MUSIK 11

2289 Words
Jingga menatap layar ponselnya yang tetap hitam setelah dua puluh menit lalu mengirim pesan singkat pada Vano. Tapi nihil, tidak ada jawaban sama sekali. Jingga tidak masalah Vano mau bales atau tidak. Yang jadi masalah, sepertinya Vano salah paham. Tadi Jingga sempat melihat mimik wajah yang terlihat ‘jijik’ ketika Vano bilang kalau Jingga tinggal serumah dengan cowoknya. Huh? Cowoknya? Ngaur! “Kenapa, sih? Dari tadi melototin HP mulu.” Jingga langsung memasang wajah siap membunuh mendengar pertanyaan itu. Cowok di hadapannya ini yang jadi sumber kesalahpahaman. “Kenapa lo pake ke rumah, sih? Pacar gue jadi salah paham gara-gara lo!” bentak Jingga. Sadar keceplosan, ia langsung menutup mulut sialannya, sedangkan orang di hadapannya malah terbahak. “Emang dia nggak tahu hubungan kita itu apa?” tanya cowok itu. Iya juga, ya, mana mungkin Vano tahu kalau cowok yang bernama Langit Alaskar ini adalah kakak kandung gue yang bekerja dan menetap di Bandung? Dan tidak ada untungnya juga Jingga memberi tahu Vano. “Ya udah, nanti gue jelasin ke cowok lo kalau gue itu kakak lo yang paling keren.” Langit menaikturunkan alisnya dengan percaya diri. “Nggak usah!” Jingga tiba-tiba nyengir sendiri. “Lo kok senyum-senyum?” Langit menyentil dahi Jingga dengan gemas. “Siapa namanya? Kalau-kalau dia nyakitin lo, gue bisa hajar dia nanti.” “Tovano Malik Adiputra. Panggilannya Vano. Bagus, emangnya nama lo, kampungan!” Jingga berkata dengan nada meledek. “Pret!” Langit mencibir, setelah itu wajahnya berubah menjadi lebih serius. “Dek, Bunda apa kabar?”   *** Vano sedang membidik beberapa objek menggunakan kamera profesional miliknya, lalu perhatiannya terganggu karena seorang gadis yang tertangkap lensanya tengah tertawa terbahak-bahak di depan gerbang sekolah dengan seseorang yang Vano lihat kemarin. Cowoknya. Vano kembali cuek, melanjutkan melihat-lihat objek ke arah lain. Sampai seseorang menepuk bahunya cukup keras. “Kenapa nggak bales chat gue kemarin?” Vano heran mengapa pergerakan Jingga selalu cepat. Beberapa detik lalu gadis itu berada di depan gerbang, lalu sekarang sudah di hadapannya. “Lo cemburu?” Jingga meledek. Vano melirik Jingga dengan wajah terganggu. “Nggak jelas lo.” “Terus, kenapa?” “Terserah lo mau ngapain. Dan terserah gue juga kalau gue mau ngapain.” Jingga memajumundurkan telunjuknya di pipi Vano. Entah kenapa, Jingga merasakan jantungnya ambruk. Sepertinya Jingga mulai lapar? “Gue boleh tinggal serumah sama cowok gue?” goda Jingga. “Itu hak lo. Terserah,” jawab Vano datar lalu kembali fokus pada kameranya. “Uh, tayang-tayang... kamu lucu, deh, kalau lagi muka datar gitu. Gemes aku jadinya sama kamu. Makin cinta.” Vano bergidik sambil mencoba melepaskan tangan k*****t gadis ini dari pipinya. “Jangan ganggu. Gue sibuk.” “Uh, gitu sama pacar sendiri. Jahat.” “Pacar pura-pura.” Vano mengingatkan. Jingga menepuk bahu Vano kemudian mendekatkan wajahnya. “Jangan sering ngucapin kata pura-pura. Kalau ada yang denger selain kita, lo sendiri yang berabe. Eh, gue harus pergi. Gue punya acara inti selain acara valentine boring ini. Mister, lo mau ikut gue nggak? Ke tempat yang kemarin?” Vano menggeleng dengan datar. “Ya udah deh, gue udah telat. Duluan, ya.” Jingga melirik pergelangan tangannya lantas berlari kencang melewati koridor panjang. “Gadis bodoh, “desis Vano. Karena, Jingga sama sekali tidak pakai jam di tangannya.   ***   Vano benar-benar merasa bosan. Dari tadi ia hanya dikelilingi acara menye-menye yang menurutnya nggak banget. Dari awal Vano memang malas ikutan acara seperti ini. Vano melirik jam di tangannya, ia langsung berjalan menuju gerbang utama, tapi Vano tak akan bisa keluar sebelum acara selesai. Akhirnya ia berjalan hati-hati tapi santai menuju tembok belakang sekolah yang pernah ia lewati ketika bolos dengan Jingga. Baru kali ini Vano merasa bolos ada gunanya, yaitu memberinya informasi keluar dari lingkungan sekolah tanpa harus lewat gerbang utama. Karena tidak membawa mobil, Vano jadi berjalan lumayan jauh dari sekolah ke tempat yang kemarin diajak Jingga. Vano termasuk orang yang cepat menghafal jalan. Dia berjalan tenang ke arah gerombolan anak kecil yang sedang memakan buah, dan ada beberapa yang memegang balon berwarna pink. Apa Vano tidak salah tempat? Karena hampir seluruh taman ini isinya anak-anak. Dan gadis itu, dia juga tak terlihat. Ini pasti gue dijailin.  Vano berniat kembali ke sekolah, sampai ada seorang anak kecil yang duduk di kursi roda, dengan penutup kepala, tersenyum pada Vano. “Kakak tampan ke sini mau ikut pesta bareng kita, ya?” Kakak tampan. Vano tersenyum kaku. “Hai,” lalu ia berjongkok agar sejajar dengan gadis kecil yang duduk di kursi roda itu. “Kamu di sini sama siapa?” “Aku sama temen-temenku, ibu panti dan kakak panti. Itu, yang nyanyi itu kakak panti.” Vano melirik pada arah yang ditunjuk gadis kecil dihadapannya. Ternyata yang dia maksud adalah Jingga. “Aku Amel.” Gadis kecil itu mengenalkan diri. Vano kembali tersenyum dengan lembut. Entah kenapa, wajah datar Vano tidak pernah ia tunjukkan pada anak-anak. “Nama Kakak, Vano. Salam kenal.” Jingga selesai menghibur dan meminta izin untuk pergi sebentar. Sebenarnya ketika ia bernyanyi, ia sudah sadar bahwa Vano sedang berdiri melihatnya. Sulit dipercaya, Vano tersenyum lembut pada Amel. Atau bahkan terlalu lembut untuk ukuran seorang Pangeran Es yang biasanya datar tanpa ekspresi. Jingga melihat ekspresi wajah Vano yang lain. Entah kenapa Jingga merasa senang melihat Vano tersenyum seperti itu. “Mister? Lo di sini?” Jingga berjalan menghampiri Vano dan Amel. Wajah Vano yang tadi dihiasi senyuman langsung berubah dingin ketika bertatapan dengannya. Salah gue apa sih? Perasaan kalau liat gue sewot mulu nih cowok! umpat Jingga dalam hati. Amel menarik-narik baju seragam Jingga sehingga gadis itu menunduk. “Teman Kakak tampan, ya?” Amel dan Jingga tertawa, sedangkan Vano masih setia dengan muka datarnya. Jingga melirik Vano kemudian bertanya, “Gue kira lo nggak bakal ke sini.” Vano diam. Kesal karena dicueki, Jingga menarik tangan Vano supaya bergabung dengan anak-anak yang sedang memakan buah dengan lahapnya. Jingga mengenalkan Vano pada anak-anak itu, dan sebaliknya. Lagi, Jingga melihat Vano yang tersenyum lembut meski wajahnya masih sedikit canggung. “Kak Vano? Bawa kamera, ya? Fotoin kita dong!” Vano mengangguk ketika mendengar anak-anak berteriak. Lalu ia mempersiapkan lensanya. Anak-anak itu langsung berpose dengan lucu. Vano banyak mengambil gambar anak-anak imut ini, ia juga diberi balon berwarna pink. Bahkan anak-anak cowok siram-siraman air dengan Vano, dan banyak lagi hal menyenangkan yang tanpa sadar membuat Vano tertawa. Sekali ini saja Jingga minta waktu berhenti, karena Vano tampak gemas dengan kekehan kecil di bibirnya. Atau hanya senyuman manis yang membuat Jingga merasa tenang melihatnya. Ternyata Vano tidak sedatar seperti yang tampak dari luar. “Kak Vano, jangan fotoin kita terus dong. Kakak mau foto bareng sama kakak panti?” Seorang anak bernama Akbar mengeluarkan pendapatnya. Jingga menggelengkan kepala. “Eh, nggak.” “Nggak usah malu-malu, Kak. Sini Akbar fotoin!” Akbar langsung mengambil kamera dari tangan Vano. Jingga menggaruk tengkuknya, ia melirik Vano yang tengah menatap dengan datar. Dan mengapa ia jadi gugup begini? Jingga hanya mengambil satu langkah kecil, sehingga ia diprotes anak yang lain. Jingga melangkah lagi, tapi ada anak yang iseng mendorongnya sehingga tanpa sengaja Jingga kehilangan keseimbangan dan bibirnya menyentuh pipi Vano. Jepret!! Suara dari kamera membuat Jingga tersadar dan langsung menjauhkan bibir sialannya ini. Huaaaaa!! “Ih, hasilnya bagus!” Amel berteriak dengan semangat. Jingga yang panik langsung mengambil kamera itu dan wajahnya langsung memerah menahan malu. Ini pasti si Mister bakal marah! Pasti nih ah! Vano mengambil kamera dari tangan Jingga untuk melihat hasil jepretan Akbar dan ia terpaku cukup lama pada gambar itu. Membuat Jingga semakin panik dan malu. Jingga berkata dengan kaku, “Sorry, gue nggak sengaja. Hapus aja fotonya.” Vano melirik Jingga dengan tatapan sulit diartikan. Bukannya menjawab, ia malah kembali mengalungkan kameranya pada leher lalu mengajak anak-anak bermain lagi. Jingga khawatir Vano akan marah lalu yang terparah menyemprotkan api dari mulutnya. Akhirnya Jingga duduk dan memperhatikan Vano yang asyik main tebak-tebakan dengan Amel. Tak lama, Vano berjalan ke arahnya dan duduk di sebelahnya. “Van, maaf soal foto tadi,” cicit Jingga. Vano mengerutkan dahinya dan tidak menjawab. Malah ada topik lain yang menurut Vano lebih menarik. “Amel. Dia itu sakit?” “Iya, dia sakit. Kanker. Stadium 2.” Pandangan Jingga menerawang ke depan, seperti memikirkan sesuatu yang sulit.  “Kenapa mereka manggil lo kakak panti?” Jingga menjawab, “Itu karena gue emang sering ngunjungin mereka seminggu sekali dan ngajak mereka main. Gue emang bukan orang kaya yang bisa nyumbang duit buat pengobatan fisik. Tapi seenggaknya gue bantu dari sisi batin mereka.” Benarkah? Seorang Jingga? Punya hati seperti malaikat? Walau kata-kata Jingga tidak puitis, tapi tetap terdengar sangat tulus dan sungguh-sungguh. Mungkin Vano bisa sedikit menganggap Jingga manusia normal, setelah ini. Jingga melirik Vano dan tersenyum kecil. Vano hanya diam, lidahnya mendadak kelu. Melihat Jingga ternyata berjiwa besar pada anak-anak yang mengidap kanker ini, Vano merasa harus sedikit menghilangkan pikiran negatif pada Jingga. Tapi hanya sedikit. Karena gadis ini tetap rusuh. Sewaktu-waktu pasti akan membuat Vano susah lagi. “Van, laper. Bayarin gue bakso di depan dong. Plus es teh manis dua gelas ya.” Nah, apa Vano bilang? Menyusahkan.   ***   Hari ini, Jingga resmi mengundurkan diri dari restoran tempatnya bekerja. Bukannya Jingga malas, tetapi gaji dan tenaga yang dikeluarkan tidak sebanding. Awalnya Jingga tidak masalah dengan gajinya, tapi semakin ke sini, uang segitu mana cukup. Jingga berjalan sambil bernyanyi kecil, mencoba berduet mesra dengan bulan di malam hari. Ketika ia melewati g**g kecil yang cukup gelap, Jingga mendengar suara seperti orang yang sedang adu jotos. Karena penasaran, akhirnya ia mengintip sedikit di mulut g**g. Jingga melihat seseorang yang mirip Bara, tubuhnya sudah terkapar dengan pasrah sambil perutnya terus ditendang-tendang oleh orang-orang berbadan besar. Jingga berniat menolong, tapi melihat yang menganiaya bukan hanya satu orang, rasanya tulang kaki Jingga akan patah duluan sebelum berhasil menyerang. Jika ia tidak menolong, bisa saja orang itu malah meregang nyawa karena terus dipukuli habis-habisan. “Polisi! Iya di sini!! Ada pengeroyokan, Pak!” Jingga berteriak sangat kencang. Orang-orang itu satu per satu lari terbirit-b***t. Lalu ia berlari menghampiri orang yang terkapar lemah dengan luka lebam di mana-mana. Dia benar-benar Bara. Jingga membantu Bara berdiri. Cowok itu hanya terdiam dan dari sudut bibirnya keluar darah. “Bara, lo masih kuat kan, ke rumah sakit?” Tiba-tiba Bara menggeleng. “Anterin gue balik aja.” “Rumah lo di mana?” “Perumahan Jakarta Indah.” Jingga mengangguk paham. “Kita naik taksi, ya. Tapi gue nggak bawa duit. Lo ada duit, kan?” “Gue dirampok.” Bara menggeleng dengan lemah. “Tapi tadi HP gue lempar ke sana.” Jingga melihat benda kotak tipis di dekat tong sampah. Ia mendudukkan Bara dulu, lalu dengan cepat mengambil ponselnya. “Sandinya apa?” Jingga menghampiri Bara lagi, tapi cowok itu sudah tidak kuat berbicara. Jingga langsung membantu Bara berdiri lalu berjalan keluar g**g dengan tertatih-tatih. “Gue lemes banget, Jingga...”Bara langsung menyenderkan kepalanya di leher Jingga dan memeluk tubuh mungil gadis itu. Jingga menahan punggung Bara supaya tidak oleng, jadi mereka seperti sedang berpelukan di pinggir jalan. Akhirnya ada taksi lewat. Dengan susah payah Jingga mencoba menghentikan taksi, dan sopir taksi membantu mendudukkan Bara. Untung saja di taksi ini ada kotak P3K. Dengan telaten Jingga membersihkan luka di sudut bibir Bara dengan Rivanol. “Tahan, daripada infeksi,” ucapnya pada Bara yang meringis-ringis. Sekitar dua puluh menit, mereka sudah sampai di perumahan orang-orang kaya. Setelah sampai di depan rumah Bara, Jingga cukup kagum karena rumah Bara lebih besar dari tempat kediaman Vano. Jingga membawa tubuh Bara memasuki gerbang setelah membayar taksi dengan uang pribadinya. Ia mengetuk, dan ada seorang wanita dengan wajah cemas membuka pintu. Sebelum Mamanya panik, Bara langsung menjelaskan, “Tadi Bara dirampok, tapi nggak pa-pa. Ini temen Bara, Ma.” Jingga tersenyum kikuk. “Halo, Tante.” “Nama Tante Seva. Salam kenal,” ucap Mama Bara ramah. Wanita itu membawa putranya masuk ke rumah sampai derap langkah seseorang yang baru datang membuat tiga orang yang terlibat obrolan itu melirik. “Itu Papa kamu pulang! Pa, sini kita lagi ada tamu,” sambut Seva dengan senyum sumringahnya. “Aku capek mau istirahat. Lain kali kita ngobrol bareng.” Papa Bara membuka jasnya lalu berjalan ke arah tangga, tapi dia kembali berbalik badan. Menatap Bara dengan alis terangkat sebelah. “Wajah kamu kenapa, Bar?” Cowok itu hanya menjawab, “Nggak pa-pa.” Papanya tidak berkomentar lagi lalu kembali menaiki tangga. Wajahnya begitu tenang dan tidak menampakkan kekhawatiran padahal anaknya babak belur. Melihat itu, Jingga cukup bingung. Lalu Bara menarik tangan Jingga untuk mengikutinya. Mereka sekarang ada di balkon kamar Bara. Mereka hanya berdiri dan diam. “Tadi itu bokap lo?” akhirnya Jingga bertanya. Bara meliriknya dan mengangguk. “Dia kelihatan biasa aja liat lo. Padahal lo babak belur.” Bara berkata,“Bokap gue emang orang yang cuek. Beda sama bokapnya Vano. Mau sesibuk apa pun, pasti nyempetin kumpul bareng. Vano beruntung.” Ucapannya seakan-akan menilai Papanya itu tidak baik. Dan itu membuat Jingga tambah bingung. “Lo juga beruntung. Masih punya orang tua lengkap,” tutur Jingga.  “Gue mau balik, deh.” “Oh gitu? Ya udah gue anterin ke bawah.” “Nggak usah. Lo istirahat aja, Bar. Pintu keluarnya masih yang tadi, kan?” Bara terkekeh, entah untuk apa. “Lo lucu banget. Ya iya lah, masih yang tadi. Thanks, udah nolongin gue tadi, ya.” Jingga mengacungkan jempolnya lalu berjalan keluar kamar Bara, tetapi suara cowok itu menghentikan langkahnya. “Lo hebat, Jingga,” kata Bara. “Apa?” “Bisa jadi pacar Vano padahal kayaknya kalian baru kenal. Setahu gue, Vano sulit banget buat suka sama cewek. Lo udah mengambil hati Vano, dan gue seneng sahabat gue itu akhirnya punya pacar. Oh iya, gue aja yuk yang anterin lo balik.”              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD