Bab.7 Mara Diantara Dua Pria

1545 Words
Mara panik layaknya ketahuan selingkuh, setelah mendapati pacarnya yang ternyata juga berada di sana. Dia tidak berkutik di bawah tatapan marah penuh curiga dari Farrel, yang barusan memergokinya turun dari mobil bosnya. “Jadi ini yang kamu bilang lembur? Aku hampir satu jam pontang-panting mencarimu di depan Asastra. Seperti orang bodoh menunggumu pulang karena khawatir, tapi ternyata kamu malah bersenang-senang dengan bosmu!” seru pria itu sinis. “Apa maksudmu bersenang-senang? Jadi menurutmu aku wanita seperti itu?!” sahut Mara yang merasa tersinggung dengan ucapan pacarnya. “Kalau begitu bilang, darimana kamu mendapat ponsel baru itu! Sejak kapan konglomerat seperti Aryan Jarvis sudi jadi sopir mengantar pulang anak magang sepertimu?!” cecar Farrel. Mara terdiam, menghela nafas menahan dadanya yang sesak bukan main. Ini salah satu alasan tadi dia berusaha menolak ponsel mahal dari bosnya, karena Farrel pasti tidak akan suka dan berpikiran yang aneh-aneh. “Ponsel ini memang dari pak bos, karena dia merasa bersalah sudah menyebabkan ponselku jatuh dan rusak. Aku tadi juga sudah berusaha menolaknya, tapi Pak Aryan bilang, ponsel itu juga untuk keperluan kerja. Sama seperti Mbak Dila yang juga mendapatkan fasilitas darinya. Sedang dia mengantarku pulang, karena rumahnya searah dengan sini.” jelas Mara. “Besok kembalikan ponselnya! Aku akan belikan yang baru buat kamu!” Itu bukan lagi permintaan, tapi perintah yang harus Mara turuti. Seperti itulah sifat Farrel yang biasa keras dan tidak pernah mau dibantah. Egonya pasti tersentil melihat pacarnya yang selama ini tidak pernah mau menerima apapun pemberiannya, justru tampak berbinar senang menenteng ponsel mahal dari bosnya. “Nggak! Aku akan tetap memakai yang ini,” tolak Mara. “Mara!” “Aku tahu kamu anak orang kaya, sanggup membeli apapun. Tapi, aku tetap tidak akan asal menerima apapun pemberian orang tanpa alasan yang tepat.” tegasnya dengan tatapan berani. Farel mendekat, lalu meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Dia cinta Mara, sangat. Tidak ada yang kurang dari pacar cantiknya ini. Berotak cerdas, sederhana, baik dan mandiri. Hanya saja Farrel kadang kesal, karena Mara selalu menolak hadiah pemberiannya. Padahal niatnya cuma ingin memanjakan gadis pujaannya itu. “Kalau pemberian bosmu saja kamu terima, kenapa dariku tidak? Kamu selalu saja begini, menolak apapun dariku. Sebenarnya kamu menganggap aku pacar atau bukan sih!?” ucapnya. “Kan sudah aku bilang, ponsel ini bagian dari fasilitas kerja. Aku menerimanya juga karena ponselku rusak. Ini sudah terlanjur dibeli. Kenapa harus buang uang membeli barang yang sama, sedang harganya semahal itu?” balas Mara tetap bersikeras pada pendiriannya. “Karena aku tidak suka kamu memakai apapun pemberian dari pria lain, Ra!” Teriakan keras Farel mengagetkan Mara. Tak hanya itu, genggamannya berubah jadi cengkraman kuat yang menyakitkan. “Baru seminggu kamu magang di sana, sikapmu sudah mulai berubah. Sulit ditemui, dan sekarang mulai berani diantar pulang pria lain. Kalau mau naik mobil sport, aku juga punya.” “Sialan!” umpat Mara menepis tangan pacarnya. Sayang, pria itu tak membiarkannya lepas begitu saja. “Lepas!” seru Mara meringis kesakitan. “Sekarang ponsel, besok apalagi yang akan dia berikan ke kamu? Laptop, mobil, uang atau apartemen? Kamu jadi pegawai magang atau …” Ocehan Farrel terhenti begitu Mara memukulkan tas berisi ponsel barunya ke muka gantengnya. Seperti sadar sudah kebablasan bicara, Farrel menatap mata Mara yang memerah basah dengan penuh sesal. “Maaf, Yang, tapi aku benar-benar cemburu melihatmu pulang diantara pria lain. Kamu tidak tahu sepanik apa aku tadi saat tidak menemukanmu di depan gedung Asastra, dan ponselmu tidak bisa dihubungi. Makanya aku tidak jadi datang ke pembukaan kafe, dan kesini menunggu kamu pulang.” “Kan aku tadi sudah telpon kasih kabar, kamunya saja yang marah-marah tidak mau mendengar penjelasanku.” sahut Mara. “Iya, bagaimana aku tidak kesal kalau kamu tiba-tiba menghilang setelah minta dijemput. Aku takut kamu kenapa-napa, tapi begitu telpon sekedar menjawab kamu sedang dimana saja tidak bersedia.” ucap Farrel berusaha meredakan emosinya. Mara masih berusaha lepas dari cekalan pacarnya. Ini yang tidak dia suka dari Farrel, posesif dan suka mengatur. Apa jadinya kalau tadi dia bilang tidak jadi lembur, dan sedang menemani bosnya makan malam di rumah adiknya. Pasti Farrel akan langsung menjemputnya dan semua berakhir rusuh. “Intinya kamu tidak percaya padaku. Aku tidak suka terlalu dikekang seperti ini, Rel. Selama ini aku juga tidak pernah mempermasalahkan kamu yang suka keluyuran malam,” lontar Mara sudah hampir menangis, apalagi beberapa penghuni kost mulai keluar setelah mendengar pertengkaran mereka. “Kamu sendiri yang tidak mau ikut. Aku tanya sekali lagi, tadi kamu kemana? Lembur apa, sampai diberi hadiah ponsel mahal?” cecarnya semakin ngelantur. Saking marahnya Mara mendorong pria itu, lalu memukulkan tasnya. Namun, Farrel justru menyambarnya dan berusaha merebut tas berisi ponsel baru Mara. “Buang! Aku ganti sama yang baru!” “Nggak!” tolak Mara. Dan Mara benar-benar menangis saat Farrel berhasil merebut tas itu, lalu membantingnya ke tanah. Dia menepis sebisanya, berusaha memungut tasnya lagi. Namun, melihat Mara mati-matian mempertahankan ponsel pemberian bosnya justru membuat pria itu makin emosi. Dia menginjaknya keras, lalu menendang ke tengah jalan. Mara terperangah, tasnya robek dan kardus ponsel itu tergeletak di tengah jalan. Tepat saat dia hendak berlari memungutnya, sebuah mobil berhenti dengan lampu menyorot membuat mata Mara silau. “Apa-apaan kamu, Mara!” Mara berdiri mematung dengan air mata mengalir melihat bosnya berteriak turun dengan muka marahnya. Sedang Farrel menggeram melihat pria yang sudah membuat mereka bertengkar itu justru kembali lagi. Muka Aryan merah padam mendapati Mara menangis. Di dekat kakinya tas itu sudah sobek tidak karuan, dan kardus ponsel tergeletak di dekat ban mobilnya. Dia memungutnya, memeriksa isinya dan kemudian mendekat ke Mara. “Maaf, ponselnya tidak sengaja terjatuh, Pak." gumam Mara lirih tanpa berani membalas tatapan bosnya, takut ketahuan sudah berbohong. “Kalaupun kamu pacarnya Mara, bukan berarti bisa seenaknya merampas apa yang bukan punyamu! Ponsel ini aku yang membelikannya sebagai fasilitas kerja, karena ponsel Mara rusak. Dewasa sedikit! Jangan campur adukan urusan pribadi dengan pekerjaan. Mara sedang magang di perusahaanku. Dia punya kewajiban tunduk atas perintah dan aturanku!” seru Aryan menatap Farrel geram. “Ponsel seperti itu, bukan cuma kamu yang bisa beli. Ambil lagi kalau tidak ingin aku membuangnya. Ponsel Mara rusak, aku yang akan belikan!” sahutnya ketus. Aryan tertawa sinis, tadi dia sempat melihat Mara berdiri dengan pria di depan gerbang. Untung saja sebelum jauh dia mendapati kunci Mara terjatuh di jok, jadi terpaksa memutar balik. “Beli pakai uang siapa? Kamu hanya bocah kemarin sore yang bisanya hura-hura menghamburkan uang orang tuanya. Harusnya kamu malu, Mara saja bahkan bisa cari uang sendiri. Sedang kamu, masih menengadahkan tangan ke orang tua saja sombongnya minta ampun.” cibir Aryan pedas. “Brengsekkk!” umpat Farrel menatap Aryan bengis, tapi pewaris Jarvis grup itu justru membalasnya dengan senyum mengejek. Aryan kemudian menoleh, mengulurkan ponsel dan kunci ke pemiliknya yang berdiri canggung di sampingnya. “Masuk! Jangan meladeni pria urakan yang tidak tahu sopan ini!” ucapnya setelah Mara mengambil barangnya. “Tapi …” “Masuk, Ra! Sekarang!” tegas Aryan dengan tatapannya yang menusuk. Mara bergegas menuju pintu gerbang, namun langkahnya kembali ragu saat melintas di depan Farrel dan mendengar panggilannya. “Berhenti,Yang! Kita belum selesai bicara!” serunya mendesis dengan mata melotot galak. Mara justru menoleh ke belakang, lalu mantap melanjutkan langkahnya setelah Aryan mengedikkan dagunya menyuruhnya untuk masuk. “Mara!” “Aku peringatkan kamu! Jangan sekali-kali main kasar ke Mara, dan menyentuh apapun yang aku berikan ke dia! Kalau tidak, aku akan datang ke orang tuamu dan minta mereka meluangkan waktu mengajarimu lagi tata krama!” ucap Aryan penuh peringatan. Farrel mendengus, sekarang dia malah semakin yakin pria ini memang punya maksud tertentu ke Mara. “Tidak usah banyak mulut. Aku tidak sebodoh itu untuk bisa menebak apa yang kamu mau dari Mara. Dia terlalu lugu, wajar tidak bisa membaca otak kotormu. Aku yang harusnya memperingatkanmu untuk tidak macam-macam ke Mara. Dia milikku, dan aku tidak akan membiarkan siapapun merebutnya dariku. Camkan itu!” sahut Farrel tanpa gentar sedikitpun. “Yakin, kamu bisa mempertahankan dia? Kamu tahu kenapa aku bisa sesukses sekarang? Karena aku tidak tidak pernah mundur sebelum mendapat apa yang aku mau. Aku punya segalanya, sedang kamu bukan siapa-siapa tanpa harta orang tuamu!” oloknya dengan seringai puas. Farrel tidak menggubrisnya. Dia mendongak ke balkon lantai dua dimana sekarang Mara berdiri disana. Menatap bawah dimana dua pria itu masih terlibat pembicaraan sengit, meski tidak lagi berteriak ricuh seperti tadi. “Maaf, Yang. Besok pagi aku jemput kamu, sekalian kita bicara lagi setelah sama-sama tenang.” seru Farrel, yang tidak mendapatkan tanggapan apapun dari Mara. Pria itu menghela nafas, lalu berbalik dan menatap Aryan sengit. “Dasar tua tidak tahu diri!” cibirnya sinis, sebelum kemudian naik ke sepeda motor besarnya dan melaju kencang sengaja meninggalkan suara bising. Aryan mengeluarkan ponselnya, lalu memberi isyarat Mara untuk mengangkat panggilannya. “Kamu tidak apa-apa? Ada yang luka?” tanyanya begitu Mara mengangkat teleponnya. “Nggak, saya baik-baik saja. Maaf untuk kejadian barusan. Farrel kalau lagi cemburu memang suka emosian,” ucap Mara sambil menatap bosnya dari balkon. “Masuk dan istirahat sana! Aku pulang dulu!” titahnya sekalian pamit. “Hm,” angguk Mara berbalik sambil mengakhiri perbincangan mereka. Aryan menatap punggung Mara hingga menghilang, lalu naik ke mobilnya. Sambil menyetir dia masih terus berpikir, bagaimana bisa Mara pacaran dengan bocah tengil dan kasar seperti itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD