Bab.11 Aryan Yang Usil

1368 Words
Aryan membiarkan Mara bergelut dengan kebingungannya. Dia tahu apa yang membuat gadis itu terlihat gelisah berdiri di hadapannya, sangat tahu. “Tapi itu kan berkas penting, Pak. Bagaimana nanti kalau sampai salah? Biasanya juga tugas Mbak Dila. Saya cuma bantu yang mudah-mudah,” kata Mara memberanikan diri menolak. Bukan tidak mau, tapi terlalu beresiko mengingat itu proyek penting. Aryan menyandarkan punggungnya, memaku Mara dengan tatapan lekatnya. Apapun caranya, dia tidak akan membiarkan Mara pulang tepat waktu. Setidaknya sampai membuat si makarel tengil itu jamuran di lobi. “Bilang saja kamu tidak mau, karena sudah ditunggu pacarmu di bawah!” ucapnya ketus. “Bukan begitu, saya cuma takut salah.” terang Mara bingung harus bagaimana menjelaskan maksudnya, padahal sudah sejelas itu. “Tadi di sana kan sudah sekalian aku ajari. Kalau tidak mau ya sudah, keluar sana!” serunya keras. Sumpah, Mara ingin menangis saja. Perutnya sedang sakit, Farrel makin posesif sampai nekat mendatangi kantornya. Dan masih ditambah menghadapi kelakuan bosnya yang makan hati seperti ini. Dia mendekat, lalu mengambil lagi map kuning itu untuk dibawa keluar. Masih ada Dila, setidaknya dia bisa bertanya kalau memang ada yang tidak dipahami. “Mau kemana?” tanya Aryan. “Mengerjakan berkasnya, Pak.” jawabnya dengan suara parau, antara menahan sakit dan marah. “Ambil kursi, duduk disitu! Kalau ada yang tidak paham biar aku ajari. Belajar itu memang tidak mudah, jangan cengeng sedikit-sedikit nangis!” ucap Aryan mendapati mata memerah Mara. Tanpa bantahan Mara menarik kursi di depan meja bosnya itu ke bagian samping, lalu duduk dan mulai menghadap berkas di map kuningnya. Aryan menyodorkan laptopnya, sedang dia sendiri justru duduk santai memeriksa pesan masuk di ponselnya. Sesekali matanya melirik, mengulum senyum puas melihat Mara tampak serius dengan tugasnya. “Perutmu masih sakit?” tanyanya. “Hm,” gumam Mara mengangguk. Saking fokusnya sampai tidak sadar kalau yang bertanya adalah bosnya. “Tadi ikut makan kue mereka nggak?” “Nggak,” jawabnya. “Kenapa?” tanya Aryan dengan menahan senyum gelinya. Dia dibuat gemas melihat bibir mungil Mara yang mencebik lucu setiap kali sedang fokus dengan yang dikerjakan. “Perut lagi sakit, lagi aku juga nggak begitu suka coklat.” jelasnya dengan jemari lentiknya yang lincah mengetik. Aryan beranjak dari duduknya, lalu keluar dari ruangannya. Sebentar kemudian dia sudah kembali lagi dengan membawa segelas jus, roti dan obat yang diletakkan di samping laptop. “Makan dulu, lalu minum obatnya!” Jemari Mara langsung berhenti, lalu mendongak menatap bosnya bingung. Entah kesambet apalagi hingga tiba-tiba sikap perjaka tua satu itu sudah mulai berubah manis lagi. Tapi tidak, kali ini Mara tidak akan baper lagi. Dia sudah punya pacar, dan Aryan adalah gay yang tidak mungkin menyimpan perhatian lebih ke lawan jenisnya. “Kenapa? Minta disuapi?” tanya Aryan sampai Mara tersipu mendengarnya. “Nggak usah, Pak. Perut saya lagi tidak mau diisi, dipaksa nanti malah muntah.” tolaknya. Namun, bukan Aryan kalau menyerah begitu saja sebelum niatnya terpenuhi. Dia meraih roti abon yang didapat dari Dila, lalu mencuil sedikit dan menyodorkan di depan mulut Mara. “Pak …” “Aaaaa …” “Saya bisa makan sendi …” Dan Aryan menggunakan kesempatan itu untuk memasukkan roti ke mulut Mara. Dia tertawa melihat gadis itu melotot kaget dengan muka memerah. “Buruan lanjut! Nanti bisa-bisa pacarmu mengamuk kalau harus menunggu lebih lama lagi di bawah,” cibir Aryan. Mara terpaksa mengunyah rotinya sambil kembali mengerjakan tugasnya. Biar saja semau bosnya, toh dia tidak perlu khawatir kalau bosnya punya perasaan lain padanya. “Semalam tidur jam berapa sampai kamu mengantuk dan ngopi terus?” tanya Aryan, kembali menyuapkan rotinya ke Mara. Tidak lagi dicuil, tapi menyuruhnya menggigit langsung tanpa Mara sadari kalau rotinya bekas gigitan bosnya. “Jam setengah empat,” jawabnya. “Masih lanjut ribut dengan bocah tengil itu?” “Hm,” angguk Mara. “Soal ponsel? Atau soal lain?” cecar Aryan mengulum senyum senangnya. “Ponsel, dia kan orangnya memang cemburuan dan posesif.” Lagi, Mara seperti tidak sadar sedang diintrogasi bosnya. Bahkan menurut saja menyedot jus yang disodorkan Aryan. Menjawab apapun pertanyaan pria itu, sambil sesekali mengernyit dan menunduk mencocokkan data di berkas dan di layar laptop. Aryan benar-benar bisa mencari kelemahan Mara untuk mendapat apa yang dia ingin. “Minum dulu obatnya!” Baru Mara mendongak, lalu meringis sungkan. Apalagi ketika bosnya menggeleng saat dia mau mengambil obat dari tangannya. “Tangan kamu kotor. Aaaaa ..!” Wajah Mara dijalari hawa panas, hingga tanpa sadar menelan ludah menatap obat dan wajah tampan bosnya yang menunggunya buka mulut. Rasa pahit obat itu menyapa lidahnya begitu Aryan memasukkan pil ke mulutnya. Mara meminum air putih dan buru-buru menelannya. Namun, dengkulnya terasa lemas saat jempol besar bosnya mengusap lembut bibir dan dagunya yang basah. “Jauh dari orang tua harus bisa jaga diri dan kesehatan. Sakitnya mungkin tidak seberapa, tapi sedihnya bukan main saat sakit dan sendirian. Aku tahu rasanya karena pernah tinggal di luar saat kuliah dulu,” tuturnya dengan senyum hangat mengusap kepala Mara. Gadis itu hanya mengangguk, kembali mengerjakan berkasnya dengan jantung berdebar tidak karuan. Berusaha mendoktrin otaknya untuk tidak baper dan tidak menggunakan hati saat menghadapi perlakuan manis bosnya, tidak boleh. Mara tidak ingin jadi pengkhianat di hubungannya dengan Farrel. Biarpun posesif dan kadang kasar, setidaknya Farrel benar-benar mencintainya. Sedang Aryan baik karena dirinya tahu rahasia gelapnya yang tidak boleh bocor ke luar sana. Begitu hingga dua jam lebih berlalu. Meski harus beberapa kali bertanya bagian yang dia tidak pahami, tapi hebatnya Mara bisa menyelesaikan tugasnya. Namun, senyum senangnya langsung luntur begitu melihat jam di tangannya sudah menunjukkan pukul tujuh. Dia melupakan Farrel yang menunggu di bawah, bahkan ponselnya juga dia tinggalkan di luar tadi. “Ayo pulang!” ajak Aryan menyambar tas dan jasnya. Senyum merekah di bibirnya mengikuti Mara yang buru-buru berlari keluar. “Kena kamu!” gumamnya tertawa terkekeh. Muka Mara semakin was-was, berdiri tidak tenang di samping bosnya saat lift membawa mereka turun. Entah semarah apa pacarnya nanti harus menunggunya sejak tadi siang di lobi. Sialnya lagi, Mara lupa memberitahu dia harus lembur dan ponselnya juga dia tinggalkan di luar. Pintu lift terbuka, tanpa berpikir panjang Mara langsung berlari keluar. Lobi kantor Jarvis grup bahkan sudah sepi, dan dia mendapati Farrel duduk dengan muka keruh mengotak-atik ponselnya. “Beb …” panggil Mara dengan nafas ngos-ngosan. Farrel mendongak dengan tatapan tajam dan raut kakunya. Apalagi saat melihat Aryan Jarvis muncul di belakang kekasihnya dengan bibir berhias senyum. “Kamu tahu sekarang jam berapa? Tadi bilang ponselmu ketinggalan, jadi tidak mengangkat teleponku. Sekarang alasan apalagi kamu tidak mengangkat panggilanku?! Aku seperti orang bodoh dari tadi siang menunggumu disini, Yang!” bentaknya. “Maaf, berkas dari meeting tadi harus selesai buat ditandatangani besok pagi.” jelas Mara. “Kamu kan bisa telpon, Ra! Kamu sengaja menguji kesabaranku, ya? Mau kamu sebenarnya apa sih bikin gara-gara terus?!” serunya makin keras, untung sudah tidak ada orang lain selain mereka dan satpam. “Aku sudah bilang, jangan kasar ke Mara. Cuma pengecut yang beraninya kasar dan main tangan ke wanita!” ucap Aryan dengan tatapan marahnya mendengar Mara dibentak-bentak. “Kamu sepertinya sengaja membuat Mara sibuk, dan menyulut masalah supaya kami bertengkar. Apa sebenarnya maumu, tua sialan?!” “Farrel!” tegur Mara kaget mendengar umpatan kasar pacarnya. “Jangan bodoh kamu, Ra! Pria tua ini tidak sebaik yang kamu kira!” sahut Farrel. “Cukup!” teriak Mara. Rasa bersalahnya ke Farrel sekarang justru berubah jadi jengkel karena ngelantur marah kemana-mana dan menyalahkan bosnya. “Kalau mau cari ribut tolong jangan disini, Rel. Aku masih harus magang, jadi jangan membuatku malu dan tidak punya muka di depan bosku.” geram Mara. “Kamu dengar kan yang Mara bilang? Lagipula kamu sendiri yang datang menunggu, Mara tidak menyuruhmu kok. Kenapa jadi menyalahkan dia? Orang yang tahunya cuma main dan menghabiskan uang, mana paham kalau kerja itu sibuk dan kadang harus mendadak lembur sampai malam.” olok Aryan begitu puas melihat Farrel digulung emosinya. “Sialan!” umpat Farrel melempar tatapan sengit, sebelum kemudian merangkul Mara melangkah keluar dari sana. Aryan mendecih keras. Jangan bilang dia tidak memperingatkan bocah tengil itu sebelumnya, kalau dirinya tidak akan pernah mundur sebelum mendapatkan apa yang dia mau. Lima hari lagi, dia sudah tidak sabar menunggu hari itu datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD