Part 7

1161 Words
BAB 7 Pagi ini udara terasa sejuk, setelah shalat subuh, Aleesa duduk di balkon sembari menikmati secangkir kopi. Dari tempatnya duduk, pemandangan pantai terlihat indah. Semburat mentari pagi malu malu menampakan dirinya. Wajahnya masih terlihat sedih, kepergian Yasita yang tiba-tiba dan tragis membuatnya terpukul. Padahal banyak yang ingin ia ceritakan pada sahabatnya itu. Dering telphon menghentikan lamunannya pada Yasita. Aleesa mengangkat panggilan tersebut. "Halo, Mister" "Halo, Cantik, sudah bangun?" "Sudah sejak tadi." "Turunlah, aku menunngumu di lobi." "Baik, Mister, tunggu sebentar." Aleesa berdandan minimalis memakai busana seadanya, lalu bergegas turun ke lobi. Pekerjaan yang tidak jelas itu, sudah sepakat mereka akhiri. Aleesa terlihat lebih santai dari sebelumnya. Sudah tidak terlihat ketegangan dan kecemasan di wajahnya. Ia merasa sangat beruntung tidak bernasib sama seperti Yasita. Dan dia bersumpah tidak akan mau melakukan pekerjaan itu lagi. Sesampainya di lobi, Jose sudah menunggunya. Pria asing itu mengajaknya sarapan bersama. Jose mengajaknya sarapan disebuah taman yang indah, dihiasi bunga yang tertata rapi dengan d******i warna merah. Keduanya duduk di sudut taman, memandang deburan pantai. "Hari ini, Kamu jadi pulang ke Jogja?" tanya Jose, matanya lekat memandang Aleesa. "Jadi, Mister" "Bagaimana kalau aku mengantarmu?" "Jangan, Mister. Itu sama saja cari masalah?" "Cari masalah apa? Niatku baik, kan, ingin mengantar kamu pulang?" "Iya, tapi pakde tidak suka kalau saya dekat dengan lelaki yang bukan mahram saya." "Bukan mahram? Maksudnya?" "Maksudnya, lelaki yang tidak punya ikatan darah karena keturunan, saudara sepersusuan sehingga halal untuk menikah secara syariat islam." ucap Aleesa mencoba menjelaskan. "Owh, ya sudah kalau begitu, lain waktu saja. Lagi pula aku juga masih ada urusan yang harus ku selesaikan." ujar Jose sembari menyeruput secangkir kopi hangat di tangannya. Mendengar jawaban Jose, ada rasa kecewa di hati Aleesa. Padahal dia ingin Jose sedikit memaksanya. Menunjukkan keseriusannya ingin berkunjung menemui pakde. Tapi buru-buru Aleesa menepis rasa kecewanya. Dia cukup sadar diri. Dia dan Jose bagai bumi dan langit. ** Aleesa merasa seperti mimpi, dalam tiga hari berturut-turut dia sudah berkali kali naik pesawat. Sesuatu yang tidak pernah terbayang sebelumnya. Dan kini dia kembali duduk di atas bongkahan batu karang. Tempat favoritnya melepas penat dan mencurahkan isi hatinya pada alam. Dari batu karang itu, ia bisa menatap laut lepas diantara tebing yang menghimpit. Wajah Jose masih terbayang di pelupuk matanya. Ia berharap suatu saat nanti masih ada kesempatan bertemu dengannya lagi, dengan suasana yang berbeda tentunya. ** Dua tahun kemudian. "Sa, dapet salam," ujar Silla, teman sekantor Aleesa. "Dari siapa?" "Dari abang gue." Aleesa menoleh Silla sembari mengernyitkan dahi, "Kalau becanda jangan kelewatan, Non!" ujarnya dengan wajah datar. "Siapa yang becanda, gue serius. Mas Isam sendiri yang meminta gue menyampaikan salamnya ke elo." "Hm, salam balik buat Mas Isam," jawab Aleesa yang kembali melanjutkan makan siangnya. Gadis bertubuh langsing itu, tidak terlalu menghiraukan ucapan Silla. Walau dua tahun sudah berlalu, dia belum bisa melupakan Jose. Semakin dia berusaha melupakan semakin dalam rasa itu. "Seteah, lo, menginap di rumah gue tempo hari, Mas Isam, sering bertanya tentang lo, Sa. sepertinya dia serius." "Memangnya, Mas Isam belum Nikah?" "Belum kali, masa iya kalau sudah nikah berani titip salam sama temen adeknya, bisa gue laporin dia sama istrinya." Aleesa tersenyum simpul melihat reaksi Silla. Sahabatnya itu cukup gencar mempromosikan kakak kebanggaannya itu. Sebenarnya Isam cukup menarik, mungkin jika Aleesa tidak pernah mengenal Jose, dia tidak keberatan menerima Isam. Dia yakin pasti banyak gadis di luar sana yang suka pada lelaki itu. Orangnya cukup baik, ramah, sopan, dan humoris. Tapi sayang, hati Aleesa sudah terlanjut jatuh hati pada Jose. Pulang dari kantor, Silla mengajaknya makan di sebuah mal. Dengan senag hati Aleesa menerima ajakan itu. kebetulan dia juga sedang jenuh. mungkin jalan-jalan di mal bisa mengurangi rasa bosan. Sembari menunggu makanan, tiba-tiba Isam muncul di hadapan mereka. "Assalammualaikum, Hai, Aleesa, apa kabar?" sapanya sembari duduk. "Waalaikum salam, baik, Mas Isam ..., Mas Isam ada di sini juga?" tanya Aleesa curiga, dia yakin pasti Silla yang sengaja mengatur pertemuan itu. Aleesa melotot pada gadis berjilbab biru di depannya. Silla melempar senyum lebar. Aleesa gemas sekali pada Silla yang tidak meminta persetujuan terlebih dahulu. Dan sialnya lagi, Silla malah pergi meninggalkannya dan Isam di tempat itu berduaan. "Gue tinggal sebentar, ya, mau ke toilet," ujar Silla bergegas pergi. Mata Aleesa mengiringi langkahnya. "Modus," gumamnya. Silla cekikian melihat reaksi Aleesa. "Mas Isam, terimakasih atas titipannya kemarin," "Sama sama, Sa, bagaimana, kamu suka?" "Suka, donk." "Syukurlah, saya kira kamu menjadikannya kipas untuk menngusir nyamuk. Soalnya tidak ada balasan," ujarnya tersenyum sembari menyisir rambutnya dengan tangan. "Dih, Mas Isam bisa saja. Maaf, Mas, bukan Saya tidak mau balas, tapi tidak tahu mau balas apa," "Tenang saja, tidak masalah kalau kamu belum bisa memberi jawaban, saya bisa mengerti. Tapi, jika boleh tahu, apa kamu menunggu seseorang? Soalnya menurut Silla, kamu tidak punya pacar." Sejenak Aleesa tertegun. “Entahlah, Mas… Dibilang menunggu, tidak juga, sih. Tapi saya masih berharap suatu hari nanti bertemu dengannya lagi." "Kalian sudah putus?" "Pacaran saja tidak." Isam mengangguk anggukkan kepala, mencoba memahami perasaan Aleesa. "Tapi dia tahu kalau kamu menunggunya?" "Mungkin tidak, bahkan saya tidak yakin dia ingat pada saya." Isam mengernyitkan dahi. "Lalu, kenapa kamu menunggunya? Mengapa kamu menyiksa diri sendiri dengan mengharapkan sesuatu yang tak pasti?" Aleesa terhenyak mendengar ucapan Isam. Matanya beralih pada keramaian pengunjung yang lalu lalang. Pertanyaan Isam mengusik hatinya. Menurutnya, ucapan lelaki itu ada benarnya, untuk apa dia menunggu sesuatu yang tidak pasti bahkan menyakiti diri sendiri dengan perasaan yang tidak menentu. "Mau sampai kapan kamu menunggunya?" sepasang mata teduh itu menatap Aleesa lekat. Aleesa hanya mengangkat kedua bahu, menjawab pertanyaan Isam. "Temui dia, Sa, bicaralah padanya, setelah itu tentukan sikapmu. Tidak ada gunanya kamu menunggu dan berdiam diri." ujarnya menasehati. "Menemuinya? Kemana? Lagi pula, mana mungkin saya berani mengungkapkan perasaan saya." "Bahkan kamu tidak tahu kemana harus mencarinya? Dan tidak berani memberitahu perasaanmu padanya? Sakit kamu, Sa! Apa kamu sedang menikmati penderutaanmu?" Tandasnya. Alisya kembali tertegun. Apa mungkin dia menikmati penderitaan ini? "Mas Isam, beri saya waktu dua minggu, setelah itu saya akan menjawab pertannyaan Mas Isam." "Oke. Apapun keputusan kamu nanti, aku akan terima." Aleesa mengangguk. Pesanan yang mereka tunggu sudah terhidang di meja. Bergegas Aleesa menghubungi Silla yang menghilang entah kemana. Setelah selesai makan ketiganya mengobrol santai, dan berjalan-jalan mengitari mal sekadar cuci mata, kemudian pulang. ** Aleesa tinggal di sebuah kontrakan kecil di kawasan kemang. Dia memilih hidup mandiri di kamar sepetak yang tidak terlalu besar. Sebenarnya ayah mengajaknya tinggal di rumah, tapi ia menolak. Ia canggung berada di rumah itu. Bahkan selama setahun bekerja di Jakarta, baru satu kali dia datang berkunjung ke rumah orangtuanya. Selebihnya, dia pulang ke Jogja ke rumah Pakde. Ia merasa disanalah kampung halamannya, pakde dan bude lah keluarganya. Weekand ini, ayah mengundangnya ke acara Family Gathering yang diadakan setahun sekali di kantor. Tadinya ia malas untuk ikut. Ia malas bertemu gadis-gadis nyinyir di kantor ayahnya bekerja itu. Tapi keinginannya bertemu Jose mengalahkan rasa malasnya. Ia berharap Jose datang ke acara itu. Aleesa segera menghubungi Ayah, memberitahu keinginannya untuk ikut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD