Bab.10 Disusul Farrel

1379 Words
Obat dari Aryan memang bisa mengurangi sakit yang Mara derita tadi siang. Setidaknya hingga urusan mereka dengan Toni Arifin selesai, dia bisa duduk tenang tanpa membuat bosnya khawatir. Namun, menjelang sore ketika kembali ke kantor, Mara mulai merasakan perutnya melilit seperti diremas-remas. Mungkin bukan cuma karena belum makan seharian dan kebanyakan minum kopi dari pagi, tapi semalam dia juga begadang hingga menjelang pagi hingga membuatnya masuk angin. “Kamu boleh pulang lebih awal kalau memang tidak enak badan. Aku akan menyuruh sopir kantor mengantarmu sampai tempat kost,” ucap Aryan saat mereka masuk ke lobi. “Tidak perlu, saya tidak apa-apa kok. Satu jam lagi juga sudah waktunya pulang,” tolak Mara. Padahal dia mati-matian menahan sakit di perutnya. Sudah cukup dia merepotkan bosnya hari ini. Terlepas dari kenyataan kalau bosnya itu gay, Mara tetap berusaha tidak baper dengan perlakuan Aryan yang kadang kelewat manis. “Mau pulang bareng? Nanti dari kantor aku mau ke rumah adikku. Weekend biasanya kami berkumpul di sana,” tanya Aryan menawari tumpangan ke gadis itu. Bukannya apa, dia hanya tidak tega melihat mukanya yang pucat. “Terima kasih, tapi mending tidak usah daripada nanti kepergok Farrel dan ribut lagi.” “Terserah! Bodohmu itu memang sudah tidak ketulungan. Sekarang tanganmu yang memar, lain kali bisa-bisa kamu dibikin babak belur!” dengus Aryan kesal karena Mara menolak tawarannya gara-gara takut pacarnya marah. "Nggak lah, Farrel tidak sejahat itu kok." sahutnya pelan. “Amara!” Panggilan itu membuat keduanya menoleh. Aryan mendengus keras, sedang Mara meringis sungkan melirik muka bosnya yang sontak berubah keruh mendapati Farrel di sana. Baru saja diomong, orangnya ternyata malah sudah stand by menyusulnya datang ke kantor. “Kok kamu di sini, Beb?” tanya Mara, mulai was-was saat pacarnya mendekat menghampirinya dengan tatapan marah. “Kamu dari mana? Apa sesibuk itu sampai mengangkat telpon atau membuka pesanku saja kamu tidak sempat?!” cecarnya tampak mengacuhkan Aryan yang berdiri di samping Mara. “Mara disini untuk magang. Kamu pikir pekerjaannya cuma mantengin ponsel menunggu telponmu atau menjawab pesan!” sahut Aryan ketus. Dia terpaksa tetap disana, karena khawatir kejadian semalam terulang lagi. “Aku bertanya ke pacarku, bukan ke kamu!” “Rell!” tegur Mara atas sikap tidak sopan Farrel. “Apa?! Kan sudah aku bilang, jangan terlalu dekat dengan dia! Kenapa masih saja wira-wiri seharian, sok sibuk sampai tidak menggubris telepon dariku.” omelnya marah. “Tadi waktu mau keluar aku lupa bawa ponsel. Ini masih jam kerja. Please jangan bikin ribut di sini, Rel! Apapun urusannya kita bicara nanti di rumah,” terang Mara berusaha menenangkan pacarnya. Farrel semakin sewot. Dia merogoh saku jaketnya dan memberikan bungkusan berisi obat untuk luka memar juga vitamin ke Mara. Melihat itu Aryan tersenyum geli. Bocah tengil itu pasti akan semakin mengamuk kalau tahu kalah cepat, karena dia sudah membelikannya lebih dulu untuk Mara. “Aku cuma ingin mengantar itu sejak tadi siang, tapi telpon dan chatku kamu anggurin. Waktu mau nitip ke resepsionis, mereka bilang kamu sedang keluar dengan bosmu.” ucap Farrel merengut menahan cemburunya, tanpa bisa berbuat apapun mengingat kekasihnya sedang di jam kerja. “Terima kasih, nanti aku pakai. Kamu pulang dulu ya? Aku harus naik. Jam kantor masih satu jam lagi, dan pekerjaanku juga belum selesai.” bujuk Mara. “Mukamu pucat, Yang. Maag kamu kambuh? Bekalnya kamu makan tidak? Bulan kemarin kamu sudah opname gara-gara bandel, kenapa masih diulangi lagi?!” omel Farrel cemas saat menangkap Mara yang sempat meringis. “Rel, please! Kita bicara lagi nanti ya?” “Nggak, aku tunggu kamu disini saja. Nanti pulang sekalian kita ke dokter,” tolak Farrel tidak peduli tatapan jengah Mara. Aryan beranjak dengan perasaan dongkol. Baru saja dia bisa tersenyum bersama Mara, kecoa got satu itu sudah datang lagi merusak moodnya. “Maaf, Pak. Saya tadi lupa bawa ponsel, benar-benar tidak tahu kalau Farrel sampai nekat datang mencari kesini.” ucap Mara yang mengekor di belakang Aryan. “Bukannya kamu memang sengaja tidak mengangkat teleponnya?” sindir Aryan yang tahu tadi siang Mara membisukan ponselnya dan justru ditinggal tidur. “Nggak kok,” sanggah Mara lirih, lalu berhenti tidak mengikuti bosnya lagi. Namun, Aryan yang sudah di dalam lift khusus mendelik menatapnya sengit. “Kamu ngapain disitu?!” serunya. “Nunggu lift,” jawab Mara. Aryan yang sudah nyaris kehabisan stok sabarnya segera keluar lagi menghampiri Mara, lalu menarik tangannya ke lift. Sebelum pintu tertutup rapat, dia masih sempat menyeringai ke arah Farrel yang berdiri mematung menatap setiap gerak-gerik mereka. Aryan penasaran, sampai jam berapa pria tengil itu nanti sanggup bersabar menunggu Mara. “Kalau tahu punya maag, kenapa malah melewatkan makan? Dila bilang dari pagi kamu juga minum banyak kopi. Kamu bego atau memang cari penyakit!” tegur Aryan. “Lagi nggak selera makan,” sahut Mara. “Tadi pagi kamu sarapan?” tanya Aryan, lalu mendengus melihat Mara menggeleng. Tadi di kafe dia juga hanya minum, tidak mau pesan yang lain meski sudah disuruh pesan makanan. “Kamu sengaja ya, biar aku disalahkan pacarmu kalau maagmu kambuh lagi! Dikiranya nanti aku terlalu memforsir tenagamu sampai mau makan saja tidak ada waktu,” gerutunya kesal. “Bukan begitu, tapi beneran lagi nggak doyan makan, Pak.” sanggah Mara pelan karena menahan rasa sakitnya. Lift berhenti di lantai ruang kerja Aryan. Mara hanya bisa menghela nafas panjang begitu bosnya melangkah lebar masuk ke ruangannya dengan muka masam. Tidak salah kalau dia bilang sifatnya kayak bunglon, berubah-ubah terus. “Sini, Ra! Pak Ethan lagi kumat baiknya beli tiramisu buat kita,” ucap Dila yang duduk dengan satu kotak tiramisu coklat dan beberapa gelas jus. “Bukan sedang kumat baik, kamunya saja yang maksa minta dibelikan!” dengus Ethan sinis, tapi Dila malah tertawa cekikikan melempar gulungan tisu kotornya ke Ethan. “Kalau nggak gitu kamu suka tidak tahu diri. Bisanya cuma ngrepotin minta tolong ini dan itu, tapi sekedar traktir makan saja nunggu harus diuber-uber dulu. Sejak jaman kuliah kayak gitu, untung aku orangnya baik.” balas Dila. “Kalian dulu teman kuliah?” tanya Mara, lalu keduanya mengangguk. “Dia juga yang minta aku kerja disini,” ucap Dila setelah menelan kuenya. Mara menggeleng saat Dila menyodorkan sepotong tiramisu. Perutnya seperti diremas, melihatnya saja dia sudah mual. “Kamu tadi makan nggak waktu keluar sama pak bos? Muka sampai pucat gitu, Ra.” tanya Dila khawatir. “Kamu sakit?” timpal Ethan. “Nggak,” jawab Mara. “Oh iya, ponselmu dari tadi berkedip terus. Tak terhitung panggilan masuk dan chat dari pacarmu,” ujar Dila. Mara nyengir menahan malu, lalu meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Spam dari Farrel benar-benar membuatnya gedek. “Hati-hati, Ra! Nanti kalau dia marah kamu bisa terluka lagi. Tanganmu saja masih memar begitu!” ujar Dila kembali melempar matanya ke pergelangan tangan Mara yang semakin terlihat biru. “Barusan sudah ketemu kok, Mbak. Dia menunggu di lobi.” Dila melongo, sedang Ethan menggeleng dengan senyum remehnya. Tipe bocah labil yang sok posesif, sedang ingus saja masih emaknya yang bantu buang. Telepon di meja Dila berdering, suara bosnya terdengar berat saat meminta Mara masuk menemuinya. “Suruh Mara bawa berkas dari Toni Arifin ke sini!” “Baik, Pak.” sahut Dila sambil melirik Mara yang langsung meraih map kuningnya. “Mara …” panggil Ethan. “Iya,” sahutnya. “Yang sabar kalau kerja bareng abangku. Dia memang rewel dan menyebalkan, tapi aslinya baik banget kok. Tanya saja Dila kalau tidak percaya!" “Tahu kok, Pak Aryan aslinya baik. Meski kadang kalau lagi ngeselin suka pengen nyabein itu mulutnya yang amit-amit tajamnya,” sahut Mara sambil beranjak meninggalkan Ethan dan Dila yang tertawa ngakak. Setelah mengetuk pintu, dia segera masuk. Bosnya sudah duduk anteng di mejanya menghadap laptop dan setumpuk berkas. “Ini berkasnya, Pak!” ucap Mara meletakkan map kuning itu di depan bosnya. “Kamu bantu kerjakan sekarang! Barusan Pak Toni telpon besok pagi minta salinannya sudah siap buat ditandatangani, karena siangnya harus ke Singapura menjenguk anaknya.” perintahnya sontak membuat Mara melongo kaget. "Saya, Pak?" tanya Mara takut salah tangkap maksud bosnya. "Iya jelas kamu, masa bapakmu yang disuruh kesini lembur!" jawabnya menyebalkan. Lembur, Mara menatap berkas itu gamang. Terus bagaimana dengan pacarnya yang sudah menunggu di bawah? Ribut semalam belum sepenuhnya reda, ditambah tadi di lobi dan sekarang bosnya membuatnya dalam masalah baru lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD