MUSIK 12

2415 Words
Vano sedang menunggu pesanan satenya matang. Tidak sengaja, ia melihat seorang gadis yang tengah duduk sendirian, masih lengkap dengan seragam SMA-nya. Diam memandangi setangkai bunga mawar berwarna merah dan wajahnya tampak lelah. Vano kenal siapa gadis itu. Gadis manis yang mempunyai beribu alasan untuk Vano kagumi. Ya, Luna. Gadis yang sedang duduk di bangku taman itu adalah Luna. Entah mengapa Vano berani berjalan pelan untuk menghampirinya. Luna yang tadinya memasang wajah lelah, langsung tersenyum kecil. Salah satu alasan mengapa Vano menyukai gadis ini; Luna gampang sekali tersenyum, entah bagaimana keadaannya. “Sendiri?” tanya Vano pelan. Luna langsung mengangguk. “Gue nunggu Bara sebenernya,” ia melirik jam di tangannya, “Tapi kayaknya dia nggak dateng.” “Sebelumnya udah janjian?” Luna mengangguk lagi. “Udah. Tadi emang kita udah ketemu. Tapi dia kirim uang dulu buat adiknya yang lagi kemping. Eh, nggak balik-balik. Lo sendiri ngapain?” “Gue sendiri. Beli sate. Buat Mama.” “Oh,” Luna bangkit dari duduknya. “Gue balik, deh.” “Rumah kita searah. Mau bareng?” Entah mengapa Vano ingin berkata seperti itu. “Boleh, kalau nggak ngerepotin.” Vano mengangguk, ia mengambil sate pesanannya kemudian berjalan ke arah mobilnya yang terparkir. Vano menjalankan mobilnya dalam diam dan kesialan menimpanya. Bannya bocor. Akhirnya Vano turun dari mobil, untung saja tambal bannya tidak jauh, sehingga kerusakan yang tidak direncanakan ini bisa langsung diperbaiki. Setelah selesai dan membayar, Vano kembali masuk ke mobilnya. Tapi Luna, dia sedang terisak lumayan kencang. “Lo kenapa?” Vano bertanya dengan bingung bercampur khawatir. Namun dia berusaha agar Luna merasa nyaman. Luna masih terisak, Vano melihat ke arah yang dimaksud Luna dan ia cukup terkejut. Jingga, sedang memeluk seseorang yang sangat Vano kenal.   Apa maksudnya ini? Peluk-pelukan di tempat umum? Bara memilih tidak datang menemui Luna untuk berpelukan dengan Jingga? Benar-benar cowok s****n! Vano sudah merelakan Luna berpacaran dengannya, tetapi Bara malah menyelingkuhi Luna. Dengan Jingga, pula. Apa yang dipikirkan gadis itu? Bukannya ia sudah punya pacar? Dan ia tinggal serumah dengan pacarnya. Lalu sekarang selingkuh dengan Bara?   ***   Setelah sekian lama menunggu di lorong sekolah, akhirnya gadis menyusahkan itu memunculkan hidungnya. Vano langsung menarik tangan Jingga menaiki tangga. Mereka berdua perlu bicara. Jingga super bingung karena Vano menyeretnya dengan paksa seperti kucing yang ketahuan selingkuh dengan kucing tetangga. Jingga sedikit berteriak, untung sekarang mereka sedang berada di atap sekolah. “Kenapa gue ditarik—” “Minta maaf sekarang sama Luna.” Vano memotong. Jingga berhenti mengoceh, sebelah alisnya terangkat sempurna. “Kenapa gue harus—” “Minta. Maaf. Sama. Luna. Sekarang!” ucap Vano penuh penekanan. “Lo kesurupan?” “Seneng banget bikin masalah.” Vano berbicara dengan nada datar namun penuh intimidasi. Lagi-lagi Jingga menatap cowok di hadapannya dengan heran. “Nggak jelas lo!” lalu ia membalikkan tubuhnya dan bersiap pergi, tetapi Vano memanggilnya lagi. “Jangan karena gue bebasin, lo jadi seenaknya.” Jingga kembali berbalik dan kali ini ia emosi karena Vano bertele-tele. “Lo tuh apaan, sih, Van? Seenaknya apa? Emang lo bebasin gue kayak gimana? Yang jelas kalau ngomong!” “Gue nggak masalah lo pacaran atau deket sama cowok lain. Gue nggak peduli,” Vano melangkah mendekat, “tapi jangan deketin sahabat gue.” “Apa maksud—” “Hak lo suka sama Bara. Tapi lo inget, Bara punya pacar dan lo juga.” Jingga sudah yakin bahwa ia tidak paham. “Sumpah demi apa pun gue nggak ngerti.” “Lo udah peluk-pelukan sama Bara dan nggak mau ngaku kalau lo salah?” Akhirnya Jingga konek setelah otaknya mencerna dengan susah payah. “Oh, maksud lo—“ “Sekarang lo minta maaf sama Luna. Lo udah bikin dia sedih.” “Heh! Gue semalem nolong Bara yang digebukin preman. Gue pelukan sama Bara? Itu karena Bara lemes banget sampe mau ambruk, gue nahan tubuhnya. Itu nggak termasuk ke dalam kategori pelukan!” “Minta maaf sekarang sama Luna.” Vano menekan Jingga sekali lagi. “Dan, anak-anak tahunya lo pacar gue. Kalau satu sekolah tahu lo selingkuh sama Bara, gimana tanggepan mereka?” Jingga pusing, sehingga ia mengusap wajahnya dengan kasar. Selingkuh mata lo pecak! “Lo bukan cuma datar dan manusia es. Tapi lo nggak mau dengerin penjelasan orang juga, ya? Buka mata lo! Lo nggak selalu bener, lo bukan dewa. Dan masalah pura-pura pacaran? Menurut gue itu nggak harus selalu lo ungkit. Gue cukup tahu diri jadi pacar pura-pura dari seorang Vano yang terhormat. Dan gue gila kalau  selingkuh sama sahabat lo sendiri. Lo mau image lo tetep bagus kan?” Jingga berbicara dengan nada yang sulit diartikan. Kenapa rasanya sangat kesal dituduh seperti itu? “Ini bukan—“ “Kalau bukan tentang image lo, ya tentang perasaan lo! Gue tahu lo suka sama Luna. Tapi cara lo norak, Van. Lo cuma lihat dari sisi Luna yang sedih seakan-akan gue di sini seorang antagonis!” Jingga mengatur napasnya karena berbicara sambil berteriak kemudian ia melanjutkan, “Kalau lo takut Luna-lo itu sakit, lo tenang aja, gue nggak akan berani nyakitin dia. Tapi kalo Luna-lo sakit karena salah paham, itu bukan kuasa gue. Lagian jadi cewek lebay banget.” Vano sedikit mengepalkan tangan kanannya, membuat Jingga tertawa sumbang. “Lihat! Baru gue pancing aja lo kesel. Lo emang kampungan kalau nuduh gue maen gila sama Bara cuma karena mentingin perasaan Luna. Oh, atau lo lagi melindungi perasaan lo sendiri?” “Lo—” Jingga berbalik badan karena sudah malas adu mulut tentang masalah tidak penting seperti ini. Ia tak ingin mendengar ocehan Vano lagi. Jadi cowok kok banci! “Sekali lagi, Van, gue nggak akan mau minta maaf. Terserah lo ah, mau percaya atau kagak. Peduli apa gue? Lo aja cuma peduliin perasaan princess lo doang. Lo harusnya juga mentingin perasaan pacar pura-pura lo ini, Van. Mending lo sana tanya Bara aja, lah. Gue males debat sama anak kecil yang dikit-dikit salah paham.” Jingga pergi, turun dari atap tanpa memperdulikan Vano yang masih berdiri dalam diam. Jingga tidak bermaksud mengatai Vano seperti itu, tapi Jingga merasa Vano sudah sangat  keterlaluan. Jingga sudah menjelaskan hal semalam, dan si manusia es kepala batu itu tetap saja menyuruhnya meminta maaf pada Luna. Menurut Jingga, sifat Vano benar-benar kampungan. DASAR ES!   ***   Jingga mengacak rambutnya dengan begitu frustrasi. Mengapa ia berada dalam masalah orang-orang kaya? Jingga tidak mau. “Ah, terserah deh, gue males, ah,” rengeknya. “Kayaknya ada kesalahpahaman. Vano marah juga ke lo?” Bara bertanya. “Bodo amat lah, Bar.” “Ini kan cuma salah paham aja, Jingga.” “Tahu gini gue nggak usah nolongin lo.” Bara tersenyum kecil, tak merasa tersinggung. “Iya gue tahu. Gue minta maaf gara-gara lo nolongin gue, lo jadi marahan sama Vano. Biar gue yang jelasin. Pantes aja tadi Luna ngehindarin gue terus. Sumpah, gue nggak nyangka bakal rumit. Sorry banget.” Jingga hanya menghela napasnya.  Kenapa sih Vano nggak kayak Bara yang bisa kalem dan mau minta maaf? Padahal nggak sepenuhnya salah Bara. Si Vano yang jelas-jelas nuduh gue, malah nggak mau minta maaf. Nyebelin! “Gue akan jelasin semuanya dan minta maaf ke Luna. Dan kalau bisa, semua orang harus denger penjelasan gue,” ujar Bara mantap. “Gimana caranya?” Bara tersenyum jail. “Sini gue bisikin.”   *** Sebetulnya ini sangat menyusahkan, membawa karton-karton ke area kolam renang. Jika bukan demi mengklarifikasi kesalahpahaman, Jingga ogah. Jingga sempat bersyukur karena kelasnya mendapatkan giliran pertama pengambilan nilai praktik renang, jadi sekarang ia sudah memakai seragam dan tidak perlu basah-basahan. Kurang dari lima menit lagi mungkin buku pencetak rekor akan mencatat hal gila yang akan dilakukan Jingga. Sebenarnya ia sangat sering melakukan hal gila, tapi menurutnya ini hal paling gila yang ia lakukan sepanjang tujuh belas tahun masa hidupnya. “Jingga...” Suara pelan dari Bara sukses membuat Jingga tersentak. Suaranya mirip iblis yang sedang menggoda manusia. Bedanya, iblisnya ganteng. “Udah waktunya. Karton-kartonnya siap?” tanya Bara memastikan. “Ya udah cepet.” Bara mengangguk,memasukkan Jingga secara ilegal dari pintu darurat kolam renang. Untung saja tidak ada yang sadar akan penyelundupan gelap ini, karena para murid kelasnya Bara sedang mengganti pakaian. Sebagian masih main air di pinggir kolam renang. Jingga langsung berlari, disusul oleh Bara di belakangnya. Karena langkah mereka sangat berisik, semua murid langsung melirik ke arah mereka. Para murid bingung dibuatnya, karena sekarang Jingga dan Bara naik ke atas papan luncur yang sering dipakai anak-anak loncat menuju kolam renang.  Luna yang sedari tadi sadar bahwa Bara tengah naik ke atas papan luncur, membuatnya merasa jengah. Apalagi yang akan Bara lakukan? Dan cowok itu naik dengan Jingga. Mau mendeklarasikan hubungan mereka, eh? Luna melangkah menuju pintu exit, tapi dengan sigap Bara memanggilnya. “Babe, jangan pergi. Aku mau jelasin sesuatu.” Hening. “Aku nggak pa-pa kamu marah, Babe. Aku nggak pa-pa kamu nyuekin aku. Tapi jangan salah paham. Aku bisa jelasin.” Bara bersuara, “Kalau kamu pikir aku nyelingkuhin kamu, kamu bisa bunuh aku, Babe.. Aku sayang kamu doang, Luna Amanda.” Murid-murid yang mendengar ucapan Bara langsung riuh. Seperti biasa, acara langka seperti ini sudah diabadikan lewat ponsel oleh mereka. “Kalau aku mau selingkuh, aku nggak akan ngambil risiko selingkuh sama Jingga. Aku bisa digantung Vano. Iya kan, Van?” Murid-murid yang baru konek akar permasalahan langsung berbisik-bisik. Vano yang merasa namanya dipanggil, melirik Bara dengan tatapan yang sulit diartikan. “Iya, kalian boleh denger. Kalian bisa jadi saksi kesalahpahaman ini. Jadi kemarin, gue itu dirampok, gue dipukulin. Itu sebabnya gue pakai topi seharian. Gue nutupin lebam hasil bogem dari preman,” jelas Bara. Murid-murid yang kebanyakan cewek, menatap Bara dengan iba. Bahkan ada yang terang-terangan menyuruh Bara turun dari papan dan ingin memeluknya. “Dan kamu, Babe. Yang kamu lihat semalem itu bukan rekayasa. Aku emang peluk Jingga. Aku ngaku.” Bara langsung mendapatkan tatapan tidak percaya dari semua orang yang berada di kolam renang. “Tapi aku peluk dia ada alasannya. Tubuh aku lemes, Luna. Buka sandi HP aja aku nggak kuat.” Luna yang sebenarnya sudah percaya dari awal pada Bara, hanya menggigit bibir bawahnya. Bodohnya ia menganggap Bara menyelingkuhinya. “Babe?” panggil Bara lagi. “Aku bodoh ya, bikin kamu nangis di hari jadi kita? Aku bener-bener minta maaf. Selamat tanggal 29 yang pertama, Luna sayang.” Luna langsung melirik Bara yang tersenyum sambil mengangkat Karton yang bertuliskan ”I LOVE U, MY BABE!” Suara gemuruh dari semua murid yang melihat adegan paling romantis seperti di tellenovela itu hanya terdengar histeris dan heboh. Banyak cewek-cewek yang mengklaim bahwa Bara makhluk paling sweet seantero sekolah. “Turun, Bara,” ucap Luna lembut. “Aku maafin kamu, aku juga minta maaf karena bodoh. Gue juga minta maaf ya sama lo, Jingga.” Jingga mengangkat jempolnya tanda berdamai. Ah, kenapa melihat pasangan ini seperti melihat Romeo-Juliet versi nyata? Pantas saja Luna lebih memilih mencintai Bara yang notaben-nya sangat jauh berbeda dari Vano.  Bara terlalu sempurna kalau dilepaskan. Lah Vano? Bilang I LOVE YOU saja sepertinya akan menjadi suatu keajaiban. Pantes aja nggak dilirik Luna.... “Vano!” Panggilan dari Bara membuat Vano berhenti dari langkahnya. “Jingga mau ngomong sesuatu sama lo.” Ucapan spontan Bara membuat Jingga membelalakkan matanya. “Apaan, Bar?!” Bara dengan tidak bersalah turun meninggalkan Jingga yang kebingungan. Jingga yang merasa tidak ingin berbicara apa-apa, merasa panik ketika Vano menatap ke arahnya seperti menunggu sesuatu.  Mampus! Gue kan nggak mau bacot apa-apa! Dengan cepat Jingga turun dari tangga. Karena tidak hati-hati, ia terpeleset. Entah untung atau tidak, setidaknya ia berpegangan pada pembatas. Lima belas meter, Man! Dan kaki Jingga tidak menapak. Ia bergantung seperti Tarzan. Demi apa pun, tangannya terasa sakit. Bara hendak berlari menuju tangga, tapi tanpa disangka sudah ada yang berlari mendahuluinya. Vano menaiki tangga dengan cepat sampai menggapai Jingga. “Buka mata lo. Gue pegang. Cepet.” Jingga yang hafal suara siapa itu, hanya berpikiran dirinya sudah gila. Mana mungkin cowok dingin itu menolongnya? “Cepet,” desaknya. Ah, siapa lagi kalau bukan si datar? Benar, ternyata Vano berada di tangga. Menolongnya, eh? “Cepet. Gue pegangin. Taruh kaki lo di tangga. Cepet,” perintah Vano lagi. “Kalau gue jatoh gimana?” Pikiran Jingga bukan pendek. Tapi ketika ia membuka mata, tubuhnya benar-benar akan remuk jika terjatuh. Badannya ternyata bergantung ke sisi kanan lantai beton yang pastinya mampu membuat tulang-tulang Jingga tak berfungsi lagi. Jingga menggeleng. “Gue nggak mau ambil risiko.” Vano sudah kesal, lalu ia menceburkan diri ke dalam air kolam. Membuat mata yang melihat cukup bingung dan kaget. “Kalau lo takut jatuh, sini ceburin tubuh lo ke air!” teriak Vano dari dalam kolam renang. Jingga masih ngeri. Sungguh, posisnya sangat membingungkan. Kalau ia melepaskan tangan, badannya remuk. Kalau ia menceburkan diri ke kolam, bisa saja, sih. Tapi bagaimana kalau ia jatuh bukan ke air? “Gue tangkep lo. Cepet.” Akhirnya kesabaran Vano habis. “Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Jangan pikirin apa-apa dan jatuhin diri lo. Gue tangkep.” Jingga menarik napasnya. Ia mencoba melihat ke bawah dan tanpa aba-aba ia melepaskan pagutan tangannya pada tangga dan badannya terasa basah. Ia tidak berani membuka mata. Yang pasti, tubuhnya terasa didekap. Sangat dekat dan ia merasa terlindungi. “Udah. Buka mata lo.” Suara itu membuat Jingga bangun lagi ke alam nyata. Ia membuka matanya perlahan. Pas! Wajah Vano sangat dekat. Dan saat itu juga, ia merasa jadi badut ancol karena banyak tepuk tangan yang ia tidak mengerti apa alasannya. “Lo bodoh. Lo tahu?” sindir Vano penuh penekanan. Jingga mengangguk mendengar gunjingan dari Vano. Apa cowok ini tidak ikhlas menolongnya? Kalau tidak, ya sudah jangan menolong! “Tangan gue sakit.” Jingga meringis. Ia merasa tangannya perih, ternyata banyak goresan di telapak tangannya, plus darah segar. Ini pasti karena tadi berpegangan cukup kuat. Jingga melirik Vano sedikit, ia merasa dekapan di punggungnya melonggar. Ia jadi panik. Bukan karena ingin lama-lama dipeluk Vano, tapi ia tidak bisa menapakkan kakinya di lantai kolam. Itu artinya kolam ini dalam, kan? Satu kenyataan yang membuat Jingga kesal, ia hanya bisa berenang jika kolamnya cetek. “Van? Gue bukan mau lo peluk lama-lama. Tapi jangan lepasin dulu, gue… kurang bisa berenang.” Jingga menempelkan tubuhnya pada tubuh Vano yang secara teratur mulai melepaskan dekapannya. Jingga kesal! Kenapa sih, Vano tidak mau mendekapnya sebentar lagi saja? Tapi Vano merasa dekapannya memang melonggar. Bukan karena ia tega melepaskan gadis yang tadi jelas-jelas Vano dengar kalau dirinya tidak bisa berenang. Tapi s****n, kenapa ini terjadi di saat yang tidak tepat? Darah, Vano lihat darah.   Sekali lagi, ia kalah dengan ketakutannya.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD