Elya tidak pernah menyangka bahwa perbincangannya dengan Dana ternyata sejak tadi juga disimak oleh Ghibran. Akan tetapi pria itu tidak peduli. Ia bersikap biasa saja. Hanya saja, mungkin, Elya yang tidak biasa. Segala hal yang bersangkutan dengan Ghibran, akan menjadi sebuah hal yang besar untuk Elya.
Padahal jika dipikir-pikir, Ghibran pun mana peduli. Ghibran juga sebentar lagi akan menikah dengan Ghina.
Karena kebodohan Elya yang mengangguki pertanyaan Dana. Alhasil kini yang terpampang di layar ponsel Elya adalah sosok Ghibran. Pria yang sudah berhasil membuat Elya merasakan sakit yang begitu dalam. Hingga detik ini pun, rasa sakit itu masihlah terasa dan ada. Elya tidak bisa berkata-kata. Meskipun sudah beberapa kali Ghibran bertanya tentang apa yang hendak Elya bicarakan dengannya. Jika itu hal penting, maka tentu Ghibran akan mendengarkan. Tetapi jika tentang hal yang ‘lain’, maka untuk saat ini Ghibran akan mengabaikan. Karena ia hanya ingin fokus mengurus segala keperluan menikahnya dengan Ghina.
“Elya..” panggil Ghibran entah yang keberapa kali. Tapi gadis di seberang sana masih terdiam. Pandangannya tidak beralih sama sekali, tetapi lebih mirip seperti pandangan kosong yang mengarah padanya.
“Ekhm! Jika tidak ada yang perlu kamu bicara, saya serahkan ponsel ini kembali pada Dana,” pungkasnya yang sudah tidak bisa berlama-lama menanggapi Elya. Saat ini Ghibran tengah memilih beberapa souvenir via online, yang harus ia sepakati bersama dengan Ghina. Dan keterdiaman Elya cukup menyita waktunya yang super sibuk.
Terlihat dari tema pakaian yang dikenakan Dana dan Ghibran berbeda jauh. Dana dengan setelan santainya menandakan bahwa dirinya juga pulang terlebih dahulu sebelum menongkrong. Sedangkan Ghibran dengan setelan kantornya itu tampak seperti tidak mempunyai waktu sedikit pun untuk sekedar pulang, berganti baju, apalagi beristirahat.
Menjelang tanggal pernikahannya yang sebentar lagi akan digelar, tentu akan banyak sekali kesibukan yang dilalui oleh dua mempelai.
Elya tersadar dari lamunnya. Sejak tadi Elya akui bahwa dirinya larut mengagungkan wajah tampan Ghibran. Dan nahasnya, pria itu sudah tidak bisa lagi Elya harapkan.
Sebentar lagi..Ghibran akan menjadi milik Ghina seutuhnya. Hati, jiwa, raga, hidup, segalanya—milik Ghina seorang. Tak ada ruang sedikit pun yang tersisa untuk Elya.
“Mmm, Mas Ghibran?”
“Ya?”
“Sedang apa?”
“Memilih beberapa souvenir via online. Untuk pernikahan nantinya.”
“Sibuk banget, ya?”
“Iya, lumayan. Kamu mau ngomong apa?”
Elya menggeleng, “n—nggak. Nggak mau ngomong apa-apa, kok.”
Belum sempat Ghibran menimpali ucapan Elya kembali. Gadis itu sudah lebih dahulu menyambung ucapannya, “Aku cuman mau bilang. Lancar sampai dengan hari H, Mas Ghibran.”
“Aamiin. Terima kasih, Elya.”
Selesai.
Obrolan diantara keduanya usai. Setelahnya pun Elya juga mematikan panggilan video tersebut, karena rasanya ia sudah tidak bisa lagi menahan tangisnya. Tidak peduli padahal Elya baru saja merasa bahagia karena tas baru pemberian Dana.
Soal Ghibran memang menjadi patah hati terbesar di kehidupan Elya.
Meskipun Elya barusan mendo’akan hal baik mengenai pernikahan Ghibran, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam hati kecilnya ia berharap Tuhan berbaik hati padanya dan tiba-tiba pernikahan Ghibran gagal. Tapi rasanya tidak mungkin hal itu terjadi. Mengingat undangan sudah tersebar luas, dan barusan juga Ghibran masih berusaha mempersiapkan segala hal yang diperlukan dalam pernikahannya.
Benar-benar sebuah pernikahan impian yang ditentukan oleh Ghibran dan Ghina, karena meraka berdua mengurusnya sendiri. Sesuai dengan impian keduanya pastinya.
“Nggak apa-apa, Elya…”
“Iiiihhh, tapi nggak sanggup!!” Elya kesal juga pada akhirnya. Ia melempar bantal sofa ke sembarang arah. Kemudian melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar. Menghemppaskan tubuhnya di sana.
Air matanya semakin berderai. Mengalir. Dengan kondisi dadaa yang semakin sesak. Jemari tangannya beraksi membuka-buka galeri foto di ponsel pribadinya. Tentu di sana banyak sekali potret kebersamaannya dengan Ghibran. Itu cukup menyakitkan untuk dikenang, tetapi cukup sayang bila harus dihapus sekarang.
Maka Elya putuskan untuk tetap menyimpan potret-potret tersebut di dalam ponselnya. Biarlah..biar menjadi sebuah kenangan yang abadi. Bahkan Elya menyimpan segala potretnya bersama dengan Ghibran di dalam sebuah folder yang ia beri nama ‘My Broken Love’.
Puas menangis, Elya bangkit dari posisi rebahannya. Hari sudah petang, Elya bermaksud untuk menutup pintu balkon kamarnya ini. Tak terkecuali tirainya pun juga. Ia sepertinya akan tidur lebih awal nanti malam. Tak ingin begadang, karena takut jika dirinya nantinya malah memikirkan Ghibran lagi.
Tetapi beberapa saat kemudian, Mbak Atika mengetuk pintu kamarnya dan mengabarkan pada Elya bahwa Dana sudah di bawah. “..Tuan Dana ingin bertemu Non Cantik.”
Siial!
Dalam situasi dan kondisi yang seperti ini, Dana justru mendatangi Elya. Mau apalagi, sih?
Elya sudah tidak peduli lagi dengan kondisi matanya yang sembab. Ia hanya ingin segera mengusaikan urusannya dengan Dana, apabila ada. Tetapi setahu Elya, ia tidak membuat janji bertemu dengan Dana.
Saat melangkahkan kakinya menuju ruang tamu, tempat dimana Dana menunggunya—kata Mbak Atika. Elya tak mendapati pria itu, bahkan batang hidungnya pun tidak terlihat. Jadi, Mbak Atika membohonginya?
Elya berang seketika. Gadis itu hendak berteriak menyerukan nama Mbak Atika, akan tetapi niatnya terhenti saat sebuah tangan meraih pergelangan tangannya. Lalu, menggandengnya begitu pelan sampai keluar rumah. Tidak seperti kemarin-kemarin saat menyeret Elya, kali ini Dana pelan.
Seperti sedang membawa tuan putri yang tidak boleh lecet sama sekali.
“Mas Dana—”
GREB!
Ucapan Elya terhenti kala di depan rumahnya sendiri, sang sepupu tiba-tiba membawa Elya masuk ke dalam pelukannya.
Rasanya tidak bisa didefinisikan. Hangat sekali. Sama persis ketika Elya beberapa kali modus memeluk Ghibran. Tetapi bedanya, pelukan kali ini tidak dilandasi oleh modus belaka. Sepertinya..pelukan Dana begitu tulus.
Terbukti dengan tangan pria itu yang tidak tinggal diam. Bergerak begitu lembut mengusap rambut kepala Elya.
Ada apa dengannya? Kerasukan jin darimana magrib-magrib seperti ini?
Elya sampai tidak percaya bahwa saat ini dirinya masih diam terpaku di dalam pelukan Dana.
DANA. SEPUPUNYA. BOSNYA DI KANTOR. PRIA PERFEKSIONIS YANG KERAP MEMBUAT HATI ELYA PANAS KARENA TINGKAHNYA. AAA…
Beberapa saat kemudian, pelukan Dana mengendur. Tetapi pria itu masih enggan melepaskan Elya sepenuhnya. Tangannya lantas memegang kedua lengan Elya. Dengan senyum tulusnya Dana berkata, “Sabar, Elya. Dia bukan jodoh kamu.”
Ei ei..
Wait.
Apa ini?
Elya sampai blank.
Jadi, Dana kemari dan langsung memeluk Elya karena sudah tahu bahwa Elya merasa begitu terpukul setelah berbincang melalui panggilan video dengan Ghibran tadi?
Baguslah! Elya jadi lega dan merasa tidak perlu mencari alasan jika Dana bertanya tentang matanya yang sembab.
Tidak berhenti disitu saja tingkah ajaib Dana petang ini. Rupanya pria itu benar-benar kerasukan jin. Jin baik!
Terbukti, tangan Dana kini bergerak menuju wajah natural Elya. Ia mengusap area bawah mata Elya yang masih sembab karena baru saja menangisi Ghibran dengan bodohnya. “Kalau kamu masih ingin menangisi dia. Maka tangisi saja, sekarang. Tapi setelah ini, saya tidak mau lagi melihat kamu menangisi dia. Sudah cukup, Elya. Jangan terlalu larut dalam rasa sakitmu. Hari esok masih menanti untuk dilalui.”
Ajaib.
Setelah berujar sebijak itu, Dana justru berhasil membuat Elya menangis haru saat ini, di hadapan Dana. Padahal sebelumnya Elya anti menangis di depan pria perfeksionis itu. Elya takut jika Dana akan menyepelekan rasa sayangnya yang begitu besar ini pada Ghibran. Tetapi dari penuturan Dana barusan, Elya bisa menyimpulkan bahwa Dana tidak akan menyepelekan perasaannya untuk Ghibran.
Apalagi saat ini, dengan mata kepalanya sendiri Dana melihat langsung bagaimana Elya menangis di hadapannya. Tangisnya benar-benar memilukan hati sesiapa yang mendengarnya. Elya kacau. Sakit. Terpuruk. Ahh, semuanya.
Perjuangannya untuk Ghibran selama ini sia-sia. Dana diam bukan berarti tidak mengamati. Justru diamnya Dana adalah upayanya mengamati segala macam tindakan Elya dari kejauhan. Terutama segala tingkahnya untuk mendapatkan perhatian dan hati Ghibran.
“Mau bahu saya?”
Elya yang masih menangis tersedu-sedu dengan wajah penuh dengan air mata itu lantas mendongak. Menatap wajah Dana dengan tatapan sendunya. Sembari pikirannya mencerna apa yang barusan Dana tawarkan padanya. Tetapi beberapa menit berlalu, Elya sungguh tak paham. Isi kepalanya saat ini hanyalah tentang meluapkan segala rasa sakit hatinya karena sebentar lagi ditinggal menikah oleh cinta matinya—Ghibran.
Tak mendapati jawaban apapun dari Elya. Dana dengan segala inisiatif dan keberaniannya lantas menarik pelan tangan Elya. Membawa gadis itu untuk duduk di sebuah tempat duduk kosong di taman depan rumah Elya. Biarlah menjadi tontonan Pak Dodi. Lagipula, beliau tidak akan berani mengganggu majikannya.
Duduk bersebelahan di sana. Tangan Dana lalu merebahkan kepala Elya di bahunya. “Kalau begini ‘kan kamu bisa menangis sepuas yang kamu mau, Elya.”
Elya masih tidak menjawab. Gadis itu memilih menuntaskan tangisnya sampai puas terlebih dahulu.
Sampai malam benar-benar datang pun, Elya masih nyaman merebahkan kepalanya di bahu Dana. Entahlah..tak ada pikiran apa-apa yang saat ini tertanam di benaknya. Yang ada hanyalah tentang mencari kelegaan dengan menangis sepuas-puasnya. Sudah. Hanya itu saja.
Tangis Elya pun pada akhirnya reda. Keheningan menyapa. Elya yang sadar pun pada akhirnya memilih untuk menegakkan kepalanya kembali. Ia menoleh pada Dana masih dengan sisa air mata di sana. Tanpa segan tangan Dana bergerak mengusap air mata Elya. “Sudah?” tanya Dana. Elya tentu mengerti maksud dari pertanyaan pria itu. Maka dengan sungguh Elya mengangguk.
Maksudnya, untuk hari ini sudah. Entahlah untuk besok..atau bahkan hari H-nya nanti. Mana bisa tidak menangis? Pingsan pun bahkan sudah diprediksi olehnya jauh-jauh hari. Maka dari itu, mungkin Elya memutuskan untuk mengurung dirinya di dalam kamar saja pada hari H pernikahan Ghibran nanti. Lebih baik tidak menyaksikan, daripada nantinya semua orang akan menatapnya dengan tatapan iba karena cintanya tak berbalas. Justru berakhir menyedihkan seperti ini.
“Bulan depan kamu harus datang ke pernikahan Ghibran,” ujar Dana yang sepertinya langsung bisa membaca pikiran gadis di sampingnya ini.
Seketika itu juga Elya tentu langsung menggeleng.
“Kenapa?”
“Aku nggak mau datang!”
“Harus. Kamu harus datang. Bukannya kamu mendapatkan undangan pernikahan itu?”
“Iya. Tapi aku nggak mau datang! Mas Dana ngerti, nggak, sih!?”
Dana tentu mengerti. Jauh lebih mengerti daripada apa yang Elya pikirkan. Hanya saja tidak pernah Elya duga.
“Kamu harus datang, Elya.”
“Apa hak Mas Dana memerintahku!? Aku nggak mau, ya nggak mau!”
“Sama saya. Jadi partner kondangan saya.”
Elya terkekeh remeh, “semua orang juga tau, kali, Mas. Kalau kita saudara sepupu.”
“Lalu?”
“Tadi katanya ‘partner kondangan’. Bukannya sama aja seperti memperkenalkan kekasih Mas Dana pada semua orang? Percuma. Mereka semua sudah tau kalau aku ini sepupu Mas Dana.”
“Siapa bilang partner kondangan itu haruslah yang berstatus kekasih?”
“……..”
“Pokoknya saya tidak mau tau, Elya. Kamu harus datang ke pernikahan Ghibran bersama dengan saya. Titik.”
“Nggak! Pokoknya aku nggak mau.”
“Kenapa? Takut menangis sampai gulung-gulung di sana?”
“MAS DANA!” kesal Elya karena pertanyaan Dana barusan seperti sedang mengejeknya.
Enak saja! Kapan memangnya Elya menangis sampai dengan gulung-gulung!?
Satu tahun yang lalu saat dirinya hampir kehabisan slot pree order sepatu branded, yang sudah lama dinantinya.
Satu tahun yang lalu. Itupun di rumah Elya sendiri. Dan yang tahu hanyalah orang rumah.
Wait, darimana Dana tahu!?
“Mas Dana sama Papa sering gibahin aku, ya!?”
Dana tersenyum kecut sembari mengangguk kecil. “Makanya, rubah tingkah kamu yang kekanakan itu, Elya. Kamu sudah dewasa. Sebentar lagi menuju usia dua puluh dua tahun ‘kan?”
“Iiihhh! Kenapa jadi ceramah lagi, sih!?”
“Om Maher, Tante Eva, kedua orang tua saya, dan juga saya..ingin kamu berubah menjadi pribadi yang lebih baik Elya. Kami semua selalu mendo’akan kamu.”
“Aduhhhh! Kenapa pakai acara dido’akan segala, sih!? Kayak seolah-olah aku dan tingkahku ini naudzubillah!”
Entah polos atau memang sengaja, Dana menyeletuk tanpa dosa, “Itu memang, sih.”
“Apa!?”
“……..” Dana menutup kedua telinganya. Baginya suara Elya sangat berisik. Jika di sekitar mereka terdapat sesosok hantu, sudah pasti hantu tersebut akan langsung kabur. Ngibrit! Karena tidak tahan dengan kebisingan yang ditimbulkan oleh satu mulut itu.
“Jadi tingkahku naudzubillah selama ini!?” pekik Elya masih mencoba menahan tangannya untuk tidak menimpuk Dana berkali-kali. Meskipun dengan tangan kosong, Elya sanggup membuat tubuh Dana membiru.
“Iya. Sudah seharusnya kamu sadar, Elya. Kamu sudah beranjak dewasa. Tinggalkan sikap kekanak-kanakanmu itu.”
“Mas Dana!! Nggak bisa banget, sih, jaga perasaan orang!?”
“Tapi segala ucapan saya benar ‘kan, Elya?”
“Ya meskipun begitu. Seharusnya nggak boleh langsung terang-terangan—”
“Kalau saya beri kode, memangnya kamu akan sadar? Tidak, Elya.” Dana masih tetap mengontrol dirinya. Bersikap setenang mungkin untuk menghadapi sepupunya yang super ini. Karena yang Dana bisa ambil pelajaran selama ini, menghadapi Elya tidak bisa dengan emosi. Elya sosok yang tidak terduga setiap tindakannya. Selalu berpikir cepat tanpa memikirkan dampak di kemudian hari.
Wajah gadis di samping Dana itu sudah memerah padam. “Aku sebel banget sama Mas Dana!!” murka Elya yang lantas berjalan memasuki rumahnya. Tak peduli meskipun Dana berteriak memanggil namanya berkali-kali.
“Saya seperti ini karena ingin kamu berubah menjadi lebih baik, Elya. Karena tanpa saya sadari, rasa sayang saya pada kamu melebihi seorang saudara. Saya memandang kamu selayaknya perempuan pada umumnya.”
“Saya jatuh cinta pada kamu, Elya..” lirih Dana diakhir kalimat pengkuannya yang hanya didengar oleh malam.
Elya? Gadis itu sudah menghilang beberapa saat yang lalu dari balik pintu utama rumahnya.
Menghela napasnya, Dana lantas bangkit dari duduknya. Lalu pulang dengan perasaan tenang. Bagaimana bisa Dana merasa tenang disaat Elya marah dan mungkin tersinggung karena ucapannya tadi?
Dana merasa tenang karena ia sudah berhasil memastikan kondisi Elya. Setidaknya, gadis itu tidak berbuat suatu hal yang nekad, yang nantinya dapat merugikan dirinya. Terutama jika itu berhubungan dengan Ghibran. Yang jelas, Dana lega karena Elya tidak melakukan tindakan bodoh sehabis mendo’akan pernikahan Ghibran dan Ghina di panggilan videonya bersama dengan Ghibran tadi. Jangan sampai kejadian kesalahpahaman beberapa saat yang lalu menjadi kenyataan. Jangan sampai!
“Semoga bersama saya kamu jauh lebih bahagia, Elya. Karena saya akan mengusahakan untuk hal yang satu itu..”
***