"Duduk sini, temani aku sarapan!" ujarnya menghentikan langkah Aleesa.
“Yes!” teriak Aleesa berbisik, wajahnya merona. Tanpa membantah, gadis itu kembali mendekat, dan duduk di depan pria asing itu.
Di dekatkannya roti bakar dan jus stoberi pada Jose.
"Tanks," ujar Jose sembari meraih jus.
"Mister, apa boleh saya tanya sesuatu?" ujar Aleesa takut-takut.
"Boleh, mau tanya apa?"
"Tadi malam, Mister tidur di mana?" tanyanya sembari menoleh.
"Ini kamar saya, jadi terserah saya mau tidur dimana." Jawab Jose angkuh.
"Iya. Saya tahu ini kamar Mister, makanya saya tanya!" jawab Aleesa kesal. Jemarinya meremas busa sofa yang didudukinya.
Jose meliriknya tajam, memperhatikan gadis lekat. Tatapan itu sukses membuat Alisya berkidik.
"Saya hanya ingin memastikian saja kalau kita tidak tidur bersama. Saya belum pernah tidur dengan lelaki." ujar Aleesaa dengan wajah cemas.
Mendengar ucapan gadis itu, Jose tertawa lebar. Ia sangat menikmati waja panik Aleesa.
"Apa kau ingin mengatakan bahwa kau masih perawan, Hm?" tanyanya menaikkan alis.
Mendengar kata perawan, Aleesa tersedak dengan air liurnya sendiri, sontak wajahnya memerah. Ia sangat malu mendengar kata-kata itu keluar dari lawan jenisnya. Disembunyikannya wajahnya dalam dalam.
Jose tersenyum simpul melihat wajah Aleesa memerah. Jarang sekali ia melihat pemandangan langka itu.
“Tenang saja, jika kau masih perawan, segel itu masih utuh di sana!” ujarnya terbahak.
Aleesa berpaling, menyembunyikan wajahnya yang memerah. “Bule sinting!” gumamnya mendesis.
“Berhentilah mengumpatku! Telingaku cukup tajam untuk mendengar desahanmu!” Senggak Jose dengan wajah datar.
Aleesa terkesiap dan tidak menduga Jose mendengar umpatannya.
Sesaat kemudian, lelaki itu kembali menyantap sarapan paginya tanpa mempersilakan gadis itu. Ia sengaja melakukannya, penasaran apa yang akan dilakukan gadis itu.
Aleesa salah tingkah, ia mengusap hidungnya yang tidak gatal.
"I'm sory," ujarnya pelan.
Jose memandangnya tanpa ekspresi. Tatapan paling misteri bagi Aleesa.
Aleesa menatap roti bakar di meja dengan mata berbinar, perutnya sudah sangat lapar. Tapi tidak berani mengambilnya sebelum dipersilakan.
Jose sengaja membiarkannya, ia menikmati kudapannya sembari memperhatikan Aleesa yang salah tingkah.
Karena tidak juga ditawari sarapan oleh pria asing itu, Aleesa nekad mengambil sarapannya. Dasar bule tidak punya perasaan.
Jose mengulum senyum saat Aleesa mengambil roti bakar di meja dengan pura-pura cuek. Ditatapnya gadis itu tajam.
Aleesa pura-pura tidak melihat, ia menghindari kontak mata denagan lelaki itu.
Usai sarapan, Aleesa meminggirkan meja troli itu ke sudut ruangan dekat pintu keluar. Lalu kembali duduk di depan Jose.
"Pagi ini, aku akan berangkat ke Jakarta, bisa temani aku?"
"Hm?” Sejenak Aleesa menoleh. “Ada tambahan fee?" Tanyanya dengan wajah lugu.
"Berapa fee yang kau inginkan?"
"Tiga juta!" jawabnya tegas sembari menunjukkan jarinya dengan jumlah tiga.
"Aku bisa membayarmu sepuluh kali lipat!”
"Dasar sombong!" gumam Aleesa mengusap gidung menutupi mulutnya.
"Bagaimana, setuju?"
"Oke. Sepuluh kali lipat bayar di depan." tantangnya.
"Setuju. Berapa nomer rekeningmu."
Tidak berpikir lama, Aleesa menyebutkan nomer rekeningnya. Ia menahan napas melihat Jose mengetik seseatu di hapenya.
"Sudah terkirim. Setelah sarapan kita berangkat ke Jakarta."
Aleesa tercengang, rasanya bagai mimpi. transaksi apa yang barusan dilakukannya? Jantungnya berdetak kacau. Tidak percaya jika kini di rekeningnya ada uang tiga puluh juta.
Sejenak ia berpikir ingin ke mal untuk membeli baju. Tidak mungkin dia memakai baju yang sudah dipakainya sejak kemarin siang. Baru saja ia ingin mengutarakan keinginanya pada pria asing itu, suara bel pintu berbunyi.
Jose beranjak dari duduknya lalu membukakan pintu.
"Hai mr. Jose," sapa Dewi mengucap salam.
"Hai, nona Dewi, silakan masuk!" ujarnya membuka pintu lebar.
"Tanks," ujarnya, lalu masuk menemui Aleesa.
"Hai Aleesa, sudah selesai sarapan? Aku akan membantu mendandanin kamu!”
Aleesa tertegun menatap Dewi, sesaat kemudian ia menoleh Jose. Lelaki itu mengangkat alisnya.
"Saya belum mandi, Mba. Tunggu sebentar, ya!" ujarnya nyengir.
"Oke, aku tunggu, cepatlah mandi! Jangan sampai Mister Jose menunggu terlalu lama."
Aleesa menganghuk lalu bergegas mandi. Usai mandi, ia memakai baju yang dibawakan Dewi. Dewi segera memoles wajah gadis itu dengan make up.
Jose tertegun melihat penampilan Aleesa, cantik. Tapi tidak ada reaksi yang berlebihan di wajah bule itu, semua datar saja.
“Sudah? Ayo berangkat!” ujarnya berjalan meninggalkan Aleesa yang masih grogi ditatap lelaki itu.
Aleesa mempercepat langkahnya mengejar Jose. Lalu masuk ke dalam lift. Ia menunduk, tidak sanggup melihat mata Jose yang terus menatapnya melalui pantulan dinding lift.
Setibanya di lobi, sebuah mobil hitam sudah menunggu. Seorang lelaki berjas putih menunduk memberi hormat pada Jose lalu membukakan pintu kabin mobil.
Jose mempersilakan Aleesa untuk naik duluan.
Mobil melacu kencang menuju bandara Ngurah Rai.
**
Mata Aleesa seolah tak berkedip melihat interior pesawat pribadi milik Jose. Mulutnya terbuka memandang takjub ke sekeliling.
“Maaf Nona, silakan duduk, pesawat akan segera take off,” tegur pramugari yang sejak tadi memperhatikan tingkahnya.
“Oke, sory!” Aleesa bergegas duduk di depan Jose. Ia kembali salah tingkah saat lelaki itu memandangnya lekat. Ah, salah posisi.
Aleesa memalingkan wajahnya ke jendela pesawat membuang rasa groginya.
Setelah pesawat terbang dengan ketinggian yang stabil, Jose membuka laptopnya, ia tampak sibuk mengerjakan sesuatu.
Dua jam penerbangan terasa sangat panjang bagi Aleesa. Bagaimana tidak? Baru kali ini ia menaiki pesawat. Ada rasa takut yang menyelinap di hatinya. Tapi karena Jose dan kru pesawat terlihat santai saja, Aleesa mencoba menenangkan dirinya. Semua baik-baik saja.
Setibanya di bandara cengkareng, pesawat segera parkir. Terlihat sebuah helikopter menunggu di dekat tangga pesawat pribadi milik Mister Jose. Aleesa berjalan disamping Jose menuruni tangga pesawat. Ia mencoba bersikap tenang dan berjalan dengan anggun seperti yang pernah diajarkan Dewi.
“Mister, apa kita akan naik helikopter itu?” tanyanya berbisik.
“Hm!” jawab Jose datar.
Tubuh Aleesa menegang, ngeri membayangkan ia harus menaiki heli itu. Dipejamkannya matanya saat heli mulai bergerak ke atas, jemarinya erat menggenggam besi tempatnya duduk.
“Buka matamu! Apa kau akan melewatkan pengalaman ini begitu saja?” tanya Jose berusaha menenangkan Aleesa.
Aleesa menelan ludah, pelan dibukannya matanya. Terlihat gedung gedung pencakar langit bersusun rapi, jalanan yang penuh kendaraan tampak berkotak kotak. Semua terlihat kecil dari atas sana. Aleesa mendongakkan kepala ke kaca jendela. Ia merinding berada pada ketinggian, apalagi helikopter yang ditumpanginya bergoyang goyang membuatnya semakin was-was.
Tidak lama kemudian, heli mendarat di atap gedung. Aleesa setengah berlari mengikuti langkah Jose menjauh dari heli.
Seorang bule berjas hitam menyambut mereka,
“Hai Jose” ujarnya menjabat tangan Jose lalu melirik Aleesa.
"Ini Aleesa, temanku" ujar Jose.
"Halo Aleesa, aku Willi, senang bertemu denganmu" ucapnya sembari menjulurkan tangan.
Seperti biasa, Aleesa enggan bersalaman. "Hai Mr, Willi," jawabnya sambil menarik tangan sebelum bersentuhan.
Sejenak Willi tertegun, kemudian melirik Jose. Seperti ingin menanyakan sesuatu.
Jose memasang tampang datar. Lalu berjalan menuju lift. Bergegas Willi dan Aleesa mengikuti dari belakang. Willi menekan tombol angka sembilan.
Saat pintu lift terbuka, tampak keramaian dengan berbagai hidangan memenuhi meja. Aleesa mengikuti setiap langkah Jose bagaikan pengawal pribadi. Ia berusa bersikap tenang saat semua mata tertuju padanya. Sesekali ia mencuri pandang, memperhatikan para hadirin yang mengaqasinya. Matanya terbelalak melihat tiga sosok yang sangat ia kenal.
"Ayah, Bunda. Mba Nela." gumamnya.