BTW 05

1952 Words
"Mulai detik ini...Aku akan mengawasimu Mel..,  tak kan ku biarkan Allard menyakitimu," batin Rammon penuh amarah. "Ah...baiklah Ram....kurasa aku sudah sedikit lebih tenang, lebih baik aku pulang sekarang," pamit gadis tersebut berusaha menampilkan senyum lebar nya, meski d**a nya terasa begitu sesak. "Baiklah...perlu ku antarkan?," Tanya pemuda itu menawarkan diri. "Tidak usah...Ram, terima kasih," tolaknya.  Rammon hanya tersenyum. Ia tau mengapa  Melisa tak mau ia antar. Pasti Lagi-lagi karena alasan si Allard b******n Bramastya tersebut. Pemuda itu pasti akan menghukum istrinya, jika melihat gadis tersebut di antar pulang oleh pria lain. Sekalipun itu sahabatnya sendiri. Keterlaluan memang. Sedang di Mansion Bramastya. Terlihat Lisa, Allard, besarta kedua orang tuanya sedang makan siang bersama. Sesekali bercanda dan tertawa seolah melupakan seseorang dari anggota keluarganya yang tak ikut serta dalam acara makan tersebut. Atau mungkin  keberadaan gadis itu sudah tak di anggap lagi. Kecuali Tuan Richard, pria itu yang terlihat paling mencolok tak nafsu makan. "Mona....dimana Melisa? Kenapa dia tak ikut makan bersama kita?," Tanya Tuan Richard datar, seketika menghentikan acara tertawa mereka bertiga. "Ck...mengganggu suasana,...! Asal kau tau dia pergi keluar entah kemana. Tau sendirikan ia cemburu pada Lisa. Dasar menantu tak tau di untung," decih wanita paruh baya itu dusta.  Allard yang baru saja menyadari ketidak beradaan sang istri, sedikit memicingkan sebelah alisnya mendengar ucapan sang Mama. "Dia keluar? Apa ia tak punya etika?  Sudah tau akan ada tamu, mengapa dia malah keluar, tanpa seijin ku?," Allard membanting sendok nya, emosi. Akhir-akhir ini ia sangat merasa di uji oleh sikap Melisa. Di tambah mendengar ucapan negatif dari sang Mama, menambah pemuda itu semakin membenci istrinya. "Sudahlah, kenapa kalian besar-besarkan masalah sepele seperti ini saja, mungkin Melisa butuh udara segar, secara di dalam Mansion ini kan terasa panas," sengaja mencibir seseorang penghuni baru di sana. Tuan Richard sedikit melirik ke arah Lisa, pertanda cibiran tersebut di tujukan untuk nya.  Karena ia tau Lisa bukanlah gadis baik-baik. "Kau selalu saja membela menantu kurang ajar mu itu," Nyonya Mona sedikit meninggikan suaranya. Lisa menyunggingkan sebelah bibirnya. Ia merasa menang karena nyatanya sang Nyonya besar  mendukung penuh akan diri nya di sini. Beberapa menit kemudian. Melisa sudah kembali, terlihat gadis itu kini tengah berjalan memasuki Mansion, dengan langkah gontai, ia lelah karena harus berjalan kaki dari taman. Namun seketika ia sedikit terkejut karena mendapati perdebatan mertuanya di ruang makan. "Maaf...aku baru pulang," lirihnya. Melisa  menengahi perdebatan. Walau ia tau pada akhirnya dirinya lah yang akan kena masalah, sebagai pelampiasan. Terlebih dari suaminya. "Baru pulang eoh....dari mana hm?  Mencari om-om?," Hina sang suami begitu menusuk. "All....kenapa kau bicara seperti itu? Aku hanya pergi sebentar ke  taman," Ketus Melisa, entah mengapa emosinya tiba-tiba tersulut, kala melihat wajah Lisa yang begitu menyebalkan di samping suaminya. "Oh...sudah mulai berani meninggikan suaramu hm?," Allard berdiri dan menghampiri Melisa. "PLAKKKK..... Satu tamparan bebas melayang di pipi gembil Melisa. Membuatnya terbelalak,  ia tak percaya Allard akan melakukan ini, selama menikah dengan pemuda itu, baru kali ini ia berani bermain kasar padanya. Kemana? Kemana Allard yang dulu sangat menyayanginya?  Rasa sakit di pipinya bekas tamparan dari sang suami tak seberapa, di banding sakit hati yang ia rasakan.  Sakit tak kasat mata, tak berbentuk, bahkan tak terlihat. Namun percayalah, rasa itu mampu membunuhnya secara berlahan. "Allard....apa yang kau lakukan ha? Apa aku pernah mengajarimu melakukan kekerasan pada istri mu?," Teriak Tuan Richard, pria itu sudah naik pitam. Ia tak terima jika gadis polos itu di perlakukan semena-mena. Pria itu beranjak menghampiri Melisa dan memeluknya erat, memberikan perlindungan sebagai seorang Ayah pada anaknya. Membiarkan gadis malang itu menangis di rengkuhannya. Allard terdiam,  menatap telapak tangannya yang memerah, bergetar. Ada sedikit rasa penyesalaan di lubuk hatinya yang paling dalam. Tapi egonya lebih tinggi di banding rasa bersalah di dalam dirinya. Ia memilih pergi keluar Mansion tanpa menghiraukan ucapan sang Papa. dan di susul oleh Lisa di belakangnya. Karena gadis itu merasa ia dapat memanfaatkan situasi genting seperti ini, untuk mendapatkan simpati dari Allard. "ck....dasar tukang drama," decih Nyonya Mona, sembari melenggang pergi meninggalkan Tuan Richard yang menatapnya nyalang, dan berusaha menenangkan menantu cantiknya. "Nak...kau harus sabar menghadapi Allard, dia begitu egois dan keras kepala, nanti Papa akan mencoba bicara pada nya, sekarang kau tenang dulu hm!," Tutur sang Ayah mertua, pria itu begitu sedih melihat tubuh ringkih itu bergetar di sebabkan isakan yang tak kunjung berhenti. Gadis manis itu sudah tak memiliki siapa-siapa, di tambah keluarganya seakan mengucilkanya.  Apa yang harus ia lakukan untuk membantu gadis di dekapanya ini. Harus kah ia meminta untuk berpisah dengan Allard, agar tak lagi menderita? Tidak, ia yakin Melisa tak akan setuju dengan hal itu. Semakin hari semakin bertambah juga siksaan yang Melisa rasakan. Karena selalu menyaksikan kemesraan sang suami dengan Lisa. Dan parah nya Allard tak merasa bersalah sedikitpun tentang hal tersebut, seakan tak menyakiti hati orang lain. Namun Melisa berusaha mencoba berfikir positif, Allard begitu mencintainya, tak mungkin pemuda itu akan menduakannya. Fikir Melisa, menepis semua pemikiran buruk di dalam otaknya. Entahlah ia terlalu naif atau terlalu takut menerima kenyataan. Melisa hanya bisa meratapi kesedihanya.  Gadis itu sudah putus asa, ia tak tau harus bagaimana untuk bisa mengambil kembali suaminya. Namun ia masih bersyukur karena Tuan Richard setidaknya masih berpihak padanya, pria itu begitu menyayanginya. Walau sesekali harus bertengkar dengan istri dan juga putra nya, hanya untuk membelanya, sungguh Melisa merasa tak enak hati. Allard semakin hilang akal, pemuda itu semakin nekat menyiksa istrinya dengan alasan yang tak penting. Tiada hari tanpa melakukan kekerasan pada gadis malang tersebut. Dan itupun tanpa sepengetahuan Tuan Richard,  karena jika pria itu tau, maka dirinya lah yang akan berbalik bermusuhan dengan pria paruh baya itu. Seperti hari ini, Melisa hanya ingin meminta waktu Allard untuk menghabiskan waktu berdua dengan nya, tidak lebih. Ia hanya ingin mengembalikan kehangatan keluarganya seperti dulu.  Namun apa yang justru terjadi, Allard malah membentaknya dan memilih pergi meninggalkannya seorang diri. Sudah cukup, Melisa diam selama ini. Ia harus menyelidiki kelakuan sang suami, apa yang pemuda itu lakukan di belakang nya. Ia tak ingin kehilangan pendamping hidup nya.  Hingga pada akhirnya, Melisa berinisiatif untuk meminta bantuan Rammon, untuk menyelidiki gerak-gerik Allard saat di luar Mansion. Terutama hari ini Melisa sedikit tenang karna Lisa tidak lagi tinggal di Mansion Bramastya. dan itu semua karena permintaan Tuan Richard. Tentunya Lisa sudah bersumpah serapah akan membalas perlakuan Tuan Richard, sekalipun itu adalah orang tua dari Allard. Sosok yang ia kejar selama ini. Tingkah Allard  semakin mencurigakan. Padahal ini hari minggu, tapi kenapa ia beralasan masuk kerja. Sangat tak masuk akal. Begitu pula dengan Lisa, gadis itu juga turut ikut pergi bersama Allard. Membuat Melisa semakin resah. Melisa di lema, ia harus senang atau sebaliknya atas kepergian Lisa dari Mansion nya. Ya! Tuan Richard yang menyuruh gadis itu pergi dari Mansion nya, karena semenjak kedatangan gadis itu keluarga nya selalu di dera masalah. Melisa bingung dengan perasaannya, antara senang atau sedih, senangnya ia tak lagi melihat suaminya di goda gadis tersebut. Dan sedihnya, selama Lisa tak ada di Mansion. Allard semakin sering keluar, entah kemana. Yang mana membuat kecurigaan Melisa semakin memuncak. Melisa benar-benar menaruh curiga pada suaminya, biarkan dia egois. Ia hanya takut jika Allard berani bermain di belakangnya bersama Lisa. Hari ini juga Melisa memutuskan harus meminta bantuan Rammon untuk menyelidikinya. Melisa begitu gelisah, ia tak pernah merasakan perasaan aneh seperti saat ini. Gadis itu terlihat trus mondar- madir,  kesana ke mari dengan menggenggam phonesel di kedua telapak tangannya. Sesekali ia menunduk, ,mengecek layar benda tersebut. Berharap Rammon segera menghubunginya.  Drttt....... Drtttt....... Drttt....... Akhirnya benda pipih yang ia pegang bergetar. Inilah yang sedari tadi ia harapkan. Dengan segera Melisa menggeser layar lock screen pada layar phonesel nya, berharap Rammon lah yang mengirimkan nya pesan. Dan benar saja, pesan itu di kirim oleh pemuda tersebut. Degub jantungnya kian berdebar tak karuan.  Entahlah ia begitu merasa tak tenang. Melisa memejamkan kedua matanya sejenak, berusaha merilekskan pikiran nya agar lebih tenang dan kemudian membuka pesan dari Rammon. Melisa membulatkan kedua bola matanya, tubuhnya mematung seketika. Bagai di hantam bongkahan meteor. Kepalanya mendadak pening, degub jantung yang tadinya memburu kini seolah berhenti berdetak saat ini juga. Ia tak percaya melihat isi pesan di layar phoneselnya, bukan pesan tulisan, melainkan pesan foto yang tergambar jelas bahwa Allard dan Lisa tengah berciuman, tanpa harus di jelaskan dengan kata-kata. Ia masih tak bisa percaya Allard akan menduakannya seperti ini. Melisa membekap mulutnya, menahan isakan tangis yang membuat dadanya semakin sesak. Sakit, sungguh rasa sakit itu tak bisa di ungkapkan sekedar dengan kata-kata. Tubuh ringkih itu merosot kebawah. Bersandar di pinggiran kasur king size nya. Air mata semakin deras menuruni pipi gembil nya. Gadis itu meremas dadanya kasar, terasa semakin sesak untuk bernafas. Nafasnya seakan tercekat di tenggorokan.  "Allard.... Kenapa kau tega melakukan ini padaku? Kenapa, kenapa All? Apa salah ku? Mana Allard yang selama ini ku kenal? Hik....hik....ini sakit...sangat sakit,,"  Melisa menangis pilu, seraya memukul d**a nya keras, berharap rasa sakit itu reda. Namun tidak, rasa itu kian menjadi. Tiada lagi sandaran hidup untuknya.  Orang yang dulu sangat memujanya kini bahkan sudah meninggalkanya. Ia kecewa, ingin rasanya ia memukul pemuda yang berstatus sebagai suaminya tersebut. Tapi ia tak bisa. Rammon mengusak rambutnya kasar. Ia sangat marah, bagaimana tidak? Ia melihat Allard bermesraan dengan Lisa. Tanpa memikirkan bagaimana perasaan istrinya. Melisa begitu tersiksa karena mencintai orang i***t seperti Allard. Pemuda yang begitu bodoh, yang bahkan tak bisa membedakan mana bongkahan berlian dan mana secuil batu krikil. Allard Bramastya, pemuda yang sudah di buta akan kecantikan  seorang gadis blesteran Amerika itu.  "Sialan.... Allard b******k!....beraninya kau menghianati Melisa. Apa matamu sudah di butakan oleh gadis itu?," Geram Rammon.  Ia teringat pada Melisa, gadis polos yang ternistakan oleh suaminya sendiri.  Ia yakin gadis itu sedang terpuruk saat ini. Tanpa menunggu lama Rammon segera menuju ke Mansion Bramastya. Bermaksud  untuk menemui Melisa. Masa bodo, jika ada yang berfikiran negatif tentang nya dan juga Melisa. Yang ia inginkan hanya melihat bagaimana keadaan gadis tersebut. Tak butuh waktu lama, Rammon pun sampai di kediaman Melisa. Ia berdiri di depan pintu besar gedung tersebut. Menekan tombol yang menempel di sisi kanan pintu itu. Ting..... Tong...... Ting.....Tong... Melisa segera menghapus air matanya cepat. Saat mendengar bel pintu berbunyi. Ia menuruni tangga dengan langkah gontai, menuju ke arah pintu. Dan membuka nya malas. Sontak ia sedikit tersenyum melihat siapa yang datang. "Rammon," reflek Melisa langsung memeluk tubuh Rammon erat. Tak peduli jika ada orang yang melihatnya. Ia hanya butuh sandaran saat ini. "Mel..... tenanglah kau tak apa hm? Ingatlah masih ada aku di sini, jadi jangan menangisi orang yang sama sekali tak memikirkanmu. Kau tau, air mata mu sangat berharga. Sekarang berhenti menangis, karena apa? Karena air mata mu akan terbuang sia-sia," Rammon mengusap lembut air mata gadis itu dan mengelus surai panjangnya begitu sayang. "Ow... Ow....begini ternyata kelakuan mu, saat suamimu sedang keluar? Dasar jalang murahan...," tepuk tangan seorang pemuda di belakang Rammon. Tanpa di duga Allard sudah kembali pulang dan melihat adegan berpelukan antara Rammon dan Melisa.  Tanpa basa-basi Allard langsung menyeret tangan Melisa, kasar. Menuju kamar nya dan mengunci pintunya dari luar. Kemudian ia kembali ke bawah untuk menemui Rammon.. "Ck.... tak ku sangka ternyata sahabatku sendiri sudah berani menusuk ku dari belakang," sindir Allard dengan berseringai, seraya menyenderkan pundak nya di mulut pintu. "Oh ya? Lalu apa kabar dengan dirimu tuan Allard yang terhormat?," Balas Rammon kelewat santai. " Apa maksutmu? apa kau menyukai istriku? Ambil saja...aku juga sudah bosan dengannya," mendengar penuturan Allard. Membuat Rammon emosi, pemuda itu merepalkan kedua tangannya. Otaknya serasa mendidih. Ia kecewa, bagaimana bisa Allard bicara seperti itu, seakan Melisa tak ada harga nya baginya.  Namun ia mencoba bersabar agar tak memukul wajah b******n di hadapannya ini. "Begitu ya...! Baiklah ku peringatkan pada mu, jangan pernah menyesal dude... jika suatu saat, aku benar-benar mengambil Melisa darimu. Gadis itu begitu berharga, jika kau tau. Kau sudah bodoh karena membuang sebuah berlian demi segelintir krikil di jalanan," decak Rammon dan kemudian melenggang pergi meninggalkan Allard, yang terlihat tengah menggerutu marah. Entahlah, Allard merasa begitu benci dengan Rammon. Seakan pemuda itu sudah terang-terangan mengajaknya bertarung. Namun Allard kembali tersenyum, ia merasa tertantang  oleh pemuda itu. "Rammon..... kau telah salah menetapkan diriku sebagai lawanmu, kau tak sebanding dengan ku boy,," kekeh Allard dalam hati, meremehkan nyali Rammon yang menurutnya sangat jauh di bawah nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD