8. Menata Perilaku

2696 Words
Mengingat kembali perbincangan terakhirnya beberapa saat yang lalu bersama dengan sang sepupu. Elya menjadi kesal sendiri. Bagaimana bisa Dana mengakui bahwa tingkah Elya selama ini naudzubillah? Kesannya memang sangat-sangat parah! Tentu kedua tanduk kemarahan Elya sudah tidak bisa ia kendalikan. Tapi di dalam rumah, Elya masih menahan amarahnya agar tidak meledak. Sebentar lagi papanya akan pulang, Elya tak mau membuat kegaduhan lagi. Toh, ujungnya yang disalahkan akan selalu dirinya, bukan Dana. Seringkali perdebatan diantara dirinya dan Dana diketahui oleh kedua orang tua Elya. Disitulah juga sering terjadi, momen dimana Elya dianaktirikan. Sepupunya yang selalu dibela-bela. Begitupun sebaliknya, apabila perdebatannya ini sampai pada telinga pakdhe dan budhenya—maka mereka tentu akan membela Elya. Tanpa sadar, kedua keluarga tersebut memang sangat harmonis selama ini. Hanya putra-putri mereka saja yang kerap berulah. “Anak Papa lagi ngelamunin apa, sih? Dipanggil-panggil dari tadi nggak nyahut..” Suara itu bersumber dari belakang. Elya yang semula duduk manis di sofa, kini berdiri dan berjalan menghampiri papanya. Dengan takzim Elya mencium tangan papanya yang baru pulang bekerja itu. Sedangkan si papa langsung mencium kening putrinya. “Papa mau teh atau kopi?” tawar Elya pada pria paruh baya yang sangat ia sayangi itu. Maher tampak terkejut. Akan tetapi tidak lama, ia tersadar. Senyum sumringahnya terbit, “memangnya kamu yang mau bikinkan minuman untuk Papa?” “Yaa kalau Papa mau, sih..” “Jelas mau, Elya! Ini pertama kalinya kamu menawarkan dirimu untuk membuatkan Papa minum. Alhamdulillah..segala rasa lelah Papa hilang karena kamu Elya.” Maher tampak antusias dan sedikit terharu. Pasalnya ia tidak menyangka jika hari yang dinanti-nantikannya selama ini—pada akhirnya datang juga. Sedangkan Elya? Gadis itu terpaku di tempatnya berdiri. Benarkah yang ia lihat di sepasang mata papanya merupakan sebuah kebahagiaan yang luar biasa? Beginikah caranya membalas segala kebaikan orang tuanya yang selama ini telah menjadi orang tua hebat? Jika semudah ini, maka esok dan seterusnya akan coba Elya usahakan. Baru beberapa langkah kakinya beranjak hendak membuatkan minuman untuk sang papa. Tetapi ia berbalik badan. “Pa..” panggilnya. “Yaa, Nak?” “Tingkah Elya selama ini naudzubillah, ya, Pa?” “………” Maher seketika terdiam. Jika dirinya boleh jujur, yaa memang seperti itu kenyataannya. Namun seorang ayah dimuka bumi inipun tidak akan pernah tega untuk mengatakan kejujuran yang menyakitkan untuk putrinya sendiri. Maka dari itu, dalam diamnya Maher pun juga menggeleng pelan. “Papa barusan bohong. Elya tau dan hafal betul bagaimana ekspresi Papa.” Maher sudah menduga bahwa hal seperti ini akan mudah Elya ketahui. Hmm, sepertinya memang sudah saatnya Elya berbenah untuk menjadi anak gadis manis dan bertingkah semestinya. “Elya..mau peluk Papa?” Tanpa menjawab pertanyaan Maher barusan, Elya langsung memeluk papanya. Erat sekali. Sampai-sampai air matanya jatuh tanpa terkendali, tetapi tak ada isakan kali ini. Menangis dalam diam istilah yang tepat, yang dapat menggambarkan Elya saat ini. “Setiap orang tua pasti menginginkan perubahan yang lebih baik pada diri anaknya. Tak terkecuali Papa dan Mama, Elya. Maaf Papa barusan berbohong. Maaf Papa juga ingin bertanya soal pertanyaan kamu barusan. Karena pertanyaan kamu barusan seolah sebuah kesadaran. Siapa yang menyadarkan kamu? Dirimu sendiri? Papa bangga sama kamu.” Giliran Elya yang berbohong kali ini dengan menjawab, “D—diri Elya sendiri, Pa..” “Hebat! Anak Papa sudah berusaha memberikan usahanya yang terbaik, itu pasti. Papa selalu percaya sama kamu, Elya. Suatu saat..kamu pasti perlahan-lahan berbenah, berubah menjadi diri seorang gadis yang lebih manis daripada sekarang ini. Tidak hanya manis poin utamanya di sini, tetapi berubah menjadi pribadi yang lebih baik dari hari kemarin. Meskipun hari ini bukan hari ulangtahun kamu. Papa berharap segala do’a kebaikan Papa tentang kamu melangit dan dikabulkan dengan segera.” “Aamiin Ya Rabb..maafin sikap Elya selama ini, ya, Pa..” Sekali lagi Elya mengeratkan pelukannya pada sang papa. “Kamu nggak salah apa-apa, Elya. Jangan meminta maaf. Sudah, ya? Papa mau teh manis, Nak.” Elya menghapus derai air matanya yang sempat membasahi wajah cantiknya malam ini. Setelahnya barulah ia mengangkat jempolnya. “Siap Papa!” Saat berjalan menuju dapur, Elya berpapasan dengan mamanya yang tampak sangat sibuk tengah membawa buku catatan keuangan bakerynya dan sedang menelepon seseorang dengan ponsel pribadinya itu. Tanpa sungkan Elya turut bertanya pada mamanya, “Mama mau teh manis juga, nggak?” “Ha?” Eva seolah tidak percaya bahwa yang bertanya tentang minum kali ini adalah putrinya sendiri. Sejak kapan Elya peduli? Elya biasanya selalu hanyut dalam dunia kesenangannya sendiri sampai-sampai lupa dengan mama dan papanya. Padahal kedua orang tuanya selama ini berusaha sekeras ini hanya untuk mencukupi kehidupan serba mewah dan perfect Elya. Meskipun Elya sudah bekerja.. “Elya mau bikin teh manis buat Papa, Mama mau?” “Ekhmm, b—boleh..” “Oke, Ma!” Elya bertambah semangat dan langsung membuatkan dua cangkir teh manis untuk kedua orang tuanya itu. Dari Elya, beralih pada Maher dan Eva. Setelah Maher beberes dengan baju santai rumahannya. Pria itu lantas menyusul istrinya yang tadi sudah mengambil duduk di ruang tengah. Istrinya itu tampak sibuk mencatat hasil penjualan bakerynya hari ini. Tampak guratan lelah di sana, tetapi juga kebahagiaan yang nyata. Itulah mengapa Maher mengizinkan Elya untuk berjualan kue. Karena kebahagiaan seorang wanita tidak hanya tentang dicukupi nafkah lahir dan batinnya saja. Akan tetapi juga dibebaskan untuk melakukan apa yang disenanginya. Begitulah cara Maher memperlakukan Eva. Selagi itu hal positif, Maher akan selalu mendukung Eva. Di depan Eva sudah tersaji dua cangkir teh manis hangat yang asapnya masih mengebul itu. Maher yakin, Elya-lah yang kali ini menyiapkan minuman untuk kedua orang tuanya. “Bagaimana penjualan Mama hari ini?” “Cukup banyak. Alhamdulillah..stabil, Pa.” Eva lantas meraih secangkir teh di hadapannya, lalu memberikannya pada Maher. Senyum Eva mengembang, dengan bangganya mengatakan, “Teh manis, Pa. Buatan Princess kita. Sepertinya dia sudah keluar dari kerajaannya dan menjadi rakyat biasa.” Maher sontak tertawa keras mendengar lelucon tepat yang Eva lontarkan barusan. Ia gemas pada istrinya lalu mengacak pelan rambut sang istri, “jangan begitu. Nanti kalau dia dengar, bisa ngamuk sembilan hari dia.” “Habisnya tumben banget,” celetuk Eva yang memang masih tidak percaya jika putrinyalah yang memanjakannya malam ini. “Bukankah suatu perubahan yang cukup bagus, Ma? Kita harus selalu merangkul Elya. Agar Elya juga tau, bahwa kita selalu menyayangi Elya dan ingin yang terbaik untuk hidupnya kedepannya. Elya bukan anak tujuh belas tahunan, Ma. Maka sudah semestinya dia sadar dengan sendirinya.” “Tapi ‘kan Elya selalu bertindak semaunya sendiri, Pa. Itu problemnya!” “Hmmm, tenang. Suatu saat jika Elya sudah menikah, Elya pasti menurut pada suaminya.” “Belum tentu. Dengan siapa dulu dia menikah..” sanggah Eva dengan keyakinannya. Sebagai seorang ibu, Eva tentu tahu segala sifat dan sikap Elya selama ini. Putrinya itu sangat-sangat spesial! Dalam menghadapinya pun tidak bisa sembarangan. Harus dengan hati-hati dan segala pertimbangan jika tak mau gadis itu hancur. “Kira-kira, siapa yaa Pa yang cocok untuk menjadi suami Elya? Tentu dia yang bisa membimbing Elya.” “Itu pasti, Ma.” Kedua orang tua itu sempat terdiam. Namun tak lama, karena setelahnya dalam kepala Maher dan Eva tertanam sebuah nama. Keduanya lantas saling bertatap-tatapan. Eva yang kali ini lebih dulu membuka suara, “Pa..satu pemikiran dengan Mama?” Maher mengangguk. Dengan bersamaan, keduanya lantas mengungkapkan satu nama itu. “DANA.” *** Di dalam kamarnya, saat Elya tengah asyik menscroll media sosialnya. Tiba-tiba sebuah panggilan suara menyapanya di atas langit-langit ponselnya. Menjadi sebuah notifikasi yang kehadirannya belum siap Elya terima saat ini. Dia adalah Dana, sepupu Elya sekaligus bosnya di kantor. “Pasti cuman mau minta maaf, basi!” Elya mengabaikannya. Kemudian tontonan ponselnya itu memutar sebuah tutorial mudah membuat kudapan lezat, bolu pisang. “Emangnya pisang bisa, ya, jadi bolu?” “Kelihatannya enak..” Dalam pikiran Elya saat ini adalah menyimak dengan seksama video yang sedang terputar itu. Tidak peduli jika harus memutarnya berkali-kali agar hafal. Diputaran yang kelima kali, barulah Elya paham. Ia membawa ponselnya ke dapur sekarang juga. Sudah pasti segala bahan-bahan yang tercantum di dalam video tersebut tersedia di dapur besarnya. Sebuah dapur yang mungkin baru ia jamah akhir-akhir ini. Elya-Elya.. “Loh, Non Cantik? Belum tidur?” “Kalau Elya berdiri di sini, berarti Elya belum tidur, Mbok Dami..” jawab Elya semanis mungkin menghadapi wanita paruh baya yang selalu bersikap baik dan penuh kasih sayang padanya itu. “Non Cantik mau buat apa? Biar Mbok Dami.” Wanita itu merebut mangkuk besar yang hendak Elya gunakan sebagai wadah adonan bolu pisang buatannya. Elya merebut kembali mangkuk besar tersebut. “Mbok Dami duduk manis saja. Nanti kalau Elya perlu bantuan, baru dehh..Mbok bantu Elya. Oh ya, Mbak Atika sudah pulang?” Mbok Dami pun dengan bingung hanya menurut saja apa kata nona rumah ini. Wanita itu mengangguk menjawabi pertanyaan Elya tentang Atika. “Dijemput suaminya?” “Iya pastilah, Non Cantik..” “Enak nggak, sih, Mbok?” “Apa?” “Punya suami.” Pertanyaan Elya tentang suami ini benar-benar membuat Mbok Dami tidak bisa berkata-kata. Pasalnya beliau tidak tahu harus menjawab pertanyaan nona cantiknya barusan dengan jawaban seperti apa. Pertama, ia juga takut bila salah menjawab dan pada akhirnya menyebabkan Elya merasakan perasaan yang tidak semestinya ia rasakan. Kedua, ia memang tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya. Karena Mbok Dami sendiri sudah lama menjanda. Hidup sebatangkara, dan hanya menggantungkan hidup dan matinya di keluarga Maher. Mbok Dami bahkan sudah berpesan pada majikannya bahwa nantinya bila ia berpulang, ia meminta dimakamkan di samping mendiang suaminya. Melihat raut wajah bingung Mbok Dami yang sepertinya tengah berpikir amat keras itu, Elya segera mengusaikan bercandaannya. Ia terkekeh, “sudah, Mbok. Jangan serius-serius. Elya cuman bercanda, kok!” “Non Cantik! Bikin Si Mbok bingung saja. Coba kalau Tuan Maher dengar, bisa-bisa Non Cantik langsung dinikahkan.” “Hah!? Sama siapa!? Mas Ghibran aja jahatt banget ninggalin aku.” “Ya bukan sama Mas Ghibran, Non Cantik. Memangnya di dunia ini sosok pria hanya Mas Ghibran saja!?” “Iya, sih, Mbok. Tapi cintanya Elya cuman—” “Non Cantik belum mencoba membuka mata dan hati. Suatu saat, Mbok yakin kalau Non akan dapatkan pria yang jauh lebih baik daripada Mas Ghibran. Kalau sekarang Mas Ghibran menikah dengan gadis lain, itu tandanya Mas Ghibran bukan jodoh Non Cantik..” potong Mbok Dami sembari memberikan nasihat yang selalu ditunggu-tunggu oleh Elya. Beginilah rasanya mempunyai seorang nenek. Nenek yang penyayang dan peduli. Elya sudah sepatutnya bersyukur dengan kehidupannya. Berkecukupan, dan selalu mendapatkan limpahan kasih sayang dari orang-orang terdekat. Rasanya Elya selamanya tidak akan mau berpisah dari mereka semua. Meskipun kematian itu nyata, dan tidak ada yang tahu kapan datangnya. “Makasih, ya, Mbok. Elya juga lagi belajar untuk ikhlas kok..” “Nah, begitu dong!” Mbok Dami pun hanya diam saja saat Elya mencuci bersih buah pisang, kemudian mengupasnya dan menghancurkannya dengan sendok. “Mau buat apa, sih, Non Cantik?” “Bolu pisang! Mbok Dami pernah makan bolu pisang?” “Pernah-lah, Non. Mbok juga sering bikin. Nyonya besar juga sepertinya sangat suka dengan bolu pisang.” Kedua bola mata Elya berbinar. “Benarkah Mama suka bolu pisang?” Pertanyaan Elya barusan hanya mendapatkan anggukan kepala dari Mbok Dami. Elya semakin bersemangat untuk berhasil menyajikan seloyang bolu pisang. “Mbok bantu, ya?” “JANGAN! Mbok duduk aja! Biar Elya sendiri yang buat. Elya mau buat bolu pisang spesial by Elya.” “Ya sudah. Mbok amati dari sini, ya..” “Oke!” Mbok Dami duduk manis di sebuah kursi pantry. Sembari matanya tak pernah lepas menatap betapa cekatannya Elya membuat bolu pisang itu. Sesekali juga nona cantiknya itu menonton kembali tutorial membuat bolu pisang di ponselnya. Mencoba untuk tidak gagal dalam proses memasak pertama kalinya ini. Yaaa..first cook. Karena sebelum ini mungkin dua puluh satu tahun Elya hanya tahu mengkonsumsi saja. Tanpa tahu apa itu memproduksi! Xixixi.. Lamanya Elya berkecimpung di dapur besar itu, Elya kini sudah berada pada tahap pengkukusan. Pada akhirnya..Elya bisa duduk di samping Mbok Dami sembari bolu pisangnya matang. “Bagaimana? Lelah, Non Cantik?” Elya mengangguk jujur, “hmm. Ternyata seperti ini, ya, kue-kue lezat bisa tersaji di bakery Mama? Untung aja Mama punya karyawan sekarang.” “Setelah ini Non Cantik kapok, nggak, main di dapur?” “Enggak dong! Elya justru senang banget! Sepertinya ini akan menjadi hobi baru Elya. Daripada berbelanja menghabiskan uang. Ya ‘kan, Mbok?” Alhamdulillah.. “Iya, Non Cantik. Betul! Seratus untuk Non Cantik Elya.” “Makasih Mbok..” Tak lama kemudian, bolu pun matang. Elya sempat kebingungan bagaimana cara mengangkat bolu tersebut dari kukusan. Tetapi berkat bantuan si mbok yang memberitahukan tutorialnya, semua bisa teratasi. Karena Elya mau ini semua pure dari tenaganya, tanpa bantuan tenaga dari orang lain. “Yeayyy! Matang..” “Iya, Non. Tinggal diiris saja itu.” “Mbok mau icip?” “Boleh?” “Boleh dong!” Elya langsung mengiris kue tersebut, memberikan potongan pertamanya untuk Mbok Dami icipi. Sekaligus Elya mau mendengar penilaian dari beliau. Pertama-tama, Elya sangat gugup. Takut apabila rasanya tidak enak. Tidak bisa dimakan. Tetapi tatkala senyum Mbok Dami mengembang, disitulah secerca harapan itu ada. Harapan tentang rasanya yang tidak terlalu burukk. “G—gimana, Mbok?” “Enak sekali! Sungguh, Non Cantik. Icipi saja sendiri..” Elya yang tidak bisa langsung percaya pun, mencoba mengambil satu potongan dari bolu pisang besar buatannya itu. Membaca do’a sebelum makan, meniupnya sebentar agar tidak terlalu panas, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Saat bolu pisang itu masuk ke dalam mulut Elya, disanalah ia merasa terharu. “Ternyata enggak seburukk yang Elya pikir, Mbok..” “Mbok bilang apa!? Rasanya sangat enak!” Gadis itu pun kembali mengiris bolu besar itu dengan bentuk irisan yang cantik. Entah ia belajar darimana, yang jelas irisan bolu dari tangan Elya cukup rapih. Setelah selesai, Elya membagi bolu tersebut menjadi beberapa bagian. Ada yang diperuntukkan dirinya dan untuk kedua orang tuanya, ia taruh di piring. Khusus untuk mama dan papanya, Elya hias kembali secantik mungkin. “Selesai!” “Mau diberikan pada Tuan dan Nyonya, ya, Non?” “Iya, Mbok. Ini kejutan buat Mama dan Papa!” Melihat masih banyaknya kue yang tersisa di hadapannya. Mbok Dami lalu bertanya, “Ini masih sisa banyak untuk siapa, Non Cantik? Non Cantik juga harus sisakan untuk Mbak Atika, lohh, yaa..” “Tentu, Mbok. Habis ini Elya juga bakalan hias bolu pisang yang khusus buat Mbak Atika. Biar besok pagi-pagi Mbak Atika kaget! Mbak Atika pasti nggak percaya kalau bolu ini buatan Elya." “Tenang, Non Cantik. Mbok tadi sempat rekam dengan HP Mbok, waktu Non beraksi di dapur.” Wanita paruh baya itu mengangkat ponselnya. "Mbok memang terbaik!" Memang tidak secanggih ponsel Elya, tetapi lumayan juga skil merekam si mbok. Elya sangat senang, dan pastinya meminta video dirinya yang tengah membuat bolu pisang itu tadi. Bukan pencitraan, ya. Ini dokumentasi first cook Elya Yonna Mehrunisa. Xixixi.. “Tapi sepertinya masih sisa banyak, Non..” ujarnya lagi. Soal takar-menakar memang si mbok jagonya. Memang bolu buatan Elya ini cukup besar. “Hmmm diberikan pada siapa lagi, ya, Mbok?” Elya tampak berpikir. "Pak Dodi! Biar beliau tambah semangat jagain rumah Elya.” “Ide bagus, Non Cantik! Semua orang harus merasakan bolu pisang by Non Cantik Elya ini." "Hehehe, iya Mbok. Duh, Elya jadi malu.." "Oh ya, Non. Boleh tidak Tuan Dana mengicipi bolu pisang buatan Non Cantik ini?” “Ha? M—mas Dana?” “Iya. Tuan Dana, Non Cantik..” “………” “Boleh, ya? Tuan Dana pasti sangat gembira, karena ini adalah buatan Non Cantik.” “M—memangnya Mas Dana bakalan suka? Sepertinya enggak, deh, Mbok. Elya takut Mas Dana bakalan nilai bolu pisang Elya ini dengan penilaian burukk. Nanti malah Elya down dengarnya. Nggak usah, Mbok..” “Non Cantik ‘kan belum mencoba? Sudah, percaya sama Mbok. Biar Mbok pisah di wadah bekal, ya, Non?” Akhirnya dengan berat hati, Elya mengangguk setelah pikirannya buntu dan tidak bisa lagi menolak saran Mbok Dami. Tanpa didengar oleh Mbok Dami yang sibuk memisahkan bolu pisang itu di wadah bekal, Elya bergumam lirih, “Ya udah, deh. Sekalian tanda terima kasih karena udah dibeliin tas yang aku pengen..” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD