MUSIK 13

798 Words
Vano berjalan menuju g**g rumah Jingga. Entahlah, kakinya meminta ia melangkah ke tempat itu sekarang juga. Ia membereskan wajahnya yang pucat karena berniat menolong Jingga tapi malah Vano juga tak bisa menolong dirinya sendiri. Untung saja Bara membawa gadis itu ke tepi. Vano merasa seperti pengecut dan ia ingin menebusnya sekarang. “Vano?” Jingga cukup terkejut karena pagi-pagi rumahnya sudah dikunjungi manusia es dari kutub utara. Soal kejadian kemarin, Jingga masih kesal. Vano berniat membuatnya tenggelam! s****n! “Ayo.” “Apaan?” tanya Jingga bingung. Vano menjawab dengan datar, “Pergi sekolah. Jangan GR. Anak-anak yang nyuruh gue jemput lo.” “Siapa juga yang mau dijemput Tuan Vano yang sedingin lantai rumah kosong?” Dari arah pintu rumah Jingga, Langit keluar dengan wajah bangun tidur. Langit melambaikan tangannya pada Vano, tetapi Vano tak merespons. “Gue cuma disuruh anak-anak buat jemput cewek lo,” ucap Vano dengan datar pada Langit yang kebingungan. “Cewek gue?” Langit sukses terbahak. “Lo percaya sama bualan si Jingga yang k*****t? Dia itu adek gue yang paling durhaka.” “Langit, sial...” Jingga mengumpat dengan pelan sambil menggeretakkan giginya. Sedangkan Vano sudah melirik Jingga dengan tatapan 'Lo bohongin gue.' “Nama gue Langit. Lo Bando ya kalau nggak salah? Salam kenal.” Langit  menjabat tangan Vano. “Gue Vano.” “Beda dikit, lah.” Langit masih nyengir. Vano memberi kode agar Jingga segera melangkah. Jingga mengangguk, sebelum pergi ia melotot pada Langit yang memasang wajah minta ditampol. Gadis itu berjalan pelan, tapi s**l, kenapa kakinya sakit lagi? Bukannya semalam sudah baikan? “Kenapa berhenti?” Vano menengok ke belakang. “Lo duluan aja. Gue masih lama.” Vano berjalan ke arah Jingga, berkata, “Jangan bikin gue susah. Cepet.” Ia membungkukkan tubuhnya, “Naik.” Akhirnya Jingga mengalah dengan mengalungkan tangan pada leher Vano. Ia merasa cowok itu mengangkat tubuhnya perlahan dan mulai melangkah keluar g**g. “Orang tua gue ngerayain hari jadi mereka. Lo diundang.” Suara Vano terdengar. “Oh, oke,” jawab Jingga. Mereka berjalan menuju g**g dengan suasana hening. Entah kenapa Jingga merasa jantungnya tidak bisa berkompromi. Apalagi saat Vano membenarkan posisi gendongannya, jantung Jingga langsung berdebar aneh. Jingga tahu jawabannya: pasti lapar. Sesampai di g**g, Vano menurunkan tubuh Jingga agar kaki gadis itu menapak. Jingga duduk di kursi depan, sedangkan Vano sudah menghidupkan mesin. Ia mulai menjalankan mobil dan mengatakan sesuatu yang Jingga kira tak mungkin terucap dari mulut seorang Pangeran Es: “Gue minta maaf kemarin udah nuduh lo selingkuh sama Bara.” Karena tidak mendapat jawaban dan Jingga hanya bengong, akhirnya Vano menempelkan telapak tangannya di kening Jingga. “Lo sakit apa b**o, sih?” Perlakuan Vano membuat Jingga tersentak. Bahkan Jingga merasa tidak masalah jika Vano mau minta maaf atau tidak. Dan anehnya jantungnya tak berfungsi secara benar lagi. “Iya gue maafin. Dan Van, lo punya roti nggak?” “Lo laper?” Laper apa baper, Ji?     ***   Jingga menatap horor pada buku biru dongkernya yang bernama Dongki. Semenjak Vano memaksa Jingga menjadi pacar pura-puranya, ia selalu menuliskan apa pun pada buku diary-nya ini. Dan Jingga baru sadar bahwa lembar per lembar berisi nama Vano. Buku itu ditutup Jingga dengan cepat ketika sang objek dari curhatannya berjalan pelan dengan wajah super kusut. Setelah libur mengajar di studio karena ujian try out, akhirnya dengan malas Vano harus kembali menghadapi murid-murid ganjennya. Maka dari itu ekspresi Vano begitu menderita. Vano menekan tuts-tuts piano dan susunan melodi tenang mulai terdengar. Jingga jadi ingat pada lembaran lagu milik Vano yang sempat ia baca dengan lancangnya waktu itu. “Apa sekarang lo lagi buatin lagu untuk Luna?” Suara dari Jingga membuat Vano menghentikan laju jari-jarinya, tetapi ia tak mengatakan apa pun. “Boleh nggak gue bilang kalau lo payah, Van? Dengan kemampuan akademik dan juga wajah lo yang menurut gue lumayan, apa kurang cukup bikin lo berani ngungkapin perasaan ke Luna?” Cewek itu terus bicara dengan suara santai tapi penuh kepercayaan diri. “Kalau lo cuma diem-diem aja, nggak bakal dapet. Payah.” “Jadi cowok tuh harus berani ambil risiko, jangan terus-terusan di zona aman. Kayak Bara tuh, gentle!” Vano menekan tuts dengan sepuluh jarinya sehingga Jingga sontak menutup kedua telinga menggunakan tangan. “Asal lo tahu, gue suka sama Luna semenjak lima tahun lalu tanpa ngelirik cewek mana pun. Gue jaga perasaan gue cuma buat dia. Gue payah?!” Jingga tergagap, ia baru sadar bahwa Vano mencengkeram tangannya dengan kuat dan menatapnya tepat di mata. “Kalau lo belum pernah ada di posisi perindu, jangan pernah menghina. Karena gue, cuma pengen rasa gue nggak terbagi. Gue rela payah buat orang yang gue suka. Apa salah?” Jingga membisu. Lalu Vano melanjutkan, “Dan lo lebih payah, Jingga. Karena terlalu ikut campur dengan perasaan orang lain.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD