Pulang dari kantornya lebih awal daripada jam pulang biasanya, Elya memanfaatkan waktunya untuk me time. Maskeran wajah, merawat kuku-kuku cantiknya, hingga menscroll aku sosial media miliknya. Saat ini gadis itu tengah duduk manis di ruang tengah. Sembari menunggu maskernya kering dan dapat dibilas, Elya sesekali menyesap jus alpukat buatan Mbak Atika. Tak hanya meminum jus, Elya beberapa kali menyendokkan spaghetti yang juga dibuat oleh Mbak Atika sebagai pendamping minuman jus buahnya.
Tentang rasa, sudah tidak perlu ditanyakan. Sudah pasti lezat! Tangan Mbak Atika memang selalu bisa menyajikan berbagai makanan lezat yang dapat memanjakan lidah Elya. Sehingga membuat gadis itu tidak berhenti memuji masakan Mbak Atika. Meskipun sebenarnya Eva—Mama Elya—kerap memintanya untuk belajar memasak dengan Mbak Atika. Yaa pada umumnya wanita, harus bisa memasak juga dong! Kelak, suami mau dikasih makan apa? Catering? Xixixi..
Tapi yang namanya Elya tetaplah Elya, gadis santuy yang lebih suka menghabiskan waktunya untuk bekerja dan memanjakan dirinya, seperti sekarang ini. Mana peduli ia tentang kiat-kiat menjadi istri idaman para suami? Yang ada di pikirannya hanyalah tas dan baju bermerk, serta kesukaan wanita pada umumnya. Hedon? Mana pernah ia merasa seperti itu! Siapapun yang mencoba menyadarkan Elya hanya dianggap sebatas angin berlalu olehnya. Elya tetap hidup di dalam dunia yang diciptakannya sendiri—Dunia Princess Elya.
“Permisi paket!!”
“Permisi, Non!!”
Seruan suara yang berbeda itu lantas menyadarkan Elya dari aktivitas me time. Gadis itu pun segera melepaskan earphone bluetoothnya. Lalu berjalan gontai menuju pintu utama. Kali ini tidak ada drama berteriak meminta Mbok Dami ataupun Mbak Atika untuk membukakan pintu. Karena Elya yakin..mungkin paket tersebut diperuntukkannya. Terlihat dari si kurir yang enggan menitipkan paketnya Pak Dodi—satpam rumah kedua orang tua Elya ini.
Elya berpikir sejenak ‘siapa yang mengiriminya paket? Perasaan dirinya belum memesan belanjaan apapun minggu ini.’
Ketika pintu terbuka, senyum sang kurir pun terbit. Dengan ramah beliau menyerahkan bungkusan kotak berwarna hitam. Wait, mengapa tidak seperti bungkusan paket pada umumnya? Bungkusan kali ini terkesan exclusive.
“Maaf, Bu. Saya diminta oleh klien untuk langsung menyerahkan paket ini pada Ibu.”
“Iya, Non. Makanya Pak Kurir tidak bisa menitipkannya di Pak Dodi.”
“Oh iya nggak apa-apa, Pak Dodi.”
Dari satpam rumahnya, Elya beralih pada si kurir yang meminta tanda terima Elya, tentu dengan senang hati Elya menandatangani surat terima. “Sudah, Pak.”
“Baik. Terima kasih, Bu.”
“Sebentar, Pak!”
“Ya?”
“Ini paket dari siapa, ya, Pak? Saya tidak memesan barang apapun minggu ini..” tanya Elya bermaksud was-was. Zaman sekarang ini banyak sekali orang jahatt yang bisa menggunakan trik mengirim barang. Padahal bisa saja isi barang tersebut adalah bom, atau yang lainnya. Intinya, Elya merasa takut dan was-was.
Si kurir pun menjawab, “Paket ini dari Pak Danadyaksa, Bu Elya.” Seketika itu juga, Elya bersemangat empat-lima. Sekali lagi, ia berterima kasih pada si kurir.
Memasuki rumahnya kembali, bibir Elya tidak berhenti memamerkan senyum manisnya. Ia sudah berandai-andai. Isi di dalamnya pasti barang mahal. Tak lupa bibir Elya juga bersenandung ria. Sangat bahagia rasanya..
Tiba di ruang tengah—tempatnya me time tadi—Elya langsung menduduk dirinya kemudian membuka paket tersebut dengan hati gembira. Sebelum itu, Eva yang kebetulan melihat putrinya tengah membawa sekotak misterius, mendekat. “Apa itu?”
“Paket dari Mas Dana, Ma!”
“Kamu minta barang-barang ke dia?”
Kedua bola mata Elya kemana-mana. Ia bingung harus jujur atau berbohong. Lagian kalaupun Elya berbohong, mamanya tetap akan tahu. “Emmmm..Elya l—lupa. Iya, Elya lupa!” Mendengar jawaban putrinya yang tidak masuk akal. Eva tentu menatap Elya dengan tatapan menyelidik tajam. Sebisa mungkin membaca ekspresi Elya.
“..udah nggak usah dipikirin, Ma. Duit Mas Dana itu banyak! Kalau cuman buat belikan barang-barang Elya, masih sisa banyak.”
“Ya udah, nanti biar Mama bilang ke Papa. Biar diganti uangnya sama Papa.”
“Kok gitu, Ma!?”
“Kami itu ngerasa nggak enak hati sama Dana, Elya. Kamu ini..sering sekali merepotkan.”
Elya mengembuskan napasnya. Ia sudah menduga bahwa hal seperti ini akan terjadi. Biarlah.. biar urusan para orang tua. Dana termasuk tua? Jelas! Usia Elya dengan Dana bahkan selisih tujuh tahun. Maklum jika selama ini pria itu sering mengemong Elya.
Mengabaikan sang mama yang sudah berlalu dari hadapannya. Elya lantas kembali fokus pada kotak bungkusan di hadapannya. Ia langsung membukanya secara perlahan, agar bisa menikmati momen membuka barang mahal. Mengapa Elya sangat berekspektasi bahwa ini merupakan barang mahal? Karena memang selama ini, barang-barang Elya yang dibelikan oleh Dana, semuanya merupakan barang mahal, bermerk, dan high quality.
Ketika kotak terbuka, Elya langsung melompat-lompat kegirangan. Ia sangat senang sekali!
Tas keluaran terbaru, warna broken white, dengan merk yang ia inginkan. Intinya ini sama persis seperti foto yang pernah Elya tunjukkan pada Dana. Akhirnya, ia masuk juga ke dalam koleksi tas Elya.
Gadis itu sudah berada di kamarnya saat ini. Berdiri di hadapan tas-tas bermerk miliknya yang memang sengaja ia koleksi di sebuah lemari kaca. Kamarnya yang cukup luas membuat Elya leluasa untuk meletakkan koleksi tasnya di sini. Selain pemandangan matahari di pagi hari, dan senja di sore hari, pemandangan koleksi tas mewah juga sangat membuat hati Elya gembira tak terkira.
“Selamat datang penghuni baru di lemari tas Elya!” serunya lantas menaruh pelan tas baru tersebut ke dalam lemari. Bersanding dengan tas-tas bermerk lainnya.
Setelah tas barunya aman di tempatnya. Elya mendudukkan dirinya di sofa yang terdapat di balkon kamarnya. Sembari menikmati indahnya senja, Elya memutuskan untuk menelepon Dana. Ia masih ingat cara berterima kasih kepada orang yang sudah berbaik hati padanya.
“Halo? Ada apa, Elya?”
“Halo, Mas Dana. Makasih, ya, tasnya. Sudah mendarat di rumah dengan selamat, dan sudah terpajang cantik di lemari kacaku,” kata Elya dengan suara super lembut. Senyumnya pun tak berhenti terbit menghiasi wajah cantiknya.
“Syukurlah kalau sudah sampai.” Hanya itu jawaban Dana? Elya tentu merasa kurang puas dengan jawaban Dana. Tetapi sebelum ia memaki pria di seberang sana, Elya sudah dikejutkan oleh layar ponselnya yang bergetar menampilkan panggilan video. “Elya, saya ingin melihat wajah kamu.”
“Eumm, i—iya-iya. Sebentar.” Sesegera mungkin Elya merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan. Ia tidak peduli apabila Dana setelah ini akan menyaksikan wajahnya yang masih mengenakan masker. Elya belum membasuhnya. Ditambah, Elya sudah melepaskan kardigannya saat berada di dalam kamarnya ini.
Yaaa, sekarang ini Elya hanya mengenakan tanktop berwarna putih saja.
Masa bodoo! Memangnya Dana akan peduli? Tidak.
Jemari Elya langsung memencet tombol centang, pertanda ia setuju mengubah panggilan suara itu menjadi panggilan video. Dan, terpampanglah wajah tampan Dana. Pria itu tengah mengenakan kaos berwarna putih. Entah dengan tulisan apa, Elya tidak begitu memperhatikanya. Gadis itu justru gagal fokus dengan pemandangan di sekitar Dana.
Sebuah kafe.
Jadi sepupunya tengah menongkrong di kafe?
“Masker kamu sudah mengering, Elya.” Dana seolah mengingatkan Elya untuk segera membasuh wajahnya karena memang maskernya sudah kering, dibuat berbicara pun sudah pecah-pecah. Karena merasa tidak nyaman, Elya pun izin meninggalkan ponselnya sebentar untuk membasuh wajahnya.
Setelah urusan wajahnya selesai, Elya kembali berinteraksi dengan Dana melalui panggilan video. Elya sudah tidak peduli lagi dengan kondisi wajahnya yang benar-benar polos tanpa polesan makeup satu pun. Maklum, wajahnya baru saja diberikan perawatan berupa masker wajah. Jadi Elya sendiri pun enggan menggunakan makeup. Hal ini juga bertujuan untuk mengistirahatkan wajahnya, sejenak.
“Sudah cantik, Elya..” puji Dana di seberang sana.
Elya sadar bahwa sejak tadi dirinya kerap berkaca di kamera ponselnya. Gadis itu merasa kurang percaya diri dengan tampilan wajah naturalnya. Apalagi ketika panggilan video seperti ini tidak akan ada filter wajah yang bisa membantu mempercantik wajahnya. Xixixi…
“Jelekk. Orang aku lagi nggak pakai makeup!” bantah Elya yang mengira bahwa pujian Dana barusan hanyalah kebohongan belaka. Padahal memang dari lubuk hatinya yang terdalam, Dana memuji Elya sesuai dengan apa yang dilihat oleh kedua matanya.
Cantik.
Satu kata yang menggambarkan Elya saat ini. Wajahnya yang natural justru berhasil membuat Dana beberapa kali memuji Elya di dalam hatinya. Matanya yang sedikit mempunyai mata panda, tampak imut menurutnya. Alisnya yang memang sudah sedikit tebal, tidak masalah bila tidak tergambar alis di sana. Dan, satu lagi yang mencuri perhatian Dana yakni, bibir Elya yang merah muda alami. Elya sukses membuat Dana terpesona tanpa disadarinya.
Saat Elya membenahi letak posisi dirinya saat memegang ponsel, di seberang sana barulah Dana dapat melihat dengan jelas bahwasannya saat ini Elya hanya mengenakan tanktop. Astaga! Semakin tidak halal dilihat..
Tapi Dana suka!
Kembali fokus pada perbincangan sebelumnya. Dana lantas mengutarakan pendapatnya, “Cantik itu bukan tentang riasan wajah, Elya. Di dunia ini banyak orang yang rela menghabiskan uang puluhan juta hanya untuk merawat wajah mereka. Tapi tak sedikitpula dari mereka yang lebih menyukai wajah mereka yang natural. Percaya diri dengan kondisi wajah yang apa adanya itu, perlu. Sebagai bentuk mensyukuri pemberian Tuhan.”
“Iya, Mas Dana..kebiasaan, deh. Ceramah.”
“Bukan ceramah—”
“Stop! Bahas yang lain aja,” potong Elya yang tak mau berdebat karena kondisi hatinya sedang berbahagia.
Mumpung sedang face to face dengan Dana. Elya akan mengulangi kembali ungkapan ‘terima kasih’nya pada Dana. Kali ini ia sudah memasang raut wajah gembiranya. “Mas Dana emang sepupuable. Thank you, yaaa, tasnya! Aku senang banget..”
“Sama-sama.”
Elya tanpa sadar mempout bibirnya karena tidak puas dengan jawaban singkat Dana barusan. Belum lagi ekspresi wajahnya yang datar itu. Ahhh, menyebalkan!
Seketika hati Elya menjadi sedikit sensitif. “Mas Dana nggak ikhlas, ya, belikan aku tas? Kalau nggak ikhlas, kenapa beliin!?”
“Ikhlas, Elya.”
“Terus? Kenapa flat banget!?”
“Yaa mau bagaimana lagi? Saya memang seperti ini ‘kan biasanya..”
Benar juga. Selama ini memang ekspresi Dana selalu seperti itu. Hanya dalam kondisi-kondisi tertentu saja Dana berekspresi beda, misalnya kapan hari sewaktu kesalahpahaman Elya bunuh diri. Dana tampak sangat syok!
“Ya udah. Berarti ini ikhlas ‘kan?” Elya mencoba memastikannya. Kali ini nada bicaranya tidak setinggi tadi. Gadis itu mencoba melunak, karena sepupunya ini sudah sangat baik kepadanya.
Tanpa diduga Elya. Dana mengulas senyumnya. Meskipun sangat tipis, Elya bisa tahu jika saat ini Dana tengah tersenyum. Kemudian bibirnya menjawab, “Ikhlas, Elya..”
Baru juga senyum tipis, tapi Elya merasa kegugupan yang luar biasa!
Apa-apaan ini!?
‘Ini Mas Dana, bukan Mas Ghibran, Elya!’ rutuk Elya di dalam hatinya.
“Ekhm.. Mas Dana lagi dimana? Sama siapa?”
“Lagi di kafe.”
“Sama siapa? Cewek Mas Dana?” Dana menggeleng. Kemudian tampilan layar Elya yang semula menampilkan wajah Dana. Kini berubah menampilkan area belakang. Artinya Dana baru saja mengubah tampilan kamera depannya menjadi tampilan kamera belakang.
Di sana dapat dengan jelas Elya lihat pemandangan sekitar kafe, dan juga..seorang pria yang dari parasnya saja sudah Elya hafal! Seketika itu juga, Elya terpaku di tempatnya duduk. Bibirnya terkatup sempurna.
Dari seberang sana pun terdengar suara Dana tanpa berdosanya. “Saya bersama Ghibran, Elya. Kamu mau berbicara dengannya?"
***