Chapter 1
“Sudah sampai non,” sebuah seruan membuat kelopak berbulu mata lentik itu terbuka. Ia menghela napas berat, menatap bangunan megah dua lantai yang belum lama baru jadi dan ditempatinya bersama Zayan. Rumah impian mereka bersama, tetapi setelah di tempati, kebahagiaan seolah begitu sulit di jangkau. Ada rasa hampa setiap kali Aurora melangkahkan kakinya ke dalam.
Pintu mobil bergeser, Aurora turun. Lalu menatap buket bunga besar yang semerbak aromanya memenuhi mobil. Di antara banyak hadiah yang ia terima setiap hari, baik dari penggemar maupun penggemar rahasia.
Aurora meraih satu buket itu, membawanya dan berjalan memasuki rumah. Dia melepas sepatunya, “Zayan pulang, Mbok?”
Mbok Retno adalah asisten rumah tangga lama yang sebelumnya tinggal di rumah Lais, ikut Bunda dan Ayah. Termasuk yang kenal Aurora sejak remaja hingga sekarang berusia kepala tiga dan menikah.
“Pulang, habis makan malam Mas Rayan datang terus diskusi sampai jam sebelas tadi baru selesai.”
“Rayan pulang?” tebak Aurora, iparnya menginap.
“Menginap di kamar tamu atas.”
Arrayan adalah adik laki-laki Zayan, iparnya. “Buket bunganya, biasa ini Non?”
“Iya, bunganya masih bagus.” Aurora tampak terlihat lelah. Jam satu dini hari ia baru pulang.
“Non mau di buatkan minum hangat?” tanyanya perhatian.
“Tidak usah, Mbok. Makasih. Aku mau langsung tidur aja.” Aurora pum pamit, dia menuju kamarnya. Menemukan Zayan sudah tertidur. Dia tidak berlama-lama memandangi sang suami.
Aurora membersihkan make up lalu memakai gaun tidurnya.
"Bagus Zayan sudah tidur, aku benar-benar tidak ada lagi tenaga untuk menghadapinya bila mengajak berdebat seperti kemarin," gumam Aurora dan keluar.
Dia menarik napas dalam ketika menemukan Zayan terduduk di sana, tatapan matanya mengikuti langkah Aurora yang naik ke tempat tidur.
“Kupikir kamu tidak akan pulang, atau pulang pagi.” Balasnya.
“Kapan aku tidak pulang?” Aurora tidak terima.
"Minggu lalu,”
Aurora menyibak selimut, ia berbaring dan kembali membenarkan letak selimut. “Aku pulang ke apartemen.”
Aurora punya beberapa properti hasil kerja kerasnya, bukan warisan dari orang tuanya.
“Dan tidak mengabariku. Aku anggap kamu memang tidak pu—”
“Kamu mau mengungkit lagi? Kalau iya, tunggu sampai besok saja. Pas aku sudah punya cukup tenaga untuk berdebat denganmu.”
“Aku tidak ingin kita berdebat, Aurora.”
Aurora berbaring, memunggungi. "Itu yang jelas terjadi terlalu sering belakangan ini."
“Aku belum selesai bicara, kamu selalu menghindar.” Protes suami kembali lagi.
“Aku lagi lelah, Mas Zayan.”
“Aku sudah memintamu mengurangi kontrak kerjamu, atau bahkan berhenti.”
Aurora diam.
“Aurora—”
Rasa mengantuknya benar-benar menguap, Aurora segera duduk dan menyibak selimut, “aku tidak tahu kalau kamu bakal jadi menyebalkan sekali belakangan ini!”
Zayan diam, istrinya bergegas turun dari ranjang mereka. Zayan mengejarnya, mencekal lengan Aurora. Ini bukan pertengkaran yang jarang terjadi, justru memasuki usia satu tahun pernikahan hingga kini jalan di dua tahun mereka menikah, pertengkaran sering terjadi.
“Mau ke mana?”
“Tidur di kamar lain—”
“Rayan ada di sini! Aku tidak mau dia merasa aneh dengan situasi kita tidur di kamar berbeda, lalu orang tuaku tahu.”
Aurora menarik lengannya, bersedekap. Zayan bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mereka berhubungan badan, suami-istri, Aurora lebih sibuk daripada dirinya.
“Makanya kamu jangan memancing keributan,”
Zayan kembali menahan diri, membiarkan Aurora kembali naik ke ranjang dan ia menyusul.
Dingin, kaku, dan asing. Tiga hal yang Aurora maupun Zayan rasa dalam hubungan mereka belakangan ini.
“Aku rasa kamu mulai menyesal sekarang,” bisik Aurora yang terdengar oleh Zayan.
“Menyesal apa?”
“Menyesal memperjuangkan aku, dan menikahiku.”
Zayan terdiam, menatap punggung istrinya, “atau sebaliknya, kamu yang menyesalinya... Aurora?”
Aurora memilih tidak menjawab, memejamkan mata sampai beberapa detik menjadi menit didera suasana yang sunyi. Aurora belum benar-benar tertidur saat merasakan pergerakan mendekat, sebuah tangan mendekapnya dan embusan napas hangat di ceruk lehernya. Tidak mengatakan apa pun, tetapi pelukan Zayan cukup jelas mengungkapkan rasa rindunya.
***
Zayan terbangun oleh sorot matahari yang muncul melalui jendela-jendela. Matanya bergerak terbuka, menemukan dirinya hanya seorang diri di atas ranjang. Sisi yang di tempati sang istri semalam sudah kosong.
Ia bergerak duduk, mengambil ponsel. Zayan sangat tahu jadwal sang istri, ia selalu dapat yang terbaru dari Agung—asisten sekaligus teman baik Aurora. Hari ini Aurora pagi-pagi pergi ke luar kota, untuk promosi film terbarunya.
Orang lain akan bertanya padanya, kenapa masih membiarkan Aurora menjalani kariernya? Bukan perihal uang, Aurora Kyomi Lais merupakan putri tertua dari seorang direktur rumah sakit sekaligus profesor Kaflin Lais dan Amira, bundanya seorang penulis buku terkenal. Keluarga Lais pun terkenal pebisnis dan kalangan old money. Sementara itu Zayan sangat mampu mencukupi kebutuhan Aurora dan lainnya. Tetapi, ia tahu bagi Aurora karier yang di jalani ini segalanya, dia sudah menjalani semua dari kecil.
Zayan memegang komitmen sejak awal memutuskan menikahi Aurora jika ia tidak akan mencegah Aurora masih berakting. Tidak akan menghalanginya berkarier.
Zayan mandi dan memilih pakaiannya sendiri, dia keluar dan keningnya mengernyit melihat bunga segar di sebuah vas kristal.
“Bunga dari siapa?”
“Oh, itu Non Aurora semalam bawa. Biasa dari penggemarnya, Pak."
“Ada kartu ucapannya? Siapa yang kirim?”
“Tidak ada kartu ucapan,”
“Buang saja!” Pinta Zayan, ia tidak ingin melihat bunga yang dirinya tahu dari seorang pria yang sudah lama menaruh perhatian pada istrinya.
“Tapi, Pak. Kalau Non Aurora tanya. Bagaimana?”
“Bilang, saya yang minta.” Zayan jadi hilang keinginan untuk makan. Dia berbalik dan menemukan Rayan.
Adiknya mendengar juga melihat ekspresinya.
“Ada apa?”
“Tidak ada.” Ia tidak pernah berbagi cerita pada adiknya, selain tentang bisnis Hutama, “kamu sarapan saja dulu.”
“Lalu kamu?”
“Aku tidak lapar,” jawab Zayan yang akan langsung pergi ke kantor.
“Di mana Mbak Aurora? Dia masih di kamarnya?” Tanya Rayan lagi menghentikan langlah Zayan Hutama, sang kakak untuk beranjak dari sana.
Zayan menghela napas dalam, “sudah berangkat.”
Rayan tidak berkomentar, tetapi adiknya itu pasti merasa ada yang tidak baik dalam hubungan mereka. Zayan membawa langkahnya kembali ke kamar, mengambil jas dan tasnya. Lalu dia pergi meninggalkan rumah, menuju Hutama tower. Tempat di mana dia menjabat sebagai CEO, setelah Zidan Rafan Hutama nanti pensiun, dia yang akan menggantikan posisi ayahnya.
Hari itu Zayan begitu sibuk, sampai tengah hari sekretarisnya mengabari bila ada yang menunggu.
“Ayah?” Zayan terkejut menemukan Kaflin Lais muncul di kantornya. Jarang terjadi. “Ayah tidak mengabari akan datang,”
“Sengaja, Ayah memang ingin menemui kamu.” Kata Kaflin Lais pada menantunya.
Zayan dengan ketenangan luar biasa, mengangguk kecil. Duduk dekat mertuanya. Sekretaris menyajikan minum.
“Ada apa?”
Ayah tampak ragu untuk menyampaikan tujuannya, “Kamu dan Aurora, baik-baik saja? Apa ada masalah dalam hubungan kalian belakangan ini?”
Kening Zayan mengernyit dalam, sebab ia dan Aurora selama ini menampilkan hubungan baik tanpa cela di depan semua keluarga agar tidak sampai menimbulkan curiga jika belakangan memang hubungan mereka sedang renggang.
“Zayan, jangan rahasiakan dari Ayah.” Pinta Kaflin, “ayah mengenal Aurora. Dia terkadang memang punya sisi keras kepala yang menguji hati.”
“Kami baik-baik saja, Ayah.”
“Bila memang begitu, kenapa Aurora menemui Pak Azriel? Dia menanyakan tentang pengajuan perceraian.” Zayan mengenal nama yang di sebutkan mertuanya, salah satu tim lawyer keluarga Lais. Termasuk Aurora.
Detik yang sama Zayan langsung tegang mendengarnya, ekspresi terkejutnya membuat Kaflin tahu jika Aurora bahkan melakukan semua itu tanpa bicara dengan Zayan.
“Cukup dari ekspresimu, Ayah tahu jika bahkan kamu sendiri tidak tahu yang dilakukan istrimu, Zayan. Inilah yang buat Ayah selalu memberimu saran untuk meminta Aurora berhenti dari dunia kariernya. Perceraian seperti hal yang wajar dan gaya hidup para pekerja Entertainment. Ayah sungguh khawatir pada hubungan kalian.” Desah resah seorang Kaflin Lais.
Zayan mematung sejenak, kemudian menatap mertuanya dengan lekat, “apa Zayan akan begitu saja melepaskan Aurora, yah? Setelah mendapatkannya susah payah.”
“Ya, Ayah yakin kamu tidak akan mudah menyerah. Tetapi, nak... sabar seseorang ada batasnya.” Selalu Kaflin Lais sebagai Ayah dari Aurora khawatirkan. Ia mengakui jika setelahnya, hanya Zayan yang mampu bersabar menghadapi Aurora.
Mertuanya benar, tetapi Zayan sangat mencintai Aurora sampai meski kecewa berulang kali padanya, Zayan akan komitmen bertahan dalam hubungan ini.
Setelah ia bicara dengan Kaflin, meyakinkan jika mereka hanya bertengkar kecil dan belum punya waktu untuk bicara, berjanji jika ia akan menyelesaikannya dengan Aurora. Zayan menelepon Agung.
“Agung, di mana Aurora? Katakan saya perlu bicara.” Zayan meminta pada asisten istrinya. Menyebutkan nama lokasi, dan Zayan menunda semua pekerjaan hanya untuk menemui sang istri dan bicara.
Zayan menunggu di kamar yang di tempati istrinya, dia menemukan barang-barang Aurora termasuk sejumlah buket bunga. Dia memeriksa semua dan mendengkus begitu menemukan rata-rata dari beberapa pria.
Pintu di buka, Zayan menoleh menemukan Aurora dalam balutan pakaian indahnya.
Dia menghela napas dalam-dalam, “Agung, tinggalkan kami. Aku hanya butuh beberapa menit—“
“Tidak beberapa menit, mungkin satu jam.” Kata Zayan tegas. Meralat ucapan Aurora.
Aurora menghela napas, memberi anggukan untuk asistennya pergi. Pintu di tutup, Aurora menatap suaminya.
“Kamu cari aku sampai ke sini, ada apa Mas?”
Zayan mendekat, menatap istrinya yang begitu ia cintai.
“Apa maksudmu dengan menemui pengacara keluargamu, dan menanyakan tentang pengajuan perceraian? Jelaskan padaku, Aurora Kyomi Lais!”
Aurora terdiam, meneguk ludahnya susah payah. Ia bingung, bagaimana Zayan bisa tahu?
"Ayah Kaflin menemuiku, mengatakannya." Zayan menjelaskan asal mula ia bisa tahu.
"Kenapa kamu lakukan itu?" Desak Zayan meski masih dengan nada suara normal.
"Kurasa aku perlu mempersiapkan diri, belakangan hubungan kita tidak baik-baik saja." Kata Aurora dengan tenang.
Zayan menatap istrinya dengan jenis ekspresi tak percaya mendengar semua keluar dari mulutnya.