Bab.9 Boss Rasa Pacar

1735 Words
Mara semakin jengah karena Farrel yang berkali-kali menelpon dan mengirim puluhan chat. Pikirannya tidak bisa fokus gara-gara terus diteror. Hingga saking jengkelnya, dia memilih membisukan ponselnya dan tidak menggubrisnya lagi. Selain posesif, Farrel juga cemburuannya minta ampun. Jadi tak heran kalau setelah kejadian semalam, pria itu tidak lagi bisa tenang membiarkannya terus dekat dengan bosnya. “Kamu sudah habis berapa cangkir kopi, Ra? Hati-hati nanti lambungmu kena?” tegur Dila melihat Mara dari pagi minum kopi nggak kira-kira. “Biar nggak ngantuk, Mbak. Semalam mengerjakan tugas sampai hampir pagi,” jawab Mara nyengir. “Harus pintar-pintar bagi waktu. Rajin boleh, tapi badan dan otak jangan terlalu diforsir. Nanti ujung-ujungnya malah tepar, Ra.” tutur Dila sudah seperti kakak menasehati adiknya. Bukan seperti, tapi Dila memang sudah menganggap Mara adik. Tidak tahu kenapa dia merasa cocok dan gampang dekat dengan Mara. Mungkin karena anaknya supel juga menyenangkan, jadi sama sekali tidak sulit untuk menyukai Mara dengan sifatnya yang polos itu. “Mbak Dila mau makan siang dimana?” tanya Mara sambil memeriksa pekerjaannya yang baru selesai. “Mungkin ke kafe depan, kantin kan biasanya penuh terus.” jawab Dila, tapi dia dibuat bingung saat Mara justru meletakkan bekalnya di meja depannya. “Mbak bantu makan bekalku saja, ya? Dia kalau bawakan bekal isinya pasti enak kok. Sayang kalau nggak dimakan.” ucap Mara. “Dia? Maksudnya ini dari pacarmu?” tanyanya, dan Mara pun mengangguk. “Iya.” “Lha, terus kamu mau makan apa?” tanya Dila lagi. “Sudah kenyang kebanyakan minum kopi, Mbak.” sahutnya tertawa pelan. Padahal perutnya sejak tadi terasa perih, karena dari pagi tidak terisi apapun selain kopi. Moodnya sedang berantakan, hingga membuatnya kehilangan selera makan. Apalagi bekalnya dari Farrel, pria yang justru makin membuatnya kesal setengah mati setelah pertengkaran dan sikap kasarnya semalam. “Terima kasih, di laci bawah situ ada roti. Nanti kalau lapar kamu ambil saja. Aku ke pantry makan siang dulu,” ucap Dila segera beranjak dengan membawa bekal pemberian Mara. Wajah Mara kembali meringis. Bukan cuma perutnya perih, tapi kepalanya juga berdenyut sakit karena kurang tidur. Mengacuhkan ponselnya yang kembali terus berkedip oleh panggilan dan chat dari Farrel, Mara memilih menggunakan satu jam waktu istirahat siangnya untuk tidur. “Dila …” Aryan yang baru keluar dari ruangannya langsung terdiam begitu mendapati Mara duduk dengan kepala menelungkup di meja berbantal kedua tangannya. Matanya terpejam rapat, namun dahinya tampak mengernyit seperti menahan sakit. Perlahan dengan langkah pelan Aryan mendekat, menatap lekat wajah cantiknya yang sedang tertidur itu. Rahangnya mengeras saat melihat dengan jelas luka memar di pergelangan tangan Mara yang kini tampak jelas. Apalagi mendapati ponsel di atas meja yang terus berkedip dengan puluhan notif panggilan tak terjawab dan chat dari pria b******k itu. Tiba-tiba Mara meringis, lalu matanya membuka. Mengerjap pelan, sebelum kemudian duduk tegap dengan wajah kaget begitu menyadari bosnya sedang berdiri tepat di depan mejanya. Bibir Aryan berkedut geli disuguhi ekspresi imutnya yang sedang kebingungan dan salah tingkah. “Bapak butuh sesuatu?” tanya Mara menahan malu. “Kamu sakit?” Aryan malah balik bertanya, tapi gadis itu langsung menggeleng. “Tidak, hanya sedikit mengantuk.” “Tidak makan? Bukannya tadi dibawakan bekal pacarmu?” tanya Aryan dengan sedikit sindirannya. “Nggak lapar, jadi bekalnya saya kasihkan buat Mbak Dila. Ada yang bisa saya bantu, Pak?” sahut Mara. “Dila mana?” “Lagi makan siang di pantry,” jawabnya. Mara menghela nafas lega begitu bosnya berlalu pergi ke arah pantry. Jantungnya masih berdegup kencang saking kagetnya saat terbangun sudah mendapati pria itu berdiri di hadapannya. Tangan Mara mencoba mengorek isi tasnya. Seingatnya dia masih menyimpan obat pereda sakit, tapi sayangnya dia tidak menemukannya lagi. Menahan denyut pusing dan perih di perutnya, dia kembali menelungkup meletakkan kepalanya di meja. Siapa tahu saja setelah untuk tidur sebentar sakitnya akan berkurang. Sayang, baru mau memejamkan mata dia sudah dipanggil lagi oleh bosnya. “Mara …” “Iya, Pak.” sahutnya kembali menegakkan punggung dengan jantung berdebar, takut kena sewot lagi. “Ikut aku keluar! Bawa berkas yang map kuning di meja Dila, kita ketemu Pak Toni Arifin.” perintahnya sedikit terburu-buru sambil melirik jamnya. “Baik, Pak.” sahut Mara bergegas menyambar tasnya dan mengambil map kuning di meja Dila, sebelum kemudian mengikuti langkah bosnya. Ketika mau masuk lift dia sempat menoleh. Baru ingat kalau lupa membawa ponselnya, tapi juga tidak mungkin balik lagi. Bosnya sedang buru-buru dan sewot mode on, bisa habis dia kena semprot kalau memancing amarahnya lagi. Hening, Mara berdiri di belakang bosnya. Sedikit menyandarkan punggungnya, menahan rasa sakit dan berusaha tetap terlihat baik-baik saja. Dia sama sekali tidak menyadari kalau Aryan terus mengamati setiap gerak-geriknya dari pantulan kaca lift. Dan begitu pintu terbuka, Mara tersentak kaget dengan ulah Aryan yang tiba-tiba berbalik mengambil map dari tangannya. Dia tidak berani bertanya ataupun protes, hanya bungkam mengekor menuju mobilnya. “Tidur saja dulu, nanti kalau sudah sampai aku bangunkan!” ucapnya setelah Mara duduk di bangku penumpang. “Nggak apa-apa, saya sudah tidak …” “Tidur, Ra!” titahnya. Jantung Mara nyaris berhenti berdetak ketika bosnya melongok ke arahnya. Dia diam tidak berani berkutik saat wajah mereka nyaris tidak menyisakan jarak. Deru nafas pria itu menghembus menerpanya, menghantarkan panas yang terasa membakar wajah Mara tanpa ampun. Tangan Aryan menarik sabuk pengaman yang lupa Mara pakai. Namun, setelahnya dia justru tergelitik menggoda gadis yang sekarang diam terengah dengan muka memerah itu. “Kenapa tegang? Bukankah kamu sendiri yang bilang, aku tidak mungkin tertarik padamu. Apalagi sampai mengajakmu praktek adegan plus-plus?” ejeknya menatap tepat ke mata bening Mara yang tampak sayu. “Iya, tahu kok. Bahkan meski bukan gay, Bapak juga tidak mungkin tertarik sama saya.” gumam Mara lirih. Deru nafas Aryan semakin berat. Bibir mungil Mara terlihat begitu menggoda meski tanpa polesan lipstik, dan Aryan nyaris gila ingin mencicipi rasanya. “Ulang tahunmu kapan?” tanyanya. “Ha?” sahut Mara juga tidak nyambung, karena otaknya terlalu sibuk mencari celah untuk lari dari cengkraman pesona pria ini. Tapi, bosnya justru semakin membuatnya jatuh terperosok. “Kamu kapan genap berumur dua puluh satu, Ra?” bisiknya di dekat telinga Mara, sangat dekat. Mara tersengal, meremang mendengar suara serak yang menyengat telinganya. Wangi tubuh bosnya semakin membuatnya seperti melayang entah kemana. Ingin menjawab, tapi tenggorokannya kering mengganjal. “Minggu depan, masih lima hari lagi.” jawabnya. Tangan Mara sontak mencengkram tas di pangkuannya saat ujung mancung hidung bosnya menyerempet daun telinganya. Perutnya tidak lagi perih, tapi mulas seperti mencelos karena terhempas dari ketinggian. Apalagi mendengar suara tawa pelan, yang entah apa arti di baliknya. “Ok, lima hari lagi.” ucap Aryan balik duduk ke bangkunya dan memasang sabung pengamannya dengan bibir mengulum senyum. “Kenapa tanya ulang tahun saya, Pak?” lontar Mara memberanikan diri bertanya karena terlanjur penasaran. Lagi pula bosnya sudah kayak bunglon, tiba-tiba mukanya lebih cerah dari langit biru di atas sana. Padahal tadi keruh seperti orang sedang ditagih hutang. “Nggak, kan berarti kamu sudah dua puluh satu tahun.” jawabnya sambil melajukan mobilnya meninggalkan area parkir kantor. Aryan menggigit bibir setelah melirik Mara yang masih mengernyit berpikir keras. Otak encernya tidak lagi berguna, karena tertutup sifatnya yang kelewat polos. “Untuk sampai sana masih ada setengah jam lebih. Kamu tidur saja dulu, nanti aku bangunkan. Ini kan masih jam istirahat siang kamu,” ucap Aryan. Kali ini Mara mengangguk, lalu sedikit merendahkan sandaran bangkunya supaya lebih nyaman. Kepalanya masih cenat-cenut tidak karuan. Lagipula kalaupun dia melek, juga cuma diam karena tidak ada yang bisa mereka obrolkan. Mending dia tidur daripada merasa canggung. Tak lama dia tertidur, hingga tidak sadar saat Aryan sempat berhenti di depan apotik untuk membeli obat. Tak hanya itu, Aryan juga melepas jasnya untuk menyelimuti tubuh Mara. “Dasar bodoh!” dengus Aryan menatap wajah cantik Mara yang tampak sedikit pucat, lalu melanjutkan menyetir. Dia sendiri juga tidak tahu kenapa sebegitu marahnya melihat Mara datang diantar bocah tengil itu. Mungkin karena kesal setelah mendapat perlakuan kasar semalam, Mara masih bodoh mau saja berbaikan dengan Farrel. Apalagi saat melihat wajah pucat dan luka memar di tangan Mara, dia benar-benar jengkel dengan sikap mengalah Mara. “Ra …” panggil Aryan pelan saat mobilnya sudah terparkir di depan Grand Cafe. “Mara …” panggilnya lagi sambil mengusap kepala Mara yang masih tertidur pulas. Aryan mendecak pelan, mengecek lagi waktu janjiannya yang sudah mepet. Dia orang yang selalu tepat waktu, dan paling tidak suka ada yang datang telat. Tapi, sekarang rasanya tidak tega melihat Mara yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja. “Ra, bangun! Kita sudah sampai,” panggilnya terpaksa membangunkan Mara dengan mengelus lembut pipinya. “Hm,” gumamnya serak, lalu perlahan membuka mata. Namun, dia kembali memejamkan matanya sambil meringis. “Masih pusing?” tanyanya khawatir. Tangannya terulur merapikan rambut Mara yang sedikit berantakan. “Nggak,” gelengnya, lalu bangun dan menegakkan sandarannya. Kalau terus dibuat salting begini, yang ada pusingnya justru makin menjadi. “Maaf,” gumam Mara sungkan memberikan jas milik bosnya yang sudah berubah jadi selimut. Pantas saja tidurnya begitu lelap. “Kalau sakit nanti pulang kita mampir ke dokter, atau kamu mau minum obat dulu? Tadi aku mampir ke apotik,” ucapnya meraih plastik kecil berisi obat. Mara menerimanya, dan dibuat terpaku dengan d**a sesak begitu melihat isinya. Di dalam bukan cuma obat pereda sakit, tapi juga salep untuk luka memar. Sialnya, air matanya justru meleleh begitu saja. “Lah, kenapa menangis?” tanya Aryan bingung. “Terima kasih, Pak.” gumamnya parau. Bagaimana dia tidak dibuat terharu dengan perhatian bosnya. Saat sakit dia tetap sendirian karena jauh dari orang tua. Punya pacar, tapi egoisnya tidak ketulungan. Jangankan membelikan obat, tadi pagi saja Farrel minta maaf juga seperti hanya setengah hati. Dia masih tidak terima dirinya memakai ponsel itu. Padahal tangannya memar begini juga akibat ulah dia. “Nangisnya ditunda dulu. Sekarang minum obatnya, terus kita masuk menemui Pak Toni sebentar. Aku usahakan bisa selesai lebih cepat,” ucap Aryan membuka sebotol air mineral untuk Mara minum obat. Mara mengangguk, segera meminum obat dan mengusap sisa basah di wajahnya. Aryan tersenyum geli sekaligus iba. Geli melihat Mara yang cengeng, juga kasihan sakit tanpa ada keluarganya. “Ayo!” ajak Aryan meraih map kuningnya. “Terima kasih, Pak.” ucap Mara. “Nggak gratis, Ra.” sahut Arya beranjak turun. “Oh, terus saya harus ganti berapa?” tanya Mara buru-buru menyusul turun. “Ganti dengan hati kamu,” jawab Aryan terkekeh melihat Mara yang menoleh dengan muka cengonya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD