Aleesa memalingkan wajahnya menghindari tiga orang itu, jantungnya berdentuman tak beraturan. Dia tidak menyangka akan bertemu keluarganya di tempat itu. Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan dari mereka?
Untungnya ia mampu cepat menguasai keadaan. Ia tetap berusaha bersikap profesional. Persetan dengan apa yang mereka pikirkan, ini menyangkut uang tiga puluh juta yang sudah masuk ke rekeningnya.
Aleesa terus mengikuti kemana pun Jose melangkah. Satu hal yang membuatnya bertanya-tanya: gadis di yang hadir di sana cantik-cantik dan seksi, tapi kenapa masih mengajaknya? Dasar bule aneh!
"Aleesa .... " Panggil ayah.
Aleesa tidak langsung menoleh pada ayah, orang pertama yang diliriknya adalah Jose. Ia tidak mau pria asing itu salah paham. Jose menoleh ke Aleesa lalu bergantian menatap ayah.
"Apa Anda mengenalnya?" Tanya Jose pada ayah.
"Dia putri saya, Mister." Jawab ayah sembari mendekati Aleesa.
Aleesa menunduk saat Jose menatapnya tajam. Ingin ia menjelaskan semua yang terjadi, ingin rasanya ditumpahkannya semua isi hatinya, tapi dia tidak tahu harus mulai dari mana. Ia menunduk, matanya menghangat. Dia tidak mengerti mengapa selalu ingin menangis setiap bertemu ayah dan bunda.
"Aleesa..., benar Pak Alfan ayah kamu?" Tanya Jose memastikan.
Aleesa mengangguk, matanya melekat menatap lantai.
Sayup sayup terdengar suara suara sumbang di sekeliling. Para hadirin heran dan bertanya-tanya keberadaan Aleesa selama ini: mengapa tidak pernah hadir di acara kantor seperti Nela. Bahkan mereka tidak tahu jika pak Alfan memiliki dua putri. Setahu mereka hanya Nela putrinya.
Jose megernyitkan dahi. Walau baru mengenal Aleesa, tapi dia yakin gadis itu wanita baik-baik. Lalu mengapa menempuh jalan ini hanya untuk mendapatkan uang? Bukankah gaji ayahnya lebih dari cukup untuk mencukupi kebutuhannya?
Entahlah, ia tidak ingin menebak nebak. Masih banyak waktu untuk mengetahui jawabannya.
Jose beranjak menuju meje yang sudah disiapkan khusus untuknya. Sigap Aleesa megikutinya. Seuntai senyum mengembang di pipinya saat Jose menarik kursi dan mempersilakannya duduk.
Aleesa sangat senang mendapat perlakuan istimewa dari Jose. Walau hanya perhatian kecil seperti menarik kursi dan mempersilakannya duduk.
Aleesa melirik satu persatu dari empat lelaki berjas hitam di depannya, termasuk ayah. Belakangan ia tahu jika mereka semua adalah jajaran direksi perusahaan. Mereka sedang membicarakan sesuatu yang sangat membosankan, penuh aturan yang kaku.
Untungnya Pak Bram sempat memberi sedikit pelatihan bagaimana bersikap di tempat seperti ini. Semua ilmu dari Pak Bram, hari ini benar-benar berguna. Cara duduk, makan, minum, bahakan cara tersenyum.
Jose melirik Aleesa dari balik kaca mata hitamnya, ia tersenyum simpul, diam-diam ia mulai mengagumi Alisya.
Aleesa tertegun melihat gadis gadia di sana sangat agresif, bahkan lebih agresif dari Ayin. Mereka berlomba menarik perhatian Jose. Mereka tidak memperdulikan keberadaan Aleesa disamping lelaki itu. Tanpa risih, gadis-gadis itu merayu Jose dengan manja. Apalagi Vanya, mungkin karena merasa anak Direktur Utama, ia lebih berani dari cewe yang lain. Satu hal yang membuat Aleesa miris, Nela juga ikut bersaing dengan gadis lain untuk mendapatkan perhatian Jose.
Melihat pemandangan itu, selera makan Aleesa menjadi hilang. Untungnya ada Lala sekretaris Mister Willi, ia sangat ramah. Tidak seperti Velly sekertaris Mister Adolf yang terkesan sangat angkuh.
Setelah dua jam larut dalam tawa dan canda, akhirnya acara selesai. Alisya menarik napas lega, ia ingin segera meninggalkan tempat itu. Moodnya rusak melihat tingkah gadis-gadis itu. Apalagi setiap bertatap mata dengan bunda, nyalinya ciut.
"Aleesa, kamu mau ikut kembali ke Bali atau mau tinggal disini berlibur di Jakarta?" Tanya Jose.
"Yang benar saja, Sa, liburan semester begini bukannya pulang ke rumah malah kelayapan di Bali?" Tiba-tiba saja Nela menyahut pertanyaan Jose.
"Maaf Mbak Nela, Aku ada pekerjaan di Bali," dalih Aleesa.
"Pekerjaan apa?" tanya Nela usil.
Aleesa berpikir keras mencari jawaban yang tepat.
"Aleesa asisten pribadi saya." Celetuk Mr. Jose dengan tenang.
Aleesaa melirik Jose, matanya berkaca-kaca. Seuntai senyum kaku terlukis di bibirnya.
"Ya sudah, ayo kita kembali ke Bali." ujar Jose beranjak menuju lift.
Alisya mengikuti Jose tanpa menoleh pada siapa pun. Matanya fokus pada punggung Jose. lelaki itu melambatkan langkahnya lalu mensejajarkan diri dengan Aleesa.
Perlakuan Jose sungguh membuat Aleesa tersanjung. Lelaki itu tidak memperlakukannya seperti wanita bayaran.
**
"Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Mister Jose sesaat setelah pesawat tinggal landas.
"Tanya apa?" sahut Aleesa sembari menikmati secangkir coklat hangat yang disuguhkan pramugari.
"Mengapa pekerjaan ini yang kamu pilih? Aku rasa gaji ayahmu sangat cukup untuk memenuhi semua kebutuhanmu."
Alisya menatap gumpalan awan biru yang tersusun indah dari balik kaca jendela, ia menarik napas dalam untuk menormalkan degupan jantung yang tidak teratur.
"Menurut bunda, sejak saya dikandungan, keluarga itu selalu sial. Ada saja masalah datang silih berganti. Apalagi saat masih usia empat tahun, hampir saja nyawa Mbak Nela melayang karena ulah saya. Bunda tidak mau merawat saya, akhirnya Pakde lah yang membesarkan dan membiayai semua hidup saya.
Saat memutuskan kuliah di Surabaya, ayah berjanji akan membiayai kuliah saya. Tapi itu berlangsung hanya dua bulan, setelah itu saya harus berjuang sendiri membiayai hidup di kampung orang. Sebenarnya Pakde beberapa kali menawarkan bantuan, tapi saya tolak. Sudah terlalu banyak saya menyusahkan mereka. Lagi pula, saya sudah cukup dewasa untuk bisa bertahan hidup." tutur Aleesa panjang lebar.
Jose menatapnya sayu, entah apa yang ada di kepala lelaki itu.
Aleesa menarik napas lega, karena sudah menjelaskan permasalahannya.
"Tapi, terlalu beresiko jalan yang kamu tempuh untuk mendapatkan uang. Kebetulan saja kamu bertemu lelaki baik hati sepertiku, kamu aman." tandasnya.
Aliseesa tersenyum, tapi tidak mau kalah.
"Mister sendiri kenapa mencari wanita bayaran, memangnya Mister tidak punya istri atau kekasih?" tanyanya hati hati. Walau bagaimana pun, ia takut Jose tersinggung.
"Aku pria dewasa yang punya banyak uang, jadi bebas melakukan apa saja." Jawabnya membanggakan diri.
"Iya. Suka atau tidak, uang yang menentukan jalan hidup seseorang... Saya begini karena tidak punya uang. Mister begitu, karena banyak uang!" Sejenak Aleeaa menarik napas
"Tapi saya yakin, Mister orang baik!"
Mendengar pujian Alisya, Jose tertawa, "Ingat ya, tidak ada tambahan fee, jadi jangan buang energi untuk memujiku"
"Kalau pun Mister ingin memberi tambah fee lagi, belum tentu saya mau menerimanya. Itu namanya uang tips! Saya tidak mau punya mental tips!" Jawab Alisya sok tegas.
Mata keduanya saling beradu, tiba-tiba tawa mereka pecah bersamaan. Sejak saat itu, suasana lebih cair. mereka menjadi akrab. Bahkan Jose sudah berani mengusap-usap kepala gadis itu saat merasa kesal dengan sikapnya yang keras kepala. Walau Aleesa protes, Jose acuh saja. Bahkan ia mengulangnya lagi, hingga jilbab Aleesa berantakan.
"Dasar bule aneh." gumam Alisya.
Baru saja mereka turun dari pesawat, telphon Aleesa berdering. Sebuah panggilan masuk dari Yasita, buru-buru Aleesa menjawab.
"Halo, Ta ..., lo di mana?"
"Gue di Hotel, tolongin gue, Sa,"
"Ta, lo kenapa?"
"Gue, sekarat. Gue digebukin."
Tangisan Yasita terdengar pilu.
"Oke lo tunggu di situ, gue segera ke sana."
Aleesa menceritakan semua tentang Yasita pada Mister Jose, tanpa diminta, Jose menawarkan diri membantu mencari Yasita.
**
"Astagfirullah, Yasita, kenapa jadi begini? Siapa yang tega memukulmu sampai babak belur begini?"
Aleesa merangkul tubuh Yasita yang terkulai lemas di tempat tidur. Seluruh tubuhnya memar dan berbau amis darah. Sepre putih yang di tidurinya juga penuh darah. Aleesa membalut tubuh sahabatnya itu yang tak lagi memakai busana dengan selimut. Tak lama berselang, ambulan yang di hubungi Jose tiba. Tubuh Yasita di bawa ke ambulan dengan tandu. Aleesa dan Jose mengikuti ambulan menuju rumah sakit.
Yasita di bawa ke UGD, sepertinya kondisinya cukup kritis, dokter dan perawat bergerak cepat, tekanan darahnya drop. Aleeaa dan Jose diminta menunggu di luar.
Tak henti hentinga Aleesa berdoa semoga Yasita selamat dari masa kritisnya. Ia tidak rela kehilangan shabatnya itu. Walau mulut Yasita suka berkata kasar, tapi cuma dia yang mau memahami Aleesa.
"Maaf, keluarga Yasuta ada?" tanya seorang dokter.
"Saya temannya, Dok. Bagaimana kondisinya?" tanya Aleesa penuh harap.
"Kami sudah berusaha menolongnya, tapi sepertinya takdir berkata lain."
"Maksudnya?" Tanya Aleesa memperjelas.
"Nyawanya sudah tidak tertolong." Jawab dokter itu.
Aleesa terduduk lemas. Kepergian Yasita menyisakan tanda tanya di hatinya. 'Siapa orang yang sanggup memukulinya tanpa ampun seperti itu. Apakah kliennya sendiri? Durjana, semoga pelakunya mendapat balasan yang setimpal,' grutu Aleesa dalam hati.
Pihak rumah sakit segera menghubungi keluarga Yasita.
Aleesaa memberanikan diri menemui Pak Bram, menanyakan pertanggung jawabannya atas meninggalnya Yasita, tapi dengan entengnya lelaki misterius itu berkelit dan cuci tangan.