Dua hari setelah Mama kembali dari Bogor, aku mendapat telpon dari Pak RT, jika rumah yang ditawarkan untuk disewa sudah ada peminatnya.
Karena masih ada beberapa barang di dalamnya, maka aku terpaksa harus ke Bogor. Pihak yang akan menyewa pun kekeuh meminta untuk bertemu langsung dengan pemilik rumah. Walau sebenarnya semua sudah didelegasikan oleh Mama pada Pak RT.
Mama tidak mungkin berangkat lagi ke Bogor, karena harus merawat si ganteng Patria yang sedang sedikit demam sekembalinya dari Bogor, mungkin kecapekan.
“Sekalian pamitan sama teman-teman, guru-guru, dan tetangga di sana, A,” rayu Mama saat aku mengutarakan rasa engganku untuk menemui calon penyewa itu. Sejujurnya aku malas sekali menginjakkan kaki di kota yang sudah lebih dari 17 tahun menjadi kota kesayanganku itu.
“Tapi ayah beneran gak ada di Bogor kan, Ma?” tanyaku memastikan.
“Hehehe, kan kunci rumahnya juga udah dipegang Pak RT, lagian masa ayah di Bogor. Dua hari lagi dia akan melangsungkan pernikahan di Jakarta.” Mama kembali tersenyum, sepertinya dia sudah mulai melihat sedikit harapan jika aku mau ke Bogor.
Setekah aku pikir-pikir, ternyata memang tidak ada salahnya dan malah sangat baik sekali pesan dan rayuan Mamaku ini. Aku boleh marah dengan Ayah dan Adel, tetapi teman-teman, guru-guru dan para tetangga sama sekali tidak ada masalah denganku. Di samping itu, aku juga penasaran ingin tahu bagaimana nasib Tante Melia, setelah dijebak oleh Galang, Ghita dan Alvin.
Nania dan Firda bagaimana kabarnya? Masihkah aku memiliki rasa aneh pada Firda? Entahlah, otakku sudah tak ingin lagi memikirkan cinta. Trauma kecil-kecilan, akibat perbuatan Adel Suredel.
Karena motor baruku masih belum ada plat nomor dan STNKnya, akhirnya aku berangkat ke Bogor dengan Bus antar kota. Sebenarnya Om Herman menawarkan tukar pakai motor, namun menurut Mama, jauh lebih aman naik bus. Selain menghindari cuaca yang tak menentu, sepertinya dia masih belum yakin jika aku bisa membawa motor dengan baik dalam keadaan pikiranku yang masih belum stabil.
“Aa sayang kan sama Mama, Prili dan Patria?” tanya Mama saat aku akan berangkat.
Sebenarnya tak perlu aku jawab, Mama sudah tahu jawabannya. Namun aku takut berdosa jika tidak menjawab pertanyaan dari wanita pemilik kunci surgaku ini.
“Aa bahkan gak tahu, lebih sayang sama Mama, Prili, si super ganeng ini, atau sama diri aa sendiri, hehehe,” balasku seraya mencium kening Mama yang langsung diprotes Patria. Dia ternyata cemburu aku tidak menciumnya.
“Kalau Aa sayang kami, jaga diri baik-baik dan jangan terus-terusan dendam sama ayah. Biarkan mereka hidup bahagia. Yakinlah dendam, sama sekali tidak akan membawa kebaikan pada siapapun!” pesan emas dari Mama.
Pesan Mama selalu menjadi mutiara dalam hidupku. Pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang bisa menjadi lebih bijaksana dalam berbicara dan bertindak. Mama yang hanya lulusan SMP justru lebih pantas menjadi idola dan motivator hidupku dibanding Ir. Pramudya, ayahku.
“Jangan tinggalkan Shalat lima waktu, Sayang. Sesibuk apapun dan senakal apapun, usahakan Shalat tetap laksanakan karena itu akan menjadi kompas sekaligus rem, ketika hidup mulai sedikit oleng dan melenceng.”
‘Shalat’ pesan terberat dari Mama. Aneh memang. Melaksanakan shalat itu sebenarnya sangat ringan bahkan tak sampai lima menit waktu yang dibutuhkan. Namun terasa begitu berat. Semoga setelah ini, aku menjadi seorang lelaki Muslim yang bisa melaksanakan salah satu kewajiban itu dengan baik. Walau mungkin masih akan banyak bolong-bolong.
Selama lima tahun tinggal berdua dengan ayah, dia belum pernah sekalipun mengingatkan aku untuk shalat. Bahkan aku sendiri tak pernah melihat beliau melakanakannya saat berada di rumah. Mungkin karena jarang bertemu atau memang ayah sudah benar-benar meninggalkan kewajiban hidupnya itu.
Untung saja, waktu itu aku sempat mendapat didikan dari Mama Nina. Ibu tiri terbaik, terindah dan tercantik yang pernah aku miliki. Dia benar-benar tulus ikhlas mengurus, merawat bahkan mendidikku dengan setulus hati. Dia lah wanita satu-satunya selain ibuku yang tidak jijik mencuci celana dalamku.
Ngomong-ngomong Mama Nina, sebenarnya aku sudah sangat kangen sama belaiu. Sejak handphone-ku hancur, sontak tak bisa lagi menghubunginya. Walau kini sudah ada lagi hape baru, namun kontak lama tersimpan di memori dan kartu sim yang hilang itu.
Masih ada waktu libur beberapa hari lagi, apakah aku harus menyempatkan diri untuk betemu dengannya di Karawang? Nanti sajalah, masih banyak urusan lain.
Sebenarnya sekarang sudah masuk sekolah, namun masih dalam kegiatan MOS siswa baru. Karena aku siswa pindahan kelas tiga, jadi belum terlibat dan baru masuk seminggu lagi setelah kegiatan belajar mengajar definitif.
Mama Nina tidak tahu apa yang terjadi antara aku dan ayah alias mantan suaminya. Aku yakin jika dia tahu, pasti langsung memburuku ke tempat Uwa. Mama Nina adalah pemberi suport terbaik setelah Mamaku sendiri. Dia juga masih rajin mengingatkanku untuk tetap sabar, rajin belajar dan merawat rumah dengan sebaik-baiknya.
Mama Nina juga tidak tahu kalau aku akan pindah sekolah dan pindah rumah ke Sukabumi. Andai dia sudah tahu pasti datang dan memaksaku untuk ikut dengannya. Mama Nina tidak memiliki anak. Dia sudah menganggapku anaknya sendiri. Sejak dulu sering merayuku untuk tinggal bersamanya.
“Gratis kok Pras, malah Mama bisa ngasih uang jajan lebih besar dari yang diberikan ayah Pram, hehehe. Mama beliin motor baru deh. Atau kalau mau ke sekolah bisa pakai mobil Mama aja!” Itulah candaan dan rayuan Mama Nina yang sering dia lontarkan setiap kali mengajakku untuk tinggal bersamanya.
Sejak Mama Nina sudah tidak menjadi istri ayah, sebenarnya aku selalu berusaha mengelak dan tidak terlalu dekat secara personal dengannya. Entahlah, mungkin karena geer atau apapun namanya, aku merasa Mama Nina seperti memiliki rasa sayang yang berbeda terhadapku. Dan itu diakui juga oleh Argi, salah seorang teman sekelasku yang pernah diajak menginap di rumah Mama Nina.
“Bro, lu serius gak mau tinggal sama mantan nyokap tiri lu? Kalau gua sih mending nyungsep aja ke laut daripada nolak ajakannya. Kurang apa coba? Punya nyokap cuantik, tajir, baik hati and….”
“And apa, lu?” tanyaku sedikit nyolot, karena Argi selalu curiga dan kadang mengomporiku untuk hal-hal yang menurutku tidak etis. Dia memang siswa paling mesummm seantero sekolahku.
“And… sepertinya dia sayang banget sama lu, Bro!” jawabnya sambil cengar-cengir gak jelas.
“Ya wajarlah. Gua mantan anak tiri kesayangannya. Setahun lebih gua diurusin sama dia. Gua menjadi anak super baik selama dengan dia. Jadi wajarlah kalau dia masih sayang sama gua. Apa yang aneh, Nyet?” balasku sedikit nyolot, apalgi saat melihat wajah Argi yang sengengesan gak jelas seolah menyembunyikan sebuah rahasia besar.
“Tapi…” Argi tidak melanjutkan ucapannya. Aku tidak meresponnya karena sudah hapal dengan gayanya. Sengaja dia menunda ucapannya agar aku penasaran dan akhirnya obrolan akan berlanjut dengan bualan yang makin melenceng jauh entah kemana.
“Tapi… eh tapi jujur aja, Bro. Gua ngerasanya, eeeh apa ya..eeeeh?”
Aku masih tak merespon ucapan Argi, walau sebenarnya dia telah sukses membuatku mulai penasaran.
“Mama Nina itu kaya bukan nganggap lu sebagai mantan anak tirinya, Bro. Tapi..tapi sebagai…” Argi masih tak menyerah untuk menarik perhatian dan responku.
“Omongan lu banyak tapinya, Jink!” balasku sewot.
“Sorry, lu ngerasa gak kalau Mama Nina itu mesra banget sama lu. Sumpah saat dia meluk and nyium lu tadi, gua malah ngeliatnya seperti pelukan dan ciuman dari seorang cewek buat kekasihnya. Bukan dari mantan ibu tiri pada anaknya.” Argi akhirnya terbuka dengan kecurigaan.
“Sok tahu lu, Jink!” sergahku sedikit sengit berharap dia tidak melanjutkan ocehannya.
Aku tidak terlalu terkejut dengan ucapan Argi. Alvin pun pernah bicara hal yang sama. Dan anehnya aku sendiri memang merasakan itu. Sudah sejak lama sikap Mama Nina memang sedikit berbeda. Dulu beliau sering mengajakku jalan berdua di mall atau nonton. Ketika jalan itulah, dia memperlakukan aku layaknya seorang kekasih.
Terkadang aku merasakan juga sentuhan dan belaian Mama Nina pada wajah dan beberapa bagian tubuhku, dengan usapan yang sangat berbeda. Sentuhan yang benar-benar menimbulkan getaran syahwat. Dia melakukannya dengan penuh perasaan dan aaaah… tapi sudahlah. Jangan sampai aku memiliki sayhwat pada wanita yang telah tidur dengan ayahku.
“Bro, kenapa gak dicoba aja, toh dia hanya mantan ibu tiri. Jadi kalian gak ada hubungan darah.” Argi masih tetap mengompori. Ya tidak aneh, karena Argi salah satu manusia yang memiliki ketertarikan syahwat pada orang-orang yang masih memiliki ikatan darah dengan dirinya. Bertolok belakang dengan prinsipku.
“Ah! sialaan lu!” Hanya itu yang bisa aku ucapkan sebagai penapis segala provaksinya.
Jauh di lubuk hatiku, aku sama sekali tidak berharap Mama Nina memiliki perasaan lain terhadapku. Hanya ingin dia memberikan kasih sayang sebatas mantan ibu tiri. Aku tak bisa membayangkan seandainya antara aku dan Mama Nina memiliki ketertarikan secara seksual. Mama Nina mantan ibu tiri yang paling aku sayangi dan aku hormati tidak boleh mendesah lirih dalam buayan nikmat birahi bersamaku.
Ya aku memang b***t dan tak pernah bisa menahan diri untuk tidak mencicipi tubuh wanita yang sangat montok dan mendebarkan, terlebih lagi yang usianya sepantaran Mama Nina, tetapi otakku masih waras untuk tidak hantam kromo. Jangan sampai itu terjadi.
Masih cukup siang saat aku tiba di Baranangsiang, Bogor. Aku kembali menghirup udara kota sejuta angkot. Kota yang telah banyak mengajarkan tentang arti hidup dan kehidupan pada diriku. Kota yang pertama kali pula memperkenalkan aku pada nikmatnya m********i di depan wanita setengah baya. Hingga membuatku ketagihan dan terobsesi untuk melangkah lebih jauh. Maafkan saya Bu Anhar.
Apa kabarnya Bu Anhar, Mbak Sri, Mbak Diah, Mbak Atik dan masih banyak lagi ibu-ibu tetangga kompleks yang terkadang jahil menggodaku. Atau sebaliknya justru aku yang iseng menggoda mereka. Tapi dengan tujuan untuk keakraban. Walau pada akhirnya ada beberapa yang lebih dari sekedar akrab. Ah dasar!
Bagimana kabarnya Firda, Nania, Galang dan Alvin? Sudahkah mereka kembali dari berliburnya? Bagaimana keadaan mereka saat ini, sehat-sehat saja?
Tak sabar rasanya ingin bertemu dan melihat bagaimana ekspresi keempat sahabat terbaikku itu saat mendengar kabar kalau aku akan pindah rumah dan pindah sekolah secara mendadak seperti ini. Masihkah Firda mengajakku diam-diam mesumm sebelum berpisah? Akankah cinta kami terjalin dan menemui jawabannya?