BTW 03

1986 Words
Setelah sedikit melakukan percakapan kecil, akhirnya pasangan suami istri itu memutuskan untuk tidur. Lagi pula malam juga semakin larut. Allard merebahkan tubuh sang istri pelan, di atas kasur king size nya. Kemudian ia juga ikut merebahkan tubuhnya dengan posisi merengkuh perut datar Melisa, yang terlihat membelakangi nya. Tak berapa lama terdengar dengkuran halus dari sang suami, Melisa masih setia terjaga. Ia tak bisa memejamkan kedua matanya, kepahitan hidup yang tengah ia hadapi begitu menghantuinya. Diam-diam gadis itu membekap mulutnya. Menangis dalam diam, meratapi nasib malang yang ia alami, kenapa hidupnya bisa berubah dalam hitungan hari? Batinya tersiksa. Hanya Allard lah satu- satunya harta berharga yang ia miliki, ia tak ingin kehilangan pemuda yang berstatus sebagai suaminya tersebut. Salah kah Melisa jika ingin merasakan kebahagiaan sedikit saja, seperti yang lainya. Hari-hari berlalu begitu saja, siksaan demi siksaan silih berganti harus di rasakan seorang gadis manis bernama Melisa . Saking seringnya di perlakukan tidak manusiawi, membuat nya seakan sudah kebal dengan cacian dan hinaan dari sang ibu mertua. Bagaikan menelan paksa ratusan pil pahit di setiap detik dalam hidup nya. Seperti saat ini wanita paruh baya itu kembali memaki menantunya, dengan alasan tak logis. "Kenapa kau masih bertahan juga di sisi Allard ha? Bahkan kau tak bisa memberikan dia keturunan. Ck!... Dasar tak berguna," Nyonya Mona lagi-lagi mengungkit perihal keturunan. Yang mana membuat hati Melisa semakin terasa tersayat, begitu pedih rasanya. "Ma..... tolong beri aku waktu, aku akan berusaha," mohon Melisa sembari terisak pilu. "Ch,... andai aku punya cucu dari rahim gadis rendah seperti mu, rasanya aku tak sudi mengakuinya," decih Nyonya Mona, merasa jijik. "Kenapa Mama sangat membenciku? Apa kesalahan ku Ma..? Katakan agar aku bisa memperbaikinya," tangis Melisa semakin menjadi. Bahkan ia sudah berlutut di hadapan sang mertua. Dengan kasar Nyonya Mona menjambak rambut gadis di bawahnya, hingga membuat gadis tersebut meringis kesakitan. " PLAKK.... Nyonya Mona menampar kasar pipi tirus gadis tersebut, hingga terlihat darah segar mengalir dari sudut bibir manisnya. "Dasar jalang tak tau diri, kau ingin tau apa salahmu ha? Baiklah, dengarkan ucapan ku baik-baik, salah mu adalah menikah dengan anak ku! Jadi aku ingin kau berpisah dengan Allard dan pergi menjauh dari hidup nya, jika perlu lenyap lah dari muka bumi ini, karena kau hanya akan menjadi sampah di dunia ini," Teriak Nyonya Mona, dengan menatap tajam penuh kebencian ke arah Melisa. Seakan siap untuk menguliti tubuh Melisa saat itu juga. Bagai disambar petir di siang bolong, Melisa merasakan sakit yang tak berhujung di dalam dadanya. Gadis itu semakin menangis pilu, sembari memegang lutut sang mertua dan menggelengkan kepalanya cepat. Ia tak kuasa hanya untuk sekedar berucap. Lidahnya terasa kelu. Nafasnya terasa tercekat di tenggorokan. Sakit, terlampau sakit tak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Luka tapi tak berbekas. Ingin mati saja rasanya andai itu pilihan yang terbaik. "Pergi dari hadapanku! Aku muak melihat wajah kotor mu," bentak Nyonya Mona seraya mendorong kasar tubuh Melisa hingga terjungkal ke belakang. Berlahan Melisa berdiri dari tempatnya terjungkal. Kepalanya terasa pening karna terlalu lama menangis. Dengan jalan tertatih-tatih ia pergi meninggalkan kediaman Bramastya. Hanya untuk sekedar menenangkan pikiran saja.  Melisa berjalan menelusuri terotoar,  tak menghiraukan sudah berapa kali ia menabrak orang berlalu lalang.  Pandanganya kosong,  seakan tak ada semangat kehidupan di dalamnya.  Hingga kedua kakinya membawanya melangkah ke sebuah taman. Ia terduduk di kursi panjang taman tersebut, fikiranya masih berkelana jauh entah kemana, menatap jauh langit biru. Mengabaikan teriknya sang surya yang mungkin saja bisa membakar kulit putih nya. Sampai-sampai ia tak menyadari ada sosok pemuda tampan duduk di sampingnya sembari menatap raut wajah kacau nya. "Ehem....kenapa kau disini? Kemana suamimu?," Tanya sosok itu seraya berdehem, memecah lamunan gadis di sampingnya. Sontak membuat Melisa tersentak kaget dan menoleh ke samping, seketika raut wajah nya kembali datar tanpa ekspresi, setelah mengetahui siapa sosok pemuda di samping nya yang tak lain adalah sahabat nya, Rammon. "Ram....sejak kapan kau di sini?," Tanya Melisa tanpa semangat, namun tetap memaksa untuk senyum. "Sejak tadi,  kau saja yang terlalu asik melamun, hingga tak menyadari keberadaan ku," sahut Rammon sedikit tersenyum tipis. Melisa enggan untuk menjawab ia hanya tersenyum getir, terlampau malas untuk sekedar berucap. Tanpa terasa air mata kembali mengalir dari sudut matanya. Ia kembali teringat oleh ucapan pedas sang Mama. "Mel..... kenapa kau menangis hm? Apa kau tengah ada masalah? Cerita lah padaku.  Setidaknya kalau kau masih menganggapku sebagai sahabat," tawar Rammon, jujur ia tak suka melihat gadis di sampingnya ini bersedih. "Rammon.....a...aku," Melisa tak bisa melanjutkan kata-katanya, hatinya terasa sesak kala tangisannya semakin menjadi. Rammon menghela nafas panjang, hati nya ikut sakit mendengar rintihan tangis gadis itu, dengan sigap pemuda itu merengkuh tubuh ringkih Melisa. "Menangis lah Mel.... lepas semua beban fikiran mu, hingga semua terluap kan," Rammon mengelus punggung Melisa lembut. Ingin rasanya ia ikut menangis. Walau, ia tak tau pasti masalah apa yang kini tengah menimpa gadis itu. Setelah merasa dirinya lebih baik, Melisa melepas pelukannya dari tubuh Rammon. "Sudah lebih baik hm? Mau cerita dengan ku, tentang masalah mu," tanya Rammon lembut, dan di balas anggukan kecil oleh sang gadis. Melisa mengambil nafas sejenak dan memulai bercerita tentang semua masalah yang kini tengah menimpanya. Entahlah Melisa merasa nyaman, percaya dan terlindungi saat bersama Rammon, pemuda itu begitu sabar dan selalu mengerti dirinya bak seorang saudara. Hanya perasaan sekedar hubungan kakak dan adik saja tidak ada yang lain selebihnya. Rammon mengeratkan giginya. Menahan emosi,  tak habis fikir dengan perlakuan kasar orang tua Allard dan lebih parahnya pemuda itu tak tau menahu tentang masalah yang menimpa istrinya. "Mel apa perlu aku membantumu untuk bicara pada Allard? Dia harus tau," ucap Rammon memberi pendapat, karena memang ia tak tau harus melakukan apa, juga merasa tak enak hati mencampuri urusan  rumah tangga Melisa. "Tidak Ram... Allard tidak mungkin percaya padaku dia sangat menyayangi orang tua nya. Lagian, pasti Mama akan melakukan seribu cara untuk membalikkan fakta, tentang semua nya," lirih Melisa sedih. Rammon begitu kasihan melihat ke adaan Melisa, namun ia juga tidak bisa berbuat banyak untuk gadis tersebut. "Kau yakin akan tetap bertahan? Setelah semua yang mertua mu lakukan pada mu?," Tanya Rammon hati-hati. "Em... Aku akan mencobanya Ram, selagi Allard masih bersama ku, aku akan tetap bersabar, mempertahankan pernikahan ku," ucap Melisa, terkesan ada sedikit keraguan di ujung kalimat nya. "Baiklah, jika itu keputusan mu, tapi ingat Mel... kalau kau sudah lelah dengan semuanya maka berhentilah jangan memaksakan diri. Karena itu sangat lah menyakitkan," tutur Rammon pada akhirnya. "Terima kasih Ram, untuk semua nya....aku harus segera pulang,  nanti Mama marah lagi padaku," pamit gadis itu. Rammon hanya diam, mengamati raut wajah ketakutan gadis di hadapan nya. Sebegitu tersiksa kah, kau Melisa. Hingga kau terlihat sangat ketakutan sekali pada mertuamu?. Lihatlah tubuhmu semakin kurus,  apa Allard begitu buta tak melihat perubahan istrinya? Gumam Rammon dalam diam. Mel....aku berjanji akan selalu mengawasi mu, aku tak apa jika kau tak memandang diriku. Tapi aku tak rela jika melihat mu tersiksa. Melisa kembali ke mansion Bramastya. Tanpa ia sadari Allard sudah pulang ke tempat tersebut dan terlihat tengah duduk di ruang tamu. Dengan wajah datar menatap ke arahnya. Jangan lupakan sosok Nyonya Bramastya yang terlihat sedang berdiri angkuh di samping putra nya duduk. Dan juga di tambah seringaian mengejeknya, Melisa hanya bisa mendengus pasrah,  ia tau pasti wanita itu sudah berbicara yang tidak-tidak tentangnya. "Dari mana saja Mel?," Tanya sang suami datar. "Dari taman All," jawab Melisa seadanya. "Kemarilah sayang," Melisa hanya menurut perkataan sang suami, dengan langkah merosot lesu ia berjalan mendekati pemuda tersebut, ia mengira bahwa Allard sudah pasti akan menghukumnya. Dan tanpa di duga ternyata pemuda itu malah memberikan sebuah black card padanya. Melisa tersentak kaget, dan bertanya. "Untuk apa ini All?," Tanya nya bingung. "Pakailah sesuka hatimu sayang,  rawatlah dirimu, agar kau terlihat cantik lagi ok," ucap Allard dengan tersenyum teduhnya dan mengecup kening sang istri begitu mesra, kemudian pergi menuju kamarnya. Nyonya Mona berdecak kesal, setelah melihat sekitar aman ia segera mendekati Melisa dan merebut kasar black card dari tangan gadis itu. "Ck... Kau tak pantas mendapat ini semua,  berikan padaku. Dan ingat jangan berani-berninya mengadu pada Allard, atau kau tau sendiri akibatnya," decih Nyonya Mona sinis, sembari menunjuk wajah Melisa dengan telunjuknya.  Melisa hanya mengangguk paham. Berusaha menahan air matanya, dan segera beranjak pergi menyusul suaminya ke kamar. 6 bulan berlalu. Terhitung sudah 6 bulan lamanya Allard dan Melisa tinggal di mansion Bramastya. Dan selama itu pula Melisa bertahan dari siksaan ibu mertuanya.  Bahkan keadaan nya sekarang semakin kacau. Di tambah Allard sedikit mengalami perubahan, pemuda itu terlihat sedikit risih melihat penampilan acak-acakan gadis tersebut, yang memang jauh dari kata terawat. Suasan sarapan di pagi ini berjalan seperti biasa, selalu di selingi dengan pembicaraan-pembicaraan masalah pekerjaan. Hingga tiba-tiba sang Mama mencetuskan sebuah perkataan yang membuat hati Melisa sedikit gelisah. "All....Mama dengar kau butuh Sekretaris baru?," Tanya sang Mama basa-basi, sebenarnya ia hanya ingin mengutarakan keinginannya yang tersembunyi. "Em... Iya, kenapa memangnya Ma?," Sahut Allard jujur. "Kemarin orang tua Lisa menghubungi Mama,  dia bilang Lisa butuh posisi itu. Lagian tak ada masalah kan? Lisa itu gadis yang pintar juga dari kalangan yang berada," sindir wanita itu melirik ke arah sang menantu.  Melisa menghentikan acara sarapanya,  ia merasa tak nafsu makan lagi. Dadanya mendadak sesak,  entah mengapa ada rasa takut yang menyelimuti hatinya saat ini. Allard hanya mengangguk kecil, mengiyakan ucapan sang Mama. Tanpa memperhatikan raut wajah sang istri yang terlihat mulai berubah sendu. Merasa Allard ada di pihaknya, Nyonya Mona menyunggingkan sebelah bibirnya. Berarti ia akan lebih mudah mendekatkan Allard dan Lisa. Batin wanita itu bahagia. Seakan tak mengingat bahwa sang putra sudah menikah, Mama macam apa yang dengan senang hati bahkan bangga menghancurkan kebahagiaan anak nya sendiri?. Setelah keberangkatan Allard dan Tuan Richard ke kantor. Seperti biasa Melisa akan segera melanjutkan rutinitasnya, beralih membersihkan setiap sudut Mansion yang besarnya tak main-main itu.  "Cepat bersihkan kamar tamunya.  Besok Lisa, oh calon penggantimu akan datang," perintah Nyonya Mona, sengaja menekan kalimat terakhirnya. Melisa tercekat,  apa maksudnya sebagai pengganti? Apa mertua nya bermaksud menjodohkan Allard dengan Lisa? Tidak, ini tidak boleh terjadi. Batin Melisa gelisah. "Apaa maksud Mama?," Tanya Melisa memastikan, agar tak berfikir negatif. "Ck.... Aku butuh penerus keluarga Bramastya,  dan kau.. Tak bisa mewujudkanya,  jadi tak ada salahnya kan? Kalau Allard mencari penggantimu?," Jelas wanita itu sinis. Nyonya Mona berseringai menatap aura kehancuran yang terpancar dari wajah sang menantu. Tanpa basa-basi lagi ia merolling bola matanya dan meninggalkan  Melisa yang sudah terisak pilu, sembari meremat erat kemoceng di genggaman nya. "Tidak... Aku tak akan membiarkan suamiku pergi...tidak akan pernah," racau gadis itu,  entahlah otaknya tak bisa lagi sekedar berfikir jernih. Malam pun tiba, Melisa enggan untuk memejamkan kedua matanya.  Ia masih teringat akan setiap ucapan mertuanya pagi tadi padanya. Ia harus bicara pada Allard. Ya! Harus, semangat nya dalam hati. Melisa menyenderkan punggungnya di kepala ranjang, menatap punggung sang suami yang terlihat memunggunginya sembari menatap laptop di hadapannya. "All.... Aku ingin bicara padamu," ucap gadis itu pelan. "Em..." Hanya di balas gumaman oleh pemuda itu tanpa melihat ke arah sang gadis,  mungkin laptopnya lebih penting, di banding atensi sang istri. "All....sepertinya Mama akan menjodohkanmu dengan Lisa," ucap Melisa , berusaha tak menyinggung perasaan sang suami. Allard memejamkan matanya sejenak dan melipat laptop nya kasar. "Ctakkk... Membuat Melisa membelalakkan matanya lebar. Ia takut jika pemuda itu marah pada nya. "Kau sadar dengan ucapanmu Mel?," Tanya Allard dengan nada rendah nya. Dan itu terdengar sangat menakutkan di pendengaran Melisa. Ketahuilah Allard benar-benar emosi, mendengar ucapan istrinya yang terkesan tak masuk akal. "Aku sadar dengan ucapanku All... karena Mama sendiri yang mengatakannya padaku," Melisa reflek ikut tersulut emosi, tanpa sadar ia meninggikan nada bicaranya, sungguh ia sangat marah pada respon sang suami. "Jaga bicaramu Mel, jangan sekali-kali menjelekan Mama, karena sangat tidak mungkin Mama berbicara seperti itu padamu. Dan sejak kapan kau jadi cemburuan seperti ini ha?," Sahut Allard tak kalah meninggikan suaranya. "Kenapa kau tak percaya pada ku... Hik... Aku bicara sejujurnya pada mu, aku hanya tak ingin kehilangan mu All..," Melisa menangis sejadinya, ia begitu terpukul mendengar ucapan sang suami.  Runtuh sudah pertahanan hidup gadis itu. Suaminya sudah tak percaya lagi padanya.  Ia harus apa? Bagaimana cara menjelaskan semuanya pada pemuda itu?. "Arggghh... Hentikan ocehan tak pentingmu itu...aku lelah jika kau tau," Allard mengusak rambutnya kasar,  dan memilih tidur dari pada mengurusi istrinya yang menurutnya sudah mulai gila itu. Sedang Melisa masih terisak. Perasaannya hancur malam ini. Tak ada tambatan hati,  tak ada sandaran hidup lagi. Suami yang ia percaya berlahan mengabaikan dirinya. Namun ia tidak boleh menyerah begitu saja, ia harus mempertahankan rumah tangga nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD