Tidak terasa sudah empat bulan lebih Winda tinggal bersama Dimas.
Dan selama ia tinggal bersama Dimas, Winda merasa hidupnya lebih bahagia. Sedang Dimas merasa, sejak Winda masuk dalam hidupnya, ia merasa hidupnya jadi lebih berwarna.
Hari ini Dimas pulang agak malam, Winda menyongsongnya di ambang pintu. Celana pendek pink dari bahan kaos yang dikenakan Winda, membuat paha putih mulusnya terekspose sempurna, dan meski kaos pink tanpa lengan yang dikenakannya cukup longgar, tapi tetap saja mencetak sempurna bagian dadanya, yang Dimas yakin tanpa memakai bra.
Entah kenapa Winda tidak pernah memakai bra saat malam begini, Dimas juga tidak tahu alasannya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam, capek ya? Sini, duduk sini, biar Winda pijitin." Winda menarik lengan Dimas, dan meminta Dimas duduk di sofa ruang tamu.
Jari Winda mulai memijit bahu Dimas, Winda perlu mengerahkan tenaganya untuk melakukan itu.
"Pasti sudah mandi iyakan?"
"Iya."
"Pasti sudah makan malam juga, iyakan?"
"Iya."
"Enak nggak pijitan Winda?"
"Enak."
"Daddy lagi ada masalah ya?"
"Tidak."
"Kok jawab pertanyaan Winda cuma satu kata."
"Aku tidak apa-apa, cuma lelah saja, besok cabang bengkel, penjualan oli, ban, spare part, dan salon mobil yang baru, akan dibuka. Jadi hari ini cukup lelah mempersiapkan semuanya," jawab Dimas menjelaskan.
"Wah ... hebat, buka cabang segala. Winda ingin nanti bisa seperti Daddy, punya usaha macam-macam, cabangnya dimana-mana, pasti kepuasannya beda ya, kalau usaha yang kita bangun mulai dari nol, sepenuhnya dari hasil kedua tangan kita sendiri maju pesat. Dari pada usaha hasil dari warisan keluarga. Hmmm ... seperti Papah, yang mewarisi kerajaan bisnis Kakek, Papah anak tunggal, jadi Papah itu pewaris tunggal, nanti Papah mewariskan semua itu pada empat anaknya. Eeh ... bukan empat, tapi tiga, karena Papah sudah membuang Winda," saat mengucapkan kalimat terakhirnya, Dimas bisa merasakan kepedihan dari suara Winda, pijitan di bahu Dimas pun terasa melemah.
Dimas meraih lengan Winda, ditarik lembut lengan Winda, didudukan Winda di atas pangkuannya.
"Aku tidak suka melihat Winda sedih seperti ini." Dimas menghapus air mata yang jatuh di pipi Winda.
"Maaf."
"Jangan sedih lagi ya."
Winda mengangguk, dirapatkan dadanya ke dadanya Dimas, Dimas bisa merasakan bukit kembar Winda menekan dadanya.
Bibir Winda yang menempel di lekukan lehernya, membuat Dimas merasa bulu tubuhnya meremang.
Apalagi Winda memeluk bahunya erat sehingga dadanya Winda semakin lekat. Winda mengangkat kepalanya.
"Daddy."
"Ya."
"Sebentar lagi Winda ulangan, terus pembagian raport, terus libur satu minggu, liburannya sampai tahun baru. Boleh tidak Winda ikut liburan sama teman-teman Winda ke Pulau Seribu. Winda pakai uang sendiri, Winda nggak minta uang sama Daddy, uang jajan yang di kasih, cuma Winda pakai sedikit, karena tiap hari Winda jajannya ditraktir teman. Boleh ya, Dad? Boleh ya?" Winda memohon dengan menangkap kan kedua tangan di depan dadanya.
"Jadi itu alasan Winda bersikap manis, dan pijitin segala?" tanya Dimas pura-pura marah.
"Enggak, Winda mijiti ikhlas kok," elak Winda.
"Perginya sama siapa saja?" tanya Dimas.
"Teman-teman sekelas Winda. Ada dua puluh orang yang pergi."
"Laki-laki, atau perempuan?"
"Dua-duanya, sekolah Winda sekolah umum bukan sekolah khusus cewek."
"Pacarmu ikut juga?" selidik Dimas.
"Pa-car?"
"Katanya Winda ingin punya pacar'kan?"
"Ingin sih, tapi belum kesampaian, baru usaha pendekatan. Habis, saingan Winda banyak. Si Boy jadi rebutan di sekolah Winda, si Boy sih gantengnya over dosis, dia kedip saja cewek-cewek langsung meleleh, apa lagi dia senyum." Winda menggeleng-gelengkan kepala, sambil mengkhayalkan Boy ada di depannya.
"Oh namanya Boy ya, jadi sekarang Winda sudah beneran lupa sama Dirga?"
"Dirga? Dirga mana ya? Dirga siapa ya? Oh, Dirga yang anaknya Pak Dimas ya? Hmm ... mending sama Daddy-nya, dari pada sama anaknya." Winda mencibirkan bibir. Dimas menatap wajah Winda. Winda meraih wajah Dimas dengan kedua tangannya.
"Daddy-nya Dirga saja jauh lebih ganteng dari Dirga, hidungnya mancung, matanya teduh, bibirnya seksi, lengannya berotot, dadanya bidang, bahunya kokoh, sempurna," gumam Winda, seraya tangannya menyentuh satu persatu bagian tubuh Dimas yang ia sebutkan.
"Ganteng mana sama Boy?" pertanyaan itu melompat begitu saja dari mulut Dimas, tanpa dapat ditahan.
"Daddy sama Boy? Ehmm ... gantengan siapa ya? Gantengan ... sama sih, cuma beda masanya saja, Daddy gantengnya kan buat yang seumuran Daddy, kalau Boy ya gantengnya buat yang seumuran Winda," jawab Winda dengan jari-jari memainkan kancing kemeja Dimas.
Dimas merasa jantungnya berdebar tak menentu, saat merasakan sentuhan tangan Winda yang menyusup ke balik kemeja, dan menyentuh dadanya.
"Dadanya ini enak banget buat tempat nangis," gumam Winda, sambil mengelus kulit dadanya Dimas di balik kemejanya. Winda bisa merasakan debaran jantung Dimas yang berpacu kencang.
Spontan Winda mendekatkan telinga ke dadanya Dimas.
"Daddy sakit jantung ya? Kok detaknya beda sama punya Winda, coba pegang dadanya Winda!" Winda meraih tangan Dimas diletakan di bagian atas dadanya.
"Beda kan?" tanyanya.
Tanpa sengaja tangan Dimas menyenggol puncak gunung kembat Winda.
Cepat Dimas menarik tangannya.
Dimas menurunkan Winda dari atas pangkuan, ia takut mulai kehilangan kendali atas dirinya.
"Daddy!?" Winda protes karena Dimas menurunkannya dari pangkuan Dimas.
"Sudah larut malam, kita tidur ya besok aku sangat sibuk," jawab Dimas.
"Daddy belum jawab, Winda boleh nggak ikut pergi liburan ke Pulau Seribu?" tanya Winda menuntut jawaban.
"Kita lihat nanti saja ya," jawab Dimas.
"Apa yang mau dilihat dulu?" tuntut Winda.
"Winda ... nanti saja ya, aku sekarang sangat lelah."
"Ya sudah, padahal apa susahnya sih tinggal bilang boleh, atau tidak," gerutu Winda yang langsung masuk ke dalam kamar tidurnya.
Dimas menarik nafas dalam, dipijit keningnya, karena kepalanya yang terasa sedikit pusing.
*
Dimas tidak bisa tidur, meskipun ia merasa sangat lelah.
Ia merasa luar biasa gerah.
Dimas ke luar dari kamar, ia turun ke lantai bawah, lalu menuju kolam renang. Dimas merasa perlu berendam di dalam kolam, untuk menghilangkan rasa gerah luar biasa yang tengah dirasakan.
Dimas menceburkan diri ke dalam kolam dengan memakai celana boxer.
Baru dua kali putaran Dimas berenang, ketika dilihatnya Winda ke luar dari dalam rumah menuju kolam renang.
"Daddy!" panggil Winda, suaranya terdengar manja menggoda.
"Winda!"
Winda melompat masuk ke dalam kolam.
"Daddy!" teriak Winda sambil menggapai kan tangan ke arah Dimas yang ada di ujung kolam.
Spontan Dimas berenang mendekati Winda, ditarik Winda ke tepi kolam. Dimas ingin menaikan Winda ke atas tapi Winda mengalungkan kedua tangannya erat di leher Dimas.
Dimas bisa merasakan puncak gunung kembar Winda menempel di dadanya, membuat nafas Dimas memburu.
Winda memangil sebelum bibir Winda mencium bibir Dimas dengan rakusnya.
Dimas membalas ciuman Winda tidak kalah ganasnya, suara decap kecupan jelas terdengar dikeheningan malam.
Dimas sudah lupa kalau Winda adalah mantan pacar anaknya, Dimas tidak bisa lagi menahan hasrat yang sudah dirasakannya sejak Winda menyentuh dadanya.
Tangan Winda menekan bahu Dimas kuat, saat Dimas mengangkat p****t Winda agar Winda bisa melingkarkan kakinya di pinggang Dimas.
Desahan manja bernada protes melompat dari mulut Winda saat Dimas melepas ciumannya, dan merubah posisi mereka. Punggung Winda kini bersandar di dinding kolam, dan Dimas menekankan tubuhnya rapat ke tubuh Winda.
Kaos Winda sudah terlepas dari tubuhnya, kepala Dimas turun ke dadanya Winda, disentuh mesra Winda,, terdengar desahan dari mulut Winda yang membuat tubuh Dimas semakin terbakar hasratnya.
Tangan Dimas yang satu masih di pinggang Winda, sedang yang satu lagi sudah masuk ke balik celana di bagian p****t Winda.
Diremas kuat p****t Winda, membuat tubuh Winda melengkung, dan dadanya semakin membusung.
"Daddy ... Daddy ... Dad!" Winda berusaha membangunkan Dimas dengan memanggil, dan menepuk pipi Dimas.
"Iih bangun! Hari ini pembukaan cabang usaha Daddy'kan, ayo bangun!"
Dimas yang masih terbuai mimpi, tanpa sadar menarik lengan Winda sampai Winda jatuh menimpa tubuhnya. Dibawa Winda berguling untuk ditindih.
"Ih, mimpi apa mabuk sih? Bangun!" Winda mulai merasa panik akan tingkah Dimas yang matanya masih rapat terpejam.
Wajah Dimas jatuh tepat di atas wajah Winda, bibir tepat bertemu bibir.
Mata Winda mengerjap-ngerjap, saat ia merasa ada bagian tubuh Dimas yang membesar, dan menegang di bawah sana. Winda ingin membuka mulutnya untuk membangunkan Dimas lagi, tapi bibir Dimas yang berada tepat di atas bibirnya sangat menggoda. Winda memejamkan mata, dicium bibir Dimas pelan.
Digigit bibir Dimas ragu, mulut Dimas terbuka Winda langsung memasukan lidahnya ke dalam mulut Dimas. Tanpa sengaja Winda sudah menggigit lidah Dimas, membuat Dimas terjengkit bangun.
"Winda!" serunya, Dimas langsung melompat bangun, dan menjauhi Winda.
"Kamu ngapain?" tanya Dimas gusar.
"Winda cuma mau bangunin, tapi Daddy tuh yang sudah mimpi apaan? Pasti mimpi m***m'kan? Ngaku deh! Kalau bukan mimpi m***m, masa burungnya bisa bangun. Jadi tadi pasti mimpi m***m, ayo mimpi ML sama siapa? Sama Tante Calista, atau yang lainnya? Oh iya, tadi Winda cium bibir nggak minta ijin, habisnya bibir seksi, jadi Winda ngiler pengen nyobain, ternyata bibir Daddy lebih enak dari bibir Dirga hihihi ... eeh kok malah melantur, ayo mandi sana, Winda juga mau mandi," celoteh Winda tanpa memperhatikan wajah Dimas yang berubah-ubah warnanya.
Winda turun dari tempat tidur Dimas, sebelum ke luar dia berbisik kepada Dimas.
"Mimpi ML, harus mandi basah loh, tahukan doa mandi basah, bisa'kan? Hihihi ... selamat mandi wajib Daddy." Winda berlalu ke luar kamar sambil meninggalkan tawanya. Dimas masih diam terpaku di tempatnya, diusap pelan wajah, bayangan kejadian di mimpi tadi menari di pelupuk mata.
'Ya Tuhan apa aku Sudah gila bermimpi b******u dengan Winda ... hhhh ....' batin Dimas.
Dimas meraba burungnya yang masih tegak berdiri.
'Jadi Winda menyadari kalau burungku tadi bangun.
Ya Tuhan....
Bagaimana cara aku mengelak dari pertanyaannya nanti, hhhh Winda ....'
Dimas meraba bibirnya, Winda mengatakan, tadi dia sudah mencium bibir Dimas.
'Hhhh ... Winda, kamu itu polos, sok polos, atau omes sih.
Ya Tuhan....
Ini tidak boleh terjadi lagi, apa kata Dirga nanti kalau aku lepas kendali, dan Winda hamil karena aku, pasti dia akan membenciku karena niat awal pernikahan ini hanya untuk melindungi Winda dari kekejaman Papahnya.'
Dimas mengacak rambut, karena merasa hatinya sedang tidak menentu.
*
Ulangan umum sudah selesai, pembagian raport sudah dilakukan, dan Winda menjadi orang yang paling gembira, karena ini pertama kali ia dapat peringkat di kelasnya, meski hanya peringkat tiga.
Dengan suka cita Winda langsung menemui Dimas di bengkelnya.
"Daddy!" pekik Winda di ambang pintu ruangan Dimas.
Dimas segera berdiri menyongsongnya.
"Bagaimana hasilnya?" tanya Dimas antusias.
"Winda peringkat tiga, Daddy, ini nilai terbaik sepanjang sejarah hidup Winda. Winda bahagia sekali, ini berkat Daddy. Ini semua karena Daddy, terima kasih!" Winda melompat, dan mengalungkan tangan di leher Dimas.
Dimas memeluk pinggangnya.
Winda mengecup kedua pipi Dimas.
"Boleh kecup bibirnya nggak?" tanyanya polos.
"Ehh ...." Dimas bingung harus menjawab apa, tapi Winda sepertinya tak perlu jawaban karena bibir Winda sudah mengecup bibir Dimas meski hanya sekilas, tapi cukup membuat debaran aneh di dalam hati Dimas.
"Mana raportnya, coba lihat" Dimas duduk di sofa, tangannya menadah, menunggu Winda menyerahkan raport yang diambil dari dalam tas.
Winda duduk di lengan sofa yang diduduki Dimas, Dimas mulai membuka lembar pertama.
Dibaca biodata Winda yang tertulis di sana, tiba-tiba keningnya berkerut dalam.
"Ini nama Papah Winda?" tanya Dimas saat membaca nama Wahid Anggoro tertulis di kolom orang tua.
"Iya ... itu nama Papah, masa tidak tahu nama Papah Winda sih?"
"Iya, aku baru tahu hari ini kalau ini nama Papah Winda."
"Loh ... terus akad nikah kemaren memangnya tidak disebut Winda anak siapa, pasti disebutkan kalau Winda anaknya Papah."
Dimas terdiam mendengar ucapan Winda.
"Ya, aku cuma lupa saja dengan nama Papah Winda," gumam Dimas hampir tidak terdengar.
Dimas langsung mengalihkan perhatian Winda dengan memuji nilai raportnya, Dimas tidak ingin menduga-duga, ia harus segera tahu kebenaran tentang siapa Winda di dalam keluarganya.
*