Part 8

1042 Words
Aleesa berlari kecil menuju ruang tunggu. Napasnya tersengal, sejenak ia mengatur napas. "Kamu, tuh, ya, Ca… ditanyain dari kemaren nggak di jawab, tiba mau berangkat minta ikut," oceh bunda kesal. Entah mengapa ia masih saja belum bisa memperlakukan Aleesa seperti dia memperlakukan Nela. "Maaf, Bun. Eca terlambat menjawab." sahutnya sopan. Aleesa menarik napas lega. Untung saja masih tersedia tiket, jadi dia bisa ikut penerbangan bersama rombongan. Coba kalau tiketnya habis. Entahlah, bisa bisa dia tidak jadi ikut. Tentang ocehan bunda? Dia tidak lagi ambil pusing, kupingnya sudah mulai terbiasa. Mungkin karena usia yang semakin matang dan hudup tak lagi bergantung pada siapapun, membuat hatinya semakin tegar. Diciumnya punggung tangan ayah dan bundanya, belum sempat ia duduk, petugas meminta mereka masuk ke pesaawat. Bergegas Aleesa dan rombongan berjalan menuju pesawat. Aleesa duduk paling belang, getaran di sana cukup kuat berbeda dengan duduk di tengah yang tidak terlalu bergetar. Walau cemas, ia berusah tetap tenang. Ditatapnya awan putih yang membentuk berbagai pola unik. Jarak tempuh Jakarta menuju Kuala Namo hanya membutuhkan waktu penerbangan dua jam. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju Danau Toba. *** Aleesa berdecak kagum menatap keindahan alam perbukitan dengan sebuah danau yang terbentang luas ditengahnya. Rombongan menginap di sebuah Villa dipinggir Danau. Jumlah mereka tidak banyak, hanya sekitar dua puluh orang karena acara ini hanya untuk kalangan direksi. Sore ini mereka bersantai melepas penat menikmati hidangan yang disuguhkan panitia event. Tatapan sinis yang dulu pernah membuat Aleesa gerah, kini hadir kembali. Benar dugaannya, gadis-gadis itu belum berubah, hanya mbak Lala yang bersikap ramah padanya. "Assalammualaikum, Mbak Lala, apa kabar?" sapa Aleesa sembari menarik kursi di samping Lala. "Alhamdulillah, baik Aleesa. Tidak terasa sudah hampir dua tahun kita tidak bertemu. Ohya, family gadhring tahun kemaren kenapa tidak ikut?" "Iya, Mba, jadwalnya bentrok dengan acara di kantor saya," balas Aleesa melontarkan senyum tipis. "Hai, Aleesa, apa kabar?" sapa Mister Willi mendekat. Lelaki bertubuh atletis itu duduk di samping Lala. "Hai, Mister Willi. Alhamdulillah, baik," jawab Aleesa sedikit membungkuk. "Big bos tidak datang, Mister?" Tanyanya hati-hati. "Maksud kamu, mr. Jose?" Aleesa menjawab dengan anggukan dan senyum tipis, firasatnya mulai tidak enak karena mr. Willi menyebut nama Jose terlalu kencang. Benar saja, Vanya, anak direktur utama itu menghampiri. "Katanya, lo, asisten pribadi Mister Jose? Harusnya tau dong, Big Bos datang atau tidak. Kecuali, kalau cuma asisten gadungan." Vanya berkacak pinggang di depan Aleesa, berdiri menantang. Sebetulnya Aleesa malas melayani wanita tengil itu, apalagi situasinya tidak mendukung untuk berdebat dengannya. Tapi Aleesa tidak mau dihina seperti itu. "Saya tanya pada Mister Willi, kenapa kamu yang sewot?" "Halah… ngaku saja, kalau kamu cuma p*****r murahan yang berlagak suci, iyakan?" balas Vanya dengan wajah sinis. "Vanya, jaga mulut kamu!" bentak Aleesa sembari berdiri mendekati gadis tengil itu. Gadis itu tersenyum sinis, "Terus kalo bukan p*****r, apa coba?" tantangnya balik, tidak mau kalah. Aleesa mengepalkan tangannya, ia geregetan ingin menampar gadis usil itu, untung saja Lala dan Willi buru buru melerai. "Hei, Sudah! Apa-apaan ini? Kita di sini mau liburan, kenapa malah ribut?" tegur Willi. "Aleesa! Kamu itu dimana-mana bikin ribut saja! Minta maaf sama Vanya!" bentak bunda berjalan mendekat. Aleesa cemberut dan kembali duduk. Dia tidak habis pikir, kenapa dia yang disuruh minta maaf, bukankah perempuan sombong itu yang mulai duluan. “Dasar gadis tengil!” umpat Aleesa hampir tak terdengar. Kesal sekali rasanya melihat Vanya masih saja berkacak pinggang di depannya. "Emang lo tidak tahu, kalo sebentar lagi Mister Jose akan menikah?" tanya Vanya dengan tatapan sinis. Deg. Jantung Aleesa seolah berhenti berdetak sejenak, wajahnya memucat. Dia tidak siap mendengarnya, benar benar tidak siap. Diliriknya Lala untuk memastikan kebenaran ucapan Vanya. Lala mengangguk seraya tersenyum tipis. Dada Aleesa terasa sesak, ada rasa yang bergemuruh di sana, tapi dia mencoba menahan sakit itu sekuat yang dia bisa. Ia tidak ingin menumpahkan air matanya di depan orang-orang itu. "Sebentar, Saya coba menghubungi mr. Jose, siapa tahu dia mau ke sini." imbuh Willi memecah ketegangan. "Tidak usah Mister Willi, saya hanya bertanya saja, tidak lebih dari itu." Cegah Aleesa, dia belum siap bicara dengan Jose. "Santai saja Aleesa, lagi pula sudah lama saya tidak menghubunginya." Willi Mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Jose. Sesaat hening, "Jose? Kau lagi di mana? ...Aku hanya ingin memberitahu ada seseorang yang menunggumu di sini... Aleesa, apa kau masih ingat? ... Iya dia ada di sini bersama kami. Mau bicara dengannya?" Mister Willi menyodorkan ponselnya pada Aleesa. Sontak saja gadis itu mundur, melambaikan tangannya sebagai isyarat menolak. "Angkat saja, mr. Jose ingin bicara denganmu." ujar Mister Willi. Seketika keringat Aleesa bercucuran, tubuhnya seperti panas dingin, walau grogi, terpaksa dia menjawab. "Ha ... halo, Mister Jose," sapanya dengan suara terbata-bata. "Halo juga, Aleesa, Apa kabar?" Tanyanya ramah dari seberang sana. "Baik. Mister lagi di mana?" "Lagi di Canberra, ada urusan bisnis. Mungkin besok aku akan mampir ke sana." Sesat Aleesa tertegun, jantungnya berdegup tak beraturan, harapan itu datang lagi, harapan yang hampir sirna. Walau dia tidak yakin impiannya untuk hidup dengn lelaki itu tidak mungkin terwujud. "Halo...Aleesa ...?" panggil Jose menyadarkan Aleesa dari lamunan. "Iya," Sahutnya gugup. "Sampai ketemu besok," ucap Jose mengakhiri percakapan. "Iya, Mister, samapi ketemu besok!" Aleesa menyerahkan ponsel kembali pada Mister Willi. Lega hatinya mengetahui besok Mister Jose akan datang. Senyum tipis terlukis di wajahnya, ia tidak sabar menunggu datangnya esok. “Ge er!...” cibir Vanya kesal melihat Aleesa tersipu malu. Aleesa membulatkan matanya pada Vanya, lalu membuang tatapannya ke danau yang terbentang luas. *** "Sepertinya mr. Jose suka sama kamu, Sa?" tanya Lala yang berbaring di atas tempat tidurnya. Hanya Lala yang mau tidur sekamar dengan Aleesa. Bahakan Nela kakak kandungnya menolak tidur sekamarnya. "Nggak tau lah, Mba. Mr. Jose sulit ditebak." sahutnya. "Aku mengenal mr. Jose cukup lama... Dia tidak akan mau bersusah payah melakukan sesuatu untuk seseorang yang tidak punya arti dalam hidupnya." Aleesa mendengarkan dengan seksama ucapan Lala. Sejenak wajah Jose melintas dalam ingatannya. Ditariknya napas dalam lalu menghembuskannya perlahan, melonggarkan sesak di d**a. "Entahlah, Mba. Yang jelas saat ini saya tidak berani berharap apa pun?" "Kenapa? Selagi janur kuning belum berkibar, kenapa tidak!" Aleesa menoleh Lala, saat bersamaan Lala jugs menoleh. Keduanya tertawa tipis. "Terlalu banyak saingan, mba!" celetuk Aleesa. "Mba Lala, pacaran ya, sama mr. Willi?" Mendengar pertanyaan Aleesa, Lala mengulum swnyum. Entahla, Sa... Saingan terlalu banyak!" jawab Lala pasrah. Keduanya kembali tertawa. Lampu temaram menyembunuikan rona wajah keduanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD