Bab.8 Kena Sewot

1676 Words
Entah kebetulan macam apa hingga pagi saat baru sampai depan gedung kantor Jarvis grup, Aryan justru melihat Mara turun dari mobil yang mengantarnya. Kesal jalannya terhalangi, dia menekan klakson panjang hingga Mara menoleh. Mukanya masih keruh, mungkin pertengkaran dengan pacarnya semalam masih berlanjut barusan. Mobil sport warna biru itupun melaju pergi. Aryan mengendarai mobilnya masuk area parkir khusus dengan senyum geli. Entah apa yang bocah ingusan itu ingin pamerkan padanya. Cibiran pedasnya soal menumpang hidup dan berhura-hura dengan uang orang tua, nyatanya tak membuat Farrel merasa malu. “Selamat pagi, Pak!” sapa Mara saat berpapasan dengan bosnya di lobi. “Pagi,” sahutnya pelan tanpa menoleh. Mara meringis mendapati sikap dingin bosnya, semakin merasa tidak enak hati karena sudah menyeretnya dalam pertengkarannya dengan Farrel semalam. Berbaur dengan pegawai lain, Mara berdiri di depan lift biasa. Sedangkan Aryan terus melangkah ke arah lift khusus tanpa berniat mengajak asistennya itu ikut naik. Mara sudah mulai biasa menghadapi sikap bosnya yang sering panas dingin. Kadang baik, bahkan sampai membuatnya salting dengan perlakuan manisnya. Namun, kadang juga balik lagi menyebalkan dan bikin jengkel seperti sekarang. “Mara …” “Iya,” sahut Mara menoleh saat temannya magang di lantai tujuh bergegas mendekat dengan menenteng tas bekal. “Tadi Farrel balik lagi, katanya bekal untuk kamu lupa nggak dibawa turun.” ucap gadis itu menyerahkan tas itu ke Mara. “Eh iya, lupa. Terima kasih ya,” sahut Mara tersenyum. Namun, senyumnya seketika luntur begitu mendapati bosnya yang baru masuk lift itu menatapnya datar. Untung saja pintunya kemudian menutup rapat, kalau tidak jantungnya bisa copot ditatap sinis seperti itu. Sial bagi Mara harus terjebak dalam situasi seperti ini. Menghadapi Farrel yang posesif saja dia sudah pusing, sekarang ditambah bosnya yang dingin dan aneh. “Mara …” Tepat saat Mara hendak masuk lift, lagi-lagi ada yang memanggilnya. Kali ini Ethan datang bersama seorang pria yang belum pernah Mara lihat sebelumnya. Pria dengan muka ganteng dan murah senyum, tapi terkesan usil. “Selamat pagi, Pak Ethan.” sapanya mengangguk sopan, urung masuk ke lift. “Pagi,” balas Ethan sambil menunjuk ke arah lift khusus meminta Mara mengikutinya. “Oh, ini anak magang yang kamu bilang itu ya?” tanya pria itu menatap Mara dengan senyum geli. “Diam kamu, Den!” tegur Ethan ke temannya begitu melihat Mara bingung dan salah tingkah. “Siapa yang baru saja naik, Ra?” tanya Ethan setelah mendapati lift berhenti di lantai paling atas. “Pak Aryan,” jawab Mara. “Terus kenapa kamu nggak bareng?” Mara tersenyum menggeleng. Dia cuma tahu diri, tidak ingin dibilang ngelunjak hanya karena bosnya kadang bersikap baik padanya. “Ini kan lift khusus, saya cuma anak magang disini.” jawabnya. “Kamu bikin ulah apalagi? Semalam akur diajak mampir ke rumah, sekarang dicuekin sampai nggak mau satu lift sama kamu.” sindir Ethan. “Jangan salahkan Bella dong! Abangmu kalau lagi kumat kan memang nyebelin,” lontar teman Ethan. “Bella, siapa?” tanya Ethan, sedang Mara hanya nyengir. “Amara Bella, ternyata sama cantiknya dengan Bella nya si mas vampire yang di film.” jawabnya kocak. Kalau Ethan mendengus, Mara justru tertawa geli. Benar saja, teman Ethan memang orangnya usil, tapi lucu. “Kenalkan Bella, aku Dendi Darliansyah. Temannya Jarvis bersaudara,” ucapnya ramah sambil mengulurkan tangan ke Mara. Namun, belum sempat Mara menyambut uluran tangannya, Ethan sudah lebih dulu menarik kerah temannya dan menyeretnya masuk ke lift. Mara mengulum senyum, mengikuti mereka dan berdiri nyempil di pojokan dekat pintu. “Than …” “Apa lagi, Den?!” sahut Ethan ketus. “Aku ingin ganti nama jadi Edward saja. Siapa tahu setelahnya bisa berjodoh dengan yang namanya Bella, seperti si vampire ganteng.” ucapnya mulai ngelantur lagi, tapi justru membuat Mara menggigit bibir menyembunyikan tawanya. “Kalau kamu cocoknya berjodoh dengan Bella Sungkawa,” sahut Ethan asal. “Sialan, kamu!” Kali ini Mara tidak bisa lagi menahan gelinya. Suara tawanya terdengar keras meski sudah menutup mulutnya dengan tangan. Dia tidak menyangka kalau Ethan yang biasanya ketus ternyata bisa juga sekonyol itu. Hanya saja tawanya terpaksa dia telan lagi, karena saat pintu lift terbuka mereka disambut bosnya yang sedang bicara dengan Dila. Matanya mengernyit tajam, mukanya semakin jutek mendapati Mara yang tertawa bersama Ethan dan Dendi. “Pagi, Abang Bule!” sapa Dendi tanpa peduli sambutan tidak bersahabat dari Aryan. “Habis keselek mercon kali, Den. Pagi-pagi hawanya sudah mau meledak saja,” sindir Ethan bergegas masuk ke ruang kerja kakaknya. “Pagi, Mbak Dila!” sapa Mara tersenyum kaku. Jantungnya deg-degan mendapat tatapan setajam itu. Entah salah apa lagi dia. Padahal semalam saat pamit pulang meski hanya lewat telpon, bosnya masih baik-baik saja. “Pagi, Mara!” sahut Dila. Mara menuju mejanya, tepat di samping Dila dan meletakkan tas juga bekalnya dari Farrel. Matanya tidak berani menatap kemana-mana. Sekarang mau bernafas pun rasanya dia takut. “Tolong nanti bantu kerjakan laporan yang ini ya, Ra!” ucap Dila. “Iya,” jawab Mara menerima map dari Dila, tapi tiba-tiba dia malah meraih tangan Mara dengan muka kaget. “Lho, tanganmu kenapa lebam begini?” Rupanya saat menerima berkas dari Dila, lengan kemeja panjang yang dipakai Mara sedikit turun hingga memar di pergelangan tangannya terlihat oleh mereka. “Semalam jatuh,” jawabnya meringis melihat Aryan menatapnya marah, lalu pergi begitu saja kembali ke ruangannya. Suara pintu yang dibanting keras sempat membuat Dila dan Mara terjengkit kaget. “Sudah diobati?” tanya Dila menatap khawatir. Sepertinya tahu Mara berbohong, karena bekas memarnya seperti cengkraman. “Sudah.” “Ra …” “Iya,” sahut Mara mendongak. “Orang tuamu kan jauh, kamu juga tidak punya keluarga di sini. Kalau ada masalah atau kamu butuh teman bicara, aku bisa jadi pendengar yang baik kok.” ucap Dila dengan sedikit hati-hati, tidak ingin dikira lancang ikut campur urusan Mara. “Terima kasih, Mbak.” angguknya dengan mata panas. “Kemarin di Asastra sampai jam berapa?” tanya Dila sambil kembali menekuni pekerjaannya. “Hampir jam tujuh “ jawab Mara, sedang Dila justru tertawa pelan. “Pak Aryan kalau meeting ke sana pasti lama, karena betah ngobrol sama Pak Singgih. Biasanya kalau sudah kelar mereka membahas soal kerjaan, aku pamit pulang dulu.” Mendengar itu Mara jadi gemas sendiri. Kemarin dia merasa bosnya memang sengaja mengerjainya untuk membuatnya jengkel. Telpon di meja Dila berdering, suara tegas sarat amarah itu membuat Mara benar-benar ingin menangis sekarang. “Suruh Mara bawa berkas untuk Prasasti grup, biar sekalian dicek lagi sama Dendi!” “Baik, Pak.” sahut Dila, lalu menoleh ke Mara setelah meletakkan gagang telponnya. “Kemarin ada masalah apa sampai pak bos sewot begitu?” tanyanya. “Pak Aryan lihat saya berantem dengan pacar saya, Mbak.” jawab Mara. “Jadi itu asal memar di tanganmu?” Dila menatap iba begitu Mara mengangguk pelan. Dia pernah melihat Farrel sekali, saat menjemput Mara pulang kerja. Tampan dan sepertinya dari keluarga kaya, tapi ternyata kasar begini. “Ini antar masuk dulu! Sabar, pak bos kalau lagi sewot memang nyebelinnya nggak kira-kira.” ucap Dila. Sambil membawa berkas yang diminta Aryan, Mara beranjak ke ruang kerja bosnya. Dia masuk setelah terlebih dulu mengetuk pintu. “Bella …” goda Dendi begitu Mara mendekat ke sofa dimana mereka bertiga sedang duduk. “Habis magang disini, mau tidak kerja di Prasasti grup? Aku orangnya baik dan murah senyum, Bella. Kamu pasti betah,” tanya Dendi terlihat tidak main-main memberi tawaran ke Mara. “Mingkem, Den! Bisa kena lempar sepatu mukamu kalau bikin gara-gara sekarang.” tegur Ethan. “Ini berkasnya, Pak.” ucap Mara mengulurkan map bawaannya ke Aryan. “Kasih ke Dendi, terus ambilkan kopi!” sahutnya. Mara mengangguk, lalu berputar menghampiri Dendi yang duduk di samping Ethan. “Kamu belum jawab tawaranku tadi. Mau kan kerja di kantorku?” “Kalau mau membahas soal itu jangan disini! Mara masih magang di tempatku. Nggak sopan, kamu!” ujar Aryan melotot jengkel ke Dendi. Mara meletakkan berkasnya, lalu beranjak ke pojok ruang menuang kopi untuk mereka. Dadanya sesak bukan main. Setelah ribut tadi malam, paginya Farrel datang menjemput dan sepanjang perjalanan hanya ngoceh melarang ini itu. Intinya dia tidak boleh terlalu dekat dengan bosnya. Bahkan meski minta maaf melihat memar di tangannya, wajah Farrel seperti tidak merasa menyesal. Dan sialnya, sampai kantor tidak tahu apa salahnya masih harus menghadapi muka dingin dan mulut judes bosnya. Kalau saja statusnya orang kaya seperti mereka, mungkin tidak perlu jadi bulan-bulanan begini. “Ini kopinya!” ucapnya menaruh tiga cangkir kopi di meja. “Tanganmu kenapa? Semalam waktu mampir makan di rumah belum memar begitu!” tanya Ethan saat mendapati biru kemerahan di pergelangan tangan Mara, lalu beralih melirik abangnya curiga. “Apa lihat-lihat! Aku tidak sebrengsek itu sampai menyakiti gadis bodoh seperti dia!” ucap Aryan ketus, tidak terima dengan tatapan menuduh adiknya. “Nggak kok, semalam jatuh di kamar kost.” jawab Mara. “Mataku tidak belekan, memarnya seperti itu mana mungkin karena jatuh.” sahut Ethan. Mara memilih bungkam, lalu segera keluar dari sana. Aryan melirik kesal, setelah disakiti seperti itu Mara bahkan masih mau diantar kerja dan menerima bekal makanan dari pacarnya. Apa istimewanya pria toxic yang masih nempel di ketiak orang tuanya seperti itu. “Than …” “Apa?” “Cari tahu soal Farrel Permana, anak Hidayat Permana!” titah Aryan. “Surya Abadi grup kan? Ada apa memangnya?” tanya Dendi penasaran. “Dia pacar Mara, tengil dan kasarnya minta ampun.” jawab Aryan. “Yang bikin tangan Bella memar?” tanya Dendi lagi. “Iya, semalam mereka ribut di depan kost. Untung aku balik lagi karena kunci Mara jatuh di jok,” terang Aryan. “Kenapa ingin ikut campur urusan orang? Jangan bilang Bang Aryan benar-benar ingin jadi orang ketiga di hubungan mereka!” sahut Ethan menatap kakaknya penuh selidik. “Bukan urusanmu! Kalau kamu tidak mau membantu, aku bisa minta orang lain melakukannya.” balas Aryan. Ethan mendengus kesal, lalu meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. “Xena, tolong bantu aku mencari tahu tentang Farrel. Anak Hidayat Permana, yang punya showroom mobil mewah di dekat Mirror.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD