Part 17

1500 Words
Gedoran pada pintu kayu membuat Vian mengerang kesal, diguncangnya tubuh Riko agar pria itu terbangun untuk membuka pintu. Namun Riko tidak terusik sama sekali, ia tertidur pulas. Vian mengacak rambutnya yang mulai panjang. Dengan kasar ia membuka pintu kayu itu. Vian terperanjat saat melihat seorang pria berkumis tebal membawa sebuah sabit besar. Vian hanya bisa menelan liurnya melihat benda tajam berada di depan wajah. “Kamu orang baru?” tanya pria itu membuat Vian mengangguk. “Ayo ikut saya ke ladang, sapi-sapi sudah kelaparan.” Vian mematung di tempat tanpa berniat untuk mengikuti pria itu. Pria itu berbalik menatap Vian seperti patung. “Kenapa diam saja?” “Apa hubungannya saya dan sapi yang lapar? Berikan saja dia rumput,” sahut Vian. “Rumputnya dipotong dulu baru diberikan ke sapi.” Setelahnya pria berjenggot itu mulai bicara bahasa daerah yang membuat Vian kebingungan. “Baiklah-baiklah. Tunggu sebentar.” Vian masuk ke dalam rumah membangunkan Riko yang tertidur pulas. Diguncangnya tubuh Riko hingga pria itu mengerang. “Cepat bangun, kalau tidak mau saya pecat,” ancam Vian sukses membuat Riko terjaga. “Apa lagi?” tanya Riko kesal. “Ayo bangun. Ada yang cari kamu.” Vian menyeret Riko keluar dari kamar. *** Riko mengusap dadanya pelan, menetralkan amarah yang membuncah. Sudah berapa kali ia menjadi korban dari kemalasan bosnya dan kali ini lebih parah. Riko menatap tajam Vian yang duduk di bawah pohon dekat tempatnya berdiri saat ini. “Naik jabatan,” kata Vian menggoda Riko. Pria itu mengalihkan pandangannya untuk mengendalikan diri. Dengan kesal Riko mencari rumput liar untuk makanan sapi. Keringat mulai bercucuran dari dahi Riko, terik matahari membakar kulitnya. Riko menegakkan tubuh, dari pada ia mencari rumput sendiri lebih baik ia ikut bersantai di bawah pohon bersama Vian. “Sudah selesai?” tanya Vian. “Belum,  saya kepanasan. Mau istirahat.” Vian mengangguk sambil menyenderkan tubuhnya pada pohon. “Setelah istirahat nanti lanjutkan, ya.” Riko mengepalkan tangannya, ia mulai kesal karena sikap Vian. Seenaknya saja ia menyuruh orang sedangkan dirinya sendiri tengah bersantai menikmati angin di bawah pohon. “Malin.” Teriakan seorang wanita mengalihkan perhatian Vian dan Riko. Ningrum dengan bakul di tangannya menghampiri kedua pria itu. Senyum manis selalu terpancar dari wajah cantiknya. Tidak heran banyak pemuda yang jatuh hati dengan kecantikan Ningrum. “Saya bawakan makanan untuk kamu.” Ningrum duduk di samping Vian membuat pria itu menggeser duduknya. Riko menarik bahu Vian membuat pria itu mencondongkan tubuhnya ke belakang. “Sepertinya dia suka sama kamu,” kata Riko. “Jangan sembarangan, di masa depan memang kami dijodohkan tapi belum tentu sekarang juga sama.” Vian kembali menegakkan tubuhnya menerima makanan yang disuguhkan oleh Ningrum. “Makanan kamu enak, masak sendiri?” tanya Riko dengan mulut penuh nasi. “Iya, saya memasak sendiri,” ujarnya malu-malu. Vian mengunyah makanannya dengan pelan, tiba-tiba saja ia teringat dengan Lisa. Gadis itu juga pandai memasak, bahkan rasa makanannya tidak kalah enak dari buatan Ningrum. Vian memejamkan matanya sejenak, kenapa ia jadi membandingkan Ningrum dan Lisa? Mereka jelas berbeda. “Kenapa Malin? Kamu tidak suka dengan masakan saya?” tanya Ningrum. “Bukan seperti itu, masakan kamu enak jadi saya harus mengunyahnya pelan untuk merasakan sensasinya,” kata Vian membuat Ningrum bersemu merah. Rasanya Riko ingin menarik hidung Vian ketika mendengar gombalan pria itu. Tidak heran banyak wanita yang menyukainya, selain tampan Vian juga bisa menyenangkan hati wanita. Riko kembali bekerja mencari rumput liar untuk makanan sapi, sementara Vian menemani Ningrum duduk di bawah pohon. “Saya belum pernah melihat kamu di sekitar sini, apa kamu sedang merantau?” tanya Ningrum. “Iya, saya dan kakak sedang merantau. Kami akan kembali setelah urusan kami selesai,” jelas Vian. “Urusan apa?” Vian terdiam sejenak kemudian menghela napas panjang. “Urusan rahasia,” katanya. “Kamu membuat saya penasaran. Saya ingin tahu urusan rahasia itu,” kata Ningrum sedikit memaksa Vian untuk mengatakannya. Tidak enak hati karena Ningrum terus memaksa membuat Vian berpikir cepat mencari sebuah alasan. “Ah, maksud dari urusan rahasia itu adalah….” Vian mencondongkan tubuhnya pada Ningrum membuat jantung gadis itu berdebar kencang.  “Menjadi orang kaya,” bisik Vian. Pria itu kembali menegakkan tubuhnya membuat Ningrum memalingkan wajah yang memanas. Debaran jantung yang menggila membuat Ningrum bergegas pergi dari tempat itu. Vian menatap punggung kecil itu yang mulai menjauh. *** Air sungai yang dingin membuat tubuh Riko dan Vian menjadi segar. Mandi menjadi ritual yang jarang mereka lakukan akhir-akhir ini.Tidak ada shampo mau pun sabun yang bisa membuat tubuh mereka wangi. Yang lebih parah lagi tidak ada barbershop yang bisa mereka datangi untuk memangkas rambut yang mulai panjang. “Apa yang harus kita lakukan sekarang? Saya tidak mau beternak lagi. Bau kotoran sapi membuat saya mual, belum lagi memberi mereka makan setiap hari. Apa tidak ada pekerjaan lain?” Vian mengomel tidak jelas. Harusnya Riko yang berkata seperti itu karena pria itulah yang benar-benar bekerja. Vian hanya sibuk mengeluh dan mempertahankan gengsinya. “Jadi kaya itu tidak mudah. Kebetulan saja kamu lahir dari keluarga kaya, jadi sekarang nikmati hidup sengsaramu,” kata Riko, lebih terdengar seperti kutukan. “Apa yang dilakukan Malin Kundang saat merantau?” tanya Vian sembari mengibaskan rambut panjangnya. Air menetes dari sekujur tubuh saat pria itu naik ke bibir sungai. “Saya tidak tahu, dalam dongeng hanya diceritakan kalau Malin Kundnag sukses dan menjadi kaya raya,” jelas Riko. Ia pun ikut naik ke bibir sungai setelah membersihkan dirinya dari keringat dan kotoran. “Cerita tidak seindah realita. Saya jadi teringat dengan n****+ roman yang sering kakak saya baca.” “Ada masalah sama ceritanya?” tanya Riko penasaran. “Tidak ada, hanya saja kakak saya jadi lebih mesra dengan bukunya. Senyum-senyum sendiri, kadang mencium bukunya berkali-kali.” “Rindu rumah?” tanya Riko. Vian menoleh menatap Riko yang memandang lurus ke depan. Sudah lama rasanya mereka tidak pulang. Vian rindu dengan suasana rumah yang sepi, kantor yang berdebu dan anjing yang melahirkan di depan rumahnya. Anjing yang malang, tidak ada yang memelihara dan memberinya makan sama seperti nasib Vian sekarang. “Ayo kita pulang, hari sudah sore,” ajak Riko. Jalan setapak mereka lalui untuk kembali ke rumah. Alang-alang hijau tumbuh liar membuat Vian dan Riko harus berhati-hati setiap kali berpijak. Vian pikir akan sangat menyenangkan jika Lisa berada di sini untuk mengusir rasa sepinya. Walau cerewet setidaknya Lisa membuat suasana menjadi ramai. Apa yang sedang kamu lakukan di sana? Batin Vian. *** Sebulan lamanya mereka bekerja sebagai peternak selama itu pula Ningrum selalu mendekati Vian. Tidak ada penolakan dari Vian saat Ningrum ingin diantarkan ke suatu tempat, hanya berdua. “Kamu mau ke pasar?” tanya Vian membuat Ningrum mengangguk. “Apa kamu bisa menemani saya?” tanya Ningrum penuh harap. Vian berpikir sejenak kemudian mengangguk. “Baiklah, tunggu sebentar.” Vian kembali masuk ke dalam bilik,  tidak lama kemudian dia keluar dan pergi bersama Ningrum. Untuk pertam kalinya Vian berjalan kaki dengan jarak yag cukup jauh, Ningrum bilang jika delman yang biasa mereka gunakan sedang dipakai mengangkut hasil panen. Vian tidak masalah dengan itu, tapi ia akan cepat kelelahan jika berjalan kaki. Vian paling tidak suka membuang waktu hanya untuk pergi ke pasar. “Apa kamu tidak risih berjalan dengan saya?” tanya Vian. Jalan berbelok mereka lalui, semak-semak tumbuh di sisi kanan dan kiri jalan. “Tidak, saya sangat senang jika kamu yang menemani.” Ningrum mengeratkan pegangannya pada bakul kosong yang ia bawa untuk menampung belanjaan. Seperti biasa debaran itu selalu muncul setiap kali dekat dengan Vian. Badan yang kekar, wajah tampan dan baik hati, itulah penilaian Ningrum terhadap Vian. Suasana pasar terdengar riuh oleh pedagang yang menjajakan barang dagang. Para pembeli menawar harga hingga terjadi kesepakatan. Vian mulai terbiasa dengan suara bising dan bau tak sedap dari ikan-ikan. Bagaimana pun juga ia tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa pasar menjadi bagian hidupnya. Vian dengan setia mengikuti Ningrum dari belakang, gadis itu sesekali menanyakan pendapat Vian tentang bahan makanan yang dia beli. Walau tidak mengerti sama sekali, Vian tetap memberikan pendapatnya. “Hei, jangan lari,” teriakan menggema di setiap penjuru pasar membuat perhatian orang-orang teralihkan. Para pria berwajah sangar tengah mengejar orang berkerudung merah. Vian tidak tahu apa yang terjadi tapi perasaannya mengatakan dia harus menolong orang berkerudung itu. “Ningrum kamu tetap di sini,ya,” kata Vian sebelum pergi. Namun Ningrum memegang kuat lengannya membuat Vian menoleh. “Jangan bahayakan diri kamu dengan urusan orang lain, Malin,” ujarnya takut. “Kamu tenang saja, saya akan baik-baik saja.” Vian melepaskan tangan Ningrum membuat gadis itu takut. Vian berlari kencang menyusul kelima pria yang mengejar orang berkerudung. Terlihat para pria itu tengah mengurung si kerudung merah yang tengah berjongkok ketakutan. “Hei, apa yang kalian lakukan? Jangan membuat kekacauan,” kata Vian lantang mencoba mengalihkan perhatian kelima pria itu. Caranya berhasil, tiga di antaranya berjalan mendekati Vian. Senyum remeh tersungging dari ketiga pria itu. “Jangan ikut campur urusan kami, pergi sebelum kami menghajarmu.” Vian berjalan mendekat tanpa rasa takut sama sekali. Satu lawan lima sudah jelas Vian akan kalah, bisa-bisa wajah tampannya memar-memar. “Apa salah orang itu? Kalian juga harus ganti rugi telah menjatuhkan barang dagangan mereka,” tunjuk Vian pada hasil kekacauan yang mereka perbuat. “Cih, kamu tidak perlu ikut campur. Lebih baik kamu pergi sebelum kami hajar,” ancamnya. Vian tidak mengubris ucapan pria berkumis itu ia tetap melangkah ke depan. Pukulan demi pukulan Vian dapatkan namun masih bisa ia tepis. Vian harus bertahan untuk membawa orang itu kabur. Satu pukulan telak ia layangkan pada perut pria berbadan besar, belum sempat Vian berdiri tubuhnya sudah diterjang hingga terjungkal. Vian mendapat satu pukulan di wajahnya membuat pria itu terkapar. “Hentikan!” Perkelahian itu berhenti saat orang berkerudung merah berteriak. Tepat saat itu juga sebuah delman berhenti di dekatnya. “Bawa wanita itu naik, cepat!” perintah seorang pria berusia 40 tahun. Wanita yang dimaksud itu membuka kerudung merahnya. Mata Vian membola saat melihat siapa wanita yang dimaksud pria itu. “Lisa,” gumam Vian terpaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD