Serentetan pertanyaan yang keluar dari bibir Elya terabaikan begitu saja oleh Dana. Yang terpenting sebelum menyeret Elya, Dana sudah mengantongi izin dari Papa Elya. Malam ini, putri Maher itu diajak keluar rumah oleh Dana. Eva bahkan sempat terkejut, mengapa Elya hanya mengenakan setelan baju tidur panjangnya? Biasanya juga Elya jika diajak keluar selalu tampil cetar. Ini tidak biasa.
Kedua orang tua Elya menduga bahwa ini terjadi tanpa perencanaan. Maka mereka biarkan saja. Toh, sudah tahu betul siapa yang membawa Elya pergi—sepupu Elya sendiri, Dana.
Pada akhirnya yang terus mengoceh akan kesal dengan sendirinya. Sudah beberapa saat yang lalu Elya berhenti mengoceh dan tidak lagi bertanya-tanya tentang kemana arah tujuan mereka berdua ini. Masa bodooh dengan pakaian tidur lengan panjang yang ia kenakan saat ini. Salah Dana juga yang tidak mengizinkan Elya untuk bersiap lebih dulu.
Aha, pikiran liar Elya justru tengah tertuju pada hal lain. Mungkinkah demi menghiburnya, Dana akan membelanjakan baju-baju mewah?
Mengapa Elya baru kepikiran?
Mengulum senyumnya sendiri, Elya sudah persis seperti orang gilaa yang tersenyum-senyum sendiri tanpa sebab. Padahal situasi di dalam mobil Dana ini begitu mencekam. Sejak tadi pun tidak ada perubahan raut wajah yang ditunjukkan oleh Dana. Sepupunya itu tetap datar-datar saja ekspresinya.
Memang kecil kemungkinannya pikiran liar Elya itu akan terwujud. Tapi tak apa. Tidak ada salahnya ‘kan berharap? Selama ini pun, Dana juga tak jarang bersikap royal pada Elya. Tentu dengan berbagai alasan. Misalnya, ketika Elya berhasil membuat hati Dana senang karena kinerjanya di kantor yang sangat baik. Atau dahulu tatkala Elya masih menempuh pendidikan kuliahnya yang berkali-kali mendapatkan grade terbaik.
Intinya, hal-hal yang dapat meluluhkan hati Dana. Kebanyakan hal baik.
Segala pertanyaan Elya akhirnya terjawab. Mobil Dana ternyata tidak menuju ke sebuah pusat perbelanjaan langganann keluarga mereka. Bukan. Melainkan menuju kediamannya dan kedua orang tuanya.
Bagus!
Elya akan bertemu dengan Budhe dan Pakdhenya dengan penampilan yang seperti sekarang ini.
Maka ketika mobil yang Dana kendarai dengan kecepatan tinggi itu mulai memelan karena hendak memasuki pelataran luas rumahnya, Elya langsung mengarahkan kaca depan mobil pada wajahnya. Ia membenahi tatanan rambutnya di sana. Untung saja tidak terlalu berantakan, jadi mudah merapihkannya.
Tapi ada masalah besar. “Astaga! Aku nggak pakai bedak! Apalagi lipstick. Pucat banget..”
“Mas Dana!” panggil Elya dengan nada meninggi. Ternyata sosok yang dipanggilnya justru sudah lebih dulu turun dari mobil setelah berhasil memarkirkan mobilnya di pelataran rumah mewah ini.
Siial!
Elya mengumpat berkali-kali. Tentu Dana tidak mendengar segala umpatann Elya saat ini. Gadis itu benar-benar kesal dengan tingkah Dana. Sok misterius, dan berakhir menyusahkan Elya.
Melihat Elya yang tak kunjung turun dari mobilnya. Dana tentu juga merasakan hal yang sama dengan Elya—kesal dalam dadaa. Setelah berdecak singkat, pria itu berjalan menuju pintu penumpang depan. Membukanya dengan tidak santai.
Masih menampilkan raut wajah datar dan gaharnya, Dana hanya memberikan isyarat mata agar Elya segera turun dan ikut masuk ke dalam rumah bersamanya.
Tetapi gadis cantik itu justru menggeleng dengan raut wajah takutnya. Bagaimana tidak takut? Ekspresi Dana yang seperti sedang menahan amarah itu..sejak tadi Elya cemaskan. Asal kalian tahu, kemarahan Dana yang sesungguhnya sudah seperti bencana bagi Elya! Sebisa mungkin jangan sampai kemarahan Dana yang sesungguhnya itu bangkit hanya karena dirinya yang sebenarnya tidak salah apa-apa di sini.
Dari awal sudah jelas, semua ini hanyalah kesalahpahaman belaka. Karena kekhawatiran Maher-lah, Dana menjadi tahu tentang insiden pingsan karena menangis ini. Papa Elya secara tidak langsung juga berhasil menjerumuskan putrinya sendiri di kandang singa.
Melihat Elya yang sepertinya tengah ketakutan dan enggan turun dari mobilnya itu, Dana menyadari suatu hal. Ekspresi wajahnya yang garang ini pasti telah menciutkan nyali Elya. Ia pun pada akhirnya sadar dan mencoba menetralkan ekspresinya. Menghela napasnya, Dana lantas mengulurkan tangannya dan berucap, “Ayo turun, Elya. Mama sama Papa sudah menunggu kamu di dalam.”
“N—nunggu?”
“Iya. Kamu harus tanggungjawab karena sudah berhasil membuat Mama dan Papa saya khawatir setengah mati, karena mereka mengira—”
“Aku bunuh diri!?” potong Elya yang lantas mendapatkan anggukan kepala dari Dana.
Jadi, Elya diajak berkunjung dadakan kemari hanya untuk menunjukkan kebenaran yang sesungguhnya bahwa dirinya tidak bunuh diri seperti yang dihebohkan di rumahnya tadi. Astaga! Jika urusannya akan sepanjang ini, maka Elya sungguh menyesal se-menyesal-nyesalnya karena menangisi Ghibran yang hendak melangsungkan pernikahannya itu, kemudian mengacak-acak kamarnya sampai harus mengusir kecoak dengan racun serangga—tentu itu bukanlah tugasnya—sampai pingsan setelah lelah menangis.
Jangan salahkan Elya. Karena serentetan perbuatannya itu tidak akan pernah diduganya akan menimbulkan perkara sepanjang ini. Jika Elya tahu dampaknya akan seribet ini, maka dirinya tidak akan pernah melancarkan aksinya di dalam kamar itu. Rasa sesal memang selalu berada di akhir kejadian. Maka dari itu, yang saat ini perlu Elya lakukan hanyalah menghadapi.
Setelah mengembuskan napasnya, Elya yang masih setia digandeng oleh Dana itu berjalan mengikuti langkah kaki Dana, memasuki rumah besar kediaman Pakdhenya—Dwipa.
“Elya!!” seru Denada, seperti seorang budhe yang sudah bertahun-tahun tidak berjumpa dengan keponakannya. Padahal baru saja semingguan yang lalu keduanya bertemu. Wanita paruh baya itu pun langsung membawa Elya ke dalam pelukannya sampai genggaman tangan Dana terlepas begitu saja karena ulah refleks Denada.
“Budhe..” cicit Elya di dalam pelukan Denada. Elya tahu, ia sudah merepotkan banyak orang. Membuat mereka semua khawatir karena dipikir mereka—Elya benar-benar melakukan aksi bunuh diri. Padahal fakta aslinya sungguh konyol.
Elya berjanji, kejadian semacam ini ia usahakan tidak akan pernah lagi terjadi dalam hidupnya. Kapok, Pemirsa..
Denada yang sudah puas memeluk Elya dan mencurahkan segala kekhawatirannya itu, lantas mengendurkan pelukannya pada sang keponakan. Masih dalam posisi berhadapan dan begitu dekat, Denada mencengkeram kedua lengan Elya. “Apa yang kamu lakukan, Sayang?”
“Budhe, Elya nggak ngelakuin apa-apa, kok. Ini semua hanyalah kesalahpahaman belaka. Maafin Elya, ya, Budhe. Pasti Budhe khawatir banget sama Elya.” Gadis itu tak segan untuk meraih kedua tangan budhenya dan menciumnya dengan takzim. Sebagai tanda perminta maafnya yang mendalam.
“Bukan cuman Budhemu saja yang khawatir, Elya. Lihat, Pakdhe juga tidak kalah khawatirnya. Kamu ini..benar-benar,” imbuh Dwipa yang ternyata sudah berdiri di samping Elya. Tangan besarnya terulur mengusap lembut rambut kepala Elya. Elya di sini juga sudah ia anggap seperti putrinya sendiri, karena Keluarga Dwipa tidak mempunyai seorang anak perempuan.
Dari Denada, Elya beralih kepada Dwipa. Melakukan hal yang sama seperti yang barusan dilakukannya pada Denada, Elya juga merasa sangat bersalah karena membuat Pakdhenya turut khawatir. “Maafin Elya, ya, Pakdhe. Elya janji, hal seperti ini tidak akan terulang kembali.”
Dwipa dan Denada bersamaan mengembuskan napas mereka. Sangat lega karena mengetahui ternyata keponakan tersayang mereka baik-baik saja. Sehat walafiat tanpa kurang satupun.
“Ya sudah kalau begitu. Karena ini sudah larut malam, kamu menginap di sini saja, ya, Elya.” Bukan sebuah ucapan yang didengar oleh kedua telinga Elya, melainkan sebuah perintah yang berasal dari seseorang yang sangat sulit untuk Elya bantah. Seseorang itu adalah Papa Dana—Pakdhenya.
Seperti korban hipnotis, Elya hanya mengangguk dan menunjukkan senyum kakunya.
“Kamu tahu ‘kan dimana kamar kamu jika menginap di sini?” tanya Denada memastikan bahwa Elya tidak lupa dengan kamarnya.
Yaa, saking istimewanya sang keponakan itu—baik Denada maupun Dwipa selalu menyiapkan sebuah kamar khusus untuk Elya apabila sewaktu-waktu menginap. Seperti sekarang ini. Ternyata, kamar itu sudah ada sejak Elya kecil, karena memang dahulu Elya sering menginap di sini. Lebih tepatnya, Maher dahulu begitu sibuk merintis perusahaannya yang kini sudah Berjaya. Sedangkan Eva harus selalu mendampingi dan bila perlu membantu sang suami dalam hal tersebut. Jadilah..Elya sering dititipkan di rumah Dana.
Setelah mendapati anggukan kepala dari sang keponakan, Denada dan Dwipa lantas beranjak dari ruang tengah itu. Kedua orang tua itu hendak beristirahat di kamar mereka. Sebelum benar-benar beranjak, sekali lagi Denada mengusap lembut rambut Elya. Memberikan senyum manisnya.
Menurut Elya, budhenya itu sangat cantik. Definisi ibu peri di dunia nyatalah pokoknya! Berbeda halnya dengan sang mama. Mama Elya merupakan bidadari tak bersayapnya. Jadi, di kehidupan Elya ini ada dua wanita hebat berhati mulia yang selalu saja sabar menghadapinya. Meskipun tak jarang mereka juga mengomeli Elya, jika Elya bersalah.
Selepas kepergian pakdhe dan budhenya, barulah Elya bisa menghela napasnya lega. Ia sepertinya lupa dengan seseorang yang masih setia berdiri di belakangnya. Kini orang tersebut tengah melipat kedua tangannya di depan daada, sembari menunggu apalagi tingkah Elya yang selanjutnya.
Ternyata gadis itu hendak pergi menuju kamarnya. Dengan gerakan super cepat, tangan Dana menahan pergelangan tangan Elya.
Kesal dengan ulah sang sepupu. Elya berseru, “Apalagi, sih, Mas Dana!?”
“Capek tau! Udah malam, nih..”
“Pelankan suara kamu. Mengganggu orang rumah, Elya.”
“Biarin aja! Lagian, siapa juga yang bakalan dengar!? Rumah sebesar ini, suaraku jelas redamlah, Mas. Gimana, sih!?”
“Kamu nggak sadar?”
“Nggak sadar apa!?”
“Suaramu itu lebih parah daripada speaker rusak. Makanya, diam. Sssstttt…” Dana sampai meletakkan tangan satunya yang menganggur itu tepat di bibir. Menunjukkan sebuah isyarat permohonan agar Elya benar-benar mengontrol suaranya. Lagipula jarak Elya dan Dana sangat dekat. Mengapa hanya sekedar berbicara saja Elya harus mengeraskan suaranya?
Benar-benar sudah lupa tempat dan lupa dengan seseorang yang diajaknya berbicara saat ini.
“Iya-iya. Ini udah pelan suaranya. Lepasin tanganku, dong..” rajuk Elya dengan mengangkat tangannya yang saat ini masih digenggam erat oleh tangan Dana.
Bukannya melepaskan genggaman tangan Elya, Dana justru kembali menyeret gadis itu. Kali ini mau dibawa kemana lagi Elya? Rupanya ia sudah pasrah dan tak lagi mengoceh.
Dana memang tidak pernah mau menerima segala ocehannya. Jadi percuma saja Elya buang tenaga. Lagipula Elya baru ingat jika dirinya belum makan malam. Lapar sekali perutnya saat ini..
Mengikuti kemana langkah kaki Dana membawanya, Elya sesekali mengusap perutnya dengan tangannya yang menganggur. Mencoba menahan rasa laparnya sampai dengan besok pagi. Paling juga tatkala dibawa untuk tidur, rasa laparnya akan hilang. Mau meminta makan pun, Elya segan. Semua orang pasti sudah melangsungkan makan malamnya tadi.
Malang sekali nasib Elya yang kelaparan itu..
Tapi, jangan pernah lupakan segala kemungkinan dan keajaiban yang dapat kapan saja terjadi. Buktinya sekarang ini. Langkah Dana berhenti di ruang makan yang di atas mejanya masih terdapat beberapa hidangan makan malam. Menggugah selera. Seketika perut Elya berbunyi nyaring tanpa bisa dikendalikannya. Siial! Memalukan.
Dana pun melepaskan genggaman tangannya pada tangan Elya. Ia memberikan isyarat pada Elya untuk duduk dan makan. Rupanya Dana tahu bahwa Elya melewatkan makan malam di rumahnya tadi.
Tidak langsung menurut begitu saja. Padahal nasi dan lauk pauk lezat itu sudah di depan mata. Elya justru diam di tempatnya berdiri. Ia melipat kedua tangannya di depan dadaa. Menggeleng kecil, “nggak. Aku nggak mau makan. Udah kemalaman buat makan malam. Nanti aku gendut, Mas Dana. Lagian aku juga mau tidur!”
“Yang namanya makan malam, yaa..pasti dilaksanakan di malam hari,” protes Dana. Benar bukan? Mana ada makan malam dilaksanakan siang hari?
Tanpa menunggu pergerakan dari Elya. Dana berjalan mendekat pada meja makan. Mengambil nasi dan beberapa lauk pauk yang diketahuinya merupakan kesukaan Elya. Siapa tahu jika diambilkan olehnya seperti ini, Elya akan mau makan. Persetan dengan takut gendut, Elya harus makan agar tidak sakit. Terlebih hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik saja—pasti tidak jauh-jauh dari topik rencana pernikahan Ghibran.
“Duduk, Elya. Makan dulu,” kata Dana dengan nada rendah yang Elya ketahui pasti anti dengan bantahan.
Baiklah.. Elya pun pada akhirnya duduk manis di hadapan Dana.
Dana yang semula berdiri, kini sudah mengambil duduk nyaman pula. Posisi keduanya saat ini duduk berhadapan, dan terpisahkan oleh meja makan besar di tengah-tengah mereka. Melangsungkan makan malam berdua di ruang makan sebesar ini, Elya merasa seperti sedang berkencan di sebuah tempat VIP.
Menyenangkan untuk pelipur laranya karena hendak ditinggal menikah oleh pria yang dicintainya setengah mati.
Aneka sisa makanan yang terhidang di hadapannya itu sudah pasti lezat.
Suasananya bertambah romantis saja tatkala Dana menyalakan lilin-lilin di tengah meja yang semula mati.
Sayangnya, mengapa Elya harus terjebak momen indah ini bersama dengan sepupunya?
Andai saja yang saat ini sedang bersama dengan Elya adalah Ghibran. Pasti berbeda ceritanya! Hati Elya pasti sangat gembira luar biasa.
Semua itu tidak mungkin, karena undangan pernikahan Ghibran sudah tersebar luas pastinya.
Melihat raut wajah Elya yang tiba-tiba murung, Dana mengurungkan niatnya yang juga hendak menyantap makan malamnya itu. Karena mendapatkan kabar burukk dari omnya tadi, Dana sampai mengesampingkan makan malam. Sama halnya dengan Elya, perut Dana pun juga keroncongan meminta diisi sebelum tidur.
Dana bertanya dengan nada lembut, “Kenapa lagi, Elya?” Meskipun ia sebenarnya tahu alasan dibalik raut murung Elya.
“Nggak kenapa-kenapa.” Elya lantas membaca do’a dan mulai memakan nasi beserta lauk pauk yang telah repot-repot Dana ambilkan untuknya.
Ngomong-ngomong, sepupunya itu baik juga.
“Makasih udah diambilin..”
“Hm, sama-sama.”
“Mas Dana belum makan emangnya? Apa ini makan malam yang kedua?”
Disela-sela makannya, sebenarnya Dana sangat malas menanggapi Elya yang masih saja mengoceh itu. Tetapi, ia merasa harus menjawab pertanyaan Elya kali ini, karena ada yang perlu Dana luruskan. “Saya belum makan malam, Elya.”
“Pasti gara-gara panik tadi, ya?” tebak Elya.
“Hm.”
“Yaa maaf, deh.”
“Hm.”
“Hm. Hm. Hm.” Elya menirukan cara Dana menyahuti ucapannya barusan.
Hal tersebut lantas membuat Dana kembali menunjukkan ekspresi wajah datarnya, sembari menatap tajam Elya.
Merasa tanduk Dana sudah mulai keluar, lagi. Elya pun menunduk dan memilih fokus menyantap hidangan lezat di hadapannya ini. ‘Emang paling suka cari penyakit!’ rutuknya dalam batin.
Tak ada lagi sepatah katapun yang keluar dari bibir Dana. Keduanya makan dengan santai dan sangat menikmati hidangan lezat yang menggoyang lidah ini. Sampai pada akhirnya, mereka berdua selesai makan. Elya sudah bersiap untuk beranjak dari ruang makan besar ini. Rencananya, ia hendak menuju kamar khusus yang selalu ia tempati tatkala menginap di sini. Namun Elya seketika mengurungkan niatnya tatkala melihat Dana sedang membereskan piring bekas makan mereka berdua, masih dengan mempertahankan keterdiamannya.
Pikir Elya, ‘Kenapa harus repot-repot!? Itu ‘kan tugas pembantu.’
“Mereka semua sudah tidur. Lagipula, tugas mereka sudah selesai untuk hari ini. Jadi daripada tidak ada yang membereskan, saya berinisiatif membereskannya. Jika kamu hendak tidur, silahkan tidur. Masih ingat letak kamar kamu ‘kan?”
Elya mengangguki ucapan Dana barusan. Gadis itu mencoba tidak mempedulikan Dana yang tengah repot membereskan sisa makan malam mereka barusan.
Tetapi, baru saja Elya melangkahkan kakinya sekitar dua langkah—hatinya sudah meronta, memintanya untuk berbalik dan membantu Dana. Daripada tidak bisa tidur nyenyak, Elya putuskan untuk membalikkan badannya. Berjalan mendekat pada Dana yang sedang beberes meja makan itu.
“Aku belum ngantuk! Aku bantu Mas Dana, ya?”
“Terserah kamu, Elya.”
“Oke!” Sepertinya Elya baru saja mendapatkan tiupan jin gaib. Sehingga dirinya bisa langsung sesemangat ini membantu Dana beberes meja makan.
Lain halnya dengan Elya. Dana sendiri justru merasakan sesuatu yang hangat di dalam hatinya. Entahlah, semacam rasa senang dan nyaman yang melebur menjadi satu tatkala mengetahui Elya mau lebih lama membersamainya.
Terlebih, kebersamaan keduanya kali ini merujuk pada hal positif yakni, membereskan meja makan sekaligus meringankan pekerjaan asisten rumah tangga yang dipekerjakan di kediaman Keluarga Dwipa ini.
“Terima kasih, Elya..” ungkap Dana dengan segenap ketulusan hatinya.
“Sama-sama, Mas Dana! Kalau ini boleh dihitung nggak gratis. Aku mau dong tas keluaran terbaru. Aku udah save gambar tasnya dan juga catat nama store-nya. Boleh, nggak, Mas?”
Perkara membantu mencuci piring, Elya meminta imbalan tas keluaran terbaru? Yang benar saja! Dana seketika itu juga, pucat. Bukan karena tidak ada budget untuk itu. Sembari memejamkan matanya pun, Dana bisa membelikan tas tersebut untuk Elya. Tetapi ini tentang perilaku Elya yang tidak pernah berubah.
Selalu saja bertingkah seolah menginginkan kebangkrutan itu ada di dalam hidup Dana.
***