Chapter 2

1485 Words
“Pantas minta satu jam!” decak pria kemayu itu, menemukan Aurora tengah merapikan pakaiannya dan make up kembali. Dia berani muncul setelah melihat Zayan meninggalkan kamar tersebut. Ia menoleh ke ranjang, menemukan bagian seprai agak kusut, “pakai karet pengaman tidak, nek?!” Aurora menggeleng, “aman.” Dia memang belum siap memiliki anak bersama Zayan. Selain kontrak kerja, dia merasa jika pernikahan mereka sedang di ambang batas dilemma. Aurora tidak ingin anaknya jadi korban dari pernikahan yang misalnya nanti tidak bisa ia pertahankan. Agung membantunya merapikan, lalu Aurora berdecak menemukan tanda yang Zayan tinggalkan di atas dadanya, “dia pasti sengaja, biar aku ganti baju!” Pakaian sebelumnya memang terbuka di bagian bahunya. Agung terkekeh, Aurora memang jadinya mengganti baju yang lebih tertutup. “Aku sudah waspada, si ganteng bakal marah. Kalian bertengkar lagi, lihat ekspresinya dingin begitu. Tapi, mana bisa sih dia marah sama you!” dengan tangan gemulainya Agung membubuhkan lipstik di bibir Aurora. “Kami memang bertengkar dulu, sebelum akhirnya terpancing. Dia mulai mencium, kami memang sudah lama tidak melakukannya. Terakhir dua minggu lalu sebelum dia ke Hongkong.” Cerita Aurora. “Kok bisa tahan si ganteng, biasanya satu minggu udah pening.” Agung terkekeh. “Dia mana berani memaksa kalau aku menolak,” “Green flag ya, tapi kok you malah mau cere?” Agung sudah ikut dengannya dari lama. Meski dia adalah pria tulang lunak, Agung dapat dipercaya. Tidak pernah membocorkan masalah Aurora ke mana pun. Aurora menghela napas dalam. “Susah lho say, cari pria yang sabarnya sedalam lautan samudera Hindia dan samudera Pasifik!” Ucap Agung dengan gayanya. “You udah bosan? Apa effort di ranjang kurang memuaskan, durasinya kurang maksimal?” “Aku tidak mau membahas bagian itu, nanti kamu naksir sama Zayan!” Agung terkekeh, “memang udah naksir kali, sayang dia straight. Demannya melon, bukan pisang!” Aurora memutar bola matanya malas, “udah yuk, kita keluar. Pasti Pak Wishnu mencari kita!” Wishnu Sanjay adalah pemilik Produksi House film, Aurora kenal sudah sejak dia remaja dan terjun di dunia acting ini. Bosnya keturunan India-Indo. Acara hari itu memang di lakukan untuk perayaan anniversary PH milik Wishnu sekaligus promosi film-film terbaru yang akan segera tayang di tahun ini. Paling menarik minat adalah film yang dibintangi Aurora. Ketika kaki Aurora melangkah meninggalkan kamarnya, ia melepas semua masalah pribadi dengan Zayan. Memasang senyum ramah di depan semua orang apalagi layar kamera wartawan agar tidak ada yang memberi kritik apalagi gosip tidak baik terhadapnya. Lift turun ke ballroom, tempat acara berlangsung, “laki you, balik?” Aurora menggeleng pelan. “Tidak?” “Tidak tahu, lebih tepatnya.” “Astaga, benar-benar di luar nalar deh. Pasangan apa sih kalian ini?!” decak Agung. Aurora terdiam, merenung sejenak. Dia juga bingung, pasangan apa sebenarnya? Berdebat, bercinta, berdebat lagi. Tidak ada waktu dihabiskan bersama hanya sekedar untuk berbicara. Keduanya sangat sibuk. Terutama Aurora yang juga jadwalnya padat. Inilah yang buat Aurora merasa jika pernikahan ini tidak akan bertahan lebih lama lagi. “Kamu masih mencintainya, tidak sih Aurora?” tanya Agung lagi. Aurora mencari jawaban dalam hatinya, ‘Yes, I still love him… Zayan Ashraf Hutama.” “Ra—” “Kita professional ya, aku tidak mau membahasnya saat kerja.” Aurora mengingatkan asistennya. “Trust me… Kalau you berhenti, pernikahan kalian baik-baik saja. Zayan itu calon penerus Hutama Grup. Bahkan dia mampu memberimu jatah tiga sampai lima kali dari penghasilan you sebulan.” Kata Agung lagi. Sebagai teman yang baik, dia tidak mau Aurora menyesal. Kehilangan pria seperti Zayan. “Terus kamu habis itu jadi banci pengangguran?” “Sial!” Agung berdecak kemudian terkekeh, “ya I tetap lah jadi asisten you! Dengan gaji yang sama!” Aurora memutar bola matanya malas, kemudian lift berdenting. Mereka sampai, tetapi ponselnya berdering. Dia menatap nama ayahnya muncul. “Zayan pasti benar, Ayah lebih dulu tahu dan bicara dengannya.” Gumam Aurora. Aurora mengangkat telepon ayah. Tidak membahas tentang yang dibicarakan Zayan. Tetapi, ketika Kaflin Lais memintanya menyempatkan diri untuk pulang, pasti ada sesuatu. “Pulang ya, sesibuk-sibuknya kamu. Pasti keluarga tetap jadi prioritas.” Ujar ayah. Jika sudah bilang begitu, artinya Aurora tidak bisa menolak. “Ya, besok aku akan menginap.” “Sama Zayan, Ayah sudah bicara dengannya.” “Iya, Ayah.” Aurora bicara di tempat yang sedikit sepi, walau ada saja orang yang menatap penuh minat untuk sekedar bersua foto atau minta tanda tangganya. Ketika Ayah tidak menutup telepon, Aurora beranikan diri untuk bicara, “Zayan datang. Kami sudah bicara, yang Ayah cemaskan tentang aku menemui Pak Azriel, aku hanya iseng bertanya—” “Jadi menurutmu tahu tentang proses pengajuan perceraian itu sebuah iseng belaka, Aurora?” “Yah—” “Kita bahas di rumah. Ayah berharap banyak padamu, saat kamu meyakinkan Ayah jika kesibukanmu tidak akan jadi ancaman dalam hubungan baik keluargamu, apalagi pernikahanmu. Semoga itu sungguh jadi komitmen yang kamu pegang selamanya.” Aurora terdiam mendengar ketegasan sang Ayah. “Ayah jauh lebih sibuk darimu, kamu tahu itu. Tapi, kesibukan itu ayah usahakan jadi berkat untuk keluarga, bukan ancaman yang buat semua hancur. Ada hati yang kini kamu perlu jaga, hati pria yang telah berjuang, bersabar terhadapmu, dan mencintaimu begitu dalam. Ayah yakin, jika kalian sampai berpisah… bukan Zayan yang akan menyesal, tetapi kamu.” Aurora mengeratkan pegangan pada ponselnya, memejam sekilas dan telepon pun berakhir. Semua keluarganya, terutama Ayah sangat menyayangi Zayan. Semua itu tidak luput dari perjuangan Zayan mendapatkan hatinya, bahkan ada di saat titik terpuruk Aurora yang pernah mengalami anxiety attack. Selama tiga tahun menjalani terapi, dan ia sempat vakum enam bulan dari dunia keartisannya. Tidak ada yang tahu, semua itu dapat disembunyikan dari pemberitaan. Bahkan keluarganya tahu setelah Aurora setengah menjalani terapi. “Aurora, hei…” panggil Agung. “Aku butuh waktu, beri aku lima menit.” Agung mengangguk mengerti. Aurora mencari toilet. Duduk di atas closed yang ditutup. Tangannya mulai gemetar, ia mengatur dirinya dengan tenang. tidak menangis. Dia kembali keluar dari kamar mandi. Agung jadi orang yang paling mengenal, sudah biasa meski Aurora terlihat punya kepribadian berbeda. Saat jadi Aurora kyomi Lais, orang biasa atau saat harus tampil di public dan layar kaca. “Ayo!” Ajaknya dan berjalan. Mencari Wishnu Sanjaya untuk mengucapkan selamat. Namun, langkah Aurora berhenti ketika melihat Zayan—suaminya tengah bersama Wishnu. Aurora menatap Agung, “ngapain dia di sini? Bukannya tidak di undang?” Agung menggelengkan kepalanya, “dia laki you! Malah tanya ke aku. Tanya sendiri sana.” Aurora berjalan, menghampiri suaminya tetapi sebelum benar-benar sampai, Agung berbisik. “Ingat tidak, bagaimana dulu Zayan juga selalu cari cara biar dekat sama you?” “Aku bahkan ingat sejak awal dia muncul, dan ternyata yang menyelamatkanku dari niat jahat seseorang di masa lalu.” Kata Aurora lagi. “Wahai wanita yang labil, mau cari pasangan macam mana lagi coba? Yang red flag?” sindir Agung. Agung salah satu yang akan menanyakan itu padanya, ia terlihat tidak mensyukuri memiliki Zayan sebagai suaminya. Kenyataannya ada banyak hal yang membuat ia berpikir jika hubungan ini akan segera berakhir. Salah satunya kesibukan keduanya juga sebuah pemicu yang buat Aurora merasa Zayan berubah, maupun sebaliknya. Begitu menyapa pemilik PH film ternama itu, Aurora merasakan tangan Zayan posesif memeluknya. Seolah turut andil menunjukkan keharmonisan mereka. Apa yang di tampilkan, tidak semua tampak seperti yang sebenarnya. Di balik senyum seorang bintang bersinar Aurora, dia menyimpan sebuah dilemma tentang arah hubungan pernikahannya yang rapuh. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Aurora berbisik pada sang suami. “Aku sudah terlanjur di sini, jadi sekalian menemanimu di acara ini. Kuharap kamu tidak keberatan ditemani suamimu.” Ujar Zayan dengan tenang, tetapi di telinga Aurora seperti sebuah ungkapan skeptis yang menyindir. “Tidak ada dari setengah jam lalu kita bercinta, lalu kini sudah kembali ingin berdebat? Pasangan apa kita ini, Mas Zayan?” “Hanya kamu yang ingin berdebat, aku tidak.” Tegas Zayan. Lalu ia harus merasa kehilangan saat Aurora menjauh. “Sebaiknya kamu pulang saja!” “Aku akan pulang denganmu, dan kita ke rumah Ayah-Bunda. Lalu Sabtu ini anniversary pernikahan orang tuaku.” Seperti saran Ayah Kaflin, mungkin sekarang waktu yang tepat untuk Zayan bersikap tegas pada Aurora. Dia adalah kepala keluarga, suaminya, jika dalam sebuah kapal ibaratnya dia adalah nahkodanya. Artinya ke mana kapal ini akan berlayar, semua tergantung Zayan. Zayan menatap ekspresi istrinya, “bahkan kamu tidak ingat dengan hari-hari penting keluargamu, orang tuaku!” Aurora menatap ke sepasang manik sang suami, entah mengapa ia mulai merasa jika berbeda. Zayan berbalik pergi. Aurora terdiam, mengeratkan pegangan pada gelas kristal di tangannya. Lalu meletakan begitu saja gelasnya di meja. Dia berbalik dan tidak sengaja menabrak pekerja di pesta yang membawa nampan berisi minuman. Membuat beberapa gelas itu jatuh, pecah dan menjadi pusat perhatian. “Sorry, aku tidak sengaja.” Aurora menatap Agung, segera mendekat dan membantunya. “Are you okay?” bisik Agung. Aurora tidak yakin jika dirinya baik-baik saja sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD