Pagi hari ini dirasa lebih cerah daripada pagi di hari-hari sebelumnya. Terutama bagi sepasang suami istri Maher dan Eva. Mereka masih tidak percaya apabila semalam keduanya diberikan kejutan oleh Elya—putri semata wayang mereka. Pertama, disuguhkan teh manis hangat buatan Elya. Kedua, pada pukul sepuluh malaman menjelang tidur, kedua orang tua itu disuguhi oleh bolu pisang buatan Elya.
Ada apa sebenarnya dengan hari kemarin? Mengapa Elya menjadi gemar berada di dapur?
Mengejutkan? Pastinya! Seumur-umur Elya tinggal di kediaman besarnya ini, Elya memang jarang sekali menginjakkan kakinya di dapur. Elya hanya tahu soal makanan dan minuman yang telah disajikan oleh Mbok Dami ataupun Mbak Atika. Ia hanya sebatas mengkonsumsi, enggan untuk memproduksi alias memasak.
Elya-Elya..perubahanmu yang dinilai merupakan perubahan wajar nan kecil bagi semua orang, justru menjadi sebuah perubahan yang sangat berarti bagi kedua orang tuamu.
Itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan Elya Yonna Mehrunisa saat ini.
“Pagi, Papa, Mama!” sapa hangat Elya. Ia sudah tampil rapih sepagi ini, lengkap dengan setelan kerjanya.
Kedua orang tuanya mungkin tengah menahan bibir mereka agar tidak mengeluarkan kata ‘tumben’. Xixixi..
“Cantik sekali putri Papa,” puji Maher dengan segenap ketulusan hatinya sebagai seorang ayah. Tak mau kalah, Eva pun lantas menyahut setelah mencubit pelan lengan suaminya, “Putri Mama juga, Pa.”
“Iya-iya, Elya putri Papa dan Mama yang sangat cantik!” ralat Elya menengahi kedua orang tuanya sebelum kejadian bertengkar di pagi hari merusakk momen pagi yang cerah ini.
“Elya sarapan dulu, Nak..”
“Iya, Pa. Sebenarnya tadi pagi-pagi sekali Elya sudah bangun. Niatnya, sih, mau bantu-bantu Mbok Dami sama Mbak Atika masak sarapan di dapur. Ehhh, malah alarm Elya nggak kedengeran sama sekali. Elya tidurnya terlalu nyenyak!”
Kala namanya terpanggil, Mbok Dami dan Mbak Atika tiba-tiba terbatuk-batuk sendiri di belakang. Entahlah, seperti terkejut saja dengan cerita Elya barusan. Tak terkecuali dengan Eva. Mama Elya itu justru tersedak sarapannya sendiri. Hanya Maher saja yang meresponnya normal. Pria yang merupakan kepala keluarga itu hanya terkekeh pelan. “Lain kali biar Mbak Atika yang bangunkan kamu, kalau misalnya kamu beneran mau bantu-bantu masak di dapur.”
“Iya juga, ya, Pa!?”
“MBAK ATIKA BESOK BANGUNIN AKU, YAAA!!” serunya pada Mbak Atika di dapur. Karena letak dapur dan ruang makan yang tidak terlalu jauh, dan orang-orang di kedua ruangan itu masih dapat saling melihat satu sama lain. Akhirnya, Mbak Atika hanya mengangkat jempolnya sebagai jawaban ‘IYA/SIAP’.
“Elya?”
“Ya, Ma?”
“Mama boleh tanya?”
“Tanya aja, Ma..” Elya masih santai mengunyah sarapan nasi goreng sosis di hadapannya ini. Ia tidak merasa harus mempersiapkan dirinya karena sang mama yang tiba-tiba ingin bertanya sesuatu padanya, akan tetapi izin padanya terlebih dahulu.
Padahal biasanya Mama Elya jika hendak bertanya, maka akan langsung saja bertanya.
Sejak tadi sebenarnya Eva sudah berusaha menatap kalimatnya serapih mungkin. Tujuannya agar sang putri tidak merasa tersinggung dengan pertanyaannya ini. Karena mungkin pertanyaan Eva kali ini akan sedikit sensitif untuk Elya yang baru-baru ini berusaha merubah dirinya.
“Elya kenapa, sih, Sayang? Elya ingin sesuatu?”
“Elya udah tebak, sih, pertanyaan Mama.”
“Terus? Apa motif Elya melakukan semua ini? Ini bukan seperti Elya yang biasanya lohh.. Maaf kalau pertanyaan Mama menyinggung kamu.” Ada raut sesal di wajah bidadari cantiknya. Padahal Elya sama sekali tidak merasa tersinggung. Ia justru senang apabila kedua orang tuanya menyadari perubahan yang terjadi pada dirinya, hm..tidak sia-sia bukan?
Untung saja semalam Elya sudah berpikir dan sudah mempunyai sebuah jawaban. Dengan yakin Elya menjawab tanpa menghilangkan senyum manisnya, “Ma..Elya ini sudah dua puluh satu tahun. Bahkan sebentar lagi menginjak usia dua puluh dua tahun. Elya malu, Ma. Sikap Elya selama sudah banyak merepotkan orang-orang yang sayang sama Elya. Sudah seharusnya Elya mensyukuri banyaknya nikmat yang Elya miliki ini. Yaaa dengan memulai belajar memasak di dapur, Elya rasa semua perubahan bisa Elya mulai dari sana. Ternyata, Elya juga mempunyai kemampuan di sana. Elya nggak bodohh-bodohh banget, kok, sebagai cewek.”
“Elya? Kalau Mama boleh bilang sesuatu, Mama bakalan bilang kalau putri Mama ini sangat pintar. Tidak ada yang boleh memandangnya seperti seorang gadis yang bodohh. Kamu berpendidikan, Sayang. Kamu juga sebentar lagi akan belajar menjadi menantu idaman para mertua.”
“Ha? M—maksud Mama?”
“Iya betul kata Mama kamu, Elya. Apa selamanya kamu akan menjadi seorang gadis? Tidak, Nak. Kamu juga nantinya akan menjadi seorang istri bagi suamimu, dan juga ibu bagi anak-anakmu.”
“Ini kayaknya topik perbincangan kita sudah kejauhan, deh, Ma, Pa.” Elya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia bahkan masih merasa sakit hati karena ditinggal menikah oleh Ghibran-nya! Tentu Elya sedikit risih apabila kedua orang tuanya mulai membahas-bahas tentang sebuah pernikahan. Memangnya ada pria di dunia ini yang 11 12 seperti Ghibran?
Tidak ada!
Ghibran hanya satu, dan sangat dicintai oleh Elya. Bisa dikatakan cinta mati.
“Lohhh, kok kejauhan sih? Enggak dong, Elya Cantik! Kamu harus mulai belajar untuk menjadi menantu idaman para mertua. Mama punya banyak caranya—”
“Maa, udah ya. Elya mau berangkat!!”
CUP!
CUP!
Setelah mencium pipi kedua orang tuanya, Elya berseru, “Elya berangkat!!”
Masih bergidik ngeri karena pembahasan menjadi menantu idaman para mertua itu, Elya akhirnya juga merasa lega karena ia berhasil keluar dari zona barusan. “Astaga, bisa-bisa besok KUA riwehh karena aku!” Elya mengusap dadanya merasa sangat lega. Lega selega-leganya..
***
Di kantor, Elya sudah duduk manis di meja kerjanya. Ia membawa dua kotak bekal bolu pisang buatannya semalam. Untung saja tidak basi. Yang satunya untuk cemilannya sendiri. Sedangkan yang satunya lagi untuk diberikan pada Dana—sepupu sekaligus bosnya di kantor, atas saran Mbok Dami. Hingga akhirnya Elya mau mencoba memberikan kotak bekal berisi hasil karyanya di dapur ini, spesial diberikan pada Dana.
Sembari matanya sesekali menoleh ke kiri dan kanan. Keadaan masih cukup renggang. Elya pada akhirnya membenarkan keheranan kedua orang tuanya. Mungkin baru kali inilah Elya berangkat bekerja sepagi ini. Biarlah..ia jadi bisa bersantai sebelum mulai bekerja. Seperti biasa, kebiasaan Elya tidak pernah hilang yakni, menscroll media sosialnya. Bedanya, saat ini jemarinya tergerak untuk mencari aneka resep masakan yang lain. Bukan untuk mengetahui sebuah gosip yang beredar di dunia entertaimen, ataupun sekedar mencari-cari informasi tentang tas dan sepatu keluaran terbaru.
“Udang saus tiram..” gumam Elya saat memutar sebuah video yang mempertontonkan food vlogger tengah menyantap masakan berupa udang.
Elya jadi terinspirasi untuk memasak udang nantinya. Meskipun ia sama sekali belum pernah menyentuh udang mentah. Tak apa, keputusan Elya untuk memasak udang sudah bulat. Ia bahkan langsung mencatat bahan-bahan masakan yang harus ada dan tersedia di rumah. Tentu Elya akan meminta tolong Mbak Atika saat wanita itu berbelanja. Karena biasanya agak siangan nanti Mbak Atika akan berbelanja di super market.
Saking asyiknya sendiri dengan dunia barunya, Elya sampai tidak sadar jika kantor telah ramai dengan para pegawainya. Hingga Dana yang melintas di samping Elya pun terabaikan olehnya. Dana maklum, dan sudah mengira hal ini akan terjadi. Karena kemarin dirinya dan Elya sempat bertengkar. Maka Dana biarkan saja. Tetapi tidak dengan Namira—sekretaris pribadi Dana yang cukup akrab dengan Elya.
Janda muda itu mendekat pada Elya, menepuk bahu gadis yang tengah asyik sendiri itu. “Elya?”
“Eh! Mbak—Bu Namira, selamat pagi!”
“Pagi..”
“..kamu sedang apa? Kelihatannya asyik banget..”
“Iya, ini cuman nulis-nulis enggak jelas.” Elya sengaja berbohong. Ia tak mau membuat semua orang tidak percaya dengan perubahan-perubahan kecilnya ini, karena hal tersebut akan membuat Elya merasa malu dan down. Maka dari itu, diam-diam bergerak akan jauh lebih baik daripada berkoar-koar tapi dengan hasil nol.
Namira mengulas senyumnya. Ia sebenarnya tahu apa yang ditonton dan sedang dicatat oleh Elya itu. Mencoba menghargai privacy Elya, Namira lantas berujar, “Semangat, ya, Elya!”
“S—semangat?”
“Semangat bekerjanya!”
“O—oh..tentu!” Elya sedikit gugup. Ia pikir Namira tahu apa yang dicatatnya ini.
Tak berhenti disitu saja, pandangan Namira lantas tercuri pada sebuah wadah bekal yang masih terisi. “Wihh, bawa bekal apa tuh?”
“Bolu pisang, Bu. Bu Namira mau coba?”
“Boleh?”
“Boleh dong!” Elya antusias menawarkan Namira bolu pisang buatannya itu tanpa menyebutkan bahwa ini adalah buatannya. Mungkin juga Namira sudah mempunyai kesimpulannya sendiri. Pasti wanita beranak satu itu mengira bolu pisang ini mahakarya Eva—Mama Elya yang memang seorang pengusaha bakery.
“Enak, nggak, Bu?”
“Enak, Elya! Buatan kamu?”
Deg.
“Emmm, b—buatan..”
“Enak, Elya. Lidah saya mana bisa berbohong,” tegas Namira dengan mata yang tidak lepas dari bekal lain yang turut ada di atas meja Elya. Namira berdehem, “Ekhm, pasti kotak bekal yang satunya itu untuk Pak Dana, ya, ‘kan?”
“Huh?”
“Tunggu apalagi? Cepat berikan. Pak Dana belum sarapan sepertinya..”
“Darimana Bu Namira tau?”
“Yaa kebiasaan beliau. Jarang sarapan!” Namira terkekeh. Kekehannya sampai menular pada Elya. Gadis itu percaya saja dengan apa yang barusan Namira katakan, karena memang selama ini—Namira cukup hafal dengan kebiasaan bosnya itu. Diantara mereka memang sudah seperti kakak beradik. Namira sebagai kakaknya, sedangkan Dana sudah dianggapnya seperti adik sendiri.
Kalian jangan nethink, Teman-teman. Namira cukup sadar posisinya, ia janda beranak satu. Suaminya telah lama meninggal. Hingga detik ini, meskipun ia sudah banyak dijodohkan dengan pria lain, Namira masih harus berpikir ribuan kali untuk menerima pinangan pada lelaki. Karena ini tidak hanya menyangkut kebahagiaannya saja, melainkan juga kebahagiaan putranya—Agra.
“Bu Namira, saya izin ke ruangan Pak Dana sekarang, boleh?”
“Boleh dong!”
“Terima kasih..” Melangkah bersama dengan Namira. Pada akhirnya keduanya berpisah karena meja kerja Namira berada di luar ruangan Dana. Namira membiarkan gadis muda itu masuk sendirian ke ruangan bosnya. Asalkan mengetuk pintu terlebih dahulu dan diizinkan masuk ke dalam oleh Dana.
Mana mungkin Elya ditolak Dana untuk masuk ke dalam ruangannya?
Tapi, Namira heran. Tumben sekali Elya mau mengetuk pintu Dana? Biasanya langsung terobos! Toh, Dana sepupunya sendiri..
Itulah satu dari ratusan sikap Elya yang berhasil membuat Namira geleng-geleng kepala. Bibirnya bahkan sudah lelah mengoceh, memberikan nasihat untuk Elya—karena hanya sekedar lewat saja, hanya diIYA-kan, tapi jarang dilaksanakan. Itulah sosok Elya.
Namun pagi ini, Namira merasa seperti bertemu dengan Elya lain di muka bumi ini. Tanpa sepengetahuan Elya. Namira bertanya pada dirinya sendiri, “Elya kerasukan jin baik darimana? Tumben buat bolu. Emm..mungkin jadi menu terbaru di bakery Nyonya Eva. Tumben juga hari ini Elya kalem. Andai Agra tau, pasti dia lebih banyak muji-muji Elya daripada mamanya sendiri..” Begitulah Namira dan segala pemikirannya tentang apa yang dilihat, dan dirasakannya. Elya memang seperti orang lain hari ini.
Namira berharap, ini merupakan awal yang baik untuk Elya, sehingga gadis muda itu segera menemukan tambatan hatinya. Karena harapannya bersama dengan Ghibran kandas tak berbekas. “Mungkin bentuk patah hati seorang wanita yakni, berusaha menyibukkan dirinya sendiri di sebuah aktivitas yang sebelumnya tidak pernah ia jalani. Hmm, mungkin.”
Dari Namira, kita beralih pada Elya. Gadis itu melangkahkan kakinya pasti, tapi sedikit gugup. Astaga! Hendak bertemu dengan sepupunya saja sudah seperti hendak bertemu Ghibran cintanya!
‘Biasa aja, Elya! Ngapain pakai acara gugup, sih!?’
“Ekhm..ada apa, Elya?” tanya Dana langsung pada intinya. Kini pria itu sedang menyampirkan jas hitamnya di kursi singgahsananya di kantor ini, kursi bos!
Elya yang terlanjur diizinkan untuk masuk, kemudian langsung saja pada niat awalnya. Ia menaruh kotak bekal spesial yang telah dibawanya itu ke meja kerja Dana.
Sebelah alis Dana terangkat. Ia benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan jackpot sepagi ini. Bukankah kemarin Elya marah padanya? Lalu, pagi ini?
Ah sudahlah..lupakan hari burukk kemarin.
“Ini..untuk saya?”
“Iya. Untuk Pak Dana.”
Kening Dana mengerut, “kamu hendak izin pergi menemui Ghibran hari ini?”
“Huh? Tidak, kok, Pak!”
“Lalu?”
“Pak Dana mengira bekal ini sebuah sogokan?” tanya Elya yang sudah paham dengan maksud perbincangan Dana tersebut.
Dengan dugaan yang tertanam dalam kepalanya, tentu Dana mengangguki pertanyaan Elya barusan. Memangnya, sejak kapan Elya mau memberinya sesuatu tanpa imbalan?
Merasa semua orang sepertinya benar-benar asing dengan perubahannya ini. Elya lantas menghela napasnya. Ia menatap kedua bola mata Dana dengan tatapan sedikit kecewa. Padahal harapannya, tidak sampai Dana menuduhnya hendak menyogok. Ahh, keputusannya menuruti saran Mbok Dami sepertinya salah besar.
“Saya tidak bermaksud menyogok Pak Dana. Ini murni pemberian saya. Bolu pisang, ekhm..buatan saya sendiri. Kalau Pak Dana tidak suka, bisa dibuang. Saya permisi.”
“Tunggu!”
“Ada apalagi, Pak?”
“Kamu tidak ingin memastikan saya makan bolu buatan kamu ini?”
Elya menggeleng.
“Kamu yakin tidak ingin mendengar pujian saya?”
“Mana mungkin Pak Dana memuji saya. Kata Pak Dana, sikap saya naudzubillah.” Elya mengungkit-ungkit persoalan yang kemarin sempat membuat mereka berdua bertengkar. Dana tentu sudah antisipasi untuk hal yang satu ini. Wanita ‘kan memang sosok yang paling pandai dalam mengungkit suatu perkara. Tak peduli perkara kemarin, perkara lima tahun atau bahkan sepuluh tahun yang lalu. Haha!
“Saya minta maaf untuk ucapan saya yang kemarin, Elya. Saya tidak bermaksud menyinggung perasaan kamu..”
“Tidak apa-apa. Sudah biasa, Pak Dana.”
Jawaban Elya yang cepat, tepat, dan juga penuh dengan ungkapan perasaannya itu seketika membuat Dana merasa semakin bersalah. Ia yang semula diam di tempatnya berdiri, kini mulai bergerak. Berjalan semakin dekat pada Elya. Hingga berdiri tepat di hadapan Elya. Sebelum itu, Dana sempat meraih kotak bekal yang Elya letakkan di meja kerjanya tadi.
Dana lantas menyodorkan kotak bekal yang ada di tangannya tersebut pada Elya.
Awalnya Elya terkejut, ia sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa Dana akan menolak kudapan yang berhasil dibuatnya dari hasil jerih payahnya sendiri itu. Gadis itu menelan pil kekecewaan yang berhasil menggerogoti seluruh rasa percaya dirinya. Ia yang semula mengharapkan penilaian dari sosok Dana. Kini berubah haluan menjadi ingin sekali membuang kotak bekal itu di tong sampah.
Elya bersuara lirih, bermaksud meminta penjelasan dari tingkah Dana ini. Dengan menahan buliran air matanya agar tidak jatuh dan terlihat lemah. “Pak Dana tidak mau kue bolunya?”
***