Naik delman rasanya seperti naik odong-odong di pasar malam, begitulah tanggapan Vian saat merasakan kendaraan beroda dua yang ditarik dua ekor kuda ini. Walau pun Vian belum pernah naik odong-odong dan delman selama hidup. Rasa lapar membuat Vian dan Riko lebih banyak diam, menikmati perjalanan yang cukup lama. Vian sudah lapar, terakhir kali ia makan sore kemarin. Itu pun hanya makan buah dan ubi-ubian. Persediaan mereka sudah habis, mau tidak mau mereka harus segera mencari pekerjaan.
Roda delman bergerak memasuki sebuah rumah dengan halaman yang luas. Pohon-pohon rindang mengelilingi rumah itu. Vian turun dari delmaan diikuti oleh Riko, keduanya menatap rumah yang akan mereka tinggali.
“Ini adalah rumah saya, kalian bisa tingal di sini.” Pria itu berjalan mendahului Vian dan Riko. Rumah itu tidak terlalu mewah jika dibandingkan dengan rumah orang kaya di masa depan, namun Vian akui rumah ini lebih luas dan mewah dari rumah sekitarnya.
Beberapa pelayan wanita datang menyuguhkan makanan dan minuman ketika mereka sampai di sebuah ruangan. Vian pikir ruangan ini adalah tempat jamuan makan, terlihat dari banyaknya kursi dan panjangnya meja makan ini.
“Terima kasih telah memberikan kami tempat tinggal, jika berkenan bolehkah kami tahu nama Tuan?” ujar Riko memulai pembicaraan. Pria itu tersenyum sembari menuangkan air ke cawan. Ia meminumnya dengan sekali teguk.
“Juragan Saleh. Orang-orang memanggil saya seperti itu. Kalian bisa bekerja di sini, saya punya ladang dan peternakan yang luas.”
“Tapi kenapa juragan menerima kami, orang baru di tempat ini?” Riko merasa janggal dengan kebaikan hati Juragan Saleh. Tidak banyak orang yang mau menerima orang tanpa harta seperti Riko dan Vian.
“Orang berbakat itu banyak tapi hanya sedikit orang yang baik. Saya bisa melihat bagaimana masa depan kalian. Makanlah, saya tahu kalian sudah lapar,” ujar Juragan Saleh.
Mereka makan dalam diam, untuk pertama kalinya setelah sekian lama Vian dan Riko bisa merasakan daging ayam dan nasi. Makan siang kali ini terasa angat mewah. Pintu ruang jamuan terbuka, seorang wanita cantik berkulit putih masuk ke dalam dengan langkah anggun. Vian menatapnya tanpa kedip saat tahu siapa perempuan cantik itu.
“Tika,” gumam Vian tanpa sadar menyebut nama seorang wanita yang ia kenal.
“Dia putri saya satu-satunya,” ujar Juragan Saleh. “Namanya Ningrum.” Gadis itu menundukkan kapalanya dengan anggun seperti gadis bangsawan dengan tata karma yang tinggi. Vian tidak salah lagi, dia adalah Tika keponakan paman Albert. Itu berarti Paman Albert ada di rumah ini.
“Saya Riko dan ini adik saya Vi―”
“Malin Kundang,” potong Vian. Riko menatap adik sepupunya dengan kening mengkerut. Bukankah salah satu tujuan Vian merantau adalah ingin menjadi dirinya sendiri.
“Saya berterima kasih telah mengizinkan kami untuk tinggal di sini,” kata Vian. Tatapannya tidak pernah lepas dari Ningrum yang mirip dengan Tika. Gadis itu tersenyum malu-malu menatap Vian.
“Semoga kalian betah tinggal di sini.” Juragan Saleh menatap putrinya. “Ninggrum antarkan kedua pemuda ini ke tempat mereka.”
“Baik, ayah.” Ningrum menatap dua pria asing di depannya. “Mari ikut dengan saya.” Gadis itu keluar lebih dulu diikuti Riko dan Vian. Keluar dari ruangan itu Ningrum mrnantarkan Vian pada sebuah rumah yang terdiri dari satu bilik. Rumah yang terbuat dari dinding anyaman bambu serta atap dari alang-alang kering membuat rumah itu terkesan kuno di mata Vian.
“Kalian bisa istirahat di sini,” ujar Ningrum sembari menatap Vian. “Bolehkah saya memanggil kamu Malin?” tanya gadis itu.
“Tentu, saya tidak keberatan.” Gadis itu mengangguk kemudian berlari pergi masuk ke sebuah bilik yang jaraknya tidak jauh dari tempat Vian.
“Kau mengenalnya?” tanya Riko.
“Namanya Tika, keponakan Paman Albert yang dijodohkan denganku. Dia sangat berbeda, terlihat lebih cantik.” Riko menyenggol lengan Vian membuat pria itu menghilangkan senyumnya.
“Jangan selingkuh, baru Lisa gak ada.”
“Siapa yang pacaran dengan gadis cerewet itu?”
“Bukan pacaran, tapi kau sukakan?” Riko meninggalkan yang Vian mematung di luar rumah. Ucapan Riko membuat Vian teringat akan sesuatu.
“Kendi,” pekiknya. Vian berlari kencang kembali ke dermaga. Bagaimana pun juga kendi itu tidak boleh hilang. Vian mengumpat kecerobohan dirinya karena melupakan benda itu.
“butuh tumpangan?”
Sebuah delman berhenti di samping Vian. Ningrum tengah menawaran bantuan untuknya. Tanpa pikir panjang Vian naik ke delman dan duduk di samping Ningrum. Pacuan kuda kali ini lebih kencang dari sebelumnya.
“Kau ingin pergi ke mana?” tanya Ningrum.
“Dermaga, aku ingin mencari benda berhargaku yang hilang.”
Tidak ada percakapan lagi di antara keduanya, laju kendaraan semakin kencang membelah jalan. Vian segera turun saat sampai di dermaga tempat di mana kapal yang ia tumpangi berlabuh. Matanya bergerak liar mencari kapal besar yang membawanya ke tempat ini. Senyumnya mengembang ketika ia menemukan kapal itu.
Vian menerobos masuk mencari kendi yang tertinggal. Betapa malangnya nasib benda yang berada di pojok geladak atas. Vian cepat-cepat mengambilnya dan keluar dari kapal.
“Apa itu?” tanya Ningrum saat Vian mendekat.
“Oh, ini kendi biasa. Sangat disayangkan jika ditinggal.”
“Pasti benda itu sangat berharga untukmu.”
Vian hanya membalasnya dengan senyuman. Mereka kembali ke rumah Juragan Saleh sebelum malam. Selama perjalanan Ningrum tidak pernah lepas menatap kendi yang Vian pangku.
“Itu kendi biasa, kenapa kau menyukainya?” tanya Ningrum memecah kebisuan.
“Bukan masalah harga, tapi arti. Dia bersamaku selama berlayar, dan benda ini juga membantu menghilangkan rasa takutku pada laut.”
Lagi-lagi keheningan melanda keduanya sampai delman itu berbelok masuk ke halaman rumah. Vian menatap Ningrum sejenak, gadis itu tidak menoleh pandangannya lurus ke depan.
“Terima kasih atas bantuanmu hari ini. Sampai jumpa nanti.” Vian bergegas memasuki salah satu bilik yang yang ada. Ningrum menatapnya nanar, ada rasa tidak suka saat Vian memperlakukan kendi itu dengan istimewa. Apa bagusnya kendi murahan itu?
“Aku tidak akan membiarkan ada wanita lain yang merebutmu dariku. Mulai sekarang Malin Kundang adalah milikku,” gumam Ningrum.
***
Riko tidak percaya dengan apa yang ia dengar baru saja. Vian nekat mencari kendi itu ke dermaga, sepenting itukah kendi itu untuknya sekarang atau karena kendi itu adalah pemberian Lisa?
“Kendinya sudah dicuci?” tanya Riko saat melihat Vian asik menggambar sesuatu dengan batu pada kendi itu.
“Sudah bersih,” sahut Vian singat. Ia tersenyum senang melihat gambar yang dihasilkan. Ada dua mata, satu hidung dan bibir yang tersenyum lebar. Vian menggambar wajah seseorang walau hasilnya sangat buruk namun Vian sangat bangga dengan karya seninya.
“Kamu gambar siapa?” tanya Riko penasaran. Gambar aneh itu mirip alien yang ada di film-film luar.
“Bukan siapa-siapa. Setidaknya benda ini tidak akan tertukar dengan benda sejenisnya.” Vian meletakkan benda itu dekat tempat tidurnya. Ada dipan dan bantal yang bisa ia gunakan untuk tidur, selain itu ada lemari kecil dari kayu dan sebuah meja tempat air minum dan cawan.
Rumah ini lebih layak untuk dihuni tapi entah kenapa Vian tetap merindukan rumah Mande Rubayah. Sedang apa wanita tua itu saat ini, apakah dia menangis karena Vian tinggalkan.
“Saya rindu Bu Mande. Bagaimana kalau dia sakit dan tidak ada yang mengurusnya,” kata Vian sendu. Riko menepuk pundak Vian membuat pria itu menoleh.
“Untuk itu kita merantau, semakin cepat kita mendapatkan uang maka semakin cepat kita bisa pulang. Vian, aku pikir kita harus menyelesaikan tugas ini dengan cepat seperti cerita Malin Kundang.”
“Ya, saya pikir juga seperti itu. Setelah sukses kita bisa kembali bertemu Bu Mande.Saya sudah tidak sabar untuk kembali.”
“Bilang saja mau bertemu Lisa,” kata Vian.
“Jangan sembarangan, gadis itu bukan tipe saya. Lebih baik saya pacaran dengan Ningrum.”
Riko menjitak kepala bosnya, kapan lagi ia bisa melakukan itu. Di masa depan Riko akan tunduk pada Vian. Mereka tidak akan bisa bercanda seleluasa seperti ini.
“Nanti kalau Lisa menikah dengan pria lain baru tahu rasa.”
Riko beranjak pergi meninggalkan Vian sendirian di dalam bilik. Vian meraih kendi bergambar wajah itu, ditatapnya kendi itu lekat-lekat.
“Awas kalau kamu menikah dengan pria lain,” gumamnya sambil menjitak kendi itu.
“Aww." Vian menjerit saat merasakan tangannya sakt setelah menjitak kendi itu.