Chapter 3

1624 Words
Zayan benar-benar serius menunggu Aurora sampai selesai, bahkan ikut menginap. Sebelumnya Zayan tidak pernah bersikeras menunggunya. Tetap sembari bekerja. Akhirnya mereka pulang, dan Zayan kembali sibuk, Aurora tidak mengganggu selama ia tampak sedang tersambung dengan kolega bisnisnya, berbicara dalam bahasa Perancis. Suaminya menguasai beberapa bahasa asing, selain Inggris. Aurora pun baru selesai meeting dengan manager, ada beberapa ajakan kerjasama untuk iklan, dan sebagai sebuah BA sebuah brand kecantikan, Aurora akan pergi ke penyelenggaraan Fashion besar tahunan di Paris. Dia melihat Zayan sudah beberapa jam bekerja, begitu Zayan mengakhiri pekerjaannya, menutup laptop, Aurora mendekat tepat Zayan pun berdiri. Aurora ingin membicarakan kepergiannya ke Paris. “Aku lapar,” tetapi, disela Zayan lebih dulu. “Ya, tinggal makan. Pasti sudah ada makanan, tinggal di hangatkan. Bisa minta si Mbok,” tanggap Aurora santai. Zayan menarik tangannya, “ikut makan denganku, kita sudah lama tidak makan bersama.” Aurora langsung menarik tangannya, “aku tidak lapar,” “Kamu tidak lapar atau sedang program? Untuk film apa lagi?” Terdiamnya Aurora sudah sebagai jawaban jika ia benar. Zayan kembali menarik Aurora turun. Aurora tahu jika sikapnya ini akan di kutuk sang Bunda, harusnya ia memperhatikan suaminya. Dulu awal menikah, Aurora tidak begini, dia sadar cukup perhatian pada suaminya, termasuk mereka sudah pernah sepakat untuk program baby, tetapi semua berubah semenjak memasuki usia dua tahun pernikahan. “Aku akan lihat ada makanan apa, dan menghangatkannya.” Zayan menaikkan satu alis begitu mendengar Aurora tiba-tiba berujar begitu. “Ada si Mbok—” Aurora tetap tidak hiraukan, dia melangkah menuju dapur. Tetap di bantu pekerja rumah dan menyiapkan makan malam hanya untuk Zayan. Selama suaminya makan, Aurora duduk di sampingnya dan menemani saja seperti harapan Zayan. “Kapan terakhir makan nasi?” tanya Zayan. Ia paling tidak suka ketika Aurora mulai program ketat. “Hm, tidak ingat.” “Aku akan bicara dengan manajermu, Mbak Jesy dan Agung.” “Mau apa?” “Kamu sudah kurus begitu, harus menurunkan berapa lagi?!” “Aku tidak kurus, tubuhku proposional!” “Aku bisa merasakan perubahannya saat kita bercinta kemarin.” Ujar Zayan dengan jelas. Aurora menelan ludahnya, bersamaan dengan pipi yang merona. “Kamu harusnya tidak melakukannya, di waktu sempit saat aku harus bersiap.” Zayan minum sambil bersandar, menatap Aurora dengan lekat, “belakangan waktu yang kita miliki bukan sempit lagi, melainkan nyaris tidak ada. Jika tidak mencuri-curi waktu seperti itu, hubungan kita semakin asing.” Zayan menarik sudut bibirnya tipis mendapati pipi sang istri merona. “Terbukti, kamu lebih tenang sekarang. Tidak marah-marah terus.” Aurora menarik gelas berisi air putih, meneguknya sekaligus. Pembahasan dengan Zayan membuat atmosfer ruang makan jadi panas dan mulutnya kering. “Aku merindukanmu, Aurora. Really, bisakah kita berhenti saling mendebat dan menjauh?” sembari mengatakan itu, Zayan meraih tangan Aurora. Menggenggamnya erat dengan ibu jari bergerak mengusapnya perlahan. “Please, kita selalu punya kesempatan untuk memperbaiki hubungan ini. Kuyakin, cinta yang kita miliki untuk satu sama lainnya masih ada.” “Mas—” “Beritahu aku, jika memang ada sikapku yang menyakitimu. Bicarakan denganku, jangan langsung mengambil keputusan untuk berpisah denganku. Aku menikah denganmu bukan untuk sesaat lalu melepasmu begitu saja saat kamu ingin pisah.” Zayan berujar lembut. Hati Aurora menghangat mendengarnya. Aurora terdiam, menatap lekat, menyelami manik mata Zayan. Lalu ia menarik napas dalam-dalam. “Dengan kesibukan kita berdua, apa bisa?” “Kita perbaiki—” Aurora menggelengkan kepala, “jika yang kamu maksud memperbaiki dengan aku berhenti dari syuting dan kegiatanku, aku tidak bisa.” “Aku akan komitmen pada janjiku, jika aku tidak akan memaksamu berhenti kecuali kamu sendiri yang menginginkannya.” Aurora mulai membalas tangan Zayan, beberapa detik akhirnya ia mengangguk pelan. Setuju. “Kamu tahukan, ini bukan tentang uang? Aku tetap menjalani karierku karena aku mencintainya.” Zayan mengangguk, “aku tahu jika kamu memang tidak akan pernah bisa memilih salah satunya. Aku atau kariermu.” Aurora di tarik hingga Zayan memundurkan kursi yang di tempatinya. Menariknya duduk di pangkuan dengan tangan merangkum wajah cantik Aurora, “meyakinkanmu untuk menikah denganku tidak mudah, mana mungkin aku begitu saja melepasmu, Bee…” Aurora tersenyum tipis, memejamkan mata ketika wajah mereka tidak ada jarak dan mulai berciuman. Sama seperti Zayan, ia kembali memberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka walau Aurora tidak tahu nantinya akan berhasil atau tidak, paling tidak ia telah mencoba. Zayan menggigit pelan bibir bawah Aurora sebelum menghentikan ciuman mereka. Melekatkan kening mereka, dan sama-sama tersenyum. “Lanjut nanti, aku benaran lapar dan makanannya masih banyak.” Ujar Zayan sambil tersenyum lembut. “Baiklah,” Aurora mengangguk, menyingkir dari pangkuan suaminya, duduk dekat Zayan. *** Aurora memiliki adik kembar laki-laki yang terpaut empat tahun usia darinya, belum lama ini Hamish membuat heboh dengan pengumuman hubungan, lalu tak lama pernikahannya dengan anak teman baik Ayah. Yaitu dokter Putra. Putri satu-satunya yang tidak lain pewaris RMC Hospital. Aurora pikir Hamish akan yang terakhir menikah, mengingat dalam hidup Hamish tidak ada kata serius saat jalin hubungan. Kini mereka tengah berbulan madu ke Norway. Jadi ketika Aurora sampai di rumah orang tuanya, ia hanya menemukan Halim. “Lho kamu belum balik ke Jerman? Kupikir setelah resepsi Hamish dan Lea di Bali langsung pulang.” Kata Aurora memeluk Halim. Halim dan Hamish adalah kembar identic, nyaris tiada perbedaan kecuali sikap. Jika Halim sangat kalem seperti Bunda Amira, maka Hamish kebalikannya, adiknya itu dulu suka berganti-ganti pacar semudah ganti baju di pagi hari. “Belum,” jawab Halim yang menutup buku tebal di tangannya. Jika Aurora berkarier sejak kecil di dunia entertainment maka Halim ikuti jejak Ayah Kaflin sebagai dokter, sedangkan Hamish dia bekerja membantu perusahaan Lais, bersama kakak dari Kaflin yang mereka panggil Daddy Kai. Zayan tidak langsung muncul, Ayah tadi mengajaknya bicara. “Aurora,” panggilan lembut itu membuatnya menoleh. Menemukan Bunda muncul, langsung menghampiri dan memeluknya. Orang-orang bilang jika Aurora mewarisi gen bagus dari Lais, tetapi melihat Bunda, ia bangga sekali juga mewarisi wajah cantik Bunda yang sampai usia setengah abad pun masih terlihat segar, bahkan nyaris belum muncul uban. “Lho kata Ayah akan datang sama Zayan, mana dia?” “Langsung bicara dengan Ayah, di ruang kerja.” Ayah tadi baru sampai juga, langsung mengajak Zayan. “Ini aku di minta menyusul, aku bilang mau menemui Halim dan Bunda dulu.” Alasan sebenarnya, Aurora sengaja mengulur waktu untuk menghadap ayahnya. “Apa terjadi sesuatu? Apa yang mau Ayah bicarakan denganmu dan Zayan?” Pertanyaan dari Bunda artinya hanya Ayah yang tahu kenekatan Aurora datang menemui lawyer keluarga dan menanyakan tentang perpisahan. “Aku juga tidak tahu, aku cari tahu dulu ya Bun.” Aurora tahu dan tidak akan menyampaikan pada Bunda, membuatnya cemas. “Ya sudah, nanti Bunda bawakan teh dan camilan.” “Aku lagi program—” Mata ibunya membulat, “akhirnya, sungguh? Kok tidak bilang kalau kalian akhirnya serius mau program Baby?!” keriangan sang Bunda mengiris hati Aurora dengan rasa bersalah. Aurora bukan tidak ingin memiliki Baby, mungkin setalah situasi dengan Zayan kini membaik, dia kembali meyakinkan dirinya siap untuk hamil dan memberi dua keluarga ini keturunan. Terutama mertuanya, Mama Andari yang sangat menantikan tanpa menuntut di hadapannya. “Bukan,” Aurora langsung meralat maksudnya. Senyum Aurora langsung lenyap. Ia pun menoleh pada Halim yang tidak banyak bicara. “Aurora, sayang… kenapa belum siap juga?” tuntut Bunda. “Aku masih ada kontrak kerja, program ketat penurunan berat badanku pun ini untuk film terbaru.” Ekspresi Amira langsung kian murung, Aurora meraih tangan ibunya, “aku dan Mas Zayan akan Honeymoon lagi, perayaan anniv ke dua tahun kami. Bunda doakan, saat itu tiba, aku sudah siap.” Amira hanya mengangguk sambil tersenyum, “Bunda berdoa agar pernikahanmu dan Zayan baik-baik saja.” Aurora memeluk ibunya, lalu meneruskan langkah menuju tempat kerja di rumah itu. Ayah dan suaminya tampak serius bicara, “masuk, tutup pintunya.” Aurora mengangguk, duduk dekat ayahnya. “Aku dan Mas Zayan baik-baik saja, yah… Kemarin kami hanya belum sempat bicara, maafkan jika langkahku buat Ayah kecewa.” “Ayah belum bertanya apa-apa, kamu sudah memulai.” Kata Kaflin, merangkul putri kesayangan dan satu-satunya kemudian menatap Zayan yang juga sudah menjelaskan padanya. “Jangan mengambil keputusan langsung mau pisah, pisah itu gampang… tapi, apa itu satu-satunya jalan keluar yang terbaik dalam sebuah hubungan pernikahan? Tidak sama sekali, selama masih bisa dibicarakan, diperbaiki, hubungan kalian akan baik-baik saja. Apalagi masalahnya dengan internal sikap, karakter. Memang butuh waktu untuk penyesuaian. Setahun-dua tahun awal yang berat, tapi bukan berarti tidak bisa kalian lalui. Apalagi kalian menikah karena pilihan hati masing-masing, kan?” Zayan mengangguk, memandang istrinya yang terdiam. “Selama kalian saling setia, percaya, ujian apa pun yang datang pasti bisa ditaklukkan. Turunkan ego juga. Ayah tahu kalian sibuk, tetapi sangat penting menjadikan hubungan kalian tetap prioritas di atas segalanya.” Kaflin hanya bisa memberi nasihat itu pada putrinya dan Zayan, Kaflin percaya jika Zayan mungkin sangat bisa mengalah, bersabar pada putrinya. Tetapi, Kaflin sangat khawatir jika justru putrinya yang tidak mau memperbaiki sikapnya dan jadi sumber keretakan rumah tangganya sendiri. “Ayah bicara begini karena menyayangimu, Aurora… menganggap Zayan pun seperti putra sendiri. Ayah sangat berharap banyak pada hubungan kalian, tidak terpisahkan.” Kaflin mengusap puncak kepala putrinya. Aurora tersenyum sembari menatap Zayan lekat-lekat, tatapan mata mereka terkunci. Apa mungkin mereka bisa memperbaiki hubungan ini? Cinta mereka kuat untuk mempertahankan satu sama lainnya. Tidak lama pintu di ketuk, “tetap terlihat biasa di hadapan bundamu, Ayah tidak mau membuatnya semakin cemas, sekarang dia sudah cemas dengan hubungan Halim dan tunangannya.” Pinta Kaflin Lais. Aurora dan Zayan mengangguk mengerti. Berakting, memasang wajah baik-baik saja sudah biasa ia lakukan seorang bintang film sepertinya. Bersambung… Author Note: Apa mereka bisa memperbaiki hubungan yang sedang tidak baik ini? Cerita Dunia Aurora sudah Tamat di sebelah ya, Info ada di Igeku: Unaartika. Thank you...

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD