7) Semusim

1362 Words
Dua hari setelah aku benar-benar menerima rencana pernikahan Adel dan Ayah, kedua calon mempelai yang masih belum bisa aku pahami jalan pikirannya itu, datang kembali ke rumah Uwa untuk menemui Mama dan kami anak-anaknya. Ketika mereka datang, aku tidak banyak berbicara. Langsung saja ngajak Prili dan Patria untuk menghabiskan waktu di pantai. Entah mengapa walau aku sudah ikhlas dan rela menerima mereka, tetapi masih belum terlalu siap bertemu. Aku sangat yakin Ayah Pram maupun Adel pasti bisa merasakan rona kebencian dan kekesalanku yang terlalu sulit untuk aku sembunyikan dalam wajahku yang sulit untuk berpura-pura ramah. Cemburu? Sama sekali tidak. Dua hari dua malam Mama ngajakku bicara dari hati ke hati tentang niat baik Ayah yang menikahi Adel, sudah cukup bagiku untuk meredam kebencian dan atau rasa cemburu pada mereka. Aku bahkan bisa membaca langsung chat antara Mama dengan Adel yang mengungkapkan kecintaan mereka pada Ayah. Mama masih mencintai ayah sebagai bapak dari anak-anaknya, tidak lebih dan tidak kurang. Dia punya cara tersendiri dalam menunjukkan kecintaannya itu. Sementara Adel memiliki cinta dalam dimensi yang berbeda. Ya, Adel yang katanya sejak kecil tidak mendapat kasih sayang dari ayahnya itu, menemukan sosok ideal dalam diri Ayah Pram. Bisa jadi. Aku tahu betul jika sudah belasan tahun dia hanya hidup dengan mamanya yang janda. Walau aku sendiri tidak terlalu mengenal keluarga Adel baik pihak Mamanya atau Ayahnya. Aku hanya bisa bersyukur dan mendoakan, semoga Adel benar-benar menemukan kebahagiaanya yang hakiki bersama Ayah Pram. Sebaliknya ayah juga bisa menjadi pribadi baru. Pribadi yang bisa diteladani oleh anak-anaknya. Tidak lagi mendewakan harta untuk menunjukkan kehebarannya. Semoga juga hubungan mereka langgeng dan baik-baik saja.   Lebih dari tiga jam, aku, Prili dan Patra bermain di pantai.  Saat aku kembali dan sampai di rumah Uwa, aku dikejutkan dengan Mama yang menyambut kami dengan berlinangan air mata. “Mama kenapa?” tanyaku heran, seraya memberikan Patria pada Uwa yang mengambilnya dari gendongangku. Walau Mama tak menjawab, aku berusaha berpikir positif dan menduga Mama menangis karena haru. Aku tahu Mama sangat mendukung hubungan mantan suaminya dengan Adel. Dia bahkan berkali-kali mengatakan akan menyangksikan pernikahan keduanya. Mama memang manusia berhati malaikat. “Mama kesal dan sakit hati,” bisik Mama lirih. Aku segera memalingkan pandang pada ayah yang terlihat santai. Sementara wajah Adel menunjukkan sedikit kecemasan. Aku langsung tersadar dan merasakan jika tangis Mama bukan tangis bagagia. Ini ternyata tangis kesal dan sakit hati. Teeer, darahku mendadak berdesir terbakar amarah. Dengan kulit wajah yang mulai memanas serta tatapan geram yang mungkin sedikit mengintimidasi ayah dan Adel, aku segera menarik Mama ke kamar. Tak mungkin Mama mau bercerita tentang isi hatinya secara gampblang di depan orang lain. Ayah dan Adel walau sudah sangat dekat, mereka tetaplah orang lain. Dengan air mata yang semakin berderai-derai, Mama menceritakan kekesalan dan sakit hatinya yang membuatnya dari tadi menangis bombay. Suaranya pun sangat lirih dan terbata-bata. Dia meminta pendapatku setelah menjelaskan duduk perkaranya. Dan menurutku ini memang bukan main-main. Bukan hanya menimbulkan sakit hati, tapi ayah dan Adel benar-benar telah menghinakan dan merendahkan martabat Mama.   Tanpa menunda waktu dan tanpa menggubris cegahan Mama, bahkan sebelum beliau selesai bercerita aku segera keluar kamar. Dengan napas memburu dan amarah yang sudah tak tertahankan lagi, aku segera melampiaskan segalanya pada ayah yang sedang duduk santai di ruang tamu. Tanpa pikir panjang karena gelap mata, aku menyerang ayah secara membabi buta. Menghajarnya dengan Taekwondoku yang sudah tingkat mahir. Orang yang dulu paling aku cintai dan aku hormati itu terjerembab tak berdaya. Ayah yang mungkin sama sekali tidak menduga akan mendapat serangan mendadak dan begitu membabi buta dari anaknya berteriak-teraik kesakitan. Ayah tahu, aku  menguasai bela diri yang mumpuni, bukan tandingannya. Dia sendiri yang memintaku masuk ekstra kulikuler Taekwondo. Ayah tidak punya lagi kesempatan untuk mengelak hingga akhirnya mau tidak mau merelakan wajah gantengnya menjadi bulan-bulanan bogem mentahku dan tendanganku saktiku. Tak ayal lagi darah segar bermuncratan dari mulut dan hidungnya.   Hanya teriakan Mama, Adel, Uwa, Prili juga tangisan Patria yang terkejut, sedikit bisa menurunkan seranganku dan meredakan amarahku. Seisi rumah mendadak kacau dan riuh. Para pegawai yang sedang melakukan renovasi rumah juga tetangga yang mendengar kekacauan itu datang berhamburan. Rumah Uwa yang kedatangan tamu istrimewa Bos besar dari Jakarta dan tadinya adem ayem mendadak berubah menjadi arena gladiator antara ayah dengan anak kandungnya. Sebagian para lelaki dewasa itu langsung mengambil alih dan menggantikan Mama, Adel dan Prili yang mencoba meleraiku yang sudah kesetanan. Sementara yang lainnya langsung mengamankan ayah yang sejak tadi hanya pasrah dan sesekali menangkis seranganku. Ayah dibawa keluar sementara aku dibawa ke dapur. Mama terus menangis meraung-raung melihat mantan suaminya yang berlumuran darah, juga melihatku yang marah-marah dan meronta melontarkan sumpah serapah. “Aaaaaaaa, ingat dia ayahmu, Naaaaak! Sadar Aaaaaaaa!” “Aaaaaa, itu ayah kita, Aaaaaa Hikk huuuu..huuuu..” Entah berapa kali aku mendengar jeritan Mama dan Prili menyadarkaku, namun aku sudah gelap mata dan khilaf. Aku bahkan seperti melupakan kodrtaku bahwa adanya aku di dunia ini karena ayah Pram juga.   “Kembali sana kalian bangsaaaat!” teriakku sambil menunjuk Adel yang sedang menangis meraung-raung memeluk calon suaminya. “Setelah lu serahkan keperawan sama gua, lu rebut ayah gua dari Bunda Ita. Dan sekarang lu mau ngerebut kebahagiaan Mama gua dari Ayah Ardi. Lu pikir hartamu bisa membeli dan mengatur hidup gua! Dasar wanita Jalng lu Adel!” teriakku kemudian. “Ingat Pram! lu gak perlu lagi menganggap gua sebagai anak lu! Urus saja diri lu sendiri. Biarkan kami di sini tenang dengan hidup kami. Puaskan dirimu dengan segala kemewahan harta dunia yang sudah membiusmu!”   Entah mengapa mulutku sampai kalap dan sanggup mengeluarkan kata-kata sekasar dan sehina itu untuk Adel dan ayah. Sepanjang hidupku baru kali ini berani mengelurkan sumpah serapah sekasar dan serendah itu. Bahkan saat aku bertarung dengan siapapun biasanya jarang bersuara. Aku benar-benar gelap mata dengan permintaan ayah dan Adel pada Mamaku. Sebuah permintaan yang benar-benar membuatku hilang kontrol dan kesabaran. Permintaan tergila yang pernah aku dengar. Aku tak mengerti apa sesungguhnya yang ada dalam pikiran ayah juga si Adel. Mereka meminta Mama untuk bercerai dengan ayah Ardi. Ayah Pram berjanji akan menikahi kembali Mama, sebagai istri kedua. Adel sendiri menyatakan rela bermadu dengan Mama. Egois dan picik. Entah dimana otak mereka disimpan. Atau jangan-jangan mereka memang sudah tidak punya otak.   Mereka pikir pernikahan bisa dibuat main-main. Aku saja yang belum dewasa dan belum pernah menikah, tak pernah berpikir untuk merendahkan lembaga pernikahan sebecanda itu. Jelas saja Mama merasa terhina dan terluka. Sebagai anak sulung yang sudah sangat jengah dan muak dengan segala kelakuan serta jalan pikiran ayah durhaka, aku tak mungkin lagi menahan sabar lebih banyak. Apalagi saat melihat cucuran air mata Mama. Ayah dan Adel boleh menjanjikan akan membelikan rumah dan sebagainya untuk kami. Namun mereka lupa, bahwa Mama bukanlah wanita yang rela menggadaikan harga diri dan kebahagiaannya dengan harta semata. Mama manusia yang masih memiliki nurani. Dia memilih hidup sederhana namun bahagia. Dia sangat mencintai suaminya, ayah Ardi walau hanya seorang driver ojek online. Aku tak peduli lagi apa yang akan terjadi selanjutnya dengan pernikahan ayah dengan Adel. Dia sekarang tahu siapa lelaki yang telah merenggut keperawanan calon istrinya. Persetan dengan pernikahan itu, mau lanjut atau batal. Sebagai lelaki penggila harta, aku yakin ayah akan tetap melanjutkan pernikahan itu, walau harus menggadaikan seluruh martabat dan harga dirinya sebagai lelaki. Harga dirinya memang sudah terjual sejak lama. Sungguh menyesal aku telah mengidolakannya.   Aku tak peduli jika sebagian tetangga yang mendengar cacian dan teriakanku menilai aku sebagai anak durhaka. Atau manusia paling kotor sedunia karena telah meniduri dan merenggut kehormatan calon ibu tiriku. Ya, persetan! Mereka tidak perlu tahu apa sesungguhnya yang terjadi antara kami. Anadai saja aku tahu sebelumnya Adel akan menikah dengan ayah, tentu saja menolak mentah-mentah keinginan dia untuk aku perawani. Sakit jiwa memang tuh cewek!  Lebih baik aku kehilangan ayah durhaka daripada kebahagiaan Mama selalu diusik dan dorngrongnya. Kehidupan kami selanjutnya mungkin akan lebih sulit. Namun aku yakin Mama akan tetap survive. Beliau sudah terbiasa hidup sengsara dari sejak kecil. Dia sudah sangat terlatih dalam segala keterbatasan. Bahkan telah menderita sejak masih berstatus istri Pramudya. Tak setitk pun kubirakan Mamaku masuk kembali dalam kubangan penderitaan panjang. Siapapun yang merendahkan Mama, Prili dan Patria berarti harus berhadapan denganku, Prasetya Putra Aisyah. Tidak terkecuali ayahku sendiri. Ya, akulah Prasetya Putra Aisyah. ^^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD