4. Gara-gara Berita Heboh

2044 Words
Berhasil membuat seisi rumahnya panik, Elya kini sedang disidak oleh kedua orang tuanya di ruang tamu. Anak gadis yang satu itu memang tingkahnya kali ini dianggap sudah kelewatan. Jantung Eva tadi sempat hampir berhenti karena mengira Elya bunuh diri dengan menenggak racun serangga. Pasalnya, di sekitar ranjang Elya ditemukan barang tersebut yang tergeletak. Seperti habis dipakai. Namun ternyata.. Elya hanya pingsan karena lelah menangis. “Elya Sayang..Cantiknya Mama. Kamu kenapa sih, Nak? Kamu tau nggak kalau kamu itu bikin orang-orang rumah khawatir! Kami kira kamu habis bunuh diri..” Eva masih berusaha untuk melembut-lembutkan suaranya. Meskipun dalam hatinya juga masih geram dengan tingkah Elya. Bisa-bisanya anak gadis semata wayangnya itu menangis sampai pingsan? Apa yang ia tangisi? Tas branded yang sudah sold out semuanya? Atau sepatu wedges gold sisa satu yang pernah ia inginkan sudah laku terjual? Anak ini memang tingkahnya selalu saja membuat seisi rumah heboh! Maher sendiri sejak tadi hanya diam mematung. Tapi tatapan matanya tidak pernah sekalipun lepas dari putrinya. Wajahnya sedikit memerah. Elya sudah merutuki dirinya dalam hati. Pasti papanya sedang menahan amarah! Atau mungkin setelah ini lahar panas akan menyembur.. Yang jelas, Elya harus siap dengan segala konsekuensi yang akan didapatnya. “Kamu tau kalau kamu salah?” “I—iya, Pa. Elya salah..” “Apa sih yang ada dipikiran kamu, Elya!? Kenapa menangis sampai pingsan seperti tadi!? Kamu benar-benar mirip remaja usia tujuh belas tahunan!” “Ihh, Papa! Elya itu udah dua puluh satu tahun. Bentar lagi juga dua puluh dua tahun!” “Terus, kapan kamu bersikap dewasa? Setidaknya, bersikap sewajarnya anak seusia kamu, Elya.” “Elya udah dewasa, kok, Pa.” “Nggak! Masih belum.” Maher menekankan perkataannya barusan. Hal itu sudah seperti bantahan mutlak darinya atas sikap Elya. Dewasa dari mana!? Elya bahkan lebih mirip dengan anak tujuh belas tahunan! Masih suka merajuk. Meskipun sudah bekerja, tapi masih suka meminta ini-itu pada kedua orang tuanya. Dan satu lagi, masih sangat manja. “Pa..” lirih Elya. Dalam hatinya, Elya tengah bersorak gembira. Ia baru saja menemukan sebuah ide cemerlang. Siapa tahu, idenya itu akan dikabulkan oleh sang papa. Karena menurut Elya, segala keinginannya selama ini selalu bisa terwujud apabila Elya memintanya pada Maher—Sang Papa. Mencoba sebuah peruntungan, tidak ada salahnya ‘kan? “Apa?” ketus Maher. Meskipun saat ini tingkah papanya sedang tidak bersahabat karena ulahnya tadi. Tapi Elya tidak gentar sama sekali. Ia seperti mempunyai nyali melebihi kucing—10 ke atas, kali, ya nyalinya.. Tangan Maher pun kini sudah terlipat di depan dadaa. Ia menyenderkan punggungnya pada sandaran sofa. Rasanya lelah sekali menghadapi segala tingkah ajaib Elya. “Papa benaran ingin Elya bersikap lebih dewasa?” “Setiap orang tua, pasti menginginkan anaknya bersikap yang semestinya, Elya. Kamu rubah, dong, Sayang. Kamu itu cantik dan cerdas lohh sebenarnya, apalagi coba celahnya?” “Iya, Mama, Papa. Ya udah kalau gitu, nikahin Elya sama Mas Ghibran, BESOK. Bisa nggak?” “ELYA!!” *** Kembali ke kamarnya masih dengan cekikikan karena berhasil membuat kedua orang tuanya geram. Elya tentu sempat mendapatkan ceramah panjang lebar tadi. Ia tidak serius, kok, meminta dinikahkan dengan Ghibran. Tetapi jika kedua orang tuanya bersedia mengabulkannya, maka dengan senang hati Elya akan menerimanya. Di dalam kamar, ada Mbak Atika yang baru saja selesai membereskan kekacauan di kamar Elya. Ekspresinya sedang tidak bersahabat, Elya hafal itu. “Ngapain Non Cantik senyum-senyum? Tadi aja sudah seperti mayat hidup!” Nah, kan..sensi. Baru juga Elya datang sudah mendapatkan sambutan sebaik ini dari pembantu mudanya itu. “Mbak Atika, lagi PMS, ya?” “IYA!” “Yahhh, produksi dedek bayinya tertunda dong?” “NON CANTIK!!” kesal Mbak Atika yang tanpa sadar melempar bantal empuk itu sampai mengenai tubuh Elya. Sigap, Elya menangkap lemparan bantal dari wanita itu. “Emang begitu, yaa..hawa-hawa pengantin baru yang gagal malam pertama,” cibir Elya yang tidak merasa takut sama sekali. Hobinya memang seperti itu, membuat orang lain kesal karena tingkahnya yang super. Tak mau lagi menanggapi cibiran Elya. Karena Mbak Atika tahu, ini akan melebar kemana-mana. Maka dari itu, ia biarkan saja Nona Cantiknya itu berbicara sampai kesal-kesal sendiri. Ranjang yang baru saja ditata rapih oleh Mbak Atika, kini sudah langsung dijadikan Elya sebagai tempat rebahan. Gadis itu merebahkan dirinya secara asal, sehingga tidak seluruh bagian kakinya yang ada di atas ranjang, hanya separuhnya. Tatapan matanya lurus ke atap-atap kamar ini. Bibirnya sudah tidak lagi mengeluarkan sepatah katapun. Dalam diam itu, Mbak Atika tahu bahwa Elya tengah memikirkan sesuatu. Tentu pikiran gadis cantik itu tidak jauh-jauh dari sosok Ghibran—pujaan hatinya, cinta mati Elya! Mbak Atika yang belum mau beranjak pun, kini mendudukkan dirinya di tepi ranjang Elya. Tangannya terulur mengusap lengan kecil Elya. “Kenapa lagi, Non Cantik? Mau berantakin kamar lagi?” “Enggak, kok, Mbak. Ehehe..maaf ya udah berantakin kamar.” “No problem, Non Cantik. Asal jangan minum racun serangga, ya..” Seketika itu juga Elya langsung mengubah posisi rebahannya menjadi duduk tegak. “Ih, siapa sih yang mau bunuh diri!? Kenapa orang rumah heboh dan ngira aku bunuh diri? Nggak jelas banget! Lagian tuh, ya, Mbak..masih baannnyyyaakkk banget keinginanku yang belum kesampaian. Aku mau liburan jelajah negeri sendiri sampai jelajah luar negeri. Aku mau beli tas, baju, sepatu, dan juga alat-alat makeup yang bermerk, hits, dan pastinya high quality. Pokoknya, masih banyak keinginanku yang belum kesampaian. Kalau ditulis pun, nggak akan muat dalam satu buku!” “Iya-iya. Mbak Atika tau kok, Non Cantik.” Mbak Atika sudah menduga. Pasti keinginan Elya tidak jauh-jauh dari liburan dan juga membeli barang-barang branded. Intinya pasti menghamburkan uang. “Tadi itu aku berantakin kamar karena aku lagi ngelampiasin rasa kesalku. Terus soal racun serangga, karena tadi pas aku berantakin kamar, tiba-tiba ada kecoak! Iihhhh, jijikkk banget. Bisa-bisanya kecoak ada di dalam kamarku, Mbak.” “Iya udah. Lain kali Mbak Atika akan lebih teliti bersih-bersih kamarnya.” “Nah, gitu dong!” Setelah percakapan yang diselingi klarifikasi itu usai. Mbak Atika berpamitan pada Elya untuk beranjak. Lagipula jam kerjanya sudah habis. Pasti suaminya sudah menjemputnya di depan rumah saat ini. Sebelum Mbak Atika benar-benar menutup pintu kamar majikan supernya itu. Mbak Atika sempat mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Elya, “Nikah tuh rasanya kayak gimana, sih, Mbak?” Karena bingung harus menjawab apa, Mbak Atika hanya menaik-turunkan kedua bahunya. “Pasti lebih enak dikasih uang 1M!” “Enak dua-duanya. Kalau bisa dua-duanya, kenapa harus milih, Non Cantik?” Ceklek.. Kamar pun tertutup dari luar, Mbak Atika sudah menghilang dibalik pintu kamar Elya. Seketika itu, Elya baru sadar. Ucapan Mbak Atika ada benarnya. “IYA, YA!? KALAU BISA DAPAT DUA-DUANYA. KENAPA HARUS MILIH SALAH SATU!?” seruannya yang sudah pasti terdengar sampai luar kamar. “Thank you, Mbak Atika..” ucap Elya yang tak terdengar oleh Mbak Atika, sembari tersenyum-senyum sendiri Elya membayangkan dirinya mendapatkan mahar 1M dan dinikahi oleh Ghibran. Tapi, itu merupakan ketidakmungkinan dalam hidup Elya. Karena sebentar lagi Ghibran akan melangsungkan acara pernikahannya dengan Ghina—wanita yang dipilih pria itu. Mengingat hal itu, Elya merasa hatinya mendung kembali. Padahal tadi saat dirinya mengacak-acak seisi kamar ini, Elya sudah yakin bahwa rasa amarah dan kesalnya sudah terlampiaskan saat itu juga. Tetapi memang sakit hati itu..awet. Bisa disembuhkan, tetapi membutuhkan waktu. “Segera pulih, ya, Hati..” katanya pada diri sendiri, sembari menepuk-nepuk dadaa. Meninggalkan Elya yang sudah mulai berdamai dengan dirinya sendiri. Dana yang mendapatkan kabar burukk dari omnya—Maher, kini sudah tiba di pelataran kediaman besar Maher. Ia langsung masuk setelah Mbok Dami membukakan pintu untuknya. “Dana..” panggil Maher dengan mengerutkan keningnya. Ia sepertinya lupa bila tadi sempat menghubungi keponakannya itu mengenai kondisi Elya yang sempat diduganya menenggak racun serangga. Astaga! Sepertinya akan panjang urusannya. “Dimana Elya sekarang, Om!?” “D—di kamarnya—” “Dana ke kamar Elya, Om.” “Eh Dana—” “Maaf, ya, Om. Dana lancang.” Saat Dana sudah lari dan tidak terlihat lagi batang hidungnya. Barulah Maher menghela napasnya dan berkata lirih, “Beritanya sudah berubah, Dana..” Tanpa mengetuk pintu dan melakukan tata krama lain ketika mendatangi kamar seseorang. Dana langsung saja membuka pintu kamar Elya. Karena suara keras dari gagang pintunya yang dibuka secara tidak santai itu, Elya yang baru saja selesai mandi dan kini sedang mengganti bajunya dengan baju tidur—refleks berteriak kencang. “AAAAAAA….AKU LAGI GANTI BAJU, MBAKK!! BUKANNYA UDAH DIJEMPUT SAMA MAS SUAMI!?” Mbak? Yaa, rupanya Elya masih menduga bahwa yang baru saja membuka pintunya itu adalah Mbak Atika. Meskipun sesama wanita, Elya tetap saja merasa malu. Apalagi kini tubuhnya hanya terlilit handuk sedada. Kondisi rambutnya yang tidak sedang keramas, ia gelung menjadi satu di atas. Sehingga lehernya yang putih dapat terlihat dengan jelas. “E—elya..” Mendengar namanya terpanggil dengan suara bariton yang sangat dikenalnya, Elya semakin membulatkan kedua matanya. Kini, bola matanya hampir keluar dan jatuh ke lantai. “AAAAAAAAA….KELUARRR! MAS DANA KELUARRRR!!” Saking malunya, Elya sampai membuka pintu lemarinya demi bisa menutupi tubuhnya agar tidak terlihat oleh Dana. Pasti sebelum ini tadi, Dana sempat melihat tubuh Elya dari belakang. Karena memang posisi Elya sejak tadi membelakanginya. Dana yang sejak tadi jakunnya sudah naik-turun, pada akhirnya sadar. Ia langsung keluar dari kamar Elya. Menutup kembali pintu kamar tersebut dari luar. Tetapi meskipun begitu, Dana masih enggan beranjak dari depan pintu kamar Elya. Ia masih harus memastikan kondisi Elya yang sebenar-benarnya. Entahlah, pikirannya menjadi kalut luar biasa saat mendengar sebuah kabar bahwasannya Elya melakukan aksi bunuh diri. Menurut kabar yang didapat Dana dari Maher, Elya baru saja menenggak racun serangga tadi. Apa secepat itu Elya sembuh? Sampai-sampai ia sudah bisa mandi.. ekhm, Dana tidak sengaja melihat leher putih mulus, dan juga paha Elya. Meskipun dari belakang, dari itu sungguh jelas. Pria itu lantas menunduk, memastikan sesuatu di bawah tidak bereaksi. “Siial..” rutuknya karena sesuatu di bawah sana sudah menegang. Mencoba untuk mengatur pernapasannya, Dana merasa hanya dengan cara ini ketegangan di bawah sana dapat teratasi. Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu terbuka. Dana seketika itu langsung membalikkan badannya menghadap pada sumber suara. Ternyata Elya sudah berdiri di sana dengan setelan baju tidur panjang. Rambutnya pun sudah terurai rapih. “N—ngapain Mas Dana ke sini malam-malam?” tanya Elya langsung pada intinya. “Kamu nggak apa-apa? Kata Om Maher, kamu habis nenggak racun serangga. Kenapa, sih, harus melakukan hal bodooh seperti itu!? Asal kamu tau, Elya. Ghibran akan tetap menikah dengan Ghina. Dan, apapun yang terjadi sama kamu tidak akan berefek pada pernikahan mereka. Jangan bertindak bodooh yang merugikan diri sendiri dan menciptakan kekhawatiran. Kasihan Om dan Tante, Elya.” Mendapati Dana yang langsung menyerocos, Elya menduga bahwa tadi sang papa sempat mengabarkan sesuatu pada keponakannya ini. Menyebalkan. Semua orang jadi mengira yang tidak-tidak. Padahal Elya tidak pernah sekalipun mempunyai niatan untuk bunuh diri. Euww! “Kamu dengar nggak!?” bentak Dana. “Dengar! Dua telingaku masih berfungsi loh, Mas.. Nih, pakai anting dua puluh juta.” Elya menyisipkan rambutnya ke belakang telinga. Sehingga kini terpampang jelas sepasang anting mewah yang menghiasi telinganya. “Memangnya saya peduli dengan anting kamu?” “Iya-iya, bercanda!” “Nyawa bukan candaan, Elya.” “Ihhh, kenapa tegang banget sih!? Aku itu nggak nenggak racun serangga itu, Mas Dana! Kalem aja, deh..slow.” “APA!?” Dana terkejut karena ternyata plot yang sesungguhnya ternyata sangat bertolak belakang dengan kekhawatirannya. Jadi, rasa kalutnya tadi juga sia-sia? Siialan. Semenjak ada Elya di dalam hidupnya, drama sinetron sepertinya kalah menarik. “Ini cuman salah paham. Ya udah, sekarang Mas Dana silahkan pulang. Budhe Denada pasti nyari Mas Dana,” jelas Elya sekali lagi dengan menyertakan usiran harus agar sepupu dan bosnya di kantor itu segera pulang. Sehingga ketenangan kembali Elya rasakan. “Saya merasa ditipu, lalu kamu menyuruh saya pulang begitu saja?” “Iya, kenapa? Mau potong gajiku di kantor?” “Saya tidak sepicik itu untuk mengaitkan urusan kantor dengan urusan di rumah seperti ini, Elya.” Benar juga. Inilah hal yang sangat positif dalam diri Dana, sekaligus hal yang sangat Elya sukai dari sepupunya itu. “Terus, mau minta ganti apa?” “Ikut saya.” Tanpa menciptakan lebih banyak lagi perbincangan. Dana langsung menggandeng tangan Elya. Tak peduli dengan segala ocehan Elya yang tidak terima ditarik paksa olehnya ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD