MUSIK 14

1597 Words
Bel pulang berbunyi dan akhirnya semua murid berteriak gembira. Sebelum pulang, ada juga beberapa yang memoleskan bedak, lipstik, bahkan ada juga yang ikut boker di WC sekolah. Mungkin di rumahnya tidak ada air? “Jingga!” Bara sudah ada di pintu kelasnya. Jingga lalu menghampiri cowok yang tersenyum terus itu. “Diundang ke acara orang tua Vano?” “Iya.” “Lo ada waktu? Anter beli kado, yuk? Luna nggak bisa, dia harus ke salon.” Mendengar kata kado, Jingga jadi waswas. Pantatnya yang tidak semok jadi panas. “Aduh, harus bawa kado? Gue nggak ada duit.” “Nggak. Ini disuruh Nyokap gue doang.” “Tapi gue nggak bisa jalan lama, ya. Lo tahu gue lagi pincang.” Bara memberikan jempolnya. Ia berjalan di belakang Jingga ketika dengan perlahan gadis itu melangkahkan kaki.   “Bilang Vano dulu kalau lo jalan bareng gue,” kata Bara. “Emang harus?” “Kalian pacaran, kan? Biar Vano nggak khawatir lah, Jingga.” Oh, Jingga baru tahu kalau pacaran itu seperti tamu di kantor kelurahan. Dua kali duapuluh empat jam wajib lapor. Jingga bukan maling, padahal… “Gue sama Vano nggak kayak gitu. Santai aja, dia nggak akan nyariin gue.” Jingga mengangkat bahunya cuek karena semenjak pulang dari studio dan Vano mengutarakan tentang perasaan lima tahunnya, Jingga belum bertemu lagi dengan Vano. Mungkin cowok itu muak karena Jingga memang terlalu ikut campur. Mereka pergi menuju toko perhiasan di dekat taman kota. Jingga cukup terkejut karena hadiah yang dibeli Bara pasti harganya tidak main-main. Sebenarnya sekaya apa sih keluarga Vano dan Bara itu? Mereka sudah keluar toko dan Bara melihat seseorang yang baru saja turun dari mobilnya. Membuat Bara melambaikan tangan. “Vano!” Jingga langsung bisa melihat Vano yang berjalan ke arahnya. Tampang cowok itu dingin, seperti biasa. “Kata Leo, lo ajak cewek gue pergi?” Vano bertanya pada Bara, lalu tangannya menggenggam tangan Jingga sampai gadis itu melongok. “Udah selesai belum, Bara?” Bara tertawa kecil. “Sori, tadi minjem buat anter beli kado. Udah selesai, Vano.” Lalu Vano membawa Jingga menuju mobilnya. Ia dudukkan gadis itu di jok depan. Ketika Vano sudah menyetir, ia bertanya, “Lo kenapa diem aja?” “Gue kira lo marah sama gue.” Jingga malah menjawab hal yang menurut Vano tidak nyambung. Ketika ia melirik gadis di hadapannya, Jingga sedang meremas-remas jari. “Kenapa gue harus marah?” tanya Vano. “Soalnya gue...” ucapan Jingga menggantung. “Kata lo, gue terlalu ikut campur?” “Kalau gue marah, kenapa gue jemput lo?” Hening. “Gue nggak marah. Jangan lupa, malam ini dateng ke pesta orang tua gue.”   ***   JING-ga : Kalo pesta anniv gitu pake baju apa, Van? JING-ga : Gue nggak punya baju bagus. Suerr deh >_JING-ga : DEMI APA KALAU LO NGGAK BALES SMS INI, GUE BAKAL TENDANG UBUN-UBUN LO! JUNIOR LO JUGA GUE TENDANG!!! Vano mengetik balasan dengan santai. Me : Terserah lo. Lagian lo pake apa aja juga jelek.   Vano menutup ponsel beserta matanya, tetapi tiba-tiba ia terkekeh. Ia menulis pesan lagi.   Me : Lo dateng sekarang bisa? Entar gue pinjemin dress kakak gue.   Beberapa detik kemudian ada balasan.   JING-ga : Lo nyuruh gue pake baju yang menakutkan seperti itu? Oh, makasih, Es!   Vano mengedikkan bahunya tidak mengerti dan tidak peduli. Tapi bagaimana kalau gadis itu datang dengan kostum aneh atau tidak pas untuk pesta? Bodo amat, deh. Vano turun dari kamarnya, dan langsung menuju taman belakang. Ternyata memang sudah banyak teman dan kerabat dari Mama maupun Papanya. Termasuk seorang gadis yang memakai dress hitam selutut plus high heels berwarna senada. Rambutnya dikepang menyerupai Katniss di dalam film The Hunger Game. “Vano?” Luna tersenyum lembut dan Vano hanya membalas dengan senyum dinginnya yang khas. “Btw, lo cocok pake jas itu, Van.” Jika cowok lain pasti akan menjawab 'Lo juga cantik banget pake dress itu' tapi Vano malah berjalan ke arah dapur meninggalkan Luna untuk mengambil minum, padahal di meja sudah berderet minuman segar. Sampai ada siluet seorang gadis yang berjalan ke arahnya. “Vano? Gue telat nggak?” Vano menumpahkan semua air yang ada di mulutnya ketika melihat Jingga berdiri di depan pintu dapur. “Apa yang lo pake, Jingga?!” Memutar kedua bola matanya ke atas, Jingga menjawab, “Kan gue udah bilang, gue nggak punya baju bagus.” Tiba-tiba Aufa datang dan langsung menarik tubuh Jingga menuju taman. Vano masih menarik napasnya tidak percaya. Jingga benar-benar gadis paling aneh sedunia. Vano menaruh gelas lalu berjalan menuju tempat acara dan semua tamu sudah berkumpul. Mei yang ditugaskan menjadi pembawa acara, memberikan salam dan kata pembuka dengan lembut. Acara inti dimulai. Kedua orang tua Vano sudah meniup lilin dan memotong kue. Para tamu bertepuk tangan. Jingga benar-benar kagum. Sungguh romantis dan manis. Jingga sebenarnya bukan tipe gadis yang suka romance, tapi keluarga ini benar-benar real family,  lebih romantis dari Romeo-Juliet. “Harmonis banget, ya?” suara Bara membuyarkan kekaguman Jingga. “Eh, Jingga, lo mau pesta tidur di mana?” “Bacot lo!” Jingga membentak. “Ini satu-satunya pakaian gue yang agak feminin.” “Agak feminin? Maksud lo, piyama tidur bertuliskan ONE DIRECTION di depan, dan ada tulisan I LOVE HARRY di belakangnya, lo bilang agak feminin?” Bara menahan tawanya. “Ini dikasih Leo. Puas lo?!” Bara benar-benar sakit perut sehingga tak tahan jika tidak tertawa lagi. “Gue udah yakin, sih, pasti ada sangkut pautnya sama si Leo. Siapa lagi yang fanatik banget sama si gondrong jelek itu selain Leo?” “Si gondrong jelek? Wah, lo bisa dipecat jadi sahabat kalau Leo denger,” sahut Jingga, geleng-geleng. Mereka akhirnya berjalan menuju taman depan. Ketika Jingga melirik, Vano sedang family time. Dan kata Bara, tadi Luna hadir namun sudah pulang duluan karena mau mengantar Mamanya belanja. Ternyata di taman depan ada seseorang yang sedang bertelepon ria. Suaranya terdengar lembut. Orang yang sedang menelepon itu langsung menurunkan ponselnya. “Bara? Kenapa kamu di sini?” “Papa ngapain?”. Papanya tak menjawab, beliau langsung masuk ke rumah Vano. “Selalu kayak gitu. Menghindar pas ketahuan.” Gumaman Bara membuat kening Jingga mengkerut, lalu cowok itu menatap Jingga. “Parfumnya beda lagi.” “Gue nggak pake parfum.” Jingga menggeleng. “Bukan lo, tapi bokap gue.” “Kenapa emang?” Bara tak menjawab. Ia berjalan menuju ayunan dan duduk di sana. Menyuruh agar Jingga juga mau duduk di sebelahnya. “Lo pernah denger istilah 'Pria sejati hanya memakai satu parfum' ?” Kepala Jingga yang berisi otaknya yang kecil itu menggeleng. “Katanya, para pria yang memakai satu parfum aja itu tipe setia. Ya kalau ganti-ganti, lo tahu sendiri jawabannya.” Bara menaikkan kedua bahunya cuek. “Gue beberapa kali mergokin dia ngangkat panggilan diem-diem, pulang larut banget padahal gue tahu jadwal ngajar dia di kampus nggak pernah full. Apa lagi itu namanya kalau bukan ciri-ciri selingkuh, Jingga?”   ***   Jingga memasukkan bukunya ke dalam tas, lalu melangkah ke luar kelas. Jingga berjalan sendiri dan dia bertemu dengan Pangeran Es yang sedang fokus dengan buku Matematika di tangannya. “Hai, Ayang?” Jingga berkata sambil nyengir. Otomatis Vano langsung menurunkan bukunya. “Maksudnya, lo peliara ayam?” tanya Vano. “Ayang, Vano. A-y-a-n-g!” “Gue nggak jualan layang-layang.” “Au amat, Van.” Jingga berjalan meninggalkan Vano, tapi entah kenapa Vano mengikutinya. Vano merasa gadis ini akan membuat masalah. Sampai di koridor, Jingga dihadang seorang gadis yang memakai seragam dengan ketat. Ingat orang yang menyuruh Jingga membawa pulang dua kantung waktu itu? Nah, dia adalah orang yang sama. Namanya Sesil, dan senang sekali mengatai Jingga. Semenjak kaki Jingga sakit, Sesil semakin menyeramkan. Dia mengatai Jingga pincang bahkan dihina murahan karena mengguna-guna Vano sehingga mereka berdua bisa berpacaran. Awalnya Jingga santai, tapi lama kelamaan ia panas. Jingga langsung menarik rambut Sesil dengan kuat sehingga gadis berseragam ketat itu merengek. “Gue mau bales dendam soal kemarin! Sini gue gundulin rambut lo!” Jingga mengeluarkan gunting kecil dari kantung seragamnya dan Sesil langsung berteriak histeris. Murid yang berada di lapangan dan sekitarnya turut berteriak. Dari sekian banyak orang, tidak ada yang berani memisahkan mereka. Vano langsung menjauhkan tubuh Jingga dari Sesil, tapi Jingga dengan cepat menarik rambut musuhnya lagi. Vano mengambil guntingnya daripada bahaya. “Sini lo, Sesil s****n!” Jingga berteriak. “Lo yang s****n!” “ADA APA INI RIBUT-RIBUT?!” Perkelahian itu langsung berhenti ketika terdengar suara penguasa ruangan BP berkumandang dengan ganasnya. “Berkelahi di sekolah? Bagus! Dan, Vano, kamu ikutan? Oh, pegang gunting juga?! Kalian bertiga langsung ke ruang BP. SE-KA-RANG!” Vano menggeleng cepat. “Sa-saya enggak—” “BP! SEKARANG!” Akhirnya Vano mengikuti perintah sang guru BP. Jingga dan Sesil sempat-sempatnya masih saling hina ketika berjalan menuju ruang kematian para murid yang membuat masalah itu. “Saya masih tidak percaya, juara umum membantu dua gadis berkelahi,” sindir ketus guru BP setelah berada di ruangan. Jingga mengangkat tangan, “Bu, kayanya ada salah paham. Vano nggak—” “Cukup, Jingga. Tidak usah membela orang yang salah. Berkelahi di sekolah sangat melanggar peraturan. Kalian bertiga ibu skors selama tiga hari!” “Tiga hari, Bu? Tapi seminggu lagi ujian sekolah, Bu?” tutur Vano tidak terima. “Bu, saya aja yang dihukum.” Jingga masih meminta keringanan karena Vano memang tidak bersalah. Guru BP menggeleng kejam. “Selamat belajar di rumah, dan kalian boleh keluar sekarang!” Ah, kiamat bagi Vano! Ketika mereka berdua sudah keluar, Jingga benar-benar merasa tidak enak pada Vano. Sehingga ia punya ide cemerlang, “Van, mau ikut ke rumah nenek gue di Bogor?”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD