BTW 04

2097 Words
Hari ini, mungkin merupakan hari paling mengerikan bagi Melisa, suasana hati nya tak pernah merasa segelisah ini. Tapi hari ini entah mengapa, ia sangat resah dan begitu tidak tenang. Otak nya tetap terngiang ucapan dari sang mertua. Sosok gadis yang begitu Melisa takuti, bukan takut lebih ke rasa was-was tepat nya. Akan segera tiba di kediaman Bramastya. Bahkan Nyonya Mona, terlihat sangat antusias menyambut sosok orang itu.  Sampai-sampai hari ini pun Allard sengaja tak pergi ke kantor hanya karena untuk menjemput sosok tamu sekaligus sahabatnya yang tak lain adalah Lisa,  gadis yang sebentar lagi akan tinggal di Mansion Bramastya dan sekaligus akan merangkap sebagai Sekretaris Allard. Melisa begitu terlihat kelelahan. Bagaimana tidak, jika gadis itu harus di paksa memasak dengan porsi yang tak main-main banyaknya, oleh sang mertua. Dan parahnya hanya seorang diri,  tanpa bantuan siapapun. Melisa ingin menjerit rasanya, karena terlalu kelelahan. Tapi ia harus bersabar menghadapi pedihnya cobaan hidup ini.  lebih tepatnya cobaan, siksaan dari ibu mertuanya. Selagi ia masih kuat untuk bertahan, maka ia akan mencoba untuk melalui cobaan ini. Terhitung 30 menit sudah lamanya, Allard menunggu sosok sahabat nya di Bandara, dan tak lama kemudian terlihatlah sosok gadis cantik berambut pirang dengan kaca mata hitam bertengger di hidung bangirnya.  Seraya melambaikan tangan ke arah Allard, ya! Gadis yang sedari tadi pemuda itu tunggu. "All....," Seru gadis itu dari kejauhan, dengan satu tangan memegang gagang koper. Dan di balas lambaian tangan serta senyum manis oleh sang pemuda yang tak lain adalah Allard. Liza langsung memeluk tubuh sigap Allard  dan pemuda itupun sama sekali tak keberatan oleh sikap Lisa padanya. Malah ia tersenyum, dan membalas pelukannya. "Kau sudah lama menungguku?," Tanyanya di buat seimut mungkin. "Tidak juga,  oiya!...Kita langsung pulang atau mau kemana dulu?," Tanyanya pemuda itu. "Aku lapar... Boleh kita makan dulu hm? Setelah itu, temani aku belanja baju. Soalnya aku hanya membawa sedikit pakaian," Rengek Lisa, terlihat sangat manja. Allard mengusap rambut Lisa lembut, entah mengapa sikap Allard begitu berbeda saat bersama gadis itu. Ia hanya merasa Lisa bagaikan adik kecil untuk nya, tanpa mengetahui sifat licik yang tertutup wajah sok suci itu. Sementara di Mansion Bramastya. Melisa terlihat masih sibuk berkutat dengan alat-alat dapur. Lelah, letih bahkan penampilannya pun sangat berantakan. Astaga! Siapa pun yang melihat penampilan gadis itu tak akan mengira kalau ia seorang menantu dari keluarga terhormat. Melainkan lebih terlihat seperti seorang pembantu. "CK...dasar lelet,  sebentar lagi Lisa akan datang. Cepat selesaikan masakanmu. Dan bersihkan kamar tamu untuk di tempati Lisa," perintah Nyonya Mona dengan decakan meremehkan begitu pedas, terdengar dari bibir tajam wanita itu. "Baik Ma..." Hanya jawaban singkat yang Melisa ucapkan, terlampau lelah untuk menanggapi ucapan sang mertua. Peluh sudah membanjiri seluruh tubuhnya.  Hanya demi menyiapkan penyambutan untuk seorang gadis yang bernama Lisa tersebut. Allard dan Lisa tengah berada di dalam mall. Sesuai permintaan gadis itu tadi, bahwa ia ingin berbelanja terlebih dahulu. Jangan lupakan posisi Lisa yang terlihat asik mengapit lengan kokoh Allard. Melupakan jika pemuda itu sudah beristri. Sesekali mereka bercanda dan tertawa layaknya sepasang sejoli yang tengah di mabuk cinta. Ingatlah All, istrimu sedang menderita di rumah. Dan kau malah enak-enakan dengan gadis lain. "Emm... All, aku sudah selesai belanjanya. Ayo kita pulang, Mama pasti sudah menunggu," ucap nya, seolah sudah menganggap keluarga Bramastya sebagai keluarga nya juga. "Sungguh? Tak ada yang ingin kau beli lagi?," Tanya pemuda itu, sembari menoleh ke arah sang gadis di sampingnya. "E'em...ayo pulang! Aku sudah lelah," angguk nya begitu manja, dengan wajah mendongak ke atas. Menatap wajah sang pemuda yang lebih tinggi dari nya. "Baiklah...sini aku bawakan belanjaan mu," Allard menawarkan diri. Lisa dengan senang hati tentunya menerima tawaran dari pemuda itu. Sekaligus merasa mendapat harapan dari Allard mungkin. Terlihat dari perhatian pemuda itu pada nya. Semakin semangat dirinya untuk merebut Allard dari Melisa.  Di tambah ia mendapat dukungan penuh dari Ibu pemuda itu, akan mempermudah rencana nya. "All....nanti berhenti di toko kue langganan Mama ya...! Aku mau membeli kue kesukaan Mama dulu," pinta Lisa, sekedar mencari perhatian. Jika saja bukan karena Allard, ia tak sudi untuk repot-repot melakukan itu semua. "Kau bahkan masih ingat kue kesukaan Mama, ck! Kau baik sekali Lisa," puji Allard. Tentunya Lisa sudah beroh-ria di dalam hatinya. Pemuda itu terlalu mudah untuk ia kelabuhi. Batin Lisa tertawa. Sedang di Mansion Bramastya, Melisa sudah selesai dengan acara masak memasak nya, tak lupa membersihkan kamar tamu yang akan di tempati oleh Lisa nantinya. Ia sangat kelelahan dan memutuskan untuk mandi sekedar menyegarkan diri dan merilekskan pikiran. "Aku pulang...," Kini suara Tuan Richard yang terdengar, seraya memasuki pintu utama Mansion nya. Ia sengaja pulang lebih awal atas permintaan istrinya, walau ia belum tau jelas apa maksud keinginan dari sang istri. "Papa.... sudah pulang?," Seru Melisa, menyambut sang Ayah mertua. Walau ia sangat lelah namun ia mencoba tetap tersenyum di depan semua orang, yang masih berbaik hati pada nya. Ya! Melisa sangat dekat dengan sosok Ayah mertuanya. Seperti layaknya orang tua kandungnya sendiri, karena memang Tuan Richard Bramastya lah yang paling menyayanginya di rumah ini, bahkan Allard pun juga sudah mulai berubah. Akhir-akhir ini sang suami sangat lah jarang menghabiskan waktu bersamanya. "Dimana Mama mu, Mel?," Tanya sang Papa. "Mama sedang di kamar Pa..., bersiap-siap mungkin, karena sebentar lagi Lisa akan datang," jawab Melisa sekenanya. Tuan Richard sedikit terkejut, namun ia segera bersikap normal karena menyadari perubahan sendu di wajah menantu nya, ia tau apa yang di rasakan gadis tersebut, istrinya benar-benar keterlaluan. Batinnya geram. "Tenang hm...semua akan baik-baik saja, percaya pada Papa," Tuan Richard mengelus kepala gadis di hadapannya, menyalurkan semangat untuk nya. Menguatkan hati gadis manis itu. Kemudian ia berlalu menaiki tangga menuju kamar nya, seraya menghembuskan nafas lelah. Melisa kembali ke kamar nya juga, gadis itu menangis dalam diam. Entahlah hatinya sangat sakit. Padahal ia tak tau apa penyebab nya. Ia takut jika apa yang ia fikirkan selama ini akan menjadi kenyataan. Pemikiran buruk yang selalu tersimpan di dalam benaknya. Di kamar Tuan Richard, pria itu melihat sang istri duduk manis di kursi depan meja nakas, tengah bersolek di depan kaca riasnya. "Ada acara apa ini sebenarnya? Kenapa seperti akan ada penyambutan dari tamu besar saja," pancing pria itu, walau ia sudah tau sebenarnya. "Heii...kita akan kedatangan tamu spesial, jika kau lupa Chard," serunya sembari memutar bola matanya malas. Selalu saja suaminya ini tak sejalan dengan keinginan nya. "Terserahmu saja,... aku hanya ingin mengingatkanmu...jangan teruskan keinginan gila mu ini!" Peringat Richard datar, ia tau betul apa yang sedang di rencanakan wanita itu. "Aku hanya ingin anak ku bahagia...," Ketus wanita itu acuh, terlalu malas jika harus berurusan dengan sang suami yang tak pernah mengerti keinginan nya. "Kau hanya akan membuat mereka menderita Mon...sadarlah, kau bukannya akan membuat putra mu bahagia, namun justru kau akan menghancurkan nya," jengah sang suami. "Bukan mereka...tapi hanya Melisa yang menderita, dan aku tak peduli akan itu semua," sergah Mona sinis. Richard memijat pelipisnya, ia memilih diam dan menyenderkan tubuhnya di kepala ranjang. Istrinya itu terlalu keras kepala, jika sudah mempunyai keinginan. Akan sulit sekali di cegah. Melisa terisak sedih. Tak sengaja ia mendengar semua perdebatan mertuanya, saat tengah melewati depan pintu ruang kamar mereka, karena memang kamarnya dan kamar mertua nya berdekatan. Sebegitu kejam kah semua mertua di dunia ini? Tanyanya dalam hati. Tubuh Melisa merosot ke bawah kedua kakinya seakan lemas hanya untuk menopang berat tubuhnya. Kedua bahunya naik turun seirama dengan isakan yang terdengar tertahan dari bibirnya, ia menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya. Seakan malu jika ada yang melihat sisi lemahnya. "Tidak....aku harus kuat, aku tak boleh menyerah begitu saja," lirihnya menguatkan diri sendiri. Walau sebenarnya perasaan, hati dan jiwanya hancur berkeping-keping tak berbentuk lagi, jika saja bisa terlihat. Nyonya Mona terlihat tengah menuruni tangga, mencari keberadaan sosok menantu yang paling ia benci. Sesekali ia berdecih karena tak melihat atensi gadis tersebut. Terlalu malas untuk memanggil dan menyebut namanya, jika saja tidak terpaksa. Di mata wanita paruh baya itu, Melisa tak lebih bagaikan seonggok sampah yang menjijikan di penglihatan nya. "Melisa...dimana kau? Aku tak ingin mengulang ucapanku...keluarlah," teriaknya seolah tengah meneriaki seekor piaraan. Dengan cepat Melisa mengusap kasar air mata nya, dan bergegas menemui sang mertua. Tak ingin terkena amukan dari wanita tersebut. "I....iya Ma....maaf,..ada yang bisa aku bantu?," Tanya Melisa terbata. "PLAKKKK..... Bukanya mendapat jawaban, Melisa justru mendapat hadiah tamparan di pipi kanannya. Sungguh ironis. "Pergi dari hadapanku...jangan sampai nanti Lisa tak nafsu makan karena melihat wajah mu yang menjijikan itu," peringkatnya sembari menunjuk arah pintu keluar Mansion. Melisa bingung di buatnya, jika wanita tersebut hanya bermaksud untuk mengusirnya, lalu untuk apa ia repot-repot memanggil nya?. Gumam Melisa dalam hati. Kemudian wanita itu pergi meninggalkan Melisa dengan wajah memarnya. Melisa tersenyum miris, meratapi kehidupanya yang begitu mengerikan yang tengah ia hadapi. Ia bingung harus bagaimana. Gadis itu butuh teman untuk mendengar keluh kesahnya. Tiba-tiba ia teringat dengan seseorang. Berlahan tangan mulusnya merogoh tas kecilnya dan mengambil benda persegi pipih di dalamnya. Mendial nomor seseorang yang akhir-akhir ini selalu ada untuknya. Ya! Rammon, hanya pemuda itu yang ada di dalam benaknya. Tak berapa lama panggilan telphone nya tersambung dengan sosok yang sedang ia hubungi. "Hallo....Mel....ada apa hm? Tumben sekali kau menghubungi ku?," Tanya sosok pemuda itu dari sebrang. "Ram...aku ingin bertemu denganmu," lirih Melisa, menahan isakan. "Baiklah...tunggu di taman biasa ok! Aku akan segera ke sana," sahut Rammon, ia sudah tau jika Melisa sudah menghubungi nya, artinya gadis itu tengah ada masalah serius. "Baiklah Ram....terima kasih," ucap Melisa, sembari menutup sambungan telphonya. Ia bersiap-siap dan pergi meninggalkan Mansion itu, sebelum Allard dan Lisa datang, sesuai dengan perintah sang Mama. Beberapa saat kemudian, Allard dan Lisa sudah sampai di Mansion Bramastya. Dengan menenteng banyak bingkisan belanjaan, di kedua tangan sang pemuda. "Mama Mona....," Pekik Lisa, saat melihat atensi Nyonya Mona, dan mengabaikan keberadaan Tuan Richard di dekatnya, benar-benar tak punya sopan santun. "Oh.... Lisa sayang...kau sudah datang? Bagaimana perjalananmu hm?," Sambut Nyonya Mona, memeluk dan mencium pucuk kepala gadis tersebut. Allard hanya terkekeh melihat interaksi Mama dan sahabatnya ini. Hingga ia lupa akan sosok gadis yang saat ini sedang menderita, yang bahkan tidak ada di dalam Mansion tersebut. Sesuai dengan permintaan Melisa, Rammon benar-benar datang ke taman. Bahkan pemuda itu datang lebih dulu sebelum dirinya datang. Dan sekarang malah Rammon lah yang harus sedikit menunggu kedatangan Melisa, ia terlihat tengah duduk di sebuah kursi panjang di tempat tersebut. Sesekali melirik jam yang melingkar di tanganya.  Melihat sekeliling berharap orang yang sedari di tunggu-tunggu segera datang.  Dan benar saja selang beberapa menit kemudian, seseorang yang ia nantikan itu pun tiba. Terlihat sosok itu sedang berlari tergopoh-gopoh, dengan peluh membanjiri pelipisnya. Namun jangan lupakan senyum cerah yang selalu ia perlihatkan ke semua orang. Walau nyatanya itu hanyalah sebuah senyuman palsu belaka. "Rammon," teriaknya sambil menghampiri pemuda yang menatap heran ke arah nya. "Astaga...ku kira kau tak jadi datang Mel," sahut Rammon berusaha membalas senyuman gadis itu, meski ia ikut lelah melihat penampilan gadis tersebut. "Maaf Ram...aku jalan kaki kesini, jadi sedikit lama, hah! Aku lelah sekali," keluhnya, sembari memilin ujung bajunya,  sungguh ia merasa tak enak hati membuat Rammon harus menunggu lama. Rammon mengernyitkan dahinya. Tak percaya kalau Melisa datang dengan berjalan kaki, padahal jarak Mansion nya ke taman itu lumayan jauh. Tau begitu ia jemput tadi. Batin nya miris. "Kau jalan kaki? Kenapa tak naik bus hm? Atau meminta ku untuk menjemput mu," Rammon mengelap peluh di wajah gadis di hadapannya. "He..he...maaf Ram,....aku tak punya uang, dan aku tak mau merepotkan mu," jawab Melisa apa adanya. Karena memang selama ia tinggal bersama Allard, tak pernah sepeserpun memakai uang suami nya tersebut. Bukan tanpa alasan, hanya saja uang yang di berikan oleh suaminya selalu saja di ambil oleh sang Ibu mertua. "Apa Allard tak pernah memberimu uang bulanan?," Tanya Rammon penasaran, sambil menggiring gadis itu untuk duduk di kursi panjang tadi. "Allard selalu memberi ku uang,..tapi....." Jeda Melisa. "Selalu di ambil Mama," lanjutnya, dengan menundukan kepalanya. Kedua matanya tiba-tiba terasa memanas jika mengingat semua perlakuan Ibu mertuanya itu. Rammon meraup wajah nya kasar. Menahan amarah, yang semakin memuncak kala mendengar semua perlakuan b***t Nyonya Mona, pada menantunya. "Dan kau tidak bilang pada Allard?," Tanya Rammon, ia hanya  berharap mungkin dengan memberitahu pemuda itu, maka pemuda tersebut akan mempercayai istrinya, tapi tidak, justru jawaban Melisa semakin membuatnya geram. "Aku tidak mau bilang pada Allard, karena aku tau dia pasti tak akan pernah percaya pada ku dan lebih membela Mama, lagian Allard sekarang juga sudah berubah, apapun yang aku ucapkan mengenai Mama, dia selalu saja marah pada ku," Melisa semakin terisak pilu. Rammon merepalkan kedua tanganya, ia geram. Bagaimana bisa Allard menyia-nyiakan gadis sebaik Melisa. "Apa kau akan tetap bertahan hm?," lirih Rammon sambil mengelus rambut panjang Melisa. "Aku akan tetap bertahan Ram, aku mencintai Allard, aku tak akan melepas nya selagi dia tidak melepasku," entah mengapa mendengar jawaban Melisa, hati Rammon terasa sesak. Apakah ia iri pada Allard? karena bisa di cintai seorang gadis baik nan setia seperti Melisa?. Namun bodohnya pemuda itu, malah menyia-nyiakan semua kebahagiaan yang Tuhan berikan pada nya. "Baiklah...jika kau masih kuat. Namun ingat jika kau sudah tak tahan..aku bisa membawamu pergi jauh darinya...hubungi aku kalau kau butuh bantuan. Aku berjanji akan selalu ada untukmu," jelas Rammon yakin. Dan di balas anggukan oleh sang gadis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD