ada yang peduli padanya, hanya air mata Mamahnya yang mengiringi tanpa ada pelukan, dan ciuman sebagai tanda perpisahan dari keluarganya.
Dimas sekarang sadar, kenapa Winda begitu ingin pergi dari rumahnya sendiri. Dimas tidak melihat tatapan sayang dari keluarga Winda selain dari Mamahnya.
Sekuat tenaga Winda menahan agar air matanya tidak jatuh.
Ada kesedihan di dalam hati, karena merasa dirinya tidak cukup berarti bagi keluarganya.
Mereka tidak peduli pada nasibnya, itu sangat menyakitkan baginya.
Winda semakin memahami, kalau sikap over protektif keluarganya, bukan karena mereka menyayanginya, tapi lebih kepada karena mereka takut ia merusak nama keluarga yang sangat dibanggakan Neneknya.
*
Di dalam mobil menuju kediaman Dimas.
"Jangan tahan tangismu Winda, menangislah agar sakit di hatimu terasa berkurang," kata Dimas lembut.
"Winda bukan gadis cengeng Daddy, Winda bisa menanggung semua ini selama belasan tahun," jawab Winda.
"Yang jadi pertanyaanku Winda, kenapa keluargamu sangat over protektif padamu, jika itu karena rasa sayang, maaf kalau kukatakan aku tidak melihat rasa sayang itu pada sikap keluargamu, selain Mamahmu, jadi apa alasan mereka berbuat seperti itu?"
"Winda sendiri tidak tahu, kenapa bisa seperti itu. Papah tidak pernah bersikap lembut pada Mamah, dan juga kepada Winda. Begitu pula Nenek, Nenek kadang tidak banyak bicara, tapi begitu dia marah, persis seperti senapan yang memuntahkan peluru tanpa henti. Kata-katanya kasar, memanaskan telinga juga perasaan."
"Jujur itu membuatku jadi penasaran," kata Dimas.
"Lupakan saja rasa penasarannya, karena dari sekarang, antara Winda, dan mereka, tidak lagi ada hubungan seperti yang tadi Papah ucapkan, hidup mati Winda sudah Papah serahkan sepenuhnya kepada Daddy," sahut Winda mengingatkan Dimas kalau mereka tidak akan pernah kembali ke rumah itu lagi.
Dimas tahu, meski Winda berusaha menutupi kesedihannya, tapi kesedihan itu tetap terbaca dari bola mata, dan suaranya.
Saat tiba di depan pagar rumah Dimas, Satpam rumah Dimas membukakan pagar rumahnya.
"Ini rumah Daddy sendiri?" tanya Winda mengamati rumah Dimas yang meski tidak terlalu wow, tapi terlihat sangat nyaman. Dimas mengangguk pada Winda, lalu menjawab salam dari Satpamnya dengan mengangguk juga, dan tersenyum manis.
"Pak Cahyo, kenalkan ini Winda, putri angkat saya, dia akan tinggal di sini bersama saya." Dimas memperkenalkan Winda pada Pak Cahyo, Satpamnya.
Winda mengulurkan tangan pada Pak Cahyo. Tubuhnya yang mungil membuatnya harus melepas safety belt dan mencondongkan tubuh ke arah Dimas yang berada di antara Winda, dan Pak Cahyo.
"Hallo Pak Cahyo, selamat siang, kenalkan nama saya Winda Putri Pertiwi, saya anak angkatnya Daddy Dimas," kata Winda riang sambil mengulurkan tangannya pada Pak Cahyo. Dimas sampai harus menyandarkan punggungnya ke sandaran jok mobil, untuk memberi jalan bagi tangan Winda yang terulur ke arah Pak Cahyo.
Hidung mancung Dimas menyentuh rambut kuncir kuda Winda.
Dimas berusaha menahan nafasnya.
"Selamat siang Non Winda, semoga betah ya tinggal disini," kata Pak Cahyo.
"Iya makasih Pak." Winda duduk kembali di kursinya, keceriaan terpancar dari wajahnya.
Kesedihan yang tadi sempat terlihat, entah menguap, dan hilang ke mana.
Dimas memarkir mobilnya di garasi, ada tiga mobil lain yang terparkir di sana juga dua buah motor gede, dan satu motor matic.
"Iihhh ... Daddy keren punya moge juga ternyata, nanti ajak Winda jalan-jalan naik moge ya, Dad!" celotehnya, seakan ia sudah mengenal Dimas sangat lama.
"Iya." angguk Dimas.
"Ayo masuk, Daddy kenalkan dengan penghuni rumah yang lain." Dimas menggamit lengan Winda.
Mereka masuk ke dalam rumah melalui pintu yang menghubungkan garasi dengan ruang tengah.
"Bik, Mbak, Mang, kumpul sebentar" panggil Dimas.
Satu orang wanita usia 50 an, satu lagi wanita usia 35 an dan satu orang pria usia 50 an juga masuk ke dalam ruang tengah.
"Nah sudah kumpul semua, Bik Yayuk, Mbak Titi dan Mang Aden kenalkan, ini Winda, putri angkat saya. Dia akan tinggal di sini bersama kita, jangan sungkan menegurnya kalau dia bandel, dan laporkan pada saya kalau dia bertingkah nakal." Dimas mengenalkan Winda pada pegawai di rumahnya, mata Winda melotot gusar karena ucapan Dimas barusan.
"Selamat siang Non Winda, selamat datang," sapa Bik Yayuk.
Meski dongkol dengan Dimas, tapi Winda tak berani protes, disalaminya satu-satu pegawai Dimas, seraya memasang senyum termanisnya.
"Mang Aden tolong ambilkan barang-barang Winda di bagasi mobil, Bik Yayuk antarkan Winda ke kamar di seberang kamar saya, Mbak Titi tolong buatkan saya es jeruk, dan antarkan ke ruang kerja saya" perintah Dimas.
"Siap Mas!" sahut ketiganya.
-
Dimas duduk termangu di kursi ruang kerjanya. Ia masih tidak tahu kenapa ia menyetujui ide gila Winda untuk menikahi Winda. Yang jelas, Dimas hanya merasa bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukan Dirga terhadap Winda.
Dirga, putra tunggalnya dengan Gina mantan istrinya.
Dimas, dan Gina menikah saat usia mereka sama-sama 18 tahun.
Kenapa mereka menikah muda? MBA, married by accident, alias hamil di luar nikah, itulah alasannya.
Tapi pernikahan mereka hanya bertahan 3 tahun, karena Gina tak tahan hidup menderita.
Dulu Dimas bukanlah apa-apa, ia cuma seorang anak yang tak pernah tahu Ayahnya. Ayahnya meninggalkan Ibunya, saat Ibunya masih mengandung dirinya. Kemudian Ibunya meninggal setelah melahirkannya. Dimas tinggal dengan Nenek, dan Kakeknya.
Neneknya berjualan sayur secara keliling, sedang Kakeknya bekerja disebuah bengkel motor.
Saat menikah dengan Gina, orang tua Gina lepas tangan pada kehidupan rumah tangga mereka, karena rasa kecewa mereka pada pilihan Gina.
Gina diberi dua pilihan.
Satu, meninggalkan Dimas, dan menggugurkan kandungannya, atau nikah dengan Dimas, dan hidup seadanya. Dan, Gina memilih Dimas, tapi itu hanya bertahan tiga tahun karena Gina akhirnya mengakui, ia tidak bisa hidup tanpa materi berlimpah. Gina meninggalkan Dimas dengan membawa Dirga bersamanya, dan akhirnya perceraian itu terjadi juga.
Dimas mengusap wajah dengan satu tangannya, saat teringat babak menyedihkan dalam hidupnya belasan tahun lalu. Dan, kejadian itu hampir terulang lagi pada Dirga, dan Winda.
*
Winda berdiri di depan cermin di kamar, diamati wajahnya.
Mirip Papahnya.
'Lalu kenapa Papah membenciku?
Kenapa Nenek juga membenciku?
Bukankah aku anak kandung Papah, dan Mamah? Lihat saja wajahku mirip Papah, tapi kenapa Papah sangat membenciku? Apa aku anak yang tidak diharapkan?
Bukannya aku anak perempuan, dan cucu perempuan satu-satunya, yang harusnya jadi kesayangan. Tapi, kenapa aku justru jadi sasaran kebencian mereka?
Sungguh aku tidak memahami.'
Berbagai pertanyaan menyesakan hati Winda.
***BERSAMBUNG***