Malam itu kami bermusyawarah dengan seluruh keluarg besar. Yang tidak bisa datang pun dikabari melalui sms dan whattaps. Termasuk ayah Ardi yang saat ini sedang di Jakarta menjalani karantika untuk pemberangkatannya ke Ngera Timur Tengah untuk menjadi TKI.
Sejujurnya aku tidak terlalu paham dengan seluk beluk pemberangkatan TKI. Aku bahkan tidak protes ketika Mama menyampaikan bahwa sebagian uang kami dari dari pemberian sana-sani, dipakai untuk biaya ayah Ardi. Jumlah yang menurutku tidak kecil. Tapi demi masa depan Mama dan Patria, tak ada alasan untuk tidak merelakannya.
Dalam kesempatan itu juga aku meminta izin pada Mama, jika suatu saat nanti ayah Ardi macam-macam apalagi menyakiti hati Mama, maka jangan salahkan, jika aku bertindak sama seperti yang aku lakukan pada Ayah Pram. Itu memang sudah janjiku untuk melindungi Mama tercinta sampai titik darah penghabiskan. Apalagi Ardi memakai uang Mama hingga nyaris tiga puluh lima juta.
Seluruh keluarga mendukung permintaaku termasuk keputusanku untuk ikut pindah sekolah dan tinggal di rumah Uwa dengan Mama. Rumah yang kini sudah hampir selesai direnovasi dan sangat layak huni dan lebih dari cukup representatif atas biaya Adel. Untuk yang satu ini, aku tetap berterima kasih pada Adel.
Hari berikutnya dengan menyewa mobil salah seorang tetangga, Mama, Patria, Prili diantar Om Herman berangkat ke Bogor untuk mengambil sebagian barang-barang pribadiku. Sekalian berembuk lagi dengan ayah dan Adeli. Mama juga akan mengurusi kepindahan sekolahku dan lain-lain. Termasuk pamitan pada seluruh tetangga, ketua dan ketua RW setempat. Kebetulan Mama dulu sangat akarb dengan istri-istri aparat di sana.
Aku tidak diizinkan ikut. Beliau khawatir aku akan kembali khilaf dan kalap hingga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Menurut informasi, pasca kejadian itu ayah dan Adel langsung diantar ke rumah sakit oleh warga, namun tidak mengalami luka yang parah sehingga bisa kembali pulang ke Bogor.
Dari sejak kejadian itu, Bude Ines, Pakde Siswanto dari Jogja, serta Om Teguh yang saat ini sedang ada di Thailand berkali kali menelpon Prili minta bicara denganku. Namun Bude Ines dan Pakde Sis, sama sekali tidak kugubris. Hanya Om Teguh yang aku layani itupun hanya sebentar. Dia hanya memberikan ucapan ‘Selamat Berjuang’ padaku sambil tertawa-tawa.
Om Teguh yang sudah jengah dengan sikap ayah, alias Kakaknya, tertawa-tawa ketika mendengar kabar kakaknya itu aku hajar habis-habisan. Bukan hanya sekali Om Teguh mengomporiku untuk memberikan pelajaran pada ayah durhaka itu. Om Teguh juga sangat membenci kakaknya yang menurut dia juga terlalu hobi menikah hanya untuk menguasai harta istrinya dengan menelantarkan anakn dan mantan-mantan istrinya.
Bude Ines dan Om Siswanto menelpon hanya akan menghakimi dan menyalahkan tindakanku. Mereka pendukung berat pernikahan ayah dengan Adel. Mereka tidak tahu jika ayah memiliki permintaan aneh pada Mama. Aku malas meladeni dan menjelaskankannya. Gak masalah, jika mereka tidak menganggapku sebagai saudara mereka.
[Sekarang saya telah menjadi Prasetya Putra Aisyah, bukan lagi Prsetya Putra Pramudya]
Pesan singkat yang sinis dan sengit aku kirimkan pada Bude Ines dan Pakde Sis. Terserah mereka mau bilang apa. Paling juga rapat keluarga mencoretku dari daftar ahli waris, emang gua pikiran. Yang pasti setelah itu mereka tak ada lagi menelpon Prili. Lagi-lagi Om Teguh yang tertawa ngakak saat dia tahu aku mengirim pesan itu pada Bude Ines dan Pake Sis.
Dari pertemuan dan kesepakatan Mama, Ayah dan Adel, akhirnya disepakati rumah di Bogor sepenuhnya diberikan pada aku dan Prili. Ya aku setuju, itu memang haknya Prili yang selama ini kehilangan kasih sayang ayah. Aku pun sudah mengikhlaskan rumah itu untuk sepenuhnya dipergunakan untuk masa depan Prili dan Patria.
Mama ternyata sudah mengambil inisiatif cerdas untuk menyewakan rumah tersebut. “Mama tidak akan menjual dulu rumah itu, karena tidak mudah. Terserah Aa saja nantinya mau digimanain. Mama hanya menyewakan agar tetap ada yang mengisi dan merawarnya.” Sejuta persesn aku setuju dengan keputusan Mama.
Dalam kesepakatan itu juga ayah bersedia menanggung seluruh biaya pendidikanku, Prili dan Patria. Ya aku setuju juga dengan kesepakatan itu, walau sesungguhnya Patria tidak harus menjadi tanggung jawab ayah. Kalau pun ayah Ardi tak bertanggung jawab, aku sudah mewakafkan hidupku buat masa depan Patria. Aku anggap Ayah sedang mencoba menebus semua dosa-dosa masa lalunya.
Setelah berunding kembali dengan seluruh keluarga, aku memutuskan tinggal di rumah Uwa yang sudah selesai direnovasi. Rencana Mama untuk pindah ke rumah rumah Uwa sementara dibatalkan karena Prili tidak mau pindah sekolah. Prili tidak mau terganggu konsentrasi belajarnya. Dia sama sepertiku akan menghadapi ujian nasional. Tak terasa adik kesayanganku sudah mau SMA. Bahkan katanya SMA-nya nanti dia masih tetap ingin di Jampang. Sudah terlalu nyaman di sana. Gak masalah.
Jarak rumah Uwa dan rumah nnek yang ditempati Mama tidak sampai 100 KM. masih satu kabupaten. Kapan pun kami bisa saling mengunjungi. Tinggal dengan Uwa tidak ada bedanya tinggal dengan Mama. Uwa begitu menyayangi dan memperhatikan semua anak-anak Mama. Walau beliau usianya sudah tua tapi masih kuat beraktivitas yang tak kalah gesitnya oleh Mama.
Om Herman adalah salah seorang kerabat Uwa, dia sepupu almarhum suami Uwa. Artinya memang sama sekali aku dan dia tidak ada pertalian darah. Namun beliau sudah dianggap anak sendiri oleh Uwa, sehingga sikap dia pun pada keluargaku sangat baik.
Om Herman sudah menikah dan memiliki seorang anak usia 8 tahun, Fardan. Rumahnya hampir bersebelahan dengan rumah Uwa, hanya terhalang kebun kecil. Om Herman berusia kurang lebih 30 tahun selisih satu tahun lebih tua dari Tante Santi, istrinya.
Om Herman pengusaha bakso yang cukup besar. Kiosnya berlokasi dekat pantai, memiliki lima orang karyawan. Sementara Tante Santi memiliki usaha salon kecantikan yang lokasi salonnya bersebelahan dengan kios bakso Om Herman.
Usaha mereka cukup maju. Kehidupan mereka pun sudah tergolong makmur dan sejahtera. Hanya saja belum memiliki mobil. Menurut penilainku juga ucapan Uwa, sebenarnya Om Herman sudah lebih dari mampu untuk membelinya. Namun sepertinya memang belum berniat walau garasinya sudah dia siapkan. Mungkin belum ketemu dengan mobil yang sesuai seleranya.
Aku belum terlalu mengenal Tante Santi, namun kini sudah mulai akrab karena hampir setiap sore atau malam main ke rumah Uwa. Selama Om Herman dan Tante Santi kerja Fardan dititipkan pada Uwa. Tante Santi dari Cianjur. Konon katanya dia satu-satunya wanita yang sanggup menaklukkan dan menyadarkan Om Herman. Aku belum tahu, penaklukan dan penyadaran seperti apa.
Jika dilihat dari postur tubuhnya, mungkin Om Herman dulunya preman atau sejenisnya. Aku mengenal Om Herman baru beberapa tahun, semenjak dia membangun rumah dekat rumah Uwa. Itupun sesekali saja bertemu jika aku bertandang ke rumah Uwa. Tapi kini sudah sangat akrab.
Sejujurnya aku kagum dengan pasangan suami istri yang super gaul, senang bercanda dan super asik, seperti Om Herman dan Tante Santi. Aku bakalan makin betah tinggal di rumah Uwa, karena ada Fardan. Anggap saja sebagi pengganti Patria, walau usianya tidak balita lagi.
Om Herman juga menjadi orang paling sibuk mengurusi kepindahan sekolahku. Dan paling antusias mendukung rencanaku tinggal di rumah Uwa. Entah mengapa kemistri yang terbentuk antara aku dan Om Herman sebegitu alami dan cepat terbentuk. Mungkin karena aku terlalu mengaguminya. Seorang pengusaha sukses yang hidup nyaris tanpa beban dan suka sekali menolong sesama.
“Om, kenapa belum beli mobil. Kan Pras bisa jadi sopir pribadinya, hehehe,” godaku iseng.
“Dengan motor kan jauh lebih simple. Kalau butuh mobil dadakan tinggal mainkan jadi di hape, tak lama mobil datang. Lebih praktis dan murah tak ada biaya perawatan, iya gka, hehehe.” Jawaban yang lugas dan sepertinya memang tak jauh beda dengan pemikiranku.
“Pras, kalau Om perhatikan, sepertinya Neng Adel itu ornganya sangat baik. Apalagi waktu di Bogor kemrin. Kita benar-benar dimanjakan oleh jamuannya. Tidur aja di hotel Salak.” Om Herman sepertinya ingin mengorek banyak info tentang Adel.
“Adel memang begitu Om, tajir and gak pelit. Udah sifat bawaan dari orok kale, hehehe.” balasku dengan kekeh yang dipaksakan.
“Lah, terus kenapa kamu sebegitu membencinya?” tanya Om Herman penasaran.
Aku yakin dia belum tahu kisah yang sesungguhnya. Mama tidak mungkin menceritakan kesedihan dan aib anaknya sendiri.
“Ya, anggap saja saya yang bego, Om. Gak bisa melihat dan menerima segala kebaikan orang lain.” jawabku sedikit ketus.
“Gitu ya?” Om Herman menanggapi singkat. Tampaknya dia paham jika aku memang tak suka membahas masalah itu.
Entah lah masih belum siap untuk membahas Adel dengan segala kegilaanya. Sepertinya sampai kapan pun, aku tidak akan sanggup untuk memahami segala keajaiban seorang Adel.
Om Herman atau siapapun boleh mengatakan Adel sangat baik, karena yang dia tahu Adel merenovasi rumah Uwa sampai hampir seratus juta. Bahkan menurut Uwa rumah itu sudah sah jadi milik Mama, karena biaya renovasi jauh lebih mahal dari harga yang dia tawarkan saat akan dijual dulu. Nanti akan diurus pindah tangan kepemilikannya. Aku gak paham urusan demikian, terserah mereka saja.
Om Herman hanya tahu Adel membelikan aku motor, membelikan Prili banyak pakaian baru dan segala perlengkapan sekolahnya. Om Herman hanya tahu, Adel memberikan modal pada Mama untuk membuka warung kecil-kecilan di kampung.
Tapi Om Herman tidak tahu bahwa si Adel memaksa Mama untuk menjadi istri kedua Ayah Pram dan bercerai dengan Ayah Ardi. Itu saja nilai minus yang sampai kapanpun tidak akan membuat penilaianku sebaik dulu pada Adel maupun ayah.
Wanita model apa yang memiliki pemikiran seperti itu? Tega sekali dia berusaha menghancurkan kebahagiaan Mama dengan Ayah Ardi? Mau sampai kapan Mamaku tersiksa batinnya? Dia pikir berbagi Ayah Pram suami akan membahagiakan Mama? Pramudya bukan seorang Arjuna atau Dewa. Mamaku masih sangat muda dan cantik, dia berhak mendapat kebahagiaan tanpa Pramudya.
Sialan banget kan itu si Adel! Mungkin otaknya sudah konslet. Dia pikir Mama akan senang menjadi istri kedua hanya dengan dibelikan rumah? Aku malah curiga, jangan-jangan nanti dia meminta aku dan ayah untuk menjadi pemuas syahwatnya. Apakah ayah dan Adel memiliki kelainan seks? Meneketehe.
Senakal-nakalnya Pras, tidak mungkin berbagi cewek dengan ayah kandung sendiri. Secantik apapun wanita itu, kalau sudah pernah menjadi istri ayahku, maka haram bagiku untuk menyentuhnya dengan balutan syahwat.
Memangnya aku sudah gak laku lagi sampai harus berbagi cewek dengan ayah kandung sendiri?
Tapi sejujurnya kini aku malah curiga dengan ayah. Jangan-jangan justru beliau yang otaknya sedikit konslet. Punya fantasi menjadi penguasa banyak wanita. Terbukti dia sudah lebih dari lima kali menikah dan bercerai. Itu pun yang aku tahu. bisa jadi dia banyak permainan di belakang yang sama sekali tidak aku ketahui. Bahkan bisa jadi masih banyak lagi wanita-wanita lain yang tidak sampai dia nikahi.
Hai, apakah ayah merasa dirinya super ganteng hingga segitunya memanfaatkan diri untuk kepuasan syahwat dan harta dunia?
Masih pantaskah aku menghormati ayah seperti itu?
Lebih baik aku kerja keras menghidupi Mama, Prili dan Patria, daripada mengemis-ngemis pada ayah yang dalam otaknya hanya ada syahwat, syahwat dan syahwat.
Akan aku buktinya pada dunia, Prasetya Putra Aisyah, mampu survive tanpa Pramudya.
^^^